Me vs Papi

By Wenianzari

39.7K 5.4K 1.6K

Kisah sederhana namun rumit dari mereka yang menjadi satu-satunya. Tentang Asterion Helios yang menjadi orang... More

Pulang
Satu April
Sebuah Harap
Ketika Durenes Baper
Minggu Manis
Kenapa - Karena
Hari Bahagia
Pundak Ternyaman Kedua
Dua Pagi
Menjenguk
Jealousy
Tujuan
Kencan
Don't Leave Me
Welcome to My House
Moment Langka Rion
Dinner
His Everything
Telling a Secret
Pengakuan
Bitter - Sweet
Perasaan Membingungkan
Karena Papi Berhak
Hallo Om Ganteng
Double Date?
Lost Control
Promise me
Terima Kasih dan Maaf
Morning Drive
Ketakutan Terbesar
Don't Mess With My Daughter
Crying Sobbing
Last Chapter; Me vs Papi
Bonus; Belum Terbiasa

Peluk Untuk Pelik

2.2K 256 78
By Wenianzari

Aku mendekap mu
Saat sedang tidak baik-baik saja
Kedepan nya
Dekap aku jika kau merasa demikian


***

"Temani saya. Ini perintah." Adalah kalimat yang Rion ucapkan untuk menahan Noushin supaya tidak pulang meskipun tugas nya sudah selesai, ya sebab dia sudah menyuruh anak gadis nya tidur.

Pria itu membawa Noushin menyusuri jalanan dengan mobil audi merah yang sengaja dibuka atap nya. Sekiranya ada tiga puluh menitan yang Rion habiskan untuk berkendara tanpa tau arah tujuan nya kemana. Membuat Noushin sedikit bingung bercampur kesal. Tapi, dia hanya bisa diam. Karena terlalu takut jika protes hanya akan mengancam pekerjaan nya.

Wanita itu memilih bersandar pada bagian belakang kursi penumpang sambil sesekali memerhatikan bos nya yang nampak fokus mengemudi. Rambut tebal pria itu bergerak terbawa angin, mata nya lurus kedepan dengan sorot tajam bak elang yang siap menerkam mangsa nya. Hidung nya mancung dan rahang nya terpahat dengan indah solah-olah semua takaran yang ada pada wajah Rion adalah takaran yang pas, hingga jadilah setampan itu.

Noushin tidak mengelak kalau Rion memang rupawan. Dia bahkan menambahkan kalau bos nya itu awet muda, sebab Rion nampak seperti lelaki yang belum mempunyai anak sebesar Adrastea. Seandainya punya suami nanti, Noushin akan menanyakan skincare apa yang digunakan bos nya itu supaya suami nya nanti tidak cepat tua.

Rion berdeham membuat Noushin terperanjat. Lantas dia memalingkan wajah nya ke atas, melihat bintang-bintang yang memenuhi langit.

"Saya tahu saya tampan." Kata Rion.

"Bapak ngomong sama saya?"

"Nggak usah ngeles. Saya tahu kamu tadi memerhatikan saya." Skakmat. Noushin pun segera menutupi wajah nya dengan rambut nya.

Diam-diam Rion melirik walau hanya beberapa detik saja.

"Ah iya, bagaimana hari ini? Adrastea menyusahkan?" Tanya Rion merubah topik.

Noushin pun menegakkan tubuh nya. "Nggak. Dia nggak menyusahkan sama sekali. Dia anak yang baik dan manis."

"Benarkah?"

"Hm. Saya berani bersumpah."

"Syukurlah."

"Hm. Bapak sendiri... Gimana hari ini?" Tanya Noushin yang berhasil membuat Rion ngerem mendadak hingga tubuh mereka terpental kedepan. Untung nya tidak apa-apa.

"Kenapa ngerem mendadak, Pak?" Tanya Noushin.

Seolah tuli, Rion tidak menjawab nya. Malahan dia melepas seatbelt nya lalu begitu saja dia turun dari mobil untuk kemudian berjalan menyusuri trotoar seorang diri.

Noushin mengernyit saat mengamati tingkah aneh atasan nya. "Gue salah ngomong ya?" Tanya nya pada diri sendiri.

Noushin menghela nafas panjang sebelum kemudian menutup atap mobil dan mengunci nya, lalu dia turun untuk menyusul Rion.

Dilihat dari gerak-geriknya, pria itu nampak sedang dalam suasana hati yang buruk. Noushin jadi semakin tidak karuan kalau-kalau dia tadi salah ucap maka pekerjaan nya jadi ancaman.

Pria itu melangkah menaiki jembatan penyeberangan jalan yang sepi. Noushin tetap mengikuti nya. Hingga kemudian ketika sudah ada di tengah-tengah jembatan, Rion berhenti seraya menumpuk kedua tangan nya pada pagar pembatas. Noushin pun mengikutinya lagi dengan jarak dua meter dari bos nya.

Wanita itu berdeham, berupaya untuk mencairkan suasana. "Bapak... Tersinggung karena ucapan saya tadi ya?"

Rion masih diam dengan pandangan kosong. Lalu pelan-pelan dia menggeleng. Lantas Rion membalik tubuh nya, membiarkan punggung nya yang bersandar di pagar pembatas dengan satu kaki ditekuk dan kedua tangan yang memasuki saku celana nya. Mata cokelat pria itu menatap Noushin tepat diirisnya hingga wanita itu berhasil bungkam karena diserang rasa takut jika pekerjaan nya benar-benar terancam.

"Saya sedang tidak baik-baik saja. Itu jawaban atas pertanyaan kamu."

Hening.

Pandangan mereka masih terkunci satu sama lain seolah-olah semua objek buram hingga tak terlihat.

Angin malam berhembus sedikit kencang menerbangkan beberapa helai rambut hitam Noushin sampai menutupi wajah nya.

Sampai akhirnya Rion berdeham seraya memutus kontak mata nya. Pria itu menunduk memandangi sepatu kulit nya.

"Noushin," Mendengar nama nya disebut, wanita itu terperanjat seraya menyingkirkan beberapa helai rambut yang hinggap di wajah nya.

"Y-ya?"

Rion mendongak dan pandangan mereka kembali bertemu. "Saya butuh sesuatu. Akan kah kamu mengabulkan nya?"

"Hah? Ah.. Iya, tentu saja. Bapak butuh apa?"

"Kamu hanya perlu diam." Perlahan namun pasti, Noushin mengangguk. Selanjutnya, yang Rion lakukan adalah mengikis jarak diantara dirinya dan Noushin.

"Saya butuh ini," Ucap Rion sebelum kemudian meraih tubuh Noushin ke dalam pelukannya.

Pria itu mendekap tubuh Noushin erat seraya menyandarkan wajah nya pada pundak wanita itu. Pundak yang saat ini dapat menenangkan nya dari kesedihan yang dia tahan sejak tadi.

Kesedihan karena rindu dengan sosok Lala nya, dan kesedihan karena melihat anak gadis nya yang harus tumbuh tanpa sosok Ibu selama ini. Dilihat dari tatapan mata Adrastea tadi, Rion jelas-jelas menangkap basah kalau anak nya itu merindukan sosok Ibu yang seharus nya menemaninya tumbuh. Yang seharusnya ada disamping nya dalam keadaan apapun. Yang seharusnya dapat dia peluk kapan pun jika dia membutuhkan nya.

Rion semakin mengeratkan pelukan nya tanpa sadar siapa yang dia peluk. Dia hanya butuh pelukan untuk meredam keresahan hatinya. Karena dia percaya, pelukan adalah obat penenang yang paling manjur disaat sedang tidak baik-baik saja.

Sementara itu, tak jauh dari posisi mereka, tepat nya di tangga, ada sepasang manusia yang sedang kejar-kejaran. Sang wanita nampak sedang marah dengan si laki-laki.

"Yang dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya."

"Jelasin apalagi? Udah jelas-jelas tadi kamu liatin dia!"

"Yaaaaang... Nggak gitu ih. Dengerin dulu makanya."

"Sayang..."

"Jeniiiii istri ku yang paling cantik," Iya, mereka adalah Evan dan Jeni.

Jeni sedang ngambek dengan suaminya karena tadi dia menangkap basah Evan sedang lirik-lirikan dengan wanita lain.

"ENGGAK MEMPAN!"

"Yanggg... Masa mau kejar-kejaran gini sih, kaya masih abg aja. Malu sama Gaby lah."

"NGGAK USAH DIKEJAR KALO GI---hmmpt." Evan terpaksa membungkam bibir Jeni dengan bibir nya setelah wanita itu dapat dia raih.

Karena masih dalam mode ngambek dengan sang suami, Jeni pun segera menarik dirinya namun segera ditahan oleh Evan. "Shhhh... Diem dulu oke. Ngambek nya dilanjutin dirumah. Sekarang, liat dibelakang kamu."

Jeni mengernyit sebelum menoleh kebelakang. Kontan saja matanya langsung membulat sempurna saat melihat adegan romantis di sana.

"Itu Rion kan? Sama siapa dia?" Sebelum menjawab, Evan terlebih dahulu memeluk istrinya dari belakang.

"Hm. Makanya jangan berisik. Sama Brigyta bukan sih?"

"Bukan Brigyta deh, Yang." Evan menyeringai saat istrinya sudah memanggil nya dengan kata 'Yang' lagi. Itu berarti dia sudah melupakan kemarahan nya. Kekuatan Asterion Helios yang sedang bermesraan memang luar biasa.

"Terus siapa?"

"Mana aku tahu. Mending kamu foto deh Yang, cepetan, keburu udahan pelukan nya."

"Oke-oke." Lalu Evan pun mengeluarkan ponselnya dan memotret sahabat nya yang tertangkap basah sedang memeluk seorang wanita.

"Kena lo, Yon."

"Tea mau punya Mami nih?"

"Maybe? Kita tunggu aja."

"Semoga sayang sama Tea ya, Yang. Yaudah yuk pulang, keburu ketahuan."

"Ayok. Sampe rumah satu ronde ya?"

"ORA SUDI! AKU MAU LANJUTIN MARAH!"

***

Tea sengaja berangkat pagi-pagi sekali bahkan ketika Papi nya belum bangun. Dia mau menghindari kontak mata dengan Papi karena takut ketahuan kalau mata nya bengkak karena semalam menangis banyak.

Semalam, Tea menangisi takdir nya yang harus hidup tanpa sosok Ibu selama hampir enam belas tahun ini, dan berlanjut karena dia ingat perlakuan Sean tadi pagi. Semuanya menyakitkan hingga tanpa sadar Tea menangis berjam-jam sampai matanya seperti itu.

Cewek itu hendak masuk ke dalam kelas, tapi ketika melihat Sean berdiri di depan pintu, Tea langsung balik lagi.

"Tea!" Tapi terlambat, Sean sudah tau keberadaan nya. Maka langsung saja cowok itu mengejar Tea.

Karena kaki Sean sangat panjang, sedangkan Tea tidak demikian, maka dalam hitungan detik saja cowok itu sudah berhasil menghentikan langkah Tea.

"Lepasin nggak!" Seru Tea saat merasakan tangan nya dicekal.

"Nggak, sebelum lo denger penjelasan gue."

"Penjelasan apa lagi?! Udah jelas-jelas itu cuma--"

"Nggak, Tea!" Tegas Sean hingga cewek itu bungkam. "Please, dengerin gue dulu ya?"

Setelah diam cukup lama, akhirnya Tea pun membuka suara. "Nggak disini."

Sean mengangguk, lantas membawa Tea menuju menuju rooftop, tanpa melepaskan tangan nya.

Terjadi keheningan untuk beberapa saat setelah mereka sampai di sana. Hingga kemudian Sean berdeham.

"Sebelum nya, gue mau minta maaf Te. Maaf karena posting foto lo tanpa izin, maaf karena udah bikin lo terluka karena kesalah pahaman ini."

"Salah paham?"

"Hm. Dengerin sampai selesai ya?" Perlahan namun pasti Tea pun mengangguk.

"Kalo lo pikir postingan gue itu cuma aprilmop, lo salah besar. Gue emang sengaja posting foto lo, karena kemarin malam, Arista minta balikan. Terus, gue nggak mau. Tau kenapa alasan nya?" Tea menggeleng.

Sejenak, Sean mengulas senyum nya saat menyadari betapa lugu nya cewek itu. "Karena gue... Gue udah suka sama cewek lain. Terus Arista bilang, 'siapa' dan gue nggak mau jawab. Dia bilang lagi kalo gue cuma bohong. Padahal nggak sama sekali. Terus dia nantang gue buat posting foto cewek yang gue sukai di instagram. Dan gue setuju. Makanya, gue posting foto lo kemarin. Jadi, itu sama sekali bukan aprilmop, Te."

Sean mengambil nafas kemudian membuang nya dengan kasar. "Gue emang suka sama lo, Adrastea." Ucap Sean sambil menatap manik cokelat Tea dengan dalam hingga membuat wajah Tea memerah seperti tomat yang siap dipanen.

"Bohong." Gumam Tea tidak percaya.

"Emang muka gue keliatan lagi bohong?" Tea mengedikan bahu seraya memalingkan wajah nya ke sembarang arah.

"Tea, look at me please?" Tea dengar, tapi dia pura-pura tuli. Karena ditatap sedalam itu oleh Sean, membuat jantung nya memompa lebih cepat.

"Tea?"

"Adrastea."

"Adrastea Aiona Helios."

"Apa?!" Seru Tea lalu kembali menatap Sean.

"Oke, gue tau lo ragu sama gue, mengingat gimana iseng nya gue sama banyak cewek. Gue emang brengsek, Te."

"Iya. Brengsek banget." Sean meringis mendengar pernyataan itu. Tapi diam-diam dia juga senang. Soalnya Tea jujur, ya meskipun kejujuran nya menyakitkan. Salahkan Sean yang terlalu murah mengobral gombalan.

"Okay, sorry."

Cowok itu meminta maaf karena baru sadar, kalau selama ini dia benar-benar keterlaluan. Padahal, Sean hanya berniat iseng saja untuk menggoda cewek-cewek, tanpa berniat memiliki sama sekali. Karena hatinya sudah terkunci untuk satu gadis yang dia lihat waktu kelas sepuluh di ruang musik. Dan gadis itu adalah Adrastea.

Sejak pertama kali melihat Tea bermain piano di ruang musik, Sean mulai penasaran dengan nya. Lalu lama-lama rasa penasaran itu berubah menjadi rasa suka setelah dia mengenal Tea lebih dekat. Dia suka dengan semua hal kecil tentang Tea. Terlebih, saat Tea tertawa sampai matanya tidak kelihatan dan saat Tea ngambek dengan Papi nya lewat telepon. Karena dimata Sean, itu sangat menggemaskan.

Selama ini, Sean hanya menahan nya, karena dia terlalu takut untuk mengungkap kan nya. Takut bila Tea tidak akan percaya dengan perasaan nya yang tulus.

Hingga puncak pertahanan nya hanya sampai kemarin saja, saat cowok itu merasa begitu dekat dan sangat nyaman dengan Tea yang melingkari perut nya. Dia ingin moment seperti itu terjadi berulang kali, kalau bisa sehari bisa berkali-kali. Kalau Sean terus-terusan menahan nya, maka bisa saja, moment itu takkan terulang. Dan Sean jelas tidak mau.

Makanya dia berani menelepon Tea kemarin, karena dia mau lebih dekat dengan cewek itu. Dia akan mulai serius memepet Tea sampai jadi milik nya.

Alasan Sean mau menerima tantangan dari Arista juga karena rasa suka nya pada Tea yang semakin hari semakin bertambah. Jadi, disini udah jelas kalau Sean beneran tulus. Postingan itu murni bukan hanya aprilmop saja.

"Tea,"

"Apa?!"

"Maafin gue ya, kita baikan, oke?" Tea masih diam.

"Gue berani bersumpah kalo yang kemarin bukan aprilmop. Oh iya, gue masih punya kok bukti chattingan gue sama Arista. Bentar," Lalu Sean merogoh saku celana nya untuk mengambil ponsel lalu diserahkan pada Tea.

Cewek itu pun menanggapi, lalu membaca nya. Ternyata Sean tidak bohong. Tapi... Tea mendengus kesal saat tahu bagaimana manis nya isi chattingan itu. Lalu begitu saja dia menyerahkan ponsel Sean, dengan bibir mengerucut.

"Bilang nya suka ke gue, tapi sama mantan masih manis-manisan!" Kata Tea ketus sebelum berlalu meninggalkan Sean disana.

Sean yang baru ngeh soal marah nya Tea, langsung terkekeh gitu aja. "Marah nya imut. Gimana nggak suka coba. Aduh Tea... Tea." Gumam Sean pelan sebelum menyusul gadis itu.

"Tea tungguin," Sean meraih tangan cewek itu lagi, tapi dengan cepat Tea hempaskan secara kasar.

"Jangan marah dong, nanti gue sedih." Tea masih tidak menggubrisnya. Dia terus berjalan cepat, sementara Sean mengekorinya. Lalu sebuah ide muncul dikepala Sean. Lantas dia berhenti mengejar Tea untuk memulai aksinya.

"Tea--aaah...aduh pipi gue sakit banget. Tea tolong dong aduduh ngilu nih." Sontak saja Tea berhenti melangkah. Melihat itu, smirk Sean terukir sebelum kemudian pura-pura kesakitan lagi saat Tea berbalik dan menghampiri nya.

Tea masih tetap diam dengan tatapan tajam nya. Tapi diam-diam dia melihat pipi sebelah kiri Sean yang nampak membiru. Lalu begitu aja dia menyeret lengan Sean dan membawanya ke UKS.

***

Pagi ini sepertinya Rion membutuhkan kafein supaya dapat menahan kantuk nya saat bekerja, karena semalam dia kesulitan tidur akibat pikiran nya yang semrawut. Setelah keluar dari lift, pria itu tidak langsung ke ruangan nya, tetapi melipir ke dapur kantor terlebih dahulu untuk membuat secangkir kopi yang dapat dia sruput dengan segera.

Disana tidak ada orang. Rion pun membuat kopinya seorang diri. Ada banyak kopi instan yang tersedia, tapi kopi kapal api lah yang dia pilih. Lantas pria itu menyobek bagian atas bungkusnya kemudian dia tuangkan isi nya kedalam cangkir keramik. Selanjutnya dia seduh kopi itu dengan air panas. Aroma khas kopi kapal api segera menguar memasuki indra penciuman Rion hingga pria itu tersenyum seraya memejamkan matanya. Kopi akan selalu membuatnya begini. Karena dia adalah pecinta kopi.

Lagi enak-enak nya menikmati aroma kopi, tiba-tiba saja Rion dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang sama terkejutnya saat melihat kehadiran nya di sana. Pria itu langsung menoleh dan mendapati Noushin sedang mematung di depan pintu.

Suasana mendadak jadi awkward. Rion pun berdeham seraya berjalan sambil membawa kopinya. "Saya sudah selesai." Kata nya saat dia berada tepat di depan Noushin.

"Ah, Iya Pak." Lalu wanita itu menunduk sopan saat Rion melewatinya. Setelah yakin bos nya pergi, Noushin pun menghembuskan nafas lega nya seraya berjalan mendekati pantry dan mengambil asal kopi instan yang tersedia lalu menyeduh nya.

Ketika wanita itu sedang mengaduk kopinya, tiba-tiba saja pintu terbuka dan menampilkan Rion dibaliknya. Kontan saja Noushin langsung mendelik lalu beberapa saat kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menetralkan dirinya. Dia berdeham.

"Kenapa, Pak? Ada... Yang ketinggalan ya?" Tanya Noushin ragu-ragu.

"Nggak. Saya cuma mau ngomong sama kamu."

"Oh," Lalu Rion mendekat.

Pria itu berdeham seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Emm... Soal semalam--" Rion berdeham lagi.

"Maaf. Dan juga, terimakasih." Ucap nya sambil menatap Noushin. Wanita itu mengangguk sambil menyunggingkan senyuman kaku nya.

"Yasudah, saya duluan."

***

Tea sudah mengompres pipi sebelah kiri Sean dengan es batu. Selanjutnya, dia akan mengoleskan salep disana. Tapi, ketika dia melihat senyuman di wajah cowok itu, Tea mendengus.

"Lo tuh sebenarnya sakit nggak sih?!" Kata nya ketus.

Lalu Sean pura-pura mengaduh lagi sambil memegangi pipi kirinya. "Beneran sakit Te... ah-aduh."

"Terus kenapa senyum-senyum?! Pasti sakit nya bohong kan?"

"Memar gini juga, masa bohongan sih." Sean cemberut, suaranya di imut-imutkan seperti anak kecil.

"Yaudah makanya diem. Gue mau olesin salep nih!"

"Ih Bu Dokternya galak banget sih. Tapi gemesin, jadi suka deh hehe."

"Oceanus!"

"Ampun, Tea... Ampun. Nih gue diem nih." Belum sempat Tea mengoleskan salep nya, Sean berbicara lagi hingga kesabaran Tea semakin tipis.

"Eh tapi Olesin nya pelan-pelan ya, pake perasaan biar nggak sakit." Kata Sean sambil nyengir.

"Sean ih! Gue cabut nih."

"Eh... jangan dong. Oke, olesin sekarang." Lantas cowok itu pun menghadapkan wajah nya ke kanan hingga bagian pipi kiri nya tepat mengarah ke Tea. Lalu gitu aja Tea ngolesin salep ke pipi sebelah kiri Sean. Pelan-pelan, penuh kelembutan sekali. Dari ujung matanya, Sean dapat melihat kalau cewek di depan nya sedang fokus. Dengan iseng nya, Sean pun meraih tangan Tea yang ada di pipinya, mencekal nya hingga aktivitas Tea terhenti.

"Sean."

"Tea."

Ucap mereka barengan.

Lalu Sean meluruskan lagi wajah nya hingga kini berhadapan langsung dengan Tea. Jarak mereka sangat dekat sekali hingga Tea dapat merasakan hembusan nafas Sean yang beraroma mint. Cewek itu mematung seketika.

"Makasih ya. Dan maaf." Ucap Sean tulus. Mata cowok itu menatap Tea tepat diiris nya.

"Makasih udah obatin gue. Maaf udah bikin mata lo sembab." Kontan saja Tea langsung mengerjap lalu melotot.

"Gue nggak nangisin lo ya!" Ketus Tea menyangkal hingga Sean terkekeh.

"Masa? Bohong tuh dosa loh."

"Ih beneran!" Kata Tea sedikit berdusta.

"Terus nangisin apa?"

"Rahasia."

"Yaudah, karena semalam kaya nya lo sedih banget, kalo gitu sekarang gue mau kasih hadiah."

"Hadiah apa?" Sean diam, lalu dia melepaskan tangan Tea yang dicekal nya. Kemudian dia menatap Tea sebentar sebelum menarik tubuh mungil cewek itu kedalam pelukan.

Tea terkejut tentu saja. Tapi dia cuma bisa diam karena nggak tau harus gimana. Tea baru pertama kalinya mendapat pelukan dari cowok sepantaran nya. Dia tidak pernah punya pacar, karena takut dengan ancaman Papi nya. Dekat dengan cowok lain memang pernah, tapi hanya sebatas dekat, tanpa sentuhan fisik seperti ini.

"Kedepan nya, kalo lo nggak baik-baik aja, gue akan selalu ngasih ini." Ucap Sean tepat di depan telinga Tea.

Hening.

Tapi sebenarnya ramai di dalam hati Tea. Disana sedang mengadakan pesta besar-besaran dengan ribuan kembang api yang menyala. Sangat ramai dan penuh akan bunyi dentuman keras.

"Gue minta satu hal, boleh?" Kata Sean lagi.

Tea mengerjap. "Hah?"

"Jangan sedekat ini sama cowok lain ya, gue nggak suka."

***

Sudah berulang kali Evan mendengus setiap kali diabaikan istrinya. Sudah berulang kali juga dia merengek untuk meminta maaf, namun tetap tidak di notice. Iya, Jeni masih marah soal semalam. Dia benar-benar mengabaikan suaminya sampai sekarang.

"Yang.... Kamu udah dua puluh jam loh cuekin aku. Nggak kangen apa? Aku aja kangen banget." Ucap Evan sambil merengek di depan Jeni yang sedang menyiapkan cemilan.

Hari ini pria itu senggang. Niatnya sih mau enak-enakan sama istrinya. Tapi sumber keenakan nya lagi mode ngambek. Jadi beginilah Evander Lakeswara sekarang, nelangsa.

Cemilan sudah siap, Jeni pun membawanya ke ruang keluarga untuk dia santap. Evan mengintil dibelakang nya dengan langkah lunglai. "Sayang... Maafin aku dong. Nggak enak tau kamu cuek gini." Kata Evan memelas.

Jeni masih acuh. Dia duduk bersilang kaki menghadap tv yang sudah menyala. Evan pun segera mendekatkan dirinya pada sang istri, lantas memeluknya erat.

"Ngambek nya udah dong."

"Ck, lepasin."

"Nggak mau. Maafin aku dulu."

"Evan!"

"Kalo kamu maafin aku, kita jalan-jalan."

"Kemana?" Kontan saja Evan langsung sumringah.

"Anywhere, as long as your hand in mine."

"Okay, yuk."

"Maafin dulu."

"Aku tuh udah maafin dari semalam." Tukas Jeni yang langsung membuat Evan melepaskan pelukan nya.

"Tuh kan, jahat banget! Semalam aku sampe nggak bisa tidur tau gara-gara kamu. Ah kamu mah, Yang. Aku ngambek nih."

"Yaudah, ngambek aja."

"Oke, aku ngambek pokoknya. Jalan-jalan nya nggak jadi." Lantas Evan pun bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi.

Namun sayang, baru beberapa langkah, pria itu langsung balik lagi saat mendengar ucapan Jeni, "Sayang banget, padahal aku udah beli lingerie baru buat nanti malem."

"Loh, kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?" Tanya Jeni seraya menahan tawa.

"Ayok jalan-jalan. Aku nggak jadi ngambek." Kata Evan datar.

"Shopping aja ya, sayang?" Jeni merayu dengan kerlingan dimatanya.

"Hm. Beli lingerie yang banyak sekalian."

***

Bel pulang baru saja berbunyi, bertepatan dengan itu, ponsel Tea berbunyi, menampilkan nama kontak dari Papi nya. Lantas dia pun menjawabnya.

"Ha-"

"Papi nggak bisa jemput. Kamu pulang sama Gaby aja."

"Kan aku udah bilang, kalo sekarang aku nggak bisa pulang bareng Gaby lagi karena dia selalu pulang sama cowoknya."

"Ah, Papi lupa."

"Makanya izinin aku pacaran dong Pi, biar ada tukang ojek pribadi--"

"Okay."

"Okay apa? Boleh pacaran--"

"Papi jemput sekarang." Lalu panggilan berakhir.

Tea mendengus seraya memasukkan ponselnya kedalam tas. Lantas cewek mungil itu keluar dari kelas dan seketika dikejutkan oleh kehadiran Sean yang menghadangnya di pintu.

"Kaget ya?" Tanya cowok itu seraya menampilkan cengirannya.

"Ngapain lo?"

"Mau ajak calon pacar pulang bareng."

Calon pacar.

Tea langsung bersemu hanya karena dua baris kata itu. Mukanya merah seperti kepiting rebus.

"Cie mukanya merah," Goda Sean seraya mencolek hidung mancung Tea dengan pelan.

"Ih Sean apaan sih." Namanya juga cewek, kadang suka pura-pura kesel kalo dicolek-colek gitu sama si crush, padahal sih dalam hati seneng banget.

Cowok itu tidak menjawab, dia menatap Tea dalam-dalam dengan senyum yang terus mengembang membuat wajahnya semakin menawan.

Tea semakin salah tingkah dibuat nya, wajahnya juga sudah merah sekali. Hingga akhirnya cewek itu berdeham seraya menutup mata Sean dengan telapak tangan nya. "Nggak boleh liat-liat. Nanti naksir"

Sean terkekeh lalu menyingkirkan tangan Tea dan menggenggamnya erat.

"Kan emang udah naksir lama."

"Bohong banget."

"Nggak bohong Tea."

"Oh."

"Yaudah yuk pulang." Lantas cowok itu menarik Tea hingga akhirnya mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan, membuat beberapa pasang mata menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. 

***

Tiga puluh menit lagi meeting dimulai tapi Rion malah pergi dari kantor dengan mengendarai motornya untuk menjemput anak gadis nya. Perjalanan normal dari kantor ke sekolah Tea memakan waktu tiga puluh menitan jika berkendara menggunakan mobil. Tapi karena kali ini dia menggunakan motor dan ngebut, dia hanya butuh waktu lima belas menit hingga akhirnya sampai di depan gerbang SMA Bumi Nusantara.

Rion membuka helm nya pelan bak gerakan slow motion. Setelah itu dia merapihkan rambutnya sebentar, sebelum kemudian matanya mengedar ke berbagai tempat untuk menemukan anak gadisnya.

Sementara dia sibuk mencari anak gadisnya, gadis-gadis remaja lain nya yang melewati Rion, mereka dibuat terpaku ditempat seolah-olah menemukan oase di padang pasir. Terlalu meneduhkan untuk dilewatkan.

"Ganteng banget anjir. Itu pacarnya siapa?"

"Goblok lo! Bokapnya Adrastea tuh, si Asterion Helios."

"HAH?! SERIUS LO?"

"Ho'oh. Si duren sawit itu loh, lo tau kan?"

"Oh... Duren sawit. Kira-kira Adrastea mau nggak ya jadi anak tiri gue?"

Itu response yang sangat wajar untuk kaum hawa ketika disuguhkan pria setampan pangeran berkuda putih. Tapi lain lagi response Adrastea, anak dari pria yang sedang dibicarakan itu. Saat menyadari ada Papi nya di depan gerbang, cewek itu langsung berhenti berjalan seraya menarik tangan nya dari genggaman Sean. Lantas dia membalik badan nya dengan perasaan was-was seperti maling yang takut ketahuan.

Melihat Tea yang seperti itu, tentu saja Sean bingung. "Kenapa Tea?" Ucap Sean.

"Sean sorry gue nggak bisa pulang sama lo. Dan lebih baik, sekarang lo pergi jauh-jauh dari gue."

Sean mengernyit. "Emang kenapa? Lo masih ragu sama perasaan gue?"

"Nggak gitu. Tapi Sean please--"

"TEA!"

Mampus.

Tea langsung lunglai ditempat dengan perasaan campur aduk, antara takut, cemas, dan sebagainya. Pasalnya, teriakan itu berasal dari Papi Rion yang sudah mengetahui keberadaan Tea dan juga Sean.

Sean menoleh pada sumber suara dan menemukan Papi nya Tea sedang nangkring diatas motor, seperti Dilan yang akan mejemput Milea nya.

"Jadi... Karena itu, Te?" Tanya Sean yang langsung diangguki Tea pelan.

"Sorry Sean gue duluan." Langsung saja Tea bergegas menghampiri Papi nya yang saat ini sudah memasang muka datar dan menyeramkan diatas motornya.

Tea meneguk ludah nya dalam-dalam saat langkahnya berhenti tepat di depan Papi nya. "Hng... Hai Papi! Udah lama--"

"Cowok tadi siapa?" Tanya Rion langsung pada intinya sambil memberikan helm.

Tea menanggapi nya, "Hah? Oh... Tadi cuma temen, dia nanyain tugas." Ucap Tea berupaya biasa saja agar bohongnya tidak terlihat. Tea pun mulai memasang helm nya.

"Oh... Yaudah naik." Kontan saja Tea langsung menghembuskan nafas lega nya, setidaknya Papi percaya, itu lebih baik. Lalu dia mulai menaiki motor yang dibawa Papi. Well, itu motor salah satu karyawan di Helios Group.

"Nanti kamu dikantor Papi dulu. Habis ini Papi mau meeting soalnya, tungguin Papi kelar, terus kita pulang."

"Hm."

"Pegangan, Papi mau ngebut." Tea tidak menjawab, dia langsung melingkari perut Papi nya yang dilapisi jaket bomber dengan erat tanpa rasa canggung sedikitpun, tidak seperti saat bersama Sean.

Rion mulai memasukan gigi motor. Sebelum menarik gas nya, dia berucap, "Tapi Tea,"

"Hah? Kenapa, Pi?" Tea yang sudah mulai tenang, seketika dibuat takut lagi. Terlebih, saat Papi menatapnya dengan tajam dari balik spion.

"Mata Papi masih normal loh."

Brumm...

Motor yang Rion kendarai mulai membelah jalanan yang penuh dan bising, sama seperti isi hati dan kepala Tea saat ini. Demi apapun dia tidak bisa tenang sekarang. Tea menduga-duga kalau sebenarnya Papi menangkap basah dirinya sedang bergandengan tangan dengan Sean.

Dan kalau dugaan nya itu memang benar, habis sudah riwayat Tea nanti malam.

Mami protect me, please.








Kira-kira nasib Tea gimana ini?
Oh iya, maaf ya harusnya hari minggu kemaren udah up, tp aku lagi asik ngedrakor wkwk.

Dadah, see u

Tinggalin jejak yaaa

Continue Reading

You'll Also Like

520K 8.8K 18
suka suka saya.
1M 108K 53
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
865K 68.3K 51
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
159K 11.4K 26
"kita akan berkeliling wisata nanti saat hesa sudah besar dan papa yang akan menjadi bos di perusahaan agar bisa meliburkan diri mengajak hesa dan ma...