INFINITY FATE

By TyanHardiana

589K 16.2K 210

Adakah orang di dunia ini yang dapat menyetir takdirnya sendiri? Aluna Purnama Djati, gadis berusia 24 tahun... More

PROLOG
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V a
Bab V b
Bab VI
Bab VII
BAB VIII
BAB IX
BAB XI
BAB XII
BAB XIII
PINANGAN
PINDAH LAPAK

BAB X

17.4K 968 13
By TyanHardiana

KOMITMEN

I love you?

Kata-kata itu terus berputar diotakku seperti kaset rusak sejak terakhir kali Erlangga mengataknnya. Aku tidak habis pikir, bagaimana dia dengan mudahnya bicara seperti itu, sementara dia adalah pria asing yang tiba-tiba datang ke dalam hidupku?

Atau mungkin hanya aku yang merasa dia pria asing, sementara sebenarnya aku sudah berada lama dalam putaran hidupnya tanpa kusadari? Jujur aku bukanlah orang yang bisa fokus terhadap banyak hal. Aku hanya memperhatikan segala sesuatu yang aku sukai, diluar itu  semua aku tidak peduli. Aku tak mau ambil pusing.

Lalu bagaimana sekarang dengan Erlangga? Apa benar dia sudah lama mengenalku? Tidak mungkin seorang pria datang melamar tiba-tiba tanpa mengetahui seluk beluk gadis yang akan ia pilih menjadi pendamping hidupnya, bukan?

Aku menggigil mendapati kenyataan kalau saja Erlangga benar-benar mengintaiku secara diam-diam. Tapi kenapa harus aku? Aku tidak pernah bertemu dengannya, kecuali satu minggu yang lalu saat ia datang melamarku.

Suara air yang mengucur dari Shower kamar mandiku menjadi satu-satunya suara yang melayangkan ingatanku pada kejadian dua malam yang lalu.

***

"Seorang pria menikah dengan mempertaruhkan kebebasannya. Sedang wanita menikah dengan mempertaruhkan kesetiaan."

Aku tidak dapat menangkap arah pembicaraan Papa sama sekali. Setelah makan malam tadi Papa tiba-tiba saja memanggilku masuk ke ruang kerjanya. Ini tanda bahwa Papa ingin bicara serius tanpa gangguan dari siapapun.

Diam. Aku masih menantikan kalimat yang akan Papa keluarkan selanjutnya.

"Kebebasan itu sifatnya tak hingga, infinite. Sedang untuk setia dibutuhkan sebuah kesabaran."

Aku mengangguk patuh, mengamini setiap ucapan Papa meski belum menangkap poin utamanya. Suara dering telpon dari ruang keluarga sayup-sayup masih dapat ku dengar dari tempatku duduk.

"Jika seorang pria telah menyatakan diri untuk berkomitmen, itu artinya ia sudah siap kehilangan kebebasannya. Kuharap kamu tahu maksud Papa," ujar Papa selanjutnya yang membuatku melongo. Bahkan dua kalimatnya yang sebelumnya saja belum tuntas ku cerna. Aku mengalami stress yang cukup berat seminggu menjelang hari pernikahan dadakan ini hingga mampu menurunkan kinerja otakku.

"Tidurlah, besok kamu akan melewati hari yang sangat panjang," pungkasnya begitu saja bahkan sebelum aku sempat menyela untuk memberi jawaban.

***

Suara kenop pintu yang bergerak membuat lamunanku tentang pembicaraanku dengan Papa kemarin malam buyar. Bau sabun yang segar menguar bersamaan dengan munculnya sosok Erlangga dari kamar mandi. Pesta baru saja selesai sejam yang lalu. Dan disinilah kami sekarang. Di dalam kamar dengan sisa-sia tenaga setelah dihajar lelah selama sehari penuh.

Gaun pengantin yang ku kenakan saat resepsi tadi sudah tergantung manis di tembok sampingku. Aku ngeri sendiri melihatnya. Setengah takjub karena aku dapat melewati hari ini dengan gaun broken white itu menempel di tubuhku nyaris sepanjang hari.

"Ehem!"

Aku tahu, itu hanya suara deheman yang sengaja dibuat oleh Erlangga. Mungkin semacam sinyal yang ia berikan bahwa ia sudah berada dalam ruangan yang sama denganku.

Hei, kenapa harus mengkode semacam ini setelah kami duduk berdampingan selama satu hari penuh? Benar-benar aneh!

Aku terpaksa menoleh ke arah ranjang dan mendapati mata sepekat malam milik Erlangga tengah menatapku. Tatapan macam apa itu? jangan menatapku seperti itu, aku takut! Mama, tolong!

Oke. Keep calm, Luna.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku datar setelah berhasil mengendalikan suasana hatiku. Aku masih tetap waspada dengan kemungkinan-kemungkinan yang menjubel dalam otakku. Dia orang asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku. Suamiku, pria halalku, pria asing.

Dia masih tetap diam. Bergeming di tempatnya. Aku mulai kesal. Oke.

"Erlangga, jawab!" teriakku beberapa saat kemudian, merasa tidak tahan ditatap seperti itu.

Diluar dugaanku, dia malah sibuk tertawa sampai berguling-guling di atas kasur. Dasar gila!

"Apanya yang lucu?" aku merajuk sekarang. Menjauh dari meja rias dan menuju kamar mandi. Aku lupa, tadi belum gosok gigi saat mandi.

"Luv, kamu mau kemana?" tanyanya balik menyadari aku beranjak dari tempatku. Aku tidak menanggapi dan melanjutkan jalan ke arah kamar mandi. Salah sendiri membuatku kesal.

***

Aku keluar dari kamar mandi setelah melakukan aktivitas rutinku. Gosok gigi dan membersihkan mukaku sebelum tidur. Saat aku membuka pintu kamar mandi, Erlangga terlihat sedang duduk di pinggiran kasur dengan tatapan siaga. Apa yang sedang ia rencanakan.

"Kenapa lama sekali ke kamar mandinya?" ucapnya begitu aku duduk di sisi lain kasur. Aku menaikkan alisku heran. Apa maksudnya dengan 'lama sekali'nya itu? Aku tidak menyuruhnya untuk menugguku selesai dari kamar mandi.

"Kenapa?" tanyaku balik dengan tak acuh.

"Tidak apa-apa. Ku kira kamu marah tadi, hehe," dia tersenyum salah tingkah.

"Aku ngantuk. Aku mau tidur dulu," ujarku kemudian. Bersiap menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku.

"Tunggu..." cegahnya ragu. Aku memutar bola mataku malas.

"Apa lagi?" ujarku cuek.

"Nah kan, beneran ini kamu marah. Kenapa Luv, aku ada salah sama kamu? Cerita dong!" cercanya panjang lebar.

Dalam novel-novel roman yang pernah kubaca, tidak begini harusnya malam pertama kami sebagai pengantin. Harusnya kami dilanda rasa canggung berkepanjangan karena kami dua orang asing yang baru saja bertemu. Tapi, bahkan aku tidak menemukan diriku merasa canggung atau apapun. Aku merasa biasa saja. Ini aneh. Sangat. Oke.

"Aku ngga apa-apa. Lebih baik kita tidur sekarang. Aku udah capek banget ini," jelasku sambil menghadap ke arahnya. Dia masih bergeming di pinggir kasur.

"Kenapa? Kamu nggak berniat buat tidur cepet?"

Heran sekali aku dengan kelakuannya yang seperti ABG itu. malu-malu tapi sebenarnya pengen. Ck!

Dia tersenyum canggung kemudian menaikkan tubuhnya ke atas kasur sepenuhnya.

"Ku kira kamu nggak bakalan mau tidur seranjang sama aku. Pria aneh dan nyaris gila yang tiba-tiba melamar kamu," ujarnya sambil berbaring menyamping menghadapku.

Aku berjengit dalam hati. Bahkan dia tahu kalau aku memanngilnya dengan sebutan pria gila. Maaf, suamiku. Hiks.

"Kalau aku seperti itu, lalu untuk apa aku masih bertahan dan tetap menikah dengan kamu hari ini?" tanyaku balik.

"Lalu kenapa kamu mau menikah denganku? Kamu bahkan bisa kabur bersama pria impianmu dan hidup bahagia dengannya," dia berkata sedemikian dengan bola mata yang menjelajahi wajahku. Mendadak aku merasakan wajahku menghangat.

"Aku tidak tahu," ujarku jujur. "Aku hanya mengikuti kata hatiku, selain menuruti keinginan orang tuaku." Lanjutku balas menelusuri wajahnya.

Mataku berhenti cukup lama pada lekukan bibirnya. Bibir yang dipahat sempurna. Bibir yang telah mengucapkan ijab untuk menikahiku. Bibir yang telah memasangkan sebuah pengikat tak kasat mata pada hidupku agar selalu tertaut pada pemiliknya. Dia. Erlangga.

"Jadi..." dia terdengar sengaja menggantungkan kalimatnya. Meminta perhatianku, sepertinya. Aku kembali menggulirkan dua bola mataku. Menatap ke dalam bola mata sepekat malam miliknya.

"Sebenarnya hatimu pun berperan?" aku mengangguk.

"Kamu harus berterimakasih kepada Papaku."

"Aku selalu mempunyai banyak alasan untuk berterimakasih kepada kedua orang tuamu."

"Papa yang berhasil meyakinkanku untuk menikah denganmu," gumamku dengan wajah menunduk. Kali ini mataku bertumbukan dengan dada bidangnya yang berlapis piama warna biru telur dengan gambar-gambar abstrak.

"Oh ya?" Aku mengangguk.

"Apa yang membuatmu yakin untuk menikahiku?" tanyanya lagi, kali ini terdengar tidak sabar.

"Papa bilang, pria yang mau berkomitmen adalah pria yang dengan sadar siap kehilangan kebebasannya," aku mendongak lagi. Menatap mata hitamnya, yang entah sejak kapan mulai kusukai.

"Hanya itu?" tanyanya tak percaya. Aku menggeleng.

"Aku tidak akan membaginya denganmu," ujarku cuek lalu memutar tubuh membelakanginya. Aku tidur dengan memeluk gulingku.

Tak lama kurasakan ranjang sedikit bergoyang. Ada panas yang menyebar di punggungku. Sebuah tangan melingkari perutku tanpa permisi, menyusul dengan kepala yang disurukkan ke tengkukku. Nafas panas Erlangga menyebar disana, membuatku menggeliyat tidak nyaman.

"Saat kamu memutuskan menerima lamaran seorang pria dan menjadi istrinya, saat itu kamu harus siap berbagi dengannya," bisiknya dengan suara berat.

"Tidurlah dengan posisi yang benar," gerutuku dengan kesal. Aku tidak dapat mengatasi degup jantungku yang tiba-tiba menggila. Aku tidak mampu menangapi ucapannya lagi.

Aku tidak tahu, kenapa banyak pria suka berdebat dengan wanitanya? Euy~ seperti aku wanitanya Erlanga saja. Oh-oke, memang benar. Aku istrinya sekarang, ck!

"Ini sudah benar, Nana," ujarnya dengan suara berat, setengah mengantuk. Aku menegang. Aku tidak pernah suka dipanggil dengan sebutan itu. aku tidak tahu kenapa. Yang jelas aku tidak suka dipanggil seperti itu.

Aku menyentakkan tangan Erlangga dengan keras. Dia terlihat bangkit dan duduk bersila.

"Kamu kenapa lagi, Luv?" geramnya tertahan. Aku diam saja tanpa merespon. Dia membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Aku menangkap kilat tidak sabar dari matanya,

"Apa lagi yang salah?" ujarnya ketus.

"Aku tidak suka panggilanmu!" jawabku dingin.

"Panggilan? Panggilan yang mana?" dia terlihat kebingungan.

"Aku tidak suka dipanggil—" aku bahkan tidak sanggup mengatakannya. Aku merasakan dadaku tiba-tiba sesak. Mataku terasa panas.

"Apa? Dipanggil apa? Luv?" dia melembutkan nada bicaranya. Aku hanya menggeleng. Aku ikut bangkit dan duduk menghadap ke arahnya.

"Lalu?"

"Yang barusan kamu pakai,"

"Na-"

"Jangan lanjutkan lagi, kumohon."

Dia terdiam agak lama. Mematung. Terlihat tidak percaya. Aku juga tidak percaya dengan diriku sendiri. Aku juga tidak tahu mengapa aku bersikap seperti ini. Sudah ku bilang, kan. Aku tidak tahu.

"Astaga, Luv. Maaf. Aku tidak tahu," ujarnya penuh penyesalan. Yang ku tahu selanjutnya adalah dia membawaku ke dalam pelukan hangatnya. Untuk pertama kalinya kami berpelukan sebagai sepasang suami istri. Aku merasa nyaman dan berada di tempat yang tepat.

"Jangan memanggilku seperti itu lagi," ujarku setengah merajuk masih dalam dekapan dada bidangnya. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang bergerak cepat, seirama dengan detak jantungku sendiri.

Dia mengangguk sekali lagi. Mencium puncak kepalaku. Mataku otomatis terpejam menikmati perlakuannya.

"Aku mau menikah denganmu karena kamu adalah lelaki pertama yang menawarkan komitmen padaku disaat banyak lelaki di luar sana memuja kebebasan," jelasku setelah hening sesaat dengan wajah yang ku sembunyikan dalam pelukannya.

Aku mendengar dia terkekeh, dengan badan yang bergetar. Aku tidak suka itu.

"Jangan menertawakanku!" sungutku sambil memukul punggungnya yang masih dalam pelukanku.

Setelah beberapa menit yang menyebalkan, dia berhenti tertawa dan menciumi puncak kepalaku lagi sambil menggumamkan kata-kata cinta.

"Aku bener-bener cinta sama kamu, Luv," bisknya lirih di telingaku sebelum menjatuhkan tubuhku untuk rebah di atas kasur.

"Aku sudah mendengarnya," ujarku tanpa mau melihat matanya.

"Dan aku menunggu balasannya," tukasnya yang membuat tubuhku kaku beberapa saat. Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa padanya. Aku hanya mengangguk untuk menenangkan hatinya.

"Kuharap, aku juga dapat mendengar pernyataan cinta kamu buat aku, suatu saat nanti," ucapnya lembut dengan tatapan mata yang dalam, menembus sanubariku. Seakan meyakinkan, bahwa aku akan mengatakannya cepat atau lambat.

Aku merasakan sapuan nafas hangat Erlangga menghempas pipi. Membuatku merasakan gelanyar panas yang menjelar hingga ke setiap inchi tubuh. Aku menggeliat lagi. Tidak nyaman. Aku harus segera keluar dari keadaan ini, bagaimanapun caranya.

Aku membuka mata perlahan. Kabar buruknya, mataku langsung bersiborok dengan mata sepekat malam milik Erlangga. Aku menelan ludah gugup.

"Kuharap juga seperti itu," ujarku lirih dengan tatapan mengelilingi langit-langit kamar, menghindari tatapan matanya. Erlangga berbaring tengkurap disamping tubuhku, dengan wajah berada diatasku persis.

"Terimakasih," ucapnya setengah berbisik, lalu mengecup keningku dalam. Lama. Aku merasakan perasaan tenang dan penuh. Hatiku terasa penuh dan hangat.

Aku tersenyum saat dia menarik wajahnya dari atasku.

Kurasakan jari-jarinya yang panjang membelai pipiku. Menelusuri rahangku dengan tulunjuknya. Aku diam saja, tidak berani menolak. Aku tidak bisa menolak keinginan suamiku sendiri. Jadi aku diam, memejamkan mata, pura-pura menikmati.

"Terimakasih karena sudah menjadi kado terindah dalam hidupku," bisiknya sesaat setelah kudengar sayup-sayup lonceng jam besar yang  terletak di ruang tamu rumahku berdentang sebanyak dua belas kali.

Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya. Aku mencoba-coba menerka maksudnya dengan menyelami tatapan matanya. Dia hanya tersenyum lembut lalu bangkit dari posisi tengkurapnya.

Mau tak mau, aku ikut bangkit dari posisi tidurku dan menyandarkan tubuhku ke kepala ranjang.

"Apakah ada yang aku lewatkan atau aku lupakan?" tanyaku kemudian. Dia hanya tersenyum, tapi aku dapat melihat kilat kesedihan dan kecewa dalam mata malammnya itu.

"Mungkin ini salahku, mendadak hadir dalam hidup kamu. Melamarmu dan menikahimu secara paksa," aku mengangguk membenarkan.

"Seharusnya kita bisa seperti pasangan normal yang lainnya, saling mengenal dulu satu sama lain, lalu mulai ke tahap berikutnya," dia mengenggam tangaku.

"Tapi aku takut, kamu tidak mau melewati tahap-tahap seperti itu bersamaku. Aku tahu, aku tidak pernah ada dalam daftar ketertarikanmu, aku tidak pernah ada dalam jangkauan hidupmu, kurasakan akan sedikit sulit," dia menunduk, wajahnya terlihat menyesal sekali.

Aku merasa jahat karena membuat lelaki yang sudah dihalalkan untukku ini menanngung begini banyak rasa penyesalan karena menikahiku secara paksa dan tiba-tiba.

Tapi aku sadar. Aku bukanlah tipe orang yang mau melakukan sesuatu hal yang tidak kusukai. Bagaimanapun juga, aku telah mengikhlaskan hidupku untuknya setelah kata-kata sah menggema disetiap lorong rumahku.

Dia menatap mataku. Lama. Dalam.

"Maaf jika aku harus memaksakan diri untuk memasuki hidup kamu seperti ini, Luv."

Aku tersenyum. Berusaha menjadi pendengar yang baik untuk suamiku. Tapi akhirnya dia diam dan tak berkata-kata lagi. Mungkin dia memberiku kesempatan? Baiklah, kita coba.

"Semua usaha yang kamu lakukan tidak akan sampai pada titik ini, jika tidak ada campur tangan Tuhan. Kamu sudah sampai sejauh ini, mungkin memang inilah yang Tuhan tuliskan untuk hidup kita. Kita ditakdirkan untuk bertemu dan hidup bersama dengan cara yang tidak biasa. Aku percaya pada takdir Tuhan. Itu cukup menjelaskan."Aku membalas genggaman tangannya.

Sedikit demi sedikit, aku mulai menyakinkan diriku sendiri bahwa ini lah kebenarannya. Dia adalah pria baik-baik yang Tuhan takdirkan untuk ku miliki. Aku tidak mau terlalu memikirkan dahulu tentang alasan dia memilihku, atau tentang persiapan pernikahanku yang mendadak tapi bisa tertata rapi seakan telah disiapkan sejak lama. Aku tidak mau memikirkan semua itu dulu. Aku ingin menata hatiku, menata hidupku bersama Erlangga terlebih dahulu.

Kami terdiam beberapa saat. Hanya saling memandang, dengan pikiran masing-masing.

"Luv..." dia yang pertama kali memecah keheningan.

"Eum, mungkin ini salahku juga. Mungkin ini juga sedikit memalukan, tapi aku ingin kamu tahu," dia terdengar hati-hati dengan pilihan katanya, terkesan tidak mau dipermalukan atau dijatuhkan. Jadi aku memasang wajah pengertian kepadanya.

"Ini-ini-ini sudah Jam dua belas lewat," aku mengerutkan keningku bingung sekarang. Kemana dia akan membawa pembicaraan ini.

"Ya?"

"Sudah berganti hari," tambahnya. Aku mengangguk. Dia terlihat gemas sekarang.

"Kamu ingat tanggal berapa pernikahan kita?"

Aku mengambil ponselku yang ada di nakas sampingku. Membuka aplikasi kalender untuk memastikan. Tidak salah. Tanggal 9 November kan? Hari minggu?

"Sembilan November?" tanyaku, lebih seperti mencari pembenaran dari Erlangga. Dia hanya mengangguk.

"Jadi, tanggal berapa sekarang?"

"Sepuluh?" kontan aku menjawab. Dia mengangguk.

"Oh? Hari pahlawan?" pekikku tertahan. Untuk apa ia mengingatkan hari Pahlawan saat kami membicarakan rumah tangga kami? Ck.

"Sebenarnya..." dia menunduk. Tidak berani menatapku. Kenapa dia bisa bertingkah seperti gadis perawan yang malu-malu?

Hei, disini aku yang memerankan gadis perawannya!

Oh? Oke. Lupakan tentang perawan.

"Ini hari ulang tahunku juga," ujarnya lirih lalu masuk kedalam selimut secepat kilat.

Aku melongo melihat tingkah Erlangga yang seperti itu. Oh-oke. Tadi apa? Dia bilang ulang tahun? Astaga? Ya ampun. Jadi dia? Oke.

Aku ikut membaringkan tubuhku tepat disampingnya. Dia memunggungiku, jadi aku harus menghadap ke arahnya. Bukanah dengan seperti itu dia meminta ucapan selamat dariku?

"Selamat ulang tahun," ujarku kemudian dengan suara tenang. Kuselipkan doa-doa dalam diamku untuk dia, pria halalku, imamku.

Dia membalik tubuhnya hingga berhadapan denganku. Dengan senyum lebar.

"Terimakasih, sudah lama sekali aku memimpikan ini. Istriku akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat padaku. Terimakasih, Luv." Dia mengecup keningku dan secara reflek aku memejamkan mata.

"Maaf, aku belum ngasih kado apa-apa. Aku tidak tahu—"

"Bukankah sudah ku bilang, kamu kado terindah dalam dua puluh sembilan tahun hidupku? Kamu penyambung nafasku. Kamu separuh jiwaku yang telah kembali. Itu saja sudah cukup. Aku tidak minta kado yang lain, cukup kamu menjadi istriku," potongnya segera. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Tapi, jika mau, kamu bonusin jadi ibu dari anak-anakku, aku akan lebih bahagia," tambahnya cepat yang membuatku melongo seketika.

Ibu dari anak-anakku?

***

ps: Hai, I'm back again!! >.<  spesial ku tulis buat kado ulangtahunnya Erlangga yang ke-29 *udah tuir yee? hahaha. ya udah lah ya biarin. Harusnya ini ku post tadi malam, tapi karena sibuk ngehebohin "Mas beralis badai tralala" dilapak tetangga, jadi nggak sempet update heuheu. 

Oke. aku seneng banget udah mulai ada yang nge-vote ceritaku. ini tandanya, keberadaan cerita Aluna-Erlangga ini kedeteksi kan keberadaannya sama kalian? heuheu.

And last, aku nggak bosen-bosennya ngingetin dan nggak akan pernah malu buat malak Vote dan coment dari kalian semua yang udah berkenan baca cerita absurd ini. jadiii, ku tungguu Vote dan Coment kalian. makasiihh *kiss

--morlz407--

Continue Reading

You'll Also Like

993K 104K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
6.8M 337K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.1M 54.4K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
258K 35K 41
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...