Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Tragedy's

3.1K 292 12
By askhanzafiar

Eits! Mau ke mana? Bintangnya dulu jangan lupa, ya! ✨
Hargai karyaku untuk karya-karya baru selanjutnya, InsyaaAllah 💚.

Happy reading 🖤.

Aku menunggu Muhzeo sore ini. Katanya dia sedang ada jam pelajaran tambahan. Tak apalah. Lagipula aku juga sedang malas di rumah.

"Dira." Panggilan dari suara yang tampak nge-bass berhasil membuatku menoleh.

Pupil mataku sedikit melebar. Bibirku sudah bergetar akibat melihat siapa yang datang.

"E–eh, i–iya, Kak Marshal" napasku nampak memburu dengan badan yang sedikit gelisah. Rasanya aku seperti ingin mati di tempat saja saat ini.

Mulutku terbungkam, tapi hati terus-menerus melantunkan doa. Mataku tak lepas dari ikatan tali sepatu. Beruntunglah aku memakai kalung Tere yang sudah diberikan doa-doa oleh Paman. Ini bukan sebuah kemusyrikan. Namun, upaya ini kulakukan agar tubuhku kuat dan sehat. Kalau tidak salah pada kalung ini terdapat bahan magnetic hematite stone yang dapat memberikan efek relaksasi agar lebih membantu daya tahan tubuh, menenangkan jiwa dan juga pikiran. InsyaaAllah, fisikku akan lebih terjaga sehingga tidak ada makhluk halus yang dengan mudah mendekatiku.

"Ikut saya, yuk!" Ia spontan menarik tanganku.

"Eh, Enggak bisa! Maaf." Spontan aku menyentak tangannya dan melihat ke sekeliling yang mulai sepi.

Dahinya sedikit mengernyit. Bibirnya setengah tersenyum. "Enggak apa-apa, kok! Saya mau ajak kamu ke tempat yang bagus," ujarnya tak patah semangat.

Napasku sedikit memburu. Aku tetap menggelengkan kepala. "Enggak, Kak!" tekanku sekali lagi

Rahangku terkatup dengan sedikit muncul perasaan was-was karena sedari tadi ia mencoba untuk menarik tanganku.

"Ayo, udah ikut aj–"

Brugh ....

"Mau lo apa, sih?" Seseorang datang menghantamnya.

Kak Marshal tersungkur dan memegang wajahnya yang sudah memar. Pukulan yang dilayangkan oleh Muhzeo nampaknya terlalu keras dan membuat si empunya wajah kesakitan.

"Lo siapa? Datang-datang seenak jidat langsung mukul?" Lawan bicaranya nampak tak terima. Satu tangannya sudah menarik kerah baju milik Muhzeo. Tangan lainnya terkepal dengan kuat dan bersiap untuk menonjok lelaki di depannya itu

"Lo yang siapa?! Gua pacarnya Dira!"

Deg ....

E–eh?

"Huh? Dira enggak punya pacar! Lo enggak usah ngaku-ngaku!" Matanya semakin memancarkan aura kemarahan. Wajahnya mulai memerah sekarang.

"Kalau enggak percaya, tanya aja ke dianya!" Muhzeo setengah tersenyum seraya melirikku.

Tatapan mata Kak Marshal terarah padaku. "Benar apa yang dikatakan dia?" tanyanya

Napasku sedikit tertahan dan aku mengangguk perlahan.

Dengan cepat, ia langsung melepaskan tangannya dari kerah baju milik Muhzeo.

"Maaf, gua enggak tau." Ia membenahi bajunya yang telah acak-acakan. Rambutnya sedikit basah akibat suasana panas yang baru saja terjadi.

"Menurut gua, kalau lo mau dapetin Dira, gak usah pakai pelet!" Ucapan Muhzeo itu terdengar sangat santai dan tetap mempertahankan wajah datarnya.

Hal itu tentu membuat Kak Marshal terlihat melebarkan matanya.

"Ma–maksud lo?" Suaranya terdengar agak terbata.

Muhzeo melipat lengannya di depan dada. "Gua sudah tau kelakuan busuk lo, kok! Gua dan Dira sama-sama punya indra keenam. Mustahil banget kalau kami enggak bisa melacak apa yang dilakukan seseorang dengan ilmu hitam seperti lo." Ia merangkulku dan sedikit mengelus kepalaku.

Muhzeo mengajakku berjalan. Namun, saat dia berada di samping persis telinga Kak Marshal, ia pun berkata, "Lebih baik jangan pakai pelet. Daripada satu sekolah tau. Gua aja yang enggak pakai apa-apa bisa mudah dapatin dia, kok." Ia menggenggam tanganku dengan erat  dan mengajakku untuk pergi meninggalkannya.

Kepalaku tiba-tiba saja menunduk. Pikiranku tak lagi mengingat soal kejadian tadi. Namun, pikiranku tak lepas dari perkataan Muhzeo yang benar-benar membuatku penasaran. Apa betul aku ini pacarnya?

"Kenapa melamun?" Pertanyaan darinya membuat bola mataku bergerak dengan cepat.

Aku menggeleng dan berusaha untuk tidak menatap matanya. "Soal pacar tadi, ya?" tanyanya lagi.

"E–eh?" Kepalaku terangkat dengan mata yang langsung tertuju pada mata hazelnya. Aku sedikit skeptis  dan mempertahankan posisiku untuk tetap menatap matanya secara intens.

"Oh, itu sebagai penyelamat aja biar dia gak ngedeketin lo lagi." Ucapannya terdengar agak santai dengan wajah yang masih sangat datar.

Aku menghela nafas agak berat sembari merutuki perasaan aneh yang selalu muncul saat sedang bersamanya. Seharusnya aku tidak berharap lebih. Karena kenyataannya kami berdua hanyalah sahabat. Sepertinya kalau dilihat-lihat dengan saksama, hanya dirikulah yang mengharapkannya.

Ia nampak melepaskan helmnya kembali dan ditaruh di atas motor sebagai penopang dagunya. Tangannya menyentuh daguku dan mengangkatnya perlahan. Pandangan kami saling bertemu. Tubuhnya sedikit dicondongkan ke depan.

"Tapi kalau lo beneran mau jadi pacar gua, it's ok. Gua malah beruntung banget." Ia nampak sedikit menyelipkan poni panjangku di belakang telinga. Senyumnya mengembang dan membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

Mulutku sedikit terbuka. Aku menatapnya dengan sangat tidak percaya. Ia masih mempertahankan kontak matanya dariku.

Saking gugupnya, aku menggigit bibir dan mulai tersenyum kaku. Kurasa ini seperti mimpi.

"So?" Ia sedikit memberiku ruang untuk untuk menjawab.

Tanganku masih bergetar. Sepertinya dia paham akan kondisiku yang sedang tak stabil.

"Enggak usah grogi. Santai aja." Ia mengelus puncak kepalaku sembari tertawa. Barulah tawaku bisa ke luar bersamaan dengan rasa gugup yang tak dapat dikondisikan dengan baik.

"A–ah! T–tau pemeran yang suka jual kue di Boboiboy, enggak?" Pertanyaan randomku membuatnya sedikit memiringkan kepala dan menyipitkan mata.

"Boboiboy? Sebentar ...." Ia nampak menatap ke arah langit.

"Gopal?"

"Eh, bukan! Tebak lagi."

"Atok?"

"Itu penjual coklat, Ze!"

"Yaya?" Aku mangut-mangut sambil tersenyum.

"Kenapa memang dia?" Pertanyaannya langsung membuat wajahku seketika flat. Apa dia sama sekali tak mengerti maksudku?

Muhzeo masih menatapku dengan bingung sebelum akhirnya ....

"Ya ampun, maksud lo jawabannya iya, gitu?" Ia sedikit memekik senang dan melompat di tempat.

Tangannya sudah direntangkan. Namun, aku langsung menyilangkan tangan di depan dada.

"Masih di area sekolah! Sembarangan aja." Tawaku sedikit ke luar dengan dirinya yang langsung menggaruk kepala.

"Ya udah langsung balik, yuk!" Ia memakai helmnya kembali sembari menyerahkan helm kepadaku.

Hari pertama dibonceng oleh seseorang yang tak lagi berstatus sebagai sahabat. Namun, lebih tepatnya sebagai seorang pacar. Degup hatiku seperti tak berhenti menari-nari.

Di saat bahagia seperti ini, tentunya tak dapat dipungkiri jika tetap akan ada hal ganjil yang kulihat. "Ze, berhenti, Ze!" Tanganku menepuk pundaknya dengan ringan.

"Ada apa?" Ia langsung menepikan motornya ke dekat bahu jalan.

"Tuh!" Tanganku menunjuk ke arah sebuah peristiwa yang baru saja terjadi.

Saat itu, terlihat kecelakaan bus besar yang ditumpangi oleh anak TK yang sedang tur studi. Aku dapat menebaknya dari bagian depan bus yang memperlihatkan sebuah spanduk besar.

Dengan sedikit agak ketakutan, spontan aku menelan ludah dan tetap memberanikan diri untuk melihat pemandangan yang sangat naas di hadapanku.

Dari berita yang kudapat dari seorang Ibu, ada dua puluh dua murid dilarikan ke rumah sakit. Terdapat dua orang luka berat, tiga diantaranya koma, dan dua lainnya meninggal dunia.

"Tapi Neng, itu berita dua jam yang lalu. Berita sekarangnya .... " Si Ibu menarik napas untuk melanjutkan ceritanya kembali.

"Mereka semua sudah tidak bisa diselamatkan."

Deg ....

Aku dan Muhzeo mulai berpandangan dan melihat ke arah bus yang dipenuhi dengan anak-anak. Mereka terlihat sedang bermain-main tanpa beban, menaiki bagian bus yang terbalik dengan merangkak, dan memutarkan kepalanya ke segala arah dan juga tersenyum menyeringai. Tak ada yang dapat dilihat selain ke seramannya.

"Terima kasih banyak atas infonya, Bu." Kami berdua langsung tersenyum dan berpamitan untuk pulang.

"Sami-sami, Neng."

Aku dan Muhzeo masih menatap ke arah truk terbalik yang sudah tak terbentuk itu. Namun, kondisi Bus yang ditabraknya masih terlihat setengah utuh. Ada harapan yang kuselipkan agar anak-anak kecil yang tak bersalah itu tenang di alam sana.

Terakhir kulihat, arwah sang supir yang otaknya telah mencuat sedang memeragakan Persis seperti orang menyetir. Dia duduk di trotoar yang dilalui banyak orang. Ia hanya dapat menoleh ke kanan dan kiri tanpa berucap apapun.

Kami langsung meninggalkan tempat itu sesudah mengirimkan surah Al-Fatihah. Di perjalanan kali ini, aku tak mau banyak bicara. Karena sedari tadi yang aku dengar adalah suara lari kencang. Larinya itu seperti mengejar motor yang kutumpangi ini.

"Lo dengar?" Muhzeo nampak bersuara dengan cukup keras agar dapat didengar olehku.

"Iya dengar. Berisik sekali!" sahutku yang sedikit terganggu dengan suara larian tersebut.

Kami menepi di sebuah pinggir jalan karena tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sembari turun, aku menoleh ke arah kanan dan mendapati seorang anak kecil yang berseragam sama dengan sekolah tadi tengah menatapku dengan wajah muram.

"Kak!" panggilnya dengan suara yang sangat lembut.

Aku dan Muhzeo melihatnya dengan miris. Wajah yang semula menggemaskan kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan. Bajunya telah sobek dengan darah yang bercucuran. Rambutnya tinggal sebelah kanan saja.

"Kenapa orang-orang tidak bisa lihat aku? Kasian, Kak, aku sama teman-teman. Ibuku tadi datang. Ku pikir ia ingin menjemputku pulang. Tetapi kenapa ia malah menangisiku? Kemudian ia pergi dengan mobil putih yang bunyinya 'ngiung-giung'. Kak, guruku juga begitu. Dia menangis terus saat kutanya kami kenapa. Sebenarnya ini ada apa? Kenapa hanya kalian berdua saja yang dapat melihat kami?" Suaranya terdengar sangat lugu. Dari nada bicaranya, terlihat sekali kalau dia sangat bingung.

Aku berlutut seraya menangis. Anak sekecil dan selucu ini harus meninggalkan dunia dengan begitu cepat. Walau kutahu, kelucuannya sudah tak dapat tergambarkan lagi.

"Kenapa kakak menangis?" tanyanya yang langsung mendekat dan berniat untuk memelukku.

"Loh, kenapa aku tidak bisa memegang kakak? Ini ada apa?" tanyanya dengan kening yang sedikit berkerut.

"Kata Mamahku, yang tak bisa dipegang oleh manusia itu hanya hantu. Apa jangan-jangan kalian hantu, ya?" Antara bingung mau menjawab dan ingin tertawa, aku hanya bisa menunduk dengan Muhzeo yang langsung ambil alih pembicaraan.

"De, kamu mau ke tempat yang indah, tidak?" Muhzeo berlutut untuk menyejajarkan tinginya dengan anak kecil itu.

"Mau, Kak. Memang di sana ada apa saja? Apakah ada permen? Gulali? Balon?" tanyanya dengan nada yang sangat riang.

Tangisanku kini mulai tumpah.

"Di sana ada pohon rindang. Kamu bisa minta apapun, loh! Ada air terjun dan sungai-sungai yang jernih juga." Muhzeo terus tersenyum. Ia sedikit menolehkan kepala kesana-kemari untuk memastikan kalau tak ada orang yang memperhatikan kami. Karena kalau itu sampai terjadi, maka kami bisa disebut orang gila karena berbicara pada sesuatu yang tak nampak.

"Aku mau, Kak!" Tubuhnya melompat-lompat tangannya terayun dengan sangat gembira.

"Kamu pejamkan mata, ya!" Perintah dari Muhzeo itu dilakukan dengan baik olehnya.

"Bismillahirrahmanirrahim." Muhzeo mulai membacakan doa-doa dengan perlahan.

Anak kecil itu sedikit mengerang dan akhirnya menghilang.

"Alhamdulillah, semoga kamu bisa ke tempat yang kamu inginkan itu, ya." Muhzeo berdiri kembali sembari membersihkan celananya yang telah kotor oleh debu jalanan.

Aku masih mempertahankan posisi semula. Tanganku masih menutup wajah erat-erat.

"Udah yuk, kita pulang!" Ia menyodorkan tangannya, berniat untuk membantu.

"Hiks ... ta–tapi kasian hiks .... Dia ma–masih kecil hiks .... Dia lucu banget. Aku gak tega." Suaraku masih terbata akibat tangis yang tak kunjung mereda.

"Nangisnya jangan di sini. Nanti dikiranya gua macam-macam sama lo. Gak enak juga dilihat orang." Ia menarik tanganku yang kini tengah berusaha berdiri.

Senyumnya mengembang ke arahku. "Sudah jangan sedih lagi." Ia sedikit membenarkan tatanan rambutku.

"Dah, naik lagi, ya!" Ia memakaikan helm lagi ke arahku. Tatapan matanya begitu lembut. Baru beberapa menit kami pacaran, wajahnya yang lebih sering datar itu kini tergantikan dengan senyuman hangat.

👀

"Ekhem! Roman-roman kasmaran, nih!" Paman terlihat sedang duduk di teras rumahnya sembari membaca majalah.

Sapaanku langsung hangat ke arahnya. Jelas saja kalau tak sedikitpun aku merasa terkejut akan ucapannya. Cenayang paman memang tak akan pernah melesat.

"Paman, Muhzeo balik dulu, ya."

"Hati-hati nak"ujar Paman saat Muhzeo telah berhasil menyalakan mesin motornya.

"Assalamualaikum, Paman, Dira." Ia langsung menjalankan motornya menjauhi perkarangan rumahku.

"Dira, tadi kedua orang tuamu pergi melayat teman Papahmu yang baru saja meninggal. Kalau kakakmu ikut les sampai jam tujuh malam. Kamu mau di rumah sendiri atau di rumah paman saja? Kebetulan bibi habis buat rolade asam manis kesukaanmu." Aku sedikit mengernyitkan dahi dan melirik melirik ke arah rumahku.

Hal ganjil yang selalu membuatku resah tiba-tiba saja hadir memenuhi pikiran. Apalagi hari sudah menjelang Maghrib. Akhir-akhir ini banyak kejadian mistis yang terjadi di dalam rumahku. Walaupun di dalam kamar aku tak diganggu, tetapi kalau di luar kamar tetap ada suara berisik dan cekikikan, bagaimana aku tidak merasa takut?

"A–aku ke rumah paman saja, deh!" Tanpa basa-basi lagi, aku pun masuk dan membuka pintu pagarnya

Saat aku memasuki rumahnya, hawa positif memang akan selalu memayungi rumah ini. Sejak kecil, aku sangat betah bermain di sini. Walaupun belum pernah kuceritakan sebelumnya pada kalian, 'kan?

Rumah ini sederhana namun terasa sangat luas. Ditambah dengan rasa nyaman dan sejuk tanpa pendingin ruangan. Bahkan kipas sekalipun. Berbeda jauh dengan rumahku.

"Hei, Nduk!" Sapaan dari Bibi membuatku tersenyum dan menghampirinya untuk bersalaman.

"Lama kamu ndak main ke sini? Apa kabar? Maaf, ya, bibi belum sempat melihat kamu," ujarnya sambil mengelus kepalaku.

Karena sekolahku yang berangkat pagi pulang sore, tentu hal tersebut membuatku sulit untuk bertemu dengannya. Kalau malam, Bibi tak pernah ke luar rumah. Alasannya sungguh klasik, "Perempuan yang baik itu tidak ke luar malam-malam apalagi sendirian."

Ya, Bibi adalah sosok muslimah yang sangat patuh terhadap ajaran agama.

"Alhamdulillah, baik. Bibi apa kabar juga? Maaf, ya, Dira juga sedang banyak tugas. Jadi, gak sempet main ke sini," jawabku sambil tersenyum.

Tubuhnya agak condong ke depan. "Alhamdulillah, Bibi juga baik. Kalau ada tugas ekonomi yang susah, ke sini saja. InsyaaAllah, bibi bisa bantu."

Kalau boleh kuceritakan, beliau adalah lulusan sarjana ekonomi dari salah satu PTN ternama. Kemampuan menghitungnya sudah sangat tak dapat diragukan lagi.

"Iya, Bi, InsyaaAllah. Nanti kalau Dira punya uang segepok tolong dihitung, ya." Aku terkekeh sembari menutup mulut karena malu.

Ia ikut tertawa dengan tangan yang menepuk pundakku, "Ada-ada saja kamu Nduk–"

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....

"Alhamdulillah, sudah masuk waktu sholat. Dira sholat dulu, gih! Bibi sedang berhalangan." Tangannya langsung mencari-cari keberadaan remot dan langsung mematikan televisi.

"Kamu wudhu saja. Bibi siapkan mukena dulu." Ucapannya yang benar-benar penuh kelembutan itu berhasil membuatku mengangguk dan tersenyum.

Kalau di rumah Paman, kami biasa berwudhu menggunakan air dari toren penampungan air. Di sana sudah ada tempat wudhu khusus terpisah antara lelaki dan perempuan. Keluarga kami ini keluarga besar. Jadi setiap lebaran, pasti banyak yang berkumpul di sini.

Selesai berwudhu, aku melaksanakan sholat di kamar Bibi. Di dalamnya aku merasa benar-benar tentram. Kalau sedang sholat di sini, aku lebih suka berlama-lama karena doa yang kupanjatkan bisa lebih khusyuk. Oh iya, di dalam rumah Paman, aku tak pernah sedikit pun aku bertemu makhluk menyeramkan.

"Assalamualaikum warahmatullah ... assalamualaikum warahmatullah .... "

Sudah kukatakan kalau rumah ini adalah rumah yang sangat kusukai kalau sedang berdoa. Tenang, sepi, dan sunyi.

"Aamanar-rosuulu bimaaa unzila ilaihi mir robbihii wal-mu'minuun, kullun aamana billaahi wa malaaa'ikatihii wa kutubihii wa rusulih, laa nufarriqu baina ahadim mir rusulih, wa qooluu sami'naa wa atho'naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal-mashiir."

Aku menoleh perlahan. Siapa yang membaca Al-Qur'an semerdu itu? Setahuku Paman selalu pergi ke masjid untuk menjalankan sholat fardhu. Suara itu adalah suara lelaki. Mana mungkin bibi yang membacanya dengan selantang itu. Setahuku, Bibi hanya punya satu anak lelaki, tetapi bukan anaknya dengan Paman. Melainkan anaknya dengan suami pertamanya. Lagi pula, dia tidak pernah ke sini. Dia tinggal bersama dengan ayahnya di Magetan.

"Laa yukallifullohu nafsan illaa wus'ahaa, lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat, robbanaa laa tu'aakhiznaaa in nasiinaaa au akhtho'naa, robbanaa wa laa tahmil 'alainaaa ishrong kamaa hamaltahuu 'alallaziina ming qoblinaa."

Aku mulai membuka pintu kamar dan melongok ke arah luar. Sepi dan tidak ada siapapun. Kalau didengar dengan baik, sepertinya suara mengaji tersebut asalnya dari kamar Paman yang pintunya sedikit terbuka. Aku mengintip untuk beberapa saat.

"Robbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thooqota lanaa bih, wa'fu 'annaa, waghfir lanaa, war-hamnaa, anta maulaanaa fanshurnaa 'alal-qoumil-kaafiriin."

Lelaki itu berbaju putih panjang. Ia memakai sorban di kepalanya. Ah, mungkin saja memang itu Paman yang sudah pulang. Namun, mengapa suaranya berbeda?

"Kamu ngapain, Dira?"

"Astaghfirullah, Paman!" Aku sedikit syok saat dirinya menepuk pundak dari arah belakang.

"L–loh, kalau ini paman, i–itu si–siapa?" Mulutku sudah sedikit gemetar.

Paman tersenyum ke arahku sembari menggelengkan kepalanya. "Siapa suruh kamu melongok ke dalam sana? Itu jin baik, kok. Makanya jangan masuk atau intip kamar orang tanpa permisi." Paman hanya bisa tersenyum sembari mengelus kepalaku.

Aku terkekeh dan jadi merasa tak enak hati. "Maaf, Paman. Dira enggak bermaskud lancang. Habisnya Dira penasaran dengan suara bagusnya, Paman."

"Loh, kenapa?" Terdengar suara Bibi yang menghampiri kami. Sepertinya ia baru saja kembali dari dapur.

"Enggak apa-apa, kok. Masakannya sudah siap?" tanya paman sambil menyambut uluran tangan Bibi yang hendak menyaliminya.

"Alhamdulillah, sudah. Dira mau makan, ya?" Bibi tersenyum ke arahku.

"Ambilkan saja! Itu kan makanan kesukaannya dari dulu. Saya yakin dia enggak akan mungkin bisa menolaknya," goda Paman sambil tertawa.

"Ih, Paman, ada-ada saja. Boleh, deh, Bi. Maaf jadi merepotkan, Bi" ujarku yang baru sadar kalau belum melepaskan mukena yang dipakai.

"Tidak apa-apa, Dira. Jarang-jarang kamu ke sini. Malahan Bibi senang, kok." Lagi-lagi ucapan Bibi benar-benar lembut dan membuatku selalu tenang jika berada di dekatnya.

"Ayo, ke meja makan! Makanannya sudah siap tinggal disantap," ajaknya sembari merangkulku.

Ia mempersilakanku untuk duduk. Tangannya mulai lihat menuangkan es jeruk peras ke arahku. "Maaf ya, seadanya."

Aku terkekeh dan mengambil lauk saat nasi yang kutaruh terasa cukup. "Enggak apa-apa, Bi. Aku senang bisa makan makanan kesukaanku," sahutku.

Kami mulai membaca doa terlebih dahulu sebelum makan. Suasana sangat hening hingga hanya sendok dan garpu saja yang sedikit berisik.

Seusai makan, aku berinisiatif untuk mengambil piring kotor dan membawanya ke tempat pencucian piring. "Ndak usah dicuci, Nduk. Biar Bibi saja." Bibi terlihat menghampiriku.

"Enggak apa-apa, Bi. Dira sudah numpang makan, masa enggak sekalian dicuci?" Aku menuang sabun di atas spons cuci piring.

"Yowes. Matur suwun, ya, Nduk." Ia tersenyum sembari mengelus kepalaku.

"Sama-sama, Bi."

Selesai mencuci piring, aku langsung bergabung dengan Paman dan Bibi yang sedang duduk di sofa. Saluran televisinya selalu tentang dakwah. Tak jauh-jauh dari ajaran Islam.

"Assalamualaikum." Salam seseorang dari luar membuat kami langsung menoleh.

"Waalaikumussalam." Bibi beranjak pergi untuk membukakan pintu.

"Eh, Kenan? Ayo, masuk!"

"Ditanya ada, Bi?"

"Ada di dalam, kok."

Seseorang yang datang ternyata Kak Kenan. Ia menggelengkan kepala ke arahku. "Ya Allah, Dir, aku cariin dari tadi ternyata kamu di sini?" Kak Kenan terlihat menarik napas lega. Ia tersenyum sambil menyalimi Paman dan juga Bibi.

"Loh, katanya kakak les sampai jam tujuh. Makanya aku gak beri kabar ke siapa-siapa," sahutku seraya beranjak dari kursi.

"Iya tadi niatnya begitu, tapi gurunya ada urusan mendadak. Jadi sekarang sudah pulang. Paman, Bibi, maaf ya jadi merepotkan."

"Enggak apa-apa, kok, Nan. Kayak sama siapa aja deh kamu, tuh? Oh iya,  kamu sudah makan belum? Makan dulu sini. Ada rolade, tuh!" Paman memperlihatkan rolade yang masih tersisa di meja makan.

"Alhamdulillah, Kenan sudah makan tadi sebelum pulang. Malah Kenan bawakan makanan untuk Dira. Sudah makan, ya, Dir?" tanya kak Kenan yang langsung membuatku mengangguk.

"Roladenya enak banget. Kak Kenan gak mau nyobain?"

Kak Kenan menggelengkan kepalanya sembari mengelus kepalaku. "Udah kenyang, sih. Kalau belum juga Kakak coba."

"Yowes ndapapa. Lain kali ke sini lagi, ya. Biar Bibi buatkan lagi." Bibi tersenyum ke arah kami berdua.

"Kalau begitu, Dira dan kak Kenan pamit dulu, ya. Terima kasih makanannya. Dira suka banget, hehehe." Aku terkekeh sembari menunjukkan dua jempol.

"Sama-sama. Main ke sini lagi, ya." Paman pun membukakan pintu pagarnya.

"InsyaaAllah. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

To be continued ✨

Continue Reading

You'll Also Like

596K 63.2K 58
Horor - Thriller Bagaimana jika seorang indigo bertemu dengan psikopat? Dan bagaimana jika psikopat bertemu dengan indigo? Seperti inilah kisahnya...
37.8K 8.5K 83
sisi lain dari diriku ternyata banyak. ada beragam jenis karakter yang hidup dalam diriku. Pada akhirnya, aku sendirilah yang menjadi teman terbaik u...
34.3K 1.1K 40
Kisah tentang keluarga dan seorang pengasuh yang diteror oleh hantu penjaga anak kecil.
39.9K 8.8K 22
Sad ghost 3 - Genre : Horor Comedy. ________ Takdir membawa Agnes harus kembali bertemu dengan hantu-hantu konyol dari kalangan SAD GHOST dimensi 3...