Something About You

By matchamallow

4.1M 567K 252K

18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Ka... More

INTRODUCTION
Sinopsis - Something about This Story
Part 1 - Something about Blackmere Park
Part 2 - Something about Rejection
Part 3 - Something about True Sadness
Part 4 - Something about A New Hope
Part 5 - Something about Beauty
Part 6 - Something about Dream
Part 7 - Something about Madame Genevieve
Part 8 - Something about Reputation
OFFICIAL ACCOUNT
Part 9.1 - Something About Kindness
Part 9.2 - Something About Kindness
Part 10 - Something About Manner
Part 11 - Something About Rules for Lady
Part 13 - Something About Scandal
Part 14 - Something About Laugh
Part 15 - Something About the Reason
Part 16.1 - Something About That Man
Part 16.2 - Something About That Man
Part 17 - Something About Gentleman
Part 18 - Something About Heart
PART 19.1 - Something About Lisette
Part 19.2 - Something About Lisette
Part 20 - Something About The Way You Make Me Feel
Part 21.1-Something About Missunderstanding
Part 21.2 - Something About Missunderstanding
Part 22.1 - Something About Distance
Part 22.2 - Something About Distance
Part 22.3 - Something About Distance
Part 23.1 - Something About Gossip
Part 23.2 - Something About Gossip
Part 23.3 - Something About Gossip
Part 23.4 - Something About Gossip
Part 24.1 - Something About Proposal
Part 24.2 - Something About Proposal
Part 24.3 - Something About Proposal
Part 24.4 - Something About Proposal
Part 25.1 - Something About Purpose
Part 25.2 - Something About Purpose
Part 26.1 - Something About Plan
Part 26.2 - Something About Plan
Part 27. Something About The Truth
Part 28 - Something About Chaos
Part 29 - Something About Revenge
Part 30-Something About Another Woman
Part 31.1 - Something About Friendship
Part 31.2 - Something About Friendship
Part 31.3 - Something About Friendship
Part 32.1 - Something About Betrayal
Part 32.2 - Something About Betrayal
Part 33 - Something About Seduction
Part 34.1 - Something About The Fear
Part 34.2 - Something About The Fear
Side story/ POV Raphael
Part 35.1 - Something About Happiness
Bab 35.2 - Something About Happiness
Part 36 - Something About Boundary
Part 37 - Something About Carlisle
Part 38 - Something About True Sadness
Part 39 - Something About Awakening
Part 40 - Something About Lost
Part 41 - Something About Hopeless
Part 42.1 - Something About Keele
Part 42.2 - Something About Keele
Bab 43 - Something About Doubt
Part 44 - Something About Invitation

Part 12 - Something About The Season

58.7K 8.3K 1.1K
By matchamallow

Senang bisa updateee. Makasi pada terwaluey dan NadyaWulandari_24 yang bikin aku bisa balik lagi. Terakhir kali update sebulan lalu dan tiba-tiba setelahnya ada tawaran Daniel and Nicolette menjadi paidstory. Aku fokusnya ke sana lagi. Buat kalian yang baru tahu boleh dukung versi digital ini dong. Jatuhnya nggak mahal kok, perlu sekitar 70rb dari pulsa atau gopay atau debit dan CC. Buat yang udah punya bukunya, makasi juga.

〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
JANGAN LUPA TEKAN BINTANG
JANGAN LUPA KOMEN

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN PENULIS : MATCHAMALLOW

〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️

PART 12 | SOMETHING ABOUT SEASON

Kali ini aku menulis sangat-sangat panjang karena hari ini adalah hari pertama aku dan Lisette menghadiri pesta dansa di London.

Sejak bangun tidur...di mana kami tidak tidur terlalu lelap semalaman, kami sudah sangat gugup. Terutama Lisette yang menjadi debutante. Ia sering tiba-tiba memelukku tanpa sebab karena serangan panik. Mungkin jika aku menjadi debutante, aku juga akan merasakan kegugupan yang sama. Bagaimana tidak? Jika dipikir-pikir, apapun hasilnya, kehidupan kami akan berubah. Jika gagal di season ini, aku tidak tahu apakah Lord Blackmere akan bersedia menampung serta mensponsori Lisette lagi hingga tahun depan. Jika berhasil, itu berarti Lisette akan menikah, dan kami berpisah.

Berpisah. Sebenarnya itu lebih mengerikan. Aku tidak tahu apakah aku akan kuat jika harus berpisah dengan Lisette. Tapi jika ia memang mendapat kehidupan yang lebih baik, aku pasti merelakannya.

Yang bisa kulakukan pagi itu hanya membaca daftar tatakrama yang diberikan Lord Blackmere padaku agar aku tidak melakukan kesalahan malam ini. Lisette sempat membacanya juga sekali, dan ia menamainya Daftar Peraturan Aneh Bangsawan Inggris.

"Aku penasaran apakah di sini ada tertulis seorang lady tidak boleh bernapas?" tanya Lisette.

"Tentu saja tidak!" jawabku sambil tertawa. Aku tahu Lisette hanya bergurau karena kesal melihatku terus membaca dan mempercayai isinya.

"Well, jika ada pun aku tidak akan heran, mengingat siapa yang membuatnya," komentar Lisette lagi.

Aku menjelaskan bahwa yang membuatnya adalah Dowager Marchioness. Lisette mengatakan ia juga diajarkan tatakrama itu oleh beliau, hanya saja ia tidak pernah diberikan peraturan tidak boleh bertanya dan tidak boleh berkomentar apapun. Lisette bahkan mencurigai Lord Blackmere ingin membuatku terlihat bodoh.

Secara pribadi aku berpikir mungkin aku memang bodoh. Apapun hal-hal biasa yang kulakukan dulu sepertinya tidak tepat dengan kondisi dan tempatku saat ini. Aku bisa melakukan hal-hal sederhana seperti menjahit dan mengurus rumah. Mama mengatakan itu adalah dua hal yang diperlukan untuk menjadi seorang 'wanita'. Hal luar biasa yang pernah kulakukan kala itu hanya saat Peter memberikanku wewenang membantunya mengurus pembukuan gereja. Peter tidak suka menghitung angka dan mengatakan aku lebih becus melakukannya. Tapi pintar berhitung sepertinya tidak termasuk hal yang bisa dibanggakan di sini.

Aku tidak begitu tahu apa saja yang dilakukan oleh para lady seusiaku. Semoga saja salah satu dari mereka nanti ada yang menjadi teman kami. Dowager marchioness adalah wanita yang sangat baik dan bijaksana, tapi karena kebijaksanaan dan kemuliaannya itulah ada batas yang membuat kami tidak berani terlalu mengungkapkan hal-hal tertentu padanya.

Satu hal lagi yang membuat kami riang hari ini adalah gaun!

Ini pertama kali kami memakai gaun pesta dansa. Gaun ini sangat indah tetapi juga sangat kompleks. Setelah memakai petticoat, kami tidak bisa langsung memakai gaun seperti yang biasa kami lakukan, tetapi harus memakai korset terlebih dahulu. Aku merasa kurang leluasa dalam bernapas saat memakainya. Lisette sempat berteriak saat Gretchen bersama pelayan lain menarik tali korset itu sekencang mungkin. Gretchen malah mengatakan itu kurang kencang dan menariknya lagi. Sepertinya Gretchen ingin membunuh kami. Hahaha.

Setelah selesai memakai korset yang melelahkan itu cobaan kami belum berakhir. Kami mengenakan dalaman rok berlapis-lapis, barulah memakai gaun setelahnya. Pantas saja kudengar banyak lady yang pingsan saat pesta dansa. Dan mereka akan menyadarkannya dengan garam amonia yang sangat bau.

Kami tidak memakai crinoline ataupun bustle karena kami belum pernah memakai kedua benda itu sebelumnya. Dowager Marchioness takut kami akan tersandung karena belum latihan berdansa memakai kurungan itu. Sebagai gantinya, untuk membuat efek mengembang Madame Genevieve membuatkan gaun dengan lapisan serta ikatan kain tulle di belakang rok.

Detail gaun Lisette sangat menawan. Bahunya terbuka dan menggelembung mungil di lengan. Bagian depannya dibuat dengan kain lame bersulamkan benang perak dan mutiara. Roknya dibordir dengan perada perak yang terlihat samar, tapi aku yakin itu akan bercahaya saat terkena cahaya kandelir malam nanti. Lalu bagian rok itu memiliki jumbai kain sutra berwarna senada dengan jalinan pita.

Aku juga mendapatkan gaun satin pink yang sangat indah. Belum pernah dalam hidupku aku bermimpi bisa memakai gaun seindah itu. Kancingnya berwarna emas, rendanya pun berhiaskan payet dan mawar-mawar kecil, dijahit dengan ketelitian dan kesempurnaan. Jahitan yang biasanya kubuat untuk Madame ternyata hanya sebagian kecil dari detail itu. Segala gaun itu adalah mahakarya seni.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore saat kami baru saja selesai melakukan semuanya dan berada di kereta dalam perjalanan ke London bersama Dowager Marchioness. Dalam undangan memang disebutkan pesta itu akan diadakan pada pukul empat sore, tapi sang dowager mengatakan bahwa datang tepat waktu sangat tidak sopan. Setidaknya tamu harus terlambat dua jam.

"Benar kataku, bukan? Mereka memang aneh." Lisette berbisik kepadaku dan aku berusaha keras menahan tawa.

Lokasi yang kami tuju adalah rumah Earl of Brambury di London. Kami mendapatkan undangan karena rekomendasi dari seorang Duke kenalan Lord Vaughan. Aku sudah menyangka pasti Lord Vaughan memiliki banyak teman dilihat dari karakternya yang sangat ramah dan menyenangkan. Kadang aku juga ingin berbicara banyak dengannya dan Mr. George Sommerby. Mereka orang-orang yang ramah. Dan juga menawan. Tapi aku pasti menyalahi aturan lagi kecuali mereka menyapaku lebih dulu. Sejujurnya aku tidak terlalu peduli akan reputasi yang sangat disakralkan di sini. Mungkin suatu hari aku akan menyapa mereka.

Rumah Earl of Brambury ternyata sangat megah dan memiliki halaman yang cukup luas untuk ukuran kota London yang padat. Sang earl kabarnya memiliki estat di desa, tapi sudah lumrah bagi para bangsawan memiliki rumah di London untuk keperluan khusus. Kami berhenti di teras depan yang dijaga oleh dua penjaga berpakaian resmi berlambang earl dan memakai celana selutut. Lalu saat masuk ada seseorang yang bertugas meneriakkan nama kami satu-persatu seperti sebuah pengumuman kedatangan. Dowager marchioness masih dipanggil Marchioness of Blackmere karena secara silsilah, beliau yang masih menepati posisi tersebut meski sudah menjanda. Lalu mereka menyebutkan namaku dan Lisette.

Setidaknya ada sekitar ratusan tamu di sana. Aku tidak bisa menghitungnya karena sangat banyak. Mereka semua seakan berlomba menghiasi diri dengan pakaian dan perhiasan yang memukau. Dowager Marchioness membawa kami menuju beberapa orang dan mengenalkan kami sebagai 'kerabat jauh'. Kebanyakan berumur sama seperti beliau tapi tak sedikit juga yang membawa anak serta cucu mereka yang sudah memasuki usia debutante. Para lelaki membungkuk pada kami, sedangkan para wanita mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertanya banyak padaku dan Lisette, lebih seperti menginterogasi. Aku mencoba menghapal nama mereka semampuku dan itu sangat sulit. Kecuali untuk beberapa orang yang memiliki ciri khas unik seperti Viscountess of Sheffield yang memiliki tahi lalat di atas bibirnya atau Mayor Phillip tua yang bergaya era George dengan rambut roll di atas telinga.

Sebelum berangkat aku sedikit canggung dengan kerah rendah gaunku yang kupikir terlalu terbuka. Apalagi korset itu membuat belahan dadaku terlihat. Gretchen dengan santai mengatakan gaun pesta dansa memang seperti itu. Awalnya aku pikir Gretchen bergurau, tapi setelah berada di London, aku baru tahu bahwa Gretchen tidak berbohong. Hampir semua lady di sana mengenakan gaun yang berpotongan leher rendah. Ada yang begitu rendah sampai aku sendiri yang khawatir akan melorot. Bahkan ada beberapa yang memakai gaun transparan yang memperlihatkan dengan samar bayangan lekuk tubuh dan kaki mereka.Tapi sebagian besar yang memakai gaun semacam itu adalah lady yang sudah menikah atau yang sudah memasuki usia dewasa. Para debutante memakai pakaian sepertiku. Sedangkan para lady seusia sang dowager memakai scarf panjang atau selendang sutra di bahu yang membuat mereka terlihat mulia.

Acara awal berupa makan malam membuat kami bertiga terpisah karena tuan rumah mengatur tempat duduk sesuai urutan gelar. Di sebelah kiriku duduk seorang pria muda tapi menurut peraturan tatakrama Lord Blackmere dilarang berbicara dengan pria di sebelah kiri saat jamuan makan. Boleh berbicara dengan pria yang ada di sebelah kanan, tapi sayangnya pria gemuk di sebelah kananku lebih suka memusatkan perhatiannya pada makanan. Aku menghabiskan makan malamku tanpa berkenalan dengan siapapun. Makan pun juga aku tidak bisa memakan lebih dari beberapa sendok karena korset membuatku perutku terasa penuh.


Lalu setelah makan malam barulah acara dansa dimulai di ruang sebelah yang merupakan aula dengan kandelir besar tergantung di tengahnya. Di dekat pintu penghubung ada seorang pelayan yang menyediakan kartu dansa. Beberapa wanita mengambil kartu itu lalu menggantungnya di lengan lengkap dengan sebuah pensil kecil. Di sana nanti para pria akan menulis namanya untuk dapat berdansa dengan sang lady. Lisette mengambil satu untuk dirinya dan menawarkan padaku tapi aku tidak mengambilnya karena aku merasa aku bukan debutante.

Meski sebenarnya aku juga ingin berdansa seperti Cendrillon di dongeng karya Charles Perrault yang sering diceritakan Papa.

Lisette dengan cepat mendapat tawaran dari beberapa pria dan ia berdansa. Aku dapat melihat kegugupannya tapi ia juga terlihat senang. Beberapa pria dapat berbicara dengan leluasa kepada Lisette sehingga rasa gugupnya itu sudah menghilang di tengah-tengah acara.

"Kenapa kau tidak berdansa dengan mereka?" tanya seorang pria tua di sebelahku yang berpakaian necis. Ada dua orang pria sebenarnya menyapaku lalu mengetahui aku tidak memiliki kartu dansa mereka undur diri. Setelahnya tidak ada. Mungkin berita cepat menyebar bahwa aku bukanlah seorang debutante.

"Aku hanya mendampingi adikku yang menjalani debutante," jelasku. Aku menunjukkan Lisette yang sedang berdansa padanya.

"Tapi kau seharusnya bisa mendapatkan pasangan. Siapa tahu. Ada yang menyapamu berarti mereka tertarik padamu. Banyak gadis yang sudah berdiri di sini selama dua season dan tidak pernah ada yang menyapa apalagi mengajak berdansa," katanya.

Ia memperkenalkan diri sebagai Sir Walcott. Aku menjelaskan bahwa aku anak yatim piatu dan tidak memiliki sponsor. Ia terkejut bahwa aku ke pesta itu bersama Dowager Marchioness of Blackmere di mana ia berkata bahwa sang dowager sangat jarang menghadiri pesta selama beberapa tahun terakhir apalagi sang marquess. Dowager Marchioness sempat berpesan padaku jangan pernah mengatakan bahwa aku anak perwalian Marquess of Blackmere karena belum pernah ada seseorang yang menyerahkan perwalian gadis muda kepada seorang pria yang belum menikah. Hal itu bisa berkembang menjadi skandal.

Setidaknya bercakap-cakap bersama Sir Walcott membuatku tidak kesepian. Ia ternyata memiliki banyak teman, sebagian besar pada wanita dan lady tua, tapi mereka semua sangat baik dan suka bercakap-cakap, sama sepertiku. Mereka berkata dalam waktu dekat akan berkunjung ke Blackmere Park untuk membawakanku kue karena aku sangat manis. Aku senang mereka memujiku manis. Aku sampai lupa pada peraturan tidak boleh berbicara dan berkomentar yang dikatakan Lord Blackmere tapi sudah terlanjur, mau bagaimana lagi. Semoga ia tidak tahu. Hihihi.

Aku sempat bertanya pada mereka tentang kakekku Baron of Fauconberg~meski aku tidak mengaku-ngaku pada mereka bahwa aku memiliki pertalian keluarga dengan sang baron. Sayang sekali mereka mengatakan tidak mengenalnya. Mungkin Baron of Fauconberg adalah orang yang tertutup atau ia mungkin berada di tempat yang terlalu jauh sehingga sulit untuk pergi ke London. Entahlah. Mungkin aku harus benar-benar nekat untuk bertanya kepada orang yang menurutku paling tahu tentangnya.

Aku ingin menulis lebih banyak lagi tapi aku mengantuk. Mungkin cukup untuk hari ini.

Catatan harian Kaytlin de Vere

======================

🌸🌸🌸

Suasana pagi di Blackmere Park seperti biasa sangat sunyi dan tenang.

Beberapa pelayan mengerjakan tugasnya dengan monoton, membersihkan debu, mengelap kaca, serta memoles perabot dan furniture dari kayu agar tidak termakan rayap.

Di halaman, para tukang kebun merapikan tanaman semak agar terlihat artistik. Musim semi dan musim panas adalah musim di mana mereka semua bisa bekerja dengan cukup menyenangkan meski udara kadang menjadi terlalu panas. Setidaknya lebih baik dibandingkan musim gugur yang berangin dan musim dingin yang menusuk tulang.

Tidak pernah ada pesta yang diselenggarakan di Blackmere Park selama kira-kira dua puluh tahun. Marquess terdahulu suka berpesta. Hampir setiap bulan sang marquess mengadakan pesta dan itu sangat melelahkan para pelayan. Sekarang mereka tidak pernah khawatir akan rasa lelah lagi tapi kadang mereka juga merindukan perayaan tersebut sesekali.

Suara sepatu bot yang terdengar nyaring di kesunyian itu menarik perhatian tukang kebun dan pelayan yang bekerja di taman. Raphael Fitzwilliam, sang marquess berjalan sendirian di teras belakang yang terbuka menuju ruang kerjanya. Ia memakai kemeja dengan rompi tanpa cravat. Penampilannya memang selalu tidak resmi tetapi ia tetap terlihat rapi dan menyisir rambut hitamnya dengan sempurna sehingga keangkuhan melekat pada profilnya. Setiap kali ia lewat semua seperti tersihir untuk menyadari keberadaannya, tapi secepat kilat para pelayan tersadar dan berusaha profesional dengan bekerja lebih tekun.

Meski sang marquess tidak pernah mengumumkan secara langsung bahwa ia menginginkan keteraturan dan tidak suka diganggu, mereka semua di sana sudah mengetahui peraturan tak baku itu sehingga para pelayan tidak pernah berbicara apalagi bergosip saat bekerja. Satu lagi, jangan tatap matanya saat berpapasan.

Setidaknya keadaan saat ini jauh lebih baik dibandingkan dulu saat marquess sebelumnya masih hidup. Para pelayan Inggris terkenal akan loyalitasnya. Mereka bangga akan pekerjaan mereka apalagi jika yang mereka layani memiliki gelar kebangsawanan yang cukup tinggi. Kasta mereka berada di atas para pelayan lain yang melayani bangsawan sekelas earl, viscount, dan baron. Maka dari itu pelayan Inggris akan tetap bertahan meski tuannya suka memiliki permintaan aneh, bawel, atau yang paling parah tidak membayar gaji mereka berbulan-bulan. Untungnya marquess saat ini tidak pernah terlambat membayar gaji para pelayan apalagi sampai membuat mereka kelaparan seperti marquess terdahulu. Bahkan mereka mendapat bonus di hari Natal dan juga kompensasi jika mendapat kecelakaan dalam bekerja seperti Norman yang kemarin mematahkan kakinya karena terjatuh saat membersihkan kandelir.

Loyalitas mereka ditambah segala kompensasi itu cukup untuk membuat mereka lupa akan kesuraman dari estat Blackmere beserta pemiliknya.

"My Lord!"

Suara riang itu membuat semua melongo tak percaya. Gilles, si tukang kebun tak sengaja memotong setangkai mawar langka yang mekar setiap lima belas tahun sekali. Selama ini tidak ada yang berani memanggil...apalagi berteriak seperti memanggil kusir kuda semacam itu kepada sang marquess kecuali Lord Derek Vaughan atau Mr. George Sommerby.

Dari arah berlawanan, seorang wanita berambut hitam berjalan dengan cepat sambil memegang roknya agar tidak terjatuh. Mereka mengenalnya sebagai Miss Kaytlin de Vere, salah satu dari dua gadis desa yang baru saja tinggal di Blackmere Park. Semua menonton kejadian itu dengan was-was. Gilles membeku bersama guntingnya, begitu juga dengan kedua temannya yang lain. Hanya Dorie, si tukang sapu yang membuat tanda salib.

Wanita malang...semoga Tuhan melindunginya.

Dan mereka kembali bekerja.

🌸🌸🌸

Jika ada definisi mengenai seseorang yang sangat bodoh dan keras kepala, maka Kaytlin de Vere adalah wujud sempurna dari semua itu.

Raphael baru saja meninggalkan George dan Derek dari tempat berkuda karena ia ingat ada hal yang harus ia urus di ruang kerjanya. Lalu Kaytlin muncul dengan wajah riang tanpa merasa bersalah padahal rasanya Raphael sudah mengingatkan wanita itu berulang kali agar tidak mendekatinya. Untung saja Derek dan George tidak ada di sana.

"Senang bertemu Anda, My Lord. Aku memang berdoa agar bisa bertemu Anda hari ini." Kaytlin berhenti pada jarak dua meter dan tersenyum. Ia memakai gaun satin berwarna hijau pucat bergaya Georgia yang jatuh dengan pas di tubuhnya yang tinggi semampai.

"Begitukah? Omong-omong apakah kau sudah membaca keseluruhan daftar yang kuberikan padamu?"

"Tentu saja," sahut Kaytlin mantap. "Aku membacanya setiap hari, bahkan aku menyimpannya dalam kotak berhargaku agar tidak hilang."

"Kotak berharga?"

"Isinya mungkin tidak berharga bagi orang lain tapi berharga bagiku. Aku menyimpan sisir serta foto Mama di sana, lalu bros hadiah ulang tahunku dari Lisette dan beberapa surat. Kebanyakan pemberian dari orang-orang yang kusayangi."

Seharusnya Raphael tidak bertanya tentang itu karena jawaban dari Kaytlin de Vere pasti sangat konyol sekaligus ambigu. Raphael harus berusaha mengembalikan topik pembicaraan ke jalan yang benar sebelum ia sendiri menjadi gila.

"Kalau kau membaca daftar peraturanku tiap hari tentu saja kau tahu bahwa kau seharusnya tidak membiarkan dirimu berdua saja dengan seorang pria."

"Tapi aku sedang bersama Anda, My lord."

"Aku juga seorang pria, Miss de Vere," terang Raphael tak sabar. Mengapa ia sampai harus memperjelas semua ini?

"Aku tahu itu. Aku tidak pernah menganggap Anda sebaliknya," gurau Kaytlin, tapi karena Raphael bergeming tidak menanggapi, Kaytlin berdeham. "Well, aku hanya ingin bertanya sesuatu hal, tapi sepertinya aku menganggu waktu Anda jadi aku akan menanyakannya saja kepada orang lain."

Menanyakan kepada orang lain.

Kalimat itu menimbulkan spekulasi yang sedikit mengerikan dalam pikiran Raphael mengingat ambiguitas Kaytlin de Vere. Seperti alarm tanda bahaya yang berbunyi nyaring. Kepada siapa wanita itu akan bertanya? Neneknya? Derek? George? Hanya ada tiga orang itu di estat yang kemungkinan besar akan ditanya oleh Kaytin setelah dirinya.

"Apa yang ingin kautanyakan?" Raphael hampir menggertakkan giginya mengucapkan itu. Ia tidak bisa mengambil risiko.

Kaytlin mengurungkan niatnya berbalik. Matanya berbinar-binar. "Jadi Anda bersedia?"

"Cepatlah!"

"Baik. Aku sempat bertanya tentang ibuku kepada Dowager Marchioness. Beliau mengatakan ibuku adalah putri dari Baron of Fauconberg."

"Ya, itu benar. Lalu?"

"Aku mengenal semua tentang ibuku kecuali asal usulnya. Ia tidak pernah menceritakannya pada kami. Aku berpikir mengapa ibuku tidak menyerahkan perwalian kami pada keluarga Baron of Fauconberg padahal mereka masih hidup. Dowager Marchioness tidak tahu terlalu banyak tentang mereka, tapi aku berpikir Anda mungkin lebih tahu."

Dalam ingatan Raphael masih jelas cerita Josephine tentang ayahnya, Baron of Fauconberg dan bagaimana sang baron memperlakukan putri-putrinya sehingga Josephine lebih memilih menghabiskan waktu di rumah bibinya di dekat estat Blackmere dibandingkan tinggal di rumahnya sendiri.

"Kurasa aku mengerti alasan Josephine memberikan perwalian kalian kepadaku."

"Aku sudah menduga Anda pasti tahu!" seru Kaytlin senang.

"Tapi kau tidak akan suka mendengarnya."

"Aku lebih tidak suka membawa rasa penasaran sepanjang waktu."

Pernyataan itu diucapkan dengan lugas dan tatapan penuh harap. Demi Tuhan, Raphael akan memberikan informasi yang tidak menyenangkan.

"Kau ingat aku pernah menyebutkan tentang skandal? Kakekmu bukan hanya tidak merestui pernikahan ibumu dengan ayahmu. Ayah dan ibumu kawin lari. Setelah kejadian itu, Baron of Fauconberg bersumpah ia tidak pernah memiliki seorang putri bernama Josephine Forthingdale. Bahkan ia berkata akan membunuh Josephine jika berani menampakkan diri lagi di hadapannya."

Sesuai prediksi, ada sedikit rasa terpukul di wajah Kaytlin meski wanita itu berusaha keras menyamarkannya. Apa yang Raphael ceritakan mungkin sedikit merusak bayangan Kaytlin tentang kehidupan keluarganya yang bahagia. Tapi ini adalah risiko dari sebuah keingintahuan dan kebetulan Raphael tidak ingin repot-repot menjaga perasaan Kaytlin.

"Baiklah. Kurasa semua itu cukup jelas," akhirnya Kaytlin berbicara setelah terjadi jeda yang cukup panjang. "Boleh aku tahu di mana beliau tinggal?"

"Untuk apa?"

"Aku akan mengunjunginya."

Raphael tak habis pikir dengan itu. "Itu bukan ide yang bagus."

"Kenapa?"

"Tidakkah kau bisa menyimpulkan sendiri? Tidak ada yang bisa kauharapkan darinya," ujar Raphael masam.

"Aku tidak mengharapkan apapun."

"Jadi untuk apa kau ke sana?"

"Mungkin hanya untuk melihatnya saja. Mereka keluargaku."

Raphael mengangkat sebelah alis dengan remeh. "Di sini reputasi lebih penting dibandingkan hubungan darah, Miss de Vere. Kawin lari adalah skandal yang sangat besar dan cukup membuat malu di kalangan para bangsawan. Sang baron mungkin saja akan mengusirmu sebelum bertemu dengannya begitu mengetahui kau siapa."

"Mungkin saja beliau sudah berubah. Lagipula kakek dan nenekku mungkin juga tidak tahu bahwa ibuku sudah meninggal."

"Mungkin. Segalanya masih berupa kemungkinan," Raphael mendengus. "Aku tidak mengerti mengapa kau selalu optimis terhadap sesuatu hal padahal aku sudah menjelaskan kenyataan kepadamu."

"Kalau aku tidak ke sana aku pun tidak tahu reaksinya seperti apa. Seandainya beliau mengusirku pun tidak apa-apa. Itu tidak akan terlalu menyakitkan karena aku tidak pernah mengenalnya," ujar Kaytlin muram.

Raphael menarik napas. Sebagian dari dirinya mencemaskan pemikiran wanita ini. Sebagian lagi mendesaknya untuk masa bodoh dan membiarkan saja. Setelah menemukan akal sehatnya kembali dan mempertimbangkan dari segi kepraktisan, Raphael memutuskan bahwa masalah Miss de Vere sangat tidak penting.

"Dia tinggal di North Yorkshire. Enam jam perjalanan dari tempat ini."

Mata Kaytlin langsung berbinar kembali. "Terimakasih, My Lord."

"Kau tidak akan berterimakasih jika tahu aku bisa saja menjerumuskanmu dengan informasi ini."

🌸🌸🌸

Terimakasih sudah vote dan komen

*Cendrillon karya Charles Perault itu judul asli Cinderella

Continue Reading

You'll Also Like

Perfect Enemy By sita1985

Historical Fiction

1M 85.4K 43
Seri kedua dari perfect series. bagi new reader diharapkan baca Unperfect Love (UL) dulu (Private) Earl of Hemington seorang lord dengan wajah tamp...
Bubat By BulanYasinta95

Historical Fiction

29.4K 4.2K 44
Romansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kec...
475K 53.7K 45
Jenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek buyutnya yang mengidap Dementia. Suatu ha...
6.6K 395 50
Karena kecelakaan kecil yang dialaminya, Dinda terpaksa menjadi pacar kontrak Rifki tepat di hari pertama mereka bertemu. Kehidupan bak opera sabun i...