Mission 21+

Von Kaggrenn

596K 48.9K 9.9K

Raline Arsjad, yang tadinya bertekad untuk husbandfree, dipertemukan dengan pria yang mirip dengannya, Christ... Mehr

p r e f a c e
prolog | a few months later
2 | dying inside
3 | who fell first?
4 | 90s love songs
5 | 2 months remaining
6 | enchanted
7 | anything that happens, happens
8 | what really happens on wedding night
9 | H+1
10 | honeymoon be lyke~
11 | public display affection
12 | itchy
13 | good, good life
14 | ends too fast
15 | hard, hard
16 | prepaid phone service
17 | plan change
18 | rain in the summer
18 | rain in the summer pt. 2
19 | kopi tubruk & pisang goreng
20 | mr. handsy pansy
21 | the brain isn't braining
22 | breaking bone (not the actual bone)
23 | jakartan babies
24 | b for bucin
25 | second of all
26 | highlight of the day
27 | a kind of best day ... for someone else
28 | too much free time is just as bad as too little
29 | sunday fangirling session
30 | the term 'forever' doesn't sound so soffocating anymore, does it?

1 | the beginning

43.8K 2.8K 192
Von Kaggrenn

Dear, pembaca yang baik hati dan tyda sombong, komen di setiap paragraf juseyo~


"Gue punya jodoh buat lo."

Ucapan Ibel begitu menginjakkan kaki di unit apartemen Raline itu sontak membuat tiga perempuan yang sudah lebih dulu berada di dalam menoleh.

"Buat gue?" Ayu menunjuk mukanya sendiri, dengan senyum manis penuh harap.

Sayangnya, Ibel menggeleng. "Raline, Babe. Kalau buat lo, susah. Main gue masih kurang jauh buat nyari cowok mapan spek ustadz. Kenalan gue masih di level 'yang butuh diruqyah sama ustadz'."

"Yaaah ...." Ayu berlagak kecewa, sementara Raline masih melongo cukup lama.

"Kok, gue?" tanya sang tuan rumah kemudian, masih belum paham.

"Bukannya lo minta dicariin jodoh?" Ibel bertanya balik.

Raline masih terbengong-bengong selama beberapa saat lagi, hingga kemudian ber-'ooh' panjang dan mengangguk-angguk setelah Riris juga mengingatkan momen yang terjadi beberapa bulan lalu itu.

Klise. Raline baru saja mengunjungi rumah orang tuanya di Jogja, dan sebagaimana yang terjadi pada kunjungan-kunjungan rutin sebelumnya, dia kembali mendapatkan pertanyaan template, "Kapan nikah?"

Sebagai anak perempuan sulung yang bahkan nggak menyelesaikan pendidikan sarjana, bisa dimengerti jika dia punya pressure cukup tinggi untuk membuktikan bahwa hidupnya baik-baik saja. Tujuh tahun keluar dari rumah, berdiri di kaki sendiri tanpa sepeserpun modal dari orang tua, masih juga kurang dipandang hanya karena dia belum berkeluarga.

Memang, bisa-bisa saja Raline mengabaikan tuntutan itu jika tidak berniat menikah sama sekali. Tapi yang terjadi sebenarnya, Raline tidak menentang ide itu. Sebaliknya, dia mau-mau saja menikah. Kalau saja ada jodohnya.

"Jadi, udah nggak butuh?" Ibel mencecar, seolah sedang terburu-buru.

"Bukan gitu." Raline segera menahan lengan temannya supaya tidak beralih fokus dari dirinya. "Sebenernya, belakangan udah nggak pernah ditanya-tanyain lagi, sejak gue sogok pakai Bentley. Tapi, kalau jodoh dari lo oke, why not?"

Riris—satu-satunya yang sudah menikah diantara mereka berempat—cuma geleng-geleng kepala. Sementara Ayu yang kecewa nggak jadi dikasih jodoh, pilih menyibukkan diri dengan menoel-noel pipi Tiger, batita gembul yang sedang berbaring terkantuk-kantuk memeluk boneka Barney di karpet, anak perdananya Riris yang bentuknya bulat kayak mochi.

Puas melihat antusiasme temannya, Ibel pun mengeluarkan ponsel dan membuka LinkedIn.

"Christian, 33, a VC—Venture Capitalist. Udah sebelas tahun tinggal dan kerja di NYC, tapi sekarang lagi mau bikin firm di Jakarta, dan berencana pindah permanen ke sini."

"Ganteng." Raline langsung oke melihat profilnya.

"Dia mirip lo." Ibel melanjutkan. "Gue udah kenal dan intens contact-an selama setahun. So far, personality oke. Tipikal yang aware what he brings to the table, tapi nggak sampai self centered—tipe lo banget deh. Gue kenalnya dari link terpercaya. Kalau lo Googling namanya, keluar semua silsilah keluarganya, jadi nggak perlu khawatir background-nya fiktif. Dia lagi nyari istri. Kriterianya cuma satu, nggak ngerepotin."

"Yakin, nggak ngerepotin doang cukup?" Ayu menggumam pesimis, padahal Ibel kira, temannya satu itu tidak mendengarkan sejak tadi.

"Ya kalau, visual, attitude, bibit-bebet-bobot mah nggak perlu dicantumin, kali? Udah pasti wajib. Ya, kan?" Riris bersuara, yang segera diamini oleh Ibel.

"Lo udah kasih lihat profil gue ke dia?" Gantian Raline yang bertanya.

Ibel mengangguk.

"Kesan pertamanya gimana?"

"Mau kenal lo lebih jauh."

Selama beberapa saat, Raline meneliti LinkedIn di layar ponsel di tangannya itu. "Ada medsosnya nggak? Ngeri banget, LinkedIn-nya mentereng, tau-tau medsosnya jamet."

"Ada, tapi diprivat."

Raline manggut-manggut, puas. "Oke, deh. Tolong bikinin janji ketemu, ya Bel."


~


Pada hari yang dijanjikan, Raline tiba di lokasi, on time. Bukan untuk membuat kesan pertama yang bagus, tapi lebih karena dia menghargai dirinya sendiri, menghargai waktunya yang berharga.

Sesuai ekspektasi, Ibel memilihkan restoran yang oke. Tidak ramai, dalam artian, jarak antar meja tidak terlalu dekat. Menyediakan menu lokal dan western. Ditambah city light sebagai background.

Hanya satu yang off, tampaknya Ibel lupa reservasi.

"Beneran nggak ada reservasi atas nama Isabelle Tanjung, Mbak?" Mood Raline seketika merosot dari sembilan ke tujuh.

"Benar, Ibu. Nggak ada reservasi atas nama tersebut. Tapi kami masih ada table kosong untuk dua orang."

"Kalau atas nama Christian Dirgantara, atau Raline Arsjad, ada?"

Petugas bagian pemesanan yang dia tanya itu memeriksa daftar miliknya sejenak, dengan lebih teliti. "Mohon maaf, Bu, untuk dua nama itu, nggak ada juga. Mungkin bisa dibantu, tanggal dan pukul berapa mengajukan reservasinya?"

Mana Raline tau!

Agak gondok, Raline kemudian mengambil meja yang kosong itu, sebelum diserobot pengunjung lain.

Sudah dandan cakep-cakep, masa dia harus pulang gigit jari?

"Wait ..." Sebuah pikiran mendadak lewat di kepalanya.

Sekarang sudah lewat lima menit dari waktu janjian.

"Sebelum saya dateng tadi, ada pelanggan datang sendirian, atas nama Christian Dhirgantara, nggak?"

Sekali lagi, sang petugas menggeleng. Mulai merasa tidak enak hati karena tidak bisa membantu.

Pasrah, Raline pun mengangguk-angguk.

"Ya udah deh, Mbak, saya ambil table yang tersisa. Nanti kalau Pak Christiannya dateng, tolong anterin ke meja saya, ya."

Selanjutnya, Raline diantar oleh petugas lain menuju mejanya.

Sambil berjalan, dia memandang sekeliling restoran, berharap muka Christian yang baru sempat dia lihat lewat foto profil LinkedIn itu ada di antara para pengunjung.

Tapi sayang, keterbatasan waktu membuatnya tidak menghasilkan apa-apa. Konyol juga kalau harus celingukan, kan?

Sekian menit duduk, mood Raline semakin turun.

He's ten minutes late now. What an asshole.

Raline kesal, tapi berusaha positive thinking.

Tuh orang baru banget pulang ke Jakarta setelah sekian lama di luar negeri, mungkin kalkulasi waktunya buat menempuh perjalanan masih jelek. Atau mungkin nyasar dikit. Atau kejebak banjir.

Dia putuskan menunggu lima menit lagi sebelum memesan minuman lebih dulu.

Tapi sial, bahkan setelah minumannya tiba, si ganteng jahanam ini belum kelihatan batang hidungnya.

Dengan emosi tertahan, dia mengetik pesan pendek ke Ibel.


Raline Arsjad
Asyem, laki pilihan lo tukang ngaret.
Jijik banget.


Tidak dibalas.

Tidak mengherankan, temannya yang gila kerja itu pasti masih sibuk di kantor.

Sebenarnya, Raline bisa saja langsung menghubungi Christian. Tapi sudah terlanjur turn off.

Semalam, mereka sudah saling contact, dalam rangka memastikan jadi tidaknya pertemuan malam ini. Masa iya, harus dihubungi lagi? Pria dewasa macam apa tuh??

Sialan memang. Harusnya Raline sudah bisa menebak, bahwa di dunia ini memang nggak ada cowok yang worth it untuk diberi perhatian olehnya.

Sudah terlanjur duduk, Raline pun memutuskan sekalian makan saja.

Beberapa puluh menit kemudian, baru juga dia mengunyah beberapa iris daging di piring, sebuah telepon masuk menggetarkan ponselnya dalam tas.

Christian Asshole Dhirgantara.

Dengan malas, Raline menerimanya. Menyahut dengan suara pelan supaya tidak mengganggu pengunjung lain. "Ya?"

"Are you okay?" Shit. Suara baritonnya terdengar seksi. Tapi sayang, Raline sudah membulatkan tekad untuk mencoret pria keparat ini dari daftar. "You didn't show up out of the blue."

Raline sudah siap mengomel tatkala pertanyaan dari Christian menyangkut juga ke otak. "What do you mean? I got here at eight sharp, and am currently munching on my steak."

"Got where?"

Dahi Raline mengerut. Tanpa berpikir, dia menyebutkan lokasi tempatnya berada saat ini.

"But didn't we make an appointment at Henshin?" Di seberang sana, Christian terdengar bingung. "I got here at eight on the dot, and you didn't show up until an hour later. I was so worried something might happen to you on the way."

"Wait a second ...." Dengan cepat, Raline menjauhkan ponselnya demi memeriksa pesan dari Ibel, mengenai reservasi yang katanya telah dia buatkan untuk pertemuan malam ini.

Henshin, Wednesday, 8 p.m.

Untuk pertama kali dalam hidup, Raline mengaku dungu dan pikun. Ingatannya telah tertukar. Lokasi ini adalah tempat pertemuan lainnya, dengan klien, besok, pada pukul yang sama. Sedang malam ini, harusnya dia ke Henshin.

Tuhan ... tolong turunkan hujan badai malam ini.


#TBC



Weiterlesen

Das wird dir gefallen

1.1M 52.2K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
144K 9.1K 20
Jeno, ketua osis yang sangat pintar dan baik hati menikah dengan Mark, kapten basket dan siswa berandalan namun sangat populer.
59.3K 6.3K 11
(Romantic Comedy) Berdasarkan pemikiran unik yang tidak dapat dimengerti siapa pun, Wina rela mengempas jauh-jauh rasa malunya. Hal ini menjadi awal...
124K 9.1K 54
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia