Clugams #1: and The Cursed Cl...

amateurflies tarafından

16.8K 1.8K 381

Semua berawal ketika Kai mulai merasakan ada yang janggal dengan peraturan di sekolah asramanya. Ketika Ryan... Daha Fazla

Prolog
1. Pembagian Lencana
2. Suara Aneh
3. Aksa Hilang!
4. Mulai Janggal
5. Sistem Peraturan
7. Lo Siapa?
Lencana Clugams
8. Anthem
X Anathema Cast
INFO
open member

6. Kelas Terkutuk

895 158 25
amateurflies tarafından

"Siapapun kalian, kalian harus tahu kalau Anathema itu kelas terkutuk!"

• • •

Berlari keliling lapangan outdor Clugams yang luasnya super luar biasa itu, ditambah lagi panasnya terik matahari yang terasa benar-benar memanggang di kulit, membuat penderitaan anak-anak X Anathema hari ini benar-benar sempurna. Iya, sempurna menyiksanya! Andai saja sejak awal mereka tahu kalau akan ada Bu Jessica yang tiba-tiba datang ke kelas di waktu yang tak terduga, mungkin mereka semua akan membuat pilihan seperti Bahis, Rangga, dan Manda. Yang tidak ikut bermain mesin bertanya di depan kelas.

Keringat sudah membasahi dahi sampai seluruh tubuh mereka. Bagi laki-laki harus berlari sebanyak sepuluh kali. Sedangkan perempuan separuhnya.

"Tahu gini, mending hari ini nggak usah masuk sekalian!" keluh Ryan yang sudah mengambil posisi tepat di bawah AC. "Mana nggak boleh minum, lagi. Kan kering tenggorokan."

"Penyesalan, mah, dateng di belakang. Kalau di awal namanya pendaftaran!" timpal Kai.

"Jam berapa sekarang? Bel istirahat masih lama, ya?" tanya Catra, yang langsung ditanggapi oleh Rangga.

"Masih lima belas menit lagi kalau buat kita."

"Lah, tapi tadi kayaknya gue liat udah banyak orang di kantin?" heran Aksa.

"Tunggu, tunggu. Maksudnya apa 'kalau buat kelas kita'?" sela Tara, yang memang sama sekali belum membaca buku peraturan khusus kelasnya. Jangankan untuk membaca peraturan, datang saja tadi ia telat, kan?

Tak lama Dio menyodorkan sebuah buku berukuran kecil pada Tara. "Baca aja, tuh. Semua ada di situ. Lengkap."

"Tra, Yan." Dengan isyarat mata, Kai menunjuk pintu.

Catra dan Ryan langsung mengerti. Ryan mengangguk, melepaskan lencana yang terkait di dada kirinya. Sedangkan Catra awalnya menolak. Tetapi akhirnya melepas lencananya juga, karena Kai langsung merangkulnya paksa untuk ikut keluar kelas.

🎯

Kantin dipenuhi oleh anak-anak Kudoscha, terlihat dari lencana emas yang menempel di seragam mereka semua. Semua berbaris rapi mengantri untuk mengambil makanan secara bergantian yang disediakan seperti prasmanan. Dengan berlagak seperti anak-anak kelas Kudoscha, Kai, Ryan, dan Catra ikut berbaris dengan membawa nampan yang di atasnya sudah terdapat piring.

"Anjir, makanannya enak-enak banget!" desis Ryan, norak. "Tapi apa anak-anak nanti sajiannya begini juga, ya?"

"Pastinya nggak-lah. Makanya lo ambil yang banyak, Yan. Biar sampe kenyang," balas Kai, yang berdiri di depan Ryan dengan intonasi yang juga berbisik.

Hanya Catra yang tidak bicara. Namun diam-diam, ia merasa tidak betah dengan semua ketidakadilan yang terjadi di asrama ini. Karena tidak mungkin kan, setiap hari ia harus mengandap-ngendap menjadi anak kelas lain, supaya bisa mendapat sajian makan siang yang enak? Tidak mungkin juga hal ini bisa ia diamkan selamanya.

"Lencana kalian mana?" Pikiran Catra membuyar, saat tiba-tiba saja ada salah satu Chef yang bertanya pada mereka bertiga, dan pertanyaan itu mampu mengundang perhatian anak-anak yang lain, hingga banyak pasang mata yang tertuju pada mereka.

Ryan yang sedang kebagian berdiri tepat di hadapan chef itu, seketika gelagapan sendiri karenanya. Sampai kemudian syukurlah ada Catra yang membantunya memberi alasan, dan juga Kai yang berhasil mengalihkan permbicaraan.

"Kai. Bukannya tadi kita titip lencana di lo?"

"Ah, iya, punya gue juga ketinggalan. Ntar-ntar diambil. Gue mau makan dulu, soalnya masakan chef-nya enak banget. Ini resep rahasianya apa, chef? Kayaknya kalau saya makan cumi balado juga di rumah, rasanya nggak pernah seenak ini. Pasti ada resep rahasianya kan? Kayak Mr. Krab?"

"Bukan resep rahasia. Cuma saja cumi yang kami masak ini dipanggang dulu selama beberapa detik, sebelum diolah."

"Wah, pantes aja! Besok-besok menunya yang lebih enak lagi, ya, Chef!"

Setelah berhasil dialihkan fokusnya oleh Kai, bapak yang umurnya berkisar 40 tahunan itu kembali ke dapur saat rekan sesama chefnya memanggil.

"Lo bertiga udah di sini aja? Udah abis pula makanannya. Kapan makannya?"

"Sssssttt!" Dengan pelototan tajam mengarah pada Zydan yang barusan berseru, dengan memosisikan jari telunjuk di tengah bibirnya, Kai berdesis.

Tak lama Zydan datang, Aksa dan anak-anak kelas Anathema lainnya menyusul dengan membawa nampan makan siang masing-masing.

"Menu makan kelas kita hari ini apa?" tanya Catra.

Sambil mengambil posisi duduk di meja yang sama dengan Catra, Ryan, dan Kai, seketika semua menengok piring masing-masing.

Termasuk Emil yang sekalian menjawab, "Nggak tahu, nih. Abstrak gini bentuknya."

"Makan ajalah, daripada kelaperan," cuek Luhan, yang disetujui oleh Aksa.

"Iya. Kita udah bayar mahal-mahal sekolah di sini, masa iya buat beli makan tiap hari masih harus ngeluarin duit juga buat beli roti. Rugi!"

Makin janggal. Entah kenapa Catra semakin merasa sangat janggal dan berpikir ada yang tidak beres dengan segala yang terjadi di Clugams. Tidak terkecuali dengan sistem peraturan yang masih saja diberlakukan walau jelas sistem itu sangat tidak adil bagi setiap kelas, lebih-lebih kelasnya sendiri.

🎯

Malam itu, di saat mungkin anak-anak yang lain telah larut di alam mimpi masing-masing, Catra, Kai, dan Ryan masih terjaga. Tidak ada hal penting yang mereka lakukan. Namun hanya saja malam itu, mereka bertiga benar-benar tidak bisa tidur terutama Catra. Yang hingga akhirnya ia memilih untuk menyuarakan isi kepalanya dalam bentuk tanya.

"Lo berdua ngerasa aneh nggak, sih, kenapa dari sekian banyak kelas, cuma kelas kita yang mendapat perlakuan nggak adil di asrama ini?"

"Jelaslah," sahut Ryan. "Gue sampai nggak bisa tidur, nih, sekarang gara-gara kepikiran itu. Mikirin

"Nggak perlu ditanya." Kai menimpali. "Tapi lebih aneh lagi, gue nggak habis pikir sama Kakel kita. Angkatan-angkatan kelas kita yang sebelumnya. Kelas XI – XII. Gimana bisa mereka diem aja diperlakukan se-nggak adil ini. Kenapa mereka nggak memberontak dan malah betah-betah aja, nggak keberatan makan makanan absurd tiap harinya."

"Apa mungkin... Bagi mereka makanan-makanan itu rasanya enak?"

Di saat Ryan menggantungkan kalimatnya, Catra dan Kai kompak mendengarkan dengan serius. Sampai saat Ryan menyambung lagi, saat itu pula ekspresi kesal tak terelakkan di wajah mereka. Lalu dengan polosnya Ryan malah bertanya, "Kenapa kalian kayak kesel gitu? Emang bener, kan? Selera mulut orang itu beda-beda. Bagi kita nggak enak, belum tentu bagi mereka. Iya, nggak?"

Dengan menahan gemeletukan di gigi, Kai mendekati Ryan dan merangkulnya. "Eh, Yan, gue bilangin, ya. Makanan kita itu udah nggak bisa dibilang makanan lagi. Rasanya udah kayak racun, tahu nggak? Pait, asem, nggak enak. Tampilannya juga jember."

"Eh, Kai, sekarang gue tanya, ya. Emangnya lo udah pernah makan racun? Sampe tahu rasanya gitu?" tanya Ryan santai, yang kemudian merangkul balik.

Sehingga alhasil, jadilah mereka rangkul-rangkulan, namun dengan emosi yang terpendam dari sisi Kai. Sekeras mungkin Kai berusaha untuk menahan gemeletukan di giginya. Karena kalau sudah sekali tonjok, bisa terjadi perang dunia ke seribu di tengah malam begini. Yang dahsyatnya bahkan beribu kali lipat mengalahkan perang dunia pertama dan kedua!

"Oke, kalau soal makan emang selera orang beda-beda. Tapi gimana soal waktu istirahat kita yang sebentar? Waktu masuk kelas kita yang lebih cepat? Terus fasilitas kamar dan toilet sekolah yang bobrok nggak layak pakai lagi? Masa iya mereka terima-terima aja?" Ujaran panjang Catra yang serius, kembali lagi membawa suasana serius di kamar itu.

"Ck!" Kai melepas kasar tangannya dari bahu Ryan. Sejenak ditatapnya Catra dengan raut serius. "Perlu nggak, sih, kita cari tahu soal ini?"

"Nggaklah. Nggak usah. Ntar yang ada malah nambah masalah dan kelas kita semakin didiskriminasi sama pihak asrama," putus Ryan yang tidak mau ambil pusing.

"Menurut gue kita harus cari tahu. Apapun resikonya. Karena yang namanya ketidakadilan nggak boleh diabaikan," tandas Catra.

"Iya, gue ngerti Tra maksud lo. Tapi⸻" Seketika ucapan Ryan terhenti, saat tiba-tiba sebuah nada dering yang tak asing di telinganya terdengar menginterupsi.

Tidak hanya Ryan, bahkan Catra dan Kai yang mendengarnya juga merasakan hal yang sama. Sehingga kemudian ketiganya langsung saling melempar tatap sekarang. Seperti mereka pernah mendengar nada itu, namun dulu sekali. Sampai-sampai mereka lupa kapan tepatnya.

"Nada dering apaan, tuh? Kayak pernah denger gue," ujar Kai.

"Oh, ringtone ponsel jadul itu, mah." Sejenak Ryan berupaya mengingat. "Nokia! Iya, gue inget banget jaman dulu bokap gue pernah pake, ringtonenya begini!"

Tidak banyak bicara, langkah Catra langsung tergerak untuk mencari tahu dari mana sumber suara itu berasal. Terdengar semakin jelas, ketika ia berjalan mendekati ranjangnya sendiri.

Perlahan Catra mengambil posisi jongkok, yang kemudian diikuti oleh Kai dan Ryan. Kolong ranjangnya yang gelap, membuat mereka dengan mudahnya mendapati cahaya kuning persegi yang bersinar terang di tengah-tengah kolong yang mereka tengok.

Catra mengambilnya dengan satu tangan yang ia julurkan semaksimal mungkin, setelah itu mereka memerhatikan benda itu dengan aneh, terkecuali Ryan.

"Tuh, kan bener Nokia! Ciri khas banget dia mah ringtone-nya dari dulu," seru Ryan saat sudah melihatnya dari dekat di tangan Catra.

Tiba-tiba Kai tertawa. "Ada, ya, ponsel setebel ini! Punya lo, Tra?" selorohnya yang disertai tanya.

Sementara Catra di sisi lain, dari tadi terdiam memandang aneh sebuah ponsel keluaran jadul itu yang dapat ia pastikan sudah tidak produksi lagi bahkan semenjak dirinya dilahirkan. Karena saat ini pun dengar-dengar perusahaannya mengalami kebangkrutan meski dahulu pernah menjadi perusahaan ponsel terbesar di Indonesia.

Ponsel tebal berantena itu masih berdering nyaring. Tak ada nomor ataupun nama kontak yang tertera di sana. Yang ada hanya tulisan 'Panggilan: Nomor tak dikenal'.

"Ini bukan punya gue," gumam Catra.

Ryan dan Kai mengernyit heran menatap Catra yang tampaknya cowok itu juga merasa bingung dengan keberadaan benda kuno yang masih terus berdering itu di kolong tempat tidurnya.

Sampai akhirnya Kai menyarankan, "Yaudah, coba diangkat aja dulu. Mana tau panggilan penting buat si pemiliknya."

"Iya angkat aja, angkat. Kerasin suaranya biar kita bisa denger." Ryan menambahkan.

Dengan ragu, akhirnya Catra tetap menekan sebuah tombol yang menyala hijau di sana dan menyalakan mode loud speaker.

Awalnya hanya suara gersak yang memekak telinga mereka. Tetapi selang sesaat, terdengar deru napas berat seorang laki-laki layaknya habis berlari marathon berkilo-kilo meter jauh tanpa jeda.

Dalam bayangan Catra, Kai, dan Ryan sama. Seseorang itu seperti sedang berlari menghindari sesuatu, lalu mencari tempat sembunyi.

Cukup lama mengatur napas, akhirnya seseorang itu mulai bicara. "Siapapun kalian, kalian harus tahu kalau Anathema itu kelas terkutuk!"

Be Continued...

Udah tekan bintang yang disudut bawah?

Kalau udah, kalian dapet angka berapa?

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

5.4M 367K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
3.9M 229K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.3M 235K 58
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
551K 45.1K 29
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...