KALA RINDU MENYAPA

Autorstwa RisaliaIcha

101K 13.3K 3.5K

Merindunya, seseorang yang bahkan belum kutahu namanya. Seseorang yang beberapa saat lalu mengobrol banyak ha... Więcej

1. Lagi-lagi, Rindu
2. Gara-Gara Rindu
3. Rindu Itu Berlanjut
4. Rindu Bertemu Kembali
5. Rindu Kesekian Kalinya
6. Rindu Lantai Tiga
7. Rindu Kembali Berulah
8. Rindu Sebuah Rasa Tak Terdefinisikan
9. Rindu yang Bersarang di Sana
10. Rindu Kamu, Mas
11. Momen yang Dirindukan. Tapi Tidak untuk 'Kapan'
12. Sekian Rindu
13. Rindu yang Tertuntaskan
14. Rindu Memulai Kembali
15. Rindu bertemu (calon) keluarga
16. Rindu dalam dilema
17. Rindu Bahagia
18. Rindu Hari Yang Baru
19. Rindu dan Cemburu
20. Rindu dan Kegalauan Itu, lagi
21 Rindu Menjelang Hari H
22. Rindu itu Menyiksa
23. Merindukan Kasih-Mu, Ya Rabb
24. Rindu dan Keputusannya
25. Rindu dan Perasaan Ini
26. Rindu untuk Kedua Kalinya
27. Rindu Hari Yang Tak Bisa Dideskripsikan
28. Menyemai Rindu
29. Rindu yang Halal
31. Rindu, Karena Semua Tak Lagi Sama
32. Mungkin, Tak Ada Lagi Rindu di Hatinya
33. Rindu Tak Lagi Terkejut

30. Rindu yang Mulai Terkikis

2.4K 334 140
Autorstwa RisaliaIcha

🌸
💐
🌸
💐
🌸

Empat puluh hari pertama pernikahan kami telah terlewati. Kata orang tua dan orang-orang zaman dulu, artinya kami telah berhasil melalui hari-hari kritis dalam suatu pernikahan. Katanya juga, empat puluh hari pertama itu, ujian rumah tangga akan begitu dahsyat. Entah mitos, atau memang demikian, tapi yang pasti, aku bersyukur bahwa kami telah berhasil melaluinya dengan baik.

Mungkin karena empat puluh hari pertama adalah masa-masa penjajakan untuk saling mengerti sifat asli pasangan masing-masing. Dan memang benar adanya, kali ini nggak ada lagi kami yang saling jaga imej satu sama lain.

Seganteng-gantengnya Mas Hanif, ternyata ada beberapa kebiasaan lucunya yang baru kuketahui setelah kami menikah. Misalnya saja, saat dia sedang tidur. Pada posisinya yang kurasa nggak mungkin terdistraksi dengan gangguan apapun, nyatanya Mas Hanif justru punya kebiasaan unik. Giginya saling bergemerutuk seperti orang mengunyah es batu. Agak ngeri sekaligus ngilu sih, takut saja kebiasaannya tersebut malah melukai gigi atau mulutnya. Tapi ketika kutanya bagaimana, katanya nggak papa, dan itu sudah biasa sehingga dianggap lumrah. Satu-dua hari pertama mungkin aku belum terbiasa dengan suara gemerutuk itu, sedikit merasa terganggu. Lain sekarang, justru aku nggak bisa tidur kalau nggak mendengar suara itu. Bak alunan simponi lulabi, aku merasa dininabobokkan oleh suara ketukan gigi Mas Hanif tersebut.

Seperti sekarang, aku masih terjaga ketika rasanya kantuk ini sudah mulai menyerang. Mas Hanif belum pulang dari rumah sakit, padahal ia sedang tidak ada jaga malam. Harusnya, kalau normal, pukul lima sore dia sudah di rumah. Bahkan biasanya kami pulang bareng dengan dia yang menjemputku di kantor. Sudah seminggu ini sih, kesibukan Mas Hanif semakin menjadi. Mungkin memang di rumah sakit sedang banyak pasien, apalagi musim nggak tentu kayak gini, sehari hujan, sehari panas benderang, menjadikan imunitas tubuh kadang nggak stabil.

Aku juga nggak berani tanya yang terlalu panjang, karena tiap kali Mas Hanif pulang, wajahnya sudah terlalu letih untuk kuintrogasi bermacam-macam. Esoknya, kami pun nggak sempat ngobrol banyak. Sekadar sarapan, kemudian Mas Hanif nge-drop aku di depan kantor dan dia cabut gitu aja. Bahkan kadang, Mas Hanif malah menitipkanku pada Ical, sedang dia memilih berangkat lebih pagi dengan melewatkan sarapannya.

Sejauh ini, aku berusaha mengerti. Menjadi istri dari tenaga kesehatan memang seperti itu. Sudah bukan rahasia umum bahwa kami memang harus siap mental untuk dinomor sekiankan ketimbang pengabdiannya kepada masyarakat. Pasien nomor satu, itu prinsip dari semua nakes. Aku kudu paham, dan harusnya mengerti akan hal itu.

Tapi, setelah kupikir-pikir, berat juga ya kalau intensitas pertemuan kami nggak lebih dari enam jam per hari. Itu pun, yang bisa ngobrol paling cuma sejam-dua jam, sisanya kami habiskan untuk tidur.

Aku sudah mulai berada pada fase, kok nelangsa ya kalau gini terus. Merasa bahwa menjalani sebagai seorang istri dokter itu lebih berat daripada istri para prajurit yang ditinggal dinas di medan perang.

Namun, semua itu ku kembalikan ketika Nadzira lagi-lagi menasihatiku untuk lebih legowo menerima keadaan ini. Bahwa hidup itu 'sawang sinawang', belum tentu ketika kita melihat orang itu tampak bahagia dengan pasangannya, kenyataannya juga demikian. Pun dengan diri kita sendiri, mungkin kita merasa hidup kita nggak cocok, pengin nyerah, atau merasa bahwa keadaan ini paling susah, tapi siapa yang tahu bahwa di luar sana jutaan orang sangat menginginkan posisi kita.

Alhamdulillah, beruntunglah aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang membawa positive vibes. Merasa disentil karena sudah kufur dengan nikmat yang Allah berikan cuma-cuma ini.

Tugasku kini hanya perlu menjadi support system paling solid bagi Mas Hanif. Semoga memang apa pun yang dilakukan di luar sana menjadikan ibadah dan yang terpenting di ridhoi oleh-Nya.

"Assalamualaikum." Salam berbarengan dengan suara berderit dari daun pintu kamar membuatku menyembulkan kepala dari selimut yang sudah membungkusku tadi.

Senyum diabetes di wajah letih tapi tetap ganteng itu, adalah pemandangan yang kudapatkan.

Aku bangkit, berusaha menyegarkan tubuh yang tadinya tinggal separuh nyawa.

Kuraih punggung tangannya untuk kucium, "Waalaikumsalam warohmatullah," balasku tak ingin kalah balik mendoakan.

"Kebangun ya sayang? Maaf ya," katanya penuh sesal dengan menciumi puncak kepalaku dan mengelus-elusnya.

"Aku emang nggak bisa tidur. Sengaja nungguin Mas," kataku sambil mengambilkan baju ganti untuknya.

"Ck, mesti lho. Kan aku udah bilang, nggak perlu ditungguin, Sayang. Besok kamu harus kerja, ntar yang ada malah kurang istirahat kalau nunggu aku."

Aku hanya menghela napas mendengar aksi protesnya. Sambil membereskan tas dan snellinya, sementara Mas Hanif langsung ke kamar mandi untuk bersih diri.

Berinisiatif untuk membuatkan minuman hangat, adalah satu dari sekian caraku menciptakan quality time versi kami. Mas Hanif baru saja selesai mandi, tepat ketika teh panas yang kubuat sudah selesai.

"Diminum, Mas, biar anget," kataku mengangsurkan secangkir teh hitam dengan gula cukup sepucuk sendok. Mas Hanif tidak menyukai manis, menurutku wajar, tanpa ia mengonsumsi makanan manis pun, segala hal manis sudah tumpah ruah di dirinya. Dari senyumnya, pandangan matanya, aih, aku memang terlalu lebay ketika mendeskripsikan bagaimana mimik ekspresi suamiku.

"Makasih, Sayang. Lagi-lagi kamu selalu nyusahin diri sendiri cuma buat ngeladenin aku."

Aku cuma tersenyum di antara mata yang kian sepat menahan kantuk.

"Tanpa kamu buatin aku teh, dengan kamu masih nyambut aku pulang gini, aku tuh udah seneng banget. Justru malah ngerasa bersalah karena ngebiarin istriku nunggu," katanya sambil merapikan rambutku yang mungkin benar-benar berantakan.

Tolong maklumi, Mas. Aku memang sedang dalam posisi siap tidur, jadi jangan salahkan kalau penampilanku ala kadarnya.

"Aku berantakan banget ya?" tanyaku.

Mas Hanif tersenyum. "You don't know you're beautiful? And yeah, i love you, just the way you are." Lalu kemudian, satu kecupan mendarat di kening, sedikit lama hingga kurasakan hembusan napas Mas Hanif yang begitu menenangkan.

Melayang rasanya.

"Istirahat yuk," ajak Mas Hanif. Sementara aku masih enggan. Meski raga ini sudah nggak kuat untuk terjaga lebih lama, nyatanya hatiku lebih rela untuk kembali berbincang lama-lama.

"I miss you," kataku sambil kemudian memeluknya dengan posesif.

Sekangen itu aku sama lelaki ini. Padahal perubahannya yang begitu drastis baru kurasakan seminggu ini. Entah bagaimana aku bisa beradaptasi dengan siklus hubungan yang seperti ini ke depannya. Tapi yang pasti, saat ini, aku benar-benar merindukannya.

Mas Hanif tersenyum, membimbingku untuk berbaring di sampingnya. Dengan tangan yang tetap memainkan rambutku, dia bersiap menerima segala curahanku kali ini. "Gimana hari ini?" Sebuah kalimat tanya untuk membuka pillow talk kami malam ini.

Aku tahu, malam makin larut, mungkin sebentar lagi hari akan berganti, tapi biarkan aku menikmati waktu berdua kami, sedikit lebih panjang.

"Seperti biasa. Selalu hectic apalagi awal bulan ini. Saatnya closingan, sudah ditagih laporan yang bermacam-macam," ceritaku, mengeluh-kesahkan tentang hari ini.

"Tapi aku yakin, seorang Rindu Amaya Kinasthi, nggak akan mungkin surut semangat untuk melewati hari-harinya."

"Halah! Bisa aja bikin orang seneng," balasku. 

"Loh, aku bicara fakta, Rind. Kamu tahu nggak sih, ketika kita baru pertama kali ketemu. Apa yang menjadikan aku salut sama kamu? Kemudian ada satu klik daya magis yang bikin aku jadi tertarik dan penasaran lebih?"

Aku memicingkan mata, mulai deh, kalau Mas Hanif main tebak-tebakan, pembahasan ini nggak akan kelar dalam hitungan menit ke depan. "Apa emangnya?"

"Kamu cewek, dan mau dinas luar sendirian keluar kota yang cukup jauh? Perempuan tangguh, mandiri, itu kesan pertama yang terlintas. Dan aku kagum banget sih waktu itu."

"Ih masa? Kok lebay sih mas dengernya."

"Terserah sih, hak kamu untuk percaya atau nggak. Yang penting aku udah berhasil dapetin kamu. Dan nggak akan mungkin kulepas selamanya."

"Aamiin, ever after ya, Sayang," balasku dengan setengah sadar. Sepertinya aroma musk yang kuhidu dari tubuh Mas Hanif menghasilkan efek sedatif. Aku selalu tenang ketika ia mendekapku erat dalam posisi tidur seperti ini, menjadikanku ingin segera terlelap dan melepaskan sejenak emosi hari ini.

Selamat dini hari, cinta.

🌾🍃🌾🍃🌾🍃

Seperti kataku kemarin, kerjaan di kantor lagi nggak santai banget. Bawaan orang-orang lagi ngegas melulu. Maklum, lagi peak season gini memang serasa dicekik. Apalagi sedang deadline closingan bulan lalu. Belum lagi annual meeting akhir tahun, bahas apapun keriwehan duniawi yang dialami setahun ini. Laporan akhir tahun, summary pajak, laporan audit, well yeah, nggak cuma itu. Kalau aku sebutin satu-satu, yang ada cerita ini bakal jadi buku agenda meeting divisi FnA yang sedang kupegang.

Pukul dua belas, waktunya istirahat. Aku jadi teringat Mas Hanif, tadi pagi dia berangkat dengan lagi-lagi melewatkan sarapannya. Beruntung aku sempat menyiapkan bekal untuk dia bawa. Kira-kira sudah dimakan belum ya?

Mengusir rasa penasaranku, kuambil ponsel yang semula tergeletak di meja. Melalui akses panggilan cepat nomor satu, kini nggak perlu pusing scroll untuk mencari namanya di phone book terlebih dulu.

Sampai nada sambung terdengar beberapa saat, Mas Hanif belum juga mengangkat telepon. Mungkin memang benar-benar sibuk.

Hingga panggilan ketiga, barulah nada sambung tersebut beralih dengan suara khasnya yang selalu kurindukan setiap saat.

"Assalamualaikum," sapanya di ujung telepon.

"Waalaikumsalam, Mas sudah makan siang belum?" tanyaku nggak pakai basa-basi terlebih dulu.

"Belum, Sayang. Habis ini deh sempetin makan. Baru kelar poli. Setelah ini mau visit bangsal," katanya sambil sesekali terdengar suara lembaran kertas terbuka yang berulang. Pasti Mas Hanif masih memegang kerjaannya. Hhh.

"Sudah jam duabelas, coba diletakkan dulu itu kertas-kertasnya. Dzuhur dulu gih, habis itu segera makan. Baru kemudian lanjut aktivitas" kataku.

"Kamu gemesin banget sih. Pengin nerkam jadinya." Sedang dia malah membalas dengan guyonan. Ck!

"Udah Mas, cepetan sana. Keburu habis jam istirahatnya."

"Aku nggak makan jam, Sayang."

"Ahh embuh lah, Mas. Terserah!" bilangku, berharap dia berhenti bercanda.

"Hahahah, iya ... Iya. Makasih udah diingetin. Kamu juga makan gih, jangan sok-sokan ingetin suami tapi sendirinya nggak makan. Dan yang penting minum obatnya." Mas Hanif balik menceramahiku.

Hhhh, inilah yang membuatku malas sebenarnya. Ketika aku makan, ketika itu pula aku harus ngemil makanan pendampingnya. Semenjak 'kemarin',  tubuhku jadi harus tergantung dengan cemilan pahit ini. Sebenarnya secara fisik aku sudah sehat, hanya saja, dokterku, pun dengan Mas Hanif menyarankan untuk pengobatan lanjutan berupa terapi hormonal. Sekaligus maintanance agar 'si dia' tidak muncul lagi sewaktu-waktu. Kurang lebihnya begitu, sehingga sampai saat ini, aku masih harus terus mengonsumsi cemilan pahit ini.

"Iyaaa, yaudah kalau gitu aku matiin teleponnya ya," pamitku ingin menyudahi, menghindari ocehan lanjutan yang bakal ia lontarkan setelah ini.

"Eh, Rind tunggu ...."

Aku urung menekan tombol merah. "Ya, Mas? Kenapa lagi?"

"Ntar sore pulang ke Mastrip, yuk. Mama nyariin nih. Kangen katanya."

Seperkian detik aku tergugu dalam kelu. Berusaha mencerna setiap kalimat yang baru saja suamiku katakan. Seharusnya aku nggak sekaget ini sih. Cuma tiba-tiba deg aja rasanya. Sebulan ini, ah ... nggak, lebih tepatnya sejak kami menikah, sejak acara tasyakuran di rumah Mas Hanif lima hari setelah akad yang dilaksanakan di rumahku, kami berdua belum lagi ke rumah Mama walau sekadar main, apalagi sampai menginap. Astagfirullah.

Demi Allah nggak ada maksud kami untuk melupakan mereka. Demi Allah juga, nggak ada dendam atau hal-hal yang masih nggak ngenakin hati, atau semacamnya sehingga kami enggan berkunjung ke sana. Tidak. Kesibukan yang nggak bisa dikompromi antara kami berdualah yang menyebabkan kami belum juga sowan ke sana.

"Rind ... Are you still there?" tanya Mas Hanif membuyarkan lamunanku.

"Eh .. oh, okay, Mas. Kamu jemput aku kan?"

"Nah, itu dia sayang yang jadi masalah. Maaf ya, kayaknya kita nggak bisa bareng ke sananya. Kalau kamu ke sana duluan gimana? Aku nyusul."

"Loh, kenapa? Kamu lembur lagi?"

"Iya, Sayang. Aku gantiin si Arab jaga IGD, dia lagi cuti soalnya," jelas Mas Hanif, menyebutkan salah satu nama temannya. "Aku minta tolong Ical buat anterin kamu ke Mastrip deh. Gimana?" lanjutnya, memberikan penawaran lain.

"Nggak usah, aku aja nanti yang minta tolong Ical. Ya udah lah, Mas, see yaa, semangat kerjanya," kataku lesu.

"Rindu ... Hei, maafin aku ya, Sayang. Aku--"

"Assalamualaikum," putusku, mengakhiri sambungan telepon ini.

Kalau memang demikian adanya, ya sudahlah. Tolong ingatkan aku bahwa memang sudah seharusnya aku mengerti bagaimana pola kerja suamiku tersebut. Biasakan agar hal ini menjadi wajar dan lumrah untuk bisa kuterima dengan lapang dada.

Justru menurutku bagus sih, pulang ke Mama tanpa Mas Hanif, semoga memang bisa sebagai bahan pembuktian bahwa aku benar-benar sudah tidak menaruh sakit hati kepada beliau. Aku akan menunjukkan hal itu.

🌾🍃🌾🍃🌾

Sesuai kesepakatan tadi siang, aku akan pulang ke rumah mertuaku di daerah Mastrip. Beruntungnya adikku satu ini mau-mau aja nganterin mbaknya kemana pun. Padahal kuyakin dia pasti capek kerja seharian, apalagi katanya dia lagi ngerjakan proyek gede dari kantornya. Bikin sistem apa entahlah aku kurang paham. Kerjaan IT kan memang nggak jauh-jauh dari software dan printilannya.

"Rencana sampai kapan nginep di Mastrip, Mbak?" tanya Ical ketika mobil sudah mulai melaju.

"Belum tahu, ini juga dadakan Mas Hanif yang minta."

"Emang bawa baju ganti, Mbak?"

Duh, iya! "Lah, iya juga ya, Cal. Terus piye dong?" aku mendadak panik, memikirkan besok ngantor pakai baju apa.

"Ya udah sih, beli aja. Atau pinjem Mbak Tiqa atau Kina, seukuran juga kan kalian," cetus Ical ngawur.

"Ya sungkan sih, Cal. Kamu tuh," protesku. Sementara dia cuma mesam-mesem tanpa dosa.

Aku memainkan ponselku ketika jalanan mulai tersendat. Maklum, rush hour pulang kantor, sudah nggak heran kalau mobil cuma bisa maju satu gas kemudian rem lagi.

Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan WhatsApp kepada Mas Hanif, mengingatkan agar dia nggak lupa kalau malam ini pulang ke Mama. Nggak mengharapkan balasan karena pasti nggak bakal dibalas, sudah pasti dia lagi sibuk-sibuknya jam segini.

Melihat pemandangan kota Surabaya sore hari dari balik kaca mobil, rasanya memang syahdu sekali. Apalagi suasana sore yang berpadu dengan mendung gerimis akan hujan, ditemani oleh lagu-lagu galau yang terputar dari radio dashboard mobil. Cocok banget.

Macet dan lampu merah, perpaduan yang epic sih. Mobil kami makin terjebak dan benar-benar nggak gerak bakal sejengkal. Suara klakson bersahutan menambah bising kesemrawutan dunia ini.

Sebentar .... Tunggu, tunggu.

Aku seperti melihat .... "Eh, Cal, itu mobil Mas Hanif bukan sih?" tanyaku kepada Ical yang lagi serius mengatur perseneling.

"Mana sih, Mbak?" Ical masih memusatkan fokusnya untuk mencari mobil yang ku maksud.

"Itu lho, fortuner putih. Kayak Mas Hanif di dalamnya, tadi dia buka jendela kasih uang ke pengamen itu," jelasku, sambil menunjuk mobil yang berada di sebelah kanan kami agak maju.

Katanya Mas Hanif jaga IGD, kok di luar?

"Yakin itu Mas Hanif? Fortuner putih nggak cuma satu kali di Surabaya. Emang hapal nopolnya."

"Nggak," gelengku. Memang benar sih, mobil tersebut nggak cuma satu, tapi kalian paham nggak sih, sekalipun kita nggak hapal plat nomor mobil sendiri, tapi kita pasti familier dengan bentukannya, pasti ada pembeda dengan mobil lainnya, apalagi itu mobil tiap hari kita pakai, nggak mungkin nggak ngenalin kan?

Dan tunggu lagi ... Eh bentar deh, serius demi apapun, aku melihat bayangan perempuan di samping pengemudi.

"Cal ... Cal, maju dikit. Jejerin mobil depan itu coba," perintahku ke Ical yang langsung dia turuti.

Posisi kami sekarang sudah sejajar, aku mengamati dengan betul dua orang yang berada di balik fortuner putih tersebut. Kaca film pada mobil tersebut memang menjadikan pandanganku terbatas, tapi aku yakin betul bahwa ada satu lagi seseorang di bangku samping pengemudi.

"Mbak, nggak usah mikir aneh-aneh. Jangan drama. Nggak baik suudzon sama suami. Ati-ati loh," kata Ical melanjutkan perjalanan ketika macet sudah mulai terurai.

Mobil tersebut pun melenggang mendahului kami hingga tak terkejar, sementara aku mungkin memang harus membersihkan hati dari segala kecurigaan yang menurutku sudah sangat toksik ini.

Benar, nggak seharusnya aku menaruh rasa curiga terlalu dalam pada suami sendiri. Terlebih sebelumnya dia sudah minta izin dan menjelaskan, bukan?

C'mon, Rind, stop menyakiti hati sendiri.

Astagfirullah, istighfar, Rindu.

________masih setia merindu?_______

Rindu, pas di kantor tadi pagi.







Lavvv
😘😘😘
Chaa~





Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1.6M 76.7K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
377K 43.7K 43
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
699K 2.5K 13
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...