Ten Million Dollars

Od padfootblack09

50.5K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... Více

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 18 maeu pyeon-anhan

1.8K 305 234
Od padfootblack09

                Yoongi tak mengira ia bisa beradaptasi dengan sangat cepat dengan adanya Seungwan sebagai sekretarisnya. Ia sudah sangat terbiasa dengan keberadaan Seungwan di depan ruangannya. Sudah terbiasa dengan suara lembut Seungwan yang menyahut lewat interkomnya. Sudah terbiasa dengan Seungwan yang keluar masuk ke ruangannya. Sudah terbiasa dengan rasa kopi yang Seungwan buat sendiri untuknya.

Sudah sepuluh hari berlalu sejak Seungwan bekerja menjadi sekretaris Yoongi. Sudah sepuluh hari juga Yoongi merasa terbantu dengan keberadaan Seungwan. Sudah sepuluh hari juga Yoongi tak henti-hentinya berdecak puas akan kelancaran proses event besar yang akan terjadi dalam hitungan bulan, yang tentu saja, itu semua berkat bantuan Seungwan.

Tepat sehari setelah Seungwan menghubungi Jungkook, laki-laki super sibuk itu menghubungi Seungwan lagi soal pertemuannya dengan Yoongi. Mau tak mau Yoongi merasa sangat berterimakasih pada Seungwan. Kalau tidak melalui Seungwan, Yoongi tak tahu harus menunggu beberapa minggu untuk mencocokkan jadwalnya dengan Jungkook.

"Benar disini?" Yoongi berucap pada Seungwan. Ia berpakaian cukup rapi, sedang duduk dan membaca beberapa file dalam ponselnya, sementara Seungwan duduk di sampingnya.

"Benar." jawab Seungwan. Ia melihat lagi ponselnya, dan menunjukkan chat terakhirnya dengan Jungkook. Memang benar hari ini, jam ini, dan di tempat ini mereka rencananya akan bertemu.

Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang dan restoran mewah itu tampak lenggang, hanya ada Yoongi dan dua meja lain yang terisi. Di hadapan Yoongi sudah tersedia masing-masing Jus Orange untuknya dan Seungwan. Yoongi dan Seungwan sudah duduk selama lima belas menit, dan meskipun Jungkook berjanji akan datang pukul sebelas lebih, Yoongi sudah tidak sabar.

"Benar jam sebelas lebih?" ulang Yoongi tak yakin. Ia mengecek rolex yang melingkar di pergelangan tangannya.

Seungwan mengangguk lagi. "Dia tidak memberitahu secara pasti, lebih berapa. Tapi itu bisa jadi pukul sebelas lebih lima puluh Sembilan 'kan, boss?"

Yoongi mengangguk setuju. "Ya, paling tidak ini Jungkook." Kata Yoongi tak menyesal sama sekali. Mungkin waktunya menunggu disini tak sebanding dengan perjanjian dengan Jungkook nanti.

Seungwan mengangguk lagi. Ia kemudian menunduk membaca beberapa kertas yang ia bawa. Sesekali mengecek notifikasi dalam ponselnya, atau melihat grafik dalam i-padnya.

"That's why you brought all that stuffs." Yoongi bergumam, merasa dicurangi.

Seungwan nyengir menanggapi perkataan Yoongi. Ia berucap bangga, "Yes boss. I know this will be a long wait."

Yoongi mengangguk kecil, lalu menampakkan seringainya. Merasa geli karena telah dikalahkan Seungwan. Akhir-akhir ini hubungan mereka berdua bukan seperti boss dan sekertarisnya. Tapi lebih mirip seperti dua karyawan yang bersaing untuk jadi yang terbaik. Seungwan dan Yoongi sama-sama menyibukkan diri dan terkadang memamerkan betapa sibuknya mereka, atau saling mendahului untuk mengetahui hal-hal yang harus mereka ketahui.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Seungwan lebih ambisius dan garang dibandingkan Yoongi. Bukan sekali ini saja Yoongi melihat Seungwan menyibukkan diri di waktu sebenarnya Seungwan bisa bersantai. Menyalin berkas di jam istirahat misalnya. Atau mengecek file presentasi sembari mengaduk kopi Yoongi. Atau mengangkat telpon dari Yoongi sembari mengatur surat-surat.

Yoongi mengamati Seungwan dengan seksama. Kali ini Seungwan berpenampilan lebih santai dari biasanya. Rambutnya digerai dan dihiasi jepit kecil, blousenya yang bercorak ceria, sepatunya juga, bagaimana Yoongi bisa menyebutnya? Beludru? Dengan tinggi heels lima belas senti.

"Boss." Kata Seungwan menyadarkan Yoongi.

Yoongi bergumam menanggapi. Ia melihat ponselnya, menyibukkan diri.

"Aku sudah lapar." Keluh Seungwan sambil meringis.

Yoongi berdecak. "Pesan."

Seungwan kemudian mengangguk agak malu. Dia mengangkat tangannya memanggil seorang pramusaji dan memesan sesuatu. Setelah itu dia sibuk lagi dengan i-padnya. Bahkan sampai steak yang dipesannya datang, Seungwan melahap steak itu dan matanya masih melekat di layar i-padnya. Tangan kanan memegang garpu dan tangan kiri bermain di atas layar i-pad.

Yoongi sudah familiar dengan pemandangan ini. Seungwan seringkali membawa makan siangnya di ruangannya. Tujuannya adalah supaya dia bisa makan siang sembari melakukan hal lain. Pemandangan ini yang setiap kali Yoongi lihat setiap kali ia keluar hendak makan siang. Mata Seungwan yang fokus, bibirnya yang mengerucut dan pipinya yang sesekali menggembung.

"Boss?" kata Seungwan lagi-lagi menyadarkan Yoongi.

Yoongi bergumam, lagi.

"Hm... boss, lapar juga?" tanya Seungwan agak ragu. Ia melihat kearah Yoongi yang telah mengalihkan atensinya.

"Tidak." Jawab Yoongi

"Apa aku mengganggumu?" tanya Seungwan.

"Tidak."

"Apa boss tidak suka aku makan dahulu?"

"Tidak."

"Apa boss tidak suka bagaimana aku makan?"

"Tidak. Lanjutkan."

Seungwan menggigit bawah bibirnya ragu, ia mendorong hot plate-nya menjauh, steaknya masih bersisa separuh. Yoongi melihat itu melalui sudut matanya, dan ia akhirnya mendongak.

"Mengapa berhenti?" tanya Yoongi.

Seungwan mengulum bibirnya. "Aku tidak bisa makan kalau boss menatapku terus seperti itu."

Mata Yoongi yang masih lekat melihat Seungwan berkedip sejenak. "Apa?" tanya Yoongi tak yakin dengan pendengarannya.

"Aku tidak bisa makan kalau boss menatapku terus seperti itu." ulang Seungwan. Ia semula menunduk, tapi sekarang mendongak, dan matanya bertubrukan tepat dengan mata Yoongi. Hal itu membuat pupil Yoongi bergetar, bola mata cokelat Seungwan menatapnya dengan sangat polos.

"Rasanya seperti aku melakukan sesuatu yang salah." Kata Seungwan, lagi.

"Ada nasi di wajahmu."

"Eh?" Seungwan memekik, segera berkaca di ponselnya. Sementara itu Yoongi mengalihkan atensinya.

"Tidak ada boss." Kata Seungwan beberapa detik kemudian, ia memberenggut.

"Sudah hilang." Sahut Yoongi tak peduli, wajahnya sudah membelakangi Seungwan, bersandar di sofa sambil memejamkan mata.

Bibir Seungwan mengerucut, merasa kesal sekaligus malu. Tapi ternyata hal itu tidak bertahan lama, karena dua menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Jungkook mengenakkan setelan jas licin dan berdandan sangat rapi. Sepatu mengkilat dan dasi yang mencekik. Ia berjalan agak terburu kearah meja Yoongi, dan Seungwan otomatis melambaikan tangannya.

"Maaf aku terlambat." Kata Jungkook kemudian, dia duduk tepat di hadapan Yoongi lalu menjabat tangannya. Jungkook masih mengatur nafasnya, seperti baru saja berlarian untuk mencapai tempat itu.

"Tidak masalah, Jungkook." Sahut Yoongi.

"Baiklah. Kalau begitu, apa yang bisa kubantu?" Jungkook bertanya tanpa basa-basi, tampak seperti diburu sesuatu.

"Ouh, kau pasti sangat sibuk. Maafkan aku Jungkook, tapi bossku ini—"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Bukan masalah sama sekali." Kata Jungkook memotong perkataan Seungwan.

"Dia tentu saja sangat sibuk." Gumam Yoongi yang ditujukkan pada Seungwan. "Kalau begitu kita langsung saja, Jungkook."

"Bagus sekali." Jungkook mengangguk. "Aku sibuk tapi aku tidak bisa mengabaikan seorang teman yang meminta bantuan, bukankah begitu?"

Seungwan langsung tersenyum senang.

"Nah, karena aku hanya punya waktu setengah jam disini, apa yang bisa kubantu?" tanya Jungkook.

Percakapan selama setengah jam itu tidak berakhir sia-sia. Persis seperti yang dibayangkan Yoongi. Lancar jaya. Yoongi berhasil mendapatkan persewaan kapal itu, tanpa harus mengantri selama berbulan-bulan. Sesuai kontrak yang sudah mereka sepakati. Yoongi dapat menyewa kapal itu persis sebulan dari hari ini.

Jungkook baru saja pergi dari restaurant itu, dan Seungwan masih mempertahankan senyum bangganya. Yoongi juga tak tahan untuk tersenyum. Dia juga senang, dan bangga pada Seungwan.

"Aku benar 'kan, boss?'' kata Seungwan nyengir.

"Kau sudah mengatakkan itu setidaknya dua puluh lima kali hari ini Wendy." komentar Yoongi. Tetap pada pendiriannya untuk bersikap tsundere seperti biasa.

Seungwan memberenggut, "Tidak."

"Iya." Balas Yoongi.

"Tidak." Seungwan menyangkal lagi.

"Iya."

"Yeah, mungkin dua puluh empat kali." Kata Seungwan akhirnya membenarkan.

Yoongi ganti mencibir. Ia kemudian membuka ponselnya, yang dirasa sejak tadi bergetar. Tapi tak pernah ditengoknya karena menurutnya tidak pantas menduakan Jungkook yang repot-repot meluangkan waktu untuknya.

"Boss, aku sudah bawa file untuk pertemuan nanti, kau perlu cek dulu. Kita masih punya waktu dua setengah jam lagi sebelum pergi ke Choi CORP—"

"Wendy." Potong Yoongi tiba-tiba, ia melihat kearah Seungwan dengan panik, bahkan kulitnya yang memang pucat, semakin pucat. Tangannya masih menggenggam ponsel, dan terlihat jelas banyak pop up yang masuk, juga notifikasi yang belum terbuka.

"Kenapa boss???"

"Mereka memajukkan jawalnya." Ucap Yoongi.

"Apa?" tanya Seungwan tak paham. Dilihatnya bossnya sedang mengenakkan kembali jasnya dengan terburu, lalu meneguk banyak air putih, dan akhirnya menyeret pergelangan tangan Seungwan.

"Mereka memajukkan pertemuannya dua jam lebih awal." Kata Yoongi sambil berlari, dan Seungwan di belakangnya, berusaha menyamai langkah panjang bossnya, dengan sepatu hak tinggi lima belas sentinya.

"Dua jam lebih awal itu berarti setengah jam dari sekarang." Sahut Seungwan dengan susah payah, Yoongi memegang pergelangan tangannya dengan erat, menyeretnya berlari menyeberangi jalan dengan kerikil-kerikil putih yang seharusnya indah, tapi malang sekali bagi kaki Seungwan dengan heels tingginya.

Yoongi menekan tombol kunci mobilnya begitu mereka tiba di lahan parkir, dan keduanya berlari ke sumber suara dimana Audi RS 7 keluaran terbaru itu berada. Yoongi otomatis melepas pegangan tangan Seungwan, hendak duduk ke bagian belakang kemudi, tapi Seungwan mencegahnya.

"Boss! Boss!" kata Seungwan agak panik, nafasnya memburu. "Biar aku yang menyetir—"

"Tidak ada waktu untuk berdebat, Wendy!"

"Tapi kau harus cek ulang filenya!" kata Seungwan buru-buru ia melempar i-padnya yang menyala, meluncur mulus di atas atap Audi itu.

"Oh, SHIT." Umpat Yoongi, tak mau protes lagi, ia bertukar posisi dengan Seungwan. Seungwan menyelinap ke dalam mobil sport itu, melempar sepatunya dengan asal ke tempat duduk belakang. Lalu segera menginjak pedal gas.

.

.

.

Terjawab sudah pertanyaan Yoongi selama ini. Bagaimana Seungwan bisa sampai terlebih dahulu dibandingkan dirinya sendiri di kantor, meskipus Yoongi sudah berangkat mendahuluinya.

Yoongi tak bisa secara pasti mengatakan berapa kecepatan Seungwan mengemudi, yang Yoongi tahu, itu pasti di atas 120km/jam. Yoongi tak bisa protes. Mereka memang terburu oleh waktu. Yoongi bisa saja menganggap Seungwan itu sinting. Beberapa kali Seungwan hampir menabrak kendaraan lain di sekitar mereka, dan sudah tiga kali Seungwan menerobos lampu merah.

"Tanggung boss." Begitu tiap kali kata Seungwan ketika ia menerobos.

Yoongi tak berkomentar, hanya mendelik Seungwan dengan kesal. Yoongi tak akan heran jika setelah ini akan ada surat pelanggaran lalu lintas yang di tujukan untuknya.

Terhitung delapan kali Yoongi mengumpat. Merasakan goncangan terlalu keras karena Seungwan memutar setirnya terlalu banyak, menikung tajam. Membuat i-padnya tergelincir dari tangan Yoongi. Belum lagi saat Seungwan menginjak pedal remnya dengan super mendadak. Yoongi hampir merasa tercekik oleh sabuk pengamannya sendiri. Kalau sudah begitu Yoongi hanya bisa mengeluarkan umpatannya lagi.

Yoongi merasa beruntung karena hari ini ia membawa Audi, bukannya mobil-mobil besar lain yang menjadi favoritnya. Yoongi tak bisa membayangkan Jeep Wranglernya atau Range Rovernya berpacu cepat dan menikung tajam di kepadatan jalan. Tak bisa, dan tak mau.

Yoongi baru bisa bernafas lega, dua puluh menit kemudian, begitu Audi hitam itu meluncur dengan lancar di tempat parkir. Ia buru-buru keluar dari mobil, merasa mual karena ulah Seungwan. Yoong ingin mengumpat lagi, tapi tak bisa, berisiko tinggi pada keluarnya cairan dari lambungnya. Ia berdiri sejenak di samping pintu mobil, belum sanggup untuk berjalan.

Seungwan keluar dari mobil dua puluh detik kemudian. Sudah memakai kembali sepatunya, dan sepertinya sempat memoleskan lipstick di bibirnya. Ia kemudian meraih pergelangan tangan Yoongi, menyeret bossnya itu untuk masuk ke dalam gedung. Yoongi yang sebenarnya masih ingin menetralkan lambungnya, tak bisa protes, tapi mengikuti Seungwan yang setengah berlari masuk ke dalam lift.

Yoongi bersender di pojok ruang lift, merasa hampir mati, ia membungkuk untuk menekan lambungnya. "Kau wanita sinting." Yoongi mendesis, akhirnya baru bisa bersuara. Seungwan menanggapinya dengan tertawa. Ia menegakkan tubuh Yoongi, memapah bossnya untuk berdiri dengan benar, dan bersandar padanya.

"Boss harus menegakkan tubuh supaya mual berkurang. Posisi tadi itu membuat lambung tertekuk dan makin mendesak asam lambung untuk naik lebih banyak." Seungwan berkata. Dilihatnya Yoongi yang memucat, dan keringat mengucur dari dahinya.

"Maafkan aku boss." Kata Seungwan tak tega. Ia meraih tissue dan mengelap dahi bossnya.

Yoongi melambaikan tangannya tak peduli. Setelah semua ini, kalau dia tetap terlambat, Yoongi bersumpah tidak akan membiarkan Seungwan menyentuh mobilnya lagi.

"Kau harus jauh-jauh dari mobil-mobilku." Kata Yoongi masih mendesis.

Bukannya kesal, Seungwan malah setuju. "Kita sudah beradu balap dengan kepolisian kalau aku membawa Jeepmu, boss."

"Kalau ada surat gugatan pelanggaran lalu lintas itu berarti kau yang harus mengurusnya." Kata Yoongi lagi.

"Okay boss. Okay." Ringis Seungwan. Ia melihat bossnya, lalu mengangkat tangannya untuk menyeka dahi bossnya, lagi.

Yoongi melihat wajah Seungwan yang fokus menyeka dahinya, ekspresinya serius, penuh perhatian, peduli pada setiap detile apa yang sedang ia lakukan, meskipun hal yang sangat sepele; menyeka dahi bossnya. Tak terhitung untuk yang keberapa kalinya, Yoongi merasakan gelanyar aneh dalam dadanya.

Lamunan Yoongi terputus oleh bunyi denting lift, kemudian dua sisi pintu membuka. Melihat pintu ruang pertemuan, fokus Yoongi kembali, dan Yoongi langsung tahu ia tak terlambat. Jam raksasa yang terpampang jelas dari lift menunjukkan masih ada lima menit lagi sebelum pertemuan dimulai. Wajah youngi langsung sumringah, dan dia melepas pegangan Seungwan, mualnya tak berasa sama sekali.

"Okay, jadi kita berhasil—" Kata Yoongi berjalan ke ambang pintu lift, melihat beberapa koleganya masih bercengkerama di depan pintu besar ruang pertemuan. "—berhasil tidak terlambat."

Seungwan mengangguk dengan senang, sekaligus bangga. "Syukurlah, boss."

Tak disangka, Yoongi menengok ke belakang, kearah Seungwan, lalu tersenyum, agak jenaka. Seungwan sedikit terkejut, tapi akhirnya ia balas dengan terkekeh.

Kemudian keduanya berhighfive ria.

.

.

.

"Aku tidak mengerti konsep mengapa perempuan harus memakai sepatu bertumit tinggi-tinggi." Kata Yoongi tepat tiga jam kemudian.

Yoongi dan Seungwan sedang duduk di sofa-sofa besar di dekat lift, menunggu. Penampilan Yoongi sudah cukup berantakan, dasinya sudah mengendur, rambutnya acak-acakan dan kemejanya hampir keluar. Rapatnya selama tiga sangat melelahkan, dan bahkan Yoongi tak menyadari ia sudah sangat semrawutan. Tapi meskipun begitu, wajahnya memancarkan semangat tersendiri, karena sekali lagi, pertemuan itu berlangsung lancar.

Seharusnya ia bisa langsung kembali ke kantor, bersantai atau mengerjakkan hal lain. Tapi sekarang Yoongi terjebak disini, harus menunggu Seungwan yang sejak rapat berakhir tadi mengeluh kakinya sakit. Sebenarnya Yoongi sudah memperhatikan Seungwan yang merasa tidak nyaman ketika harus berdiri selama setengah jam mendampingi Yoongi menyampaikan materi, di ruang rapat tadi. Sampai rapat berakhir, Seungwan baru bisa mengeluh pada Yoongi, ia sampai harus terpincang-pincang untuk berjalan sampai ke tempat ini.

"Kau tidak akan pernah tahu, boss." Kata Seungwan sambil menggerutu, menanggapi perkataan bossnya tadi. Ia sedang kesulitan melepas sepatunya sendiri.

"Menyiksa diri sendiri." Yoongi berdecak, "Dan juga mengapa ada tiga tali terikat disitu? Buang-buang waktu."

Seungwan bergumam malas menanggapi, fokusnya hanya pada tiga buah tali yang sepertinya terlalu kencang diikat, menempel ketat pada permukaan kulitnya.

Seungwan mendengar dengusan dari bossnya, sebelum akhirnya sepasang tangan pucat mengusir tangan Seungwan, mengambil alih ikatan-ikatan sialan yang membuat Seungwan tersiksa.

Meskipun Yoongi melepas ikatan-ikatan itu dengan hati-hati, tetap saja Seungwan meringis sakit. Kedua kaki Seungwan kini telah terbebas, dan terlihat jelas luka-luka yang ditimbulkan sepatunya, telapak kaki dan atas mata kakinya lecet, serta ruam kemerahan di sekitar pergelangan kaki akibat ikatan kuat.

Seungwan mengerucutkan bibirnya, meratapi keadaan kakinya, ia kemudian melihat bossnya yang sedang menatapnya serius.

"Bisa berjalan?"

Itulah yang membuat sekarang ini Seungwan berdiri di dalam lift, menyandar ke tubuh Yoongi. Salah satu tangan Yoongi melingkar ke tubuhnya dan memegang erat bahu Seungwan. Tangan Yoongi yang lain memegang lengan Seungwan supaya perempuan itu tidak jatuh.

"Sekarang aku tahu mengapa para perempuan memakai sepatu bertumit tinggi." Kata Yoongi tiba-tiba. Hembusan nafas Yoongi terasa di atas ubun-ubun kepala Seungwan dan Seungwan jadi tahu betapa dekat mereka berdiri. Dada Seungwan bergemuruh.

"A-apa?" sahut Seungwan.

"Lain kali jangan hanya pakai lima belas senti. Pakai dua puluh lima senti." Kata Yoongi. "Kau pendek sekali."

Seungwan mendengus. Gemuruh dalam dadanya sama sekali terlupakan. "Sepatu bertumit tinggi membuat perempuan lebih anggun, boss tahu 'kan. Itu juga bisa membuat perempuan lebih percaya diri, lagi pula sepatu-sepatu itu cantik. Membuat kaki lebih cantik juga, jadi lebih jenjang—"

"Lebih jenjang." Yoongi hampir terkekeh. "Itu Bahasa halus untuk menyebut orang pendek, menjadi lebih tinggi maksudnya?"

Seungwan memanyunkan bibirnya, ingin marah, tapi ia ingat kalau itu bossnya. "Aku tidak pendek."

"Aku tidak bilang subjek yang kita bicarakan tadi adalah dirimu, Wendy." Kata Yoongi mutlak.

"Tapi tadi boss mengataiku pendek—"

"Sekali."

"Hah?"

"Pendek sekali." Jelas Yoongi, Yoongi nyaris tertawa melihat wajah bingung Seungwan, tapi ia tak akan mungkin tertawa, apa lagi di depan karyawannya, akhirnya ia menyamarkannya dengan senyum, senyum simetris. "Bukan pendek saja, tapi pendek sekali."

"Ouch." Bibir Seungwan manyun lagi. "Boss, boss 'kan juga tidak terlalu tinggi!" protesnya.

"Aku 174cm." kata Yoongi, merasa bangga, entah mengapa.

Seungwan mendengus, 174cm bukan tinggi yang bisa dibanggakan, maka Seungwan menjawab, "Aku 160cm, apa bedanya—"

"158cm." potong Yoongi, "Jangan coba menipuku."

"Aku tidak menipu—"

"Biodatamu melebih-lebihkan. Ada data korupsi dua senti meter. Itu bisa saja fatal, kau tidak tahu?"

Seungwan menatap Yoongi tak percaya, bagaimana juga bossnya ini tahu tinggi sebenarnya? "Bukannya aku akan mendaftar menjadi pramugari atau angkatan militer Korea." Kata Seungwan, merujuk pada pekerjaan-pekerjaan yang sangat memperhatikan tinggi badan.

"Ya, bagaimana kau bisa menipu? Kepalamu saja tak sampai ke daguku." Kata Yoongi tak peduli perkataan Seungwan. "Dan aku hanya 174cm." Yoongi menegakkan tubuhnya, mengukur tinggi Seungwan dengan tubuhnya sendiri.

Seungwan kemudian berusaha berdiri tegak juga, tapi sialnya, Yoongi memang benar, ubun-ubun kepala Seungwan memang tak bisa menyentuh dagu Yoongi. Seungwan kemudian kesal sendiri. "Terserah boss saja!" dengusnya kemudian.

Seungwan mendengar bossnya terkekeh. Terkekeh. Perlu diulang memang. Bossnya terkekeh. Seungwan sampai mengerjapkan kedua matanya, mengira ia salah mendengar.

"Boss?" panggil Seungwan, ia tak bisa melihat wajah bossnya yang berdiri menempel di belakangnya, jadi ia tak bisa melihat ekspresinya.

Yoongi tak menjawab, kemudian Seungwan merasakan sesuatu yang keras menyandar ke ubun-ubun kepalanya, dan hembusan nafas Yoongi semakin terasa tepat di atas kepalanya. Mengapa Yoongi menyandarkan dagunya ke atas kepala Seungwan??? Baru saja Seungwan hendak bertanya, tapi terhenti karena gumaman Yoongi.

"Hah... maeu pyeon-anhan..."

.

.

.

maeu pyeon-anhan : sangat nyaman  ( ͡° ͜ʖ ͡°)

Aku nggak tahu itu kalimatnya digunainnya bener enggak dalem situasi itu HAHAHA soalnya kalo dibahasa Indonesiain rada aneh dan malah jadi nganu. atau cuma perasaanku doang ya, nggak tau wkwk. kalo ada yang tahu, tolong koreksi ya wkwk.

Terus itu scene terakhir berasa panjang banget kan padahal mereka di dalem lift wkwkw anggep aja itu mereka turun dari lantai 100 ya. Wkwk

Pokoknya selamat menikmati ya teman-teman semua. ini part lumayan panjang, 2800an words lohh. wkwk

Terimakasih komen dan votenya untuk chapter sebelumnya. I LOVE YOUUUU. maafkan ngga bisa langsung balas satu-satu, tapi beneran aku baca semua komen kalian dan itu bantu aku buat nulis semua ini T.T 

aku kadang baca-baca ulang komen kalian sebelum nerusin nulis chapter baru biar aku semangat wkwk.

Okay, sampai jumpa chapter selanjutnyaaaa!!!

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

75.9K 5.4K 25
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ Ma...
133K 10.3K 88
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
50.6K 6.6K 42
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
1M 85.8K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...