The Girl From Tomorrow [COMPL...

By beliawritingmarathon

1.3M 158K 107K

#𝕱𝖆𝖓𝖙𝖆𝖘𝖎 #𝐒𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 Juno tidak punya banyak pengalaman soal cinta. Tapi begitu dia jatuh cinta du... More

𝕵𝖚𝖓𝖔
01 - 𝕻𝖆𝖚𝖘𝖊
02 - 𝐒𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐭
04 - 𝐂𝐢𝐮𝐦 𝐃𝐮𝐥𝐮
05 - 𝐋𝐚𝐠𝐢 𝐁𝐞𝐠𝐨 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐞𝐭
06 - Sinkronisasi Semesta
07 - A Soul Who Need To Be Saved
08 - Oh, Ternyata
Time-Space Synesthesia
09 - 1999
10 - Manusia Setengah Malaikat
11 - Dimensi
12 - Melati, Antara Ada dan Tiada
13 - Breathe
14 - Lana, Jangan Hilang!
15 - Sang Pengadil
16 - Buku Kunci
17 - Jika dan Hanya Jika
18 - Hak Untuk Merindukan
19 - Cinnamon Girl
20 - Teman
21 - Upgraded
22 - Suara Dari Kikan
23 - Setidaknya Jangan Berjuang Sendirian
24 - Demi Segalanya
25 - Para Adrian
26 - Orang Penting
27 - Soul Apocalypse
28 - Pertemuan Khusus
29 - The Axis Of Love
30 - Where is who?
31 - KITA
32 - Gone
32 - Apology
33 - Seolah
34 - sink down
35 - SOS
36 - Janji Jiwa
37 - Inside My Head
38 - Feels Like The End
39 - Fix You
40 - Under Your Spell
40 - Time And The Stories Left Behind [END]
JUNO TERBIT DAN GIVEAWAY

03 - 𝐉𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚 𝐌𝐮𝐬𝐢𝐦 𝐆𝐮𝐠𝐮𝐫

50.9K 4.9K 1.3K
By beliawritingmarathon

Alo, it's me again. Juno's Dad.

Oke. Kakanda nggak bakal banyak cincong. Tapi perhatikan ini dulu:

Di bab 3 ini tantangannya kalian harus mempertajam daya imajinasi. Perjelas setiap piksel warna dalam setiap sel memori kalian. Juga perkuat intuisi yang kalian punyai.

Ready?
Oke, here we go.

____________________________

CHAPTER 03
[Estu Herjuno

...

Saat itu di dalam kepala gue seolah terdengar bait pertama lagu Dusk Till Dawn milik Mas Zayn Malik.

Not tryna be indie.
Not tryna be cool.
Just tryna be in this.
Tell me how you choose.
Can you feel why you're in this?
Can you feel it through.
All of the windows.
Inside this room.

Gue berusaha untuk tidak sebegitu paniknya sejak mencurigai kalau cewek yang duduk di sebelah gue ini adalah Nacita Kelana yang itu. Bisa saja salah. Bukannya Kikan bilang kalau Lana mainnya pagi-pagi? Hm, kalau itu memang dia, jangan-jangan dia tahu kalau si Ganteng Kalem ini pengin ketemu. Terus sengaja nungguin gue di sini.

Tuh kan, jadi GR guenya.

Gue memilih untuk menyibukkan diri dengan ponsel. Lagi pula kalau itu memang dia, gue cuma sebatas pengin tahu saja. Nggak lebih. Tapi serius, perasaan gue ambyar gemebyar. Jantungnya byar byar byar.

Ini cewek cantik banget, Tuhannnnn!

Oksigen di sekitarnya terasa seperti embusan angin dari Himalaya. Seolah pergerakan partikelnya langsung masuk ke dalam DNA gue dan mengubah susunannya menjadi serpihan DNA baru; DNA cowok paling beruntung sejagad raya yang bisa duduk sebelahan dengan Nacita Kelana.

Dia memang orang asing. Tapi hari ini ada satu niatan yang gue tujukan padanya. Maksudnya, gue pernah pengin ketemu. Tapi ya gue nggak pernah mengira bakal dengan cara terjebak debar seperti ini juga.

"Lengkapnya Nacita Kelana," cewek itu mendikte Mas Bahri yang sedang membuat kwitansi. Suaranya pulen.

Oke, fix. Dia Lana yang itu. Lana yang pinter. Lana yang dibicarakan cowok-cowok Nuski. Lana yang siswi pertukaran. Lana yang cantiknya bukan mitos. Dan sejak sekarang sepertinya gue akan sering lupa bagaimana caranya bernapas kalau pada akhirnya kami harus saling bicara. Nacita Kelana. Nama itu sudah gue tambahkan ke dalam perbendaharaan nama di kepala gue dengan rincian definisi tadi.

Gue nggak tahan pengin menoleh dan mengamati sekali lagi. Semerbak aroma sampo terbawa angin tipis-tipis sampai tercium hidung dari rambut Lana. Rambutnya sedikit ikal dan memanjang sampai punggung. Kalau dibelai sambil bilang sayang, pasti bakal gini jatuhnya: sayaaaaaaang. Kalau rambutnya pendek: sayang. Kalau cepak jadi: syg. Kalau gundul ... sori, gue sudah terlalu jauh.

"Nggak banyak loh anak remaja zaman sekarang yang tertarik sama barang antik," kata Mas Bahri. "Saya kenal Juno doang. Bocah yang saking seringnya mampir ke sini sampai kenal sama saya."

Gue menoleh perlahan ke arah Mas Bahri, "Saya udah bukan bocah, Mas!" protes gue dengan alis menyudut.

Mas Bahri tertawa. Tapi Lana seperti tidak peduli sama sekali dengan suasana sekitar. Dih. Dia malah lebih tertarik menatap kertas kwitansi yang sedang diabaikan oleh Mas Bahri karena tertawa tadi. 😤

"Biasanya yang suka sama barang antik ada dua alasan, Kak," tiba-tiba Lana bersuara, "Pertama karena cuma ikut-ikutan tren klasik. Kedua karena memang bisa melihat barang antik sebagai sesuatu yang punya memori khusus dari waktu ke waktu."

Maksud Ngana?

"Dan aku bukan yang ikut-ikutan tren klasik itu, Jenius," kata gue seketika. Entah kenapa dia tadi seolah menyindir.

"Aku nggak lagi ngomong sama kamu," kata Lana tanpa menoleh.

Asem lah. Nyesel gue ngomong. Minta diajak joget sama Badarawuhi nih cewek.

Mas Bahri menatap bingung ke arah gue dan Lana bergantian. Selanjutnya yang terdengar hanya suara sobekan kwitansi.

Keheningan itu berlangsung beberapa menit. Sebelum kemudian dipecahkan oleh suara guruh dari langit tak lama kemudian.

Saat gue dalam perjalanan ke sini langit memang sedang mendung. Tapi gue tidak pernah mengira ketika justru yang datang adalah angin kencang alih-alih hujan.

Pintu Remember Me terbuka kuat hingga memberi masuk embusan angin yang dingin. Tak lama kemudian angin di luar sana berubah menggila. Dengan jelas gue melihat tong sampah di trotoar seberang terlempar kuat melalu jalan raya. Sampah plastik dan koran juga terhuyung angin. Karena gue pikir pintu yang terbuka itu sebab gue yang tadi tidak menutupnya dengan rapat. Lantas gue berderap ke arah pintu untuk menutupnya kembali.

Bagian depan Remember Me dibangun dari dinding kaca. Jadi bukan hal yang mustahil seandainya ada benda yang terlempar kuat akan bisa membuat kacanya pecah. Dalam sekejap, suasana di luar sudah persis seperti disapa badai angin sedang. Hanya angin, tanpa hujan. Kendaraan yang berlalu-lalang di depan Remember Me memperlambat lajunya karena beberapa orang berlarian mencari perlindungan.

Mas Bahri menyusul gue dengan membawa kunci. Gue coba mengintip ke luar selagi Mas Bahri mengunci pintu itu. Anehnya, sejurus kemudian angin kuat itu tidak lagi menerbangkan sampah plastik atau pun kertas. Melainkan pasukan daun-daun maple yang berwarna kuning, oranye, hijau, merah dan ada juga yang keunguan. Dedaunan itu seperti dihamburkan secara sengaja dan acak-acakan entah datang dari mana. Melayang-layang di udara sebelum akhirnya berserakan di atas jalanan. Seolah berguguran dari tangkai-tangkainya langsung. Entah bagaimana, yang jelas kedatangan angin itu telah membawanya ke tempat ini. Tapi, maple? Di Jakarta?

"Tahun ini musim hujan datang lebih awal. Tapi apa prakiraan cuaca hari ini memang bakal ada angin gini, Mas?" tanya gue.

"Nggak tahu. Nggak pernah lihat ramalan cuaca. Paling angin bentaran aja ini, Jun. Mendung udah dari pagi. Mau hujan kayaknya. Atau mungkin semacam badai."

"Semalam hujan juga deras, Mas."

Mas Bahri memastikan suasana di luar sebelum meminta gue kembali ke tempat duduk. "Kamu di sini saja. Pulangnya nanti kalau sudah Reda," ujar Mas Bahri.

Saat kami kembali, Lana justru berdiri. "Aku udahan ya, Kak."

"Lah, mau ke mana? Pulang? Di luar lagi angin kencang itu," kata Mas Bahri.

"Makanya."

Gue heran sama cewek ini, "Kalau ada angin kencang bukannya lebih baik nggak keluar?" gue berpendapat. Itu secara otomatis membuat gue kontak mata dengan Lana. Tapi dia abai. Sekarang dada gue yang kena badai.

Lalu kami dikejutkan oleh suara pintu yang diketuk keras-keras. Saat kami menoleh, di depan pintu sana ada seorang cowok yang sedang berdiri. Perawakannya nggak jauh berbeda dengan gue. Hanya saja dia memiliki rambut yang cepak seperti taruna. Ekspresi wajahnya tidak santai sama sekali.

Lana melewati gue dan Mas Bahri. Dia menghampiri cowok itu, namun tidak bisa keluar karena pintu terkunci. Mas Bahri kemudian menyusul Lana untuk membukanya. Ketika pintu terbuka, dengan segera Lana menarik lengan cowok itu hingga menjauh dari pintu sampai ke trotoar. Karena penasaran, gue lalu berjalan ke arah dinding kaca untuk melihat.

Mas Bahri segera memeriksa etalasenya karena terdengar seperti ada benda yang jatuh begitu pintu dibuka dan angin masuk.

Lana tampak sedang berbicara serius dengan cowok itu. Mereka berbicara di tengah angin yang sedang marah-marahnya. Tangan mereka bergerak-gerak ketika bicara. Bahkan cowok itu menunjuk ke sekeliling seolah mengomentari situasi cuaca yang sedang terjadi.

Gue tidak salah lihat. Dari arah belakang cowok itu, datang pusaran angin yang diameternya kecil. Bentuknya seperti tornado 🌪️, tapi mini. Pusaran itu berhenti dan meliuk-liuk 🌪️ di belakang kaki cowok itu seolah anjing peliharaan yang minta diajak bermain oleh tuannya. Ketika pembicaraan mereka usai, cowok cepak itu berbalik badan untuk pergi. Langkahnya menabrak tornado kecil tadi hingga pusarannya terurai.

Lana masih berdiri di sana. Namun, apa pun urusan yang tadi mereka bicarakan, itu seolah menenangkan keributan alam. Berangsur-angsur laju angin berubah menjadi lebih ramah. Angin galak berubah jinak.

Lana menoleh ke arah kaca jendela di mana gue berdiri di baliknya. Lalu dia menjatuhkan tatapannya ke arah perginya cowok tadi sebelum akhirnya dia menyusul.

Getar ponsel di saku celana membuyarkan pikiran gue yang sempat tertegun. Kikan menelepon.

"Halo, Kan?" ucap gue begitu mengangkat panggilan. Napas gue masih sengal dan belum habis pikir dengan apa yang baru saja gue saksikan. Gue masih berdiri di sisi kaca melihat-lihat situasi di luar. Daun-daun musim gugur berserakan di luar sana. Entah seperti apa media akan memberitakannya nanti.

"Lo jadi ke sini, nggak? Soalnya ini kayak mau hujan, deh. Tadi sempet ada angin kenceng. Sori, gue nggak langsung bales WA. Soalnya tadi lagi banyak banget yang datang ke kios."

"Iya, gue tahu. Nggak apa-apa."

"Lo sekarang di mana?"

"Gue udah nyampe dari tadi. Ini lagi di Remember Me. Lo mau balik kapan?"

"Oh, di sebelah. Kayaknya balik cepet, deh. Tadi pas angin kenceng satu rak DVD nyaris jatuh ke lantai semua. Ini gue sama karyawan yang lain lagi pada beresin. Terus yang beli pada bubar barusan," Kikan menjelaskan dengan suara letih.

"Mau balik bareng?"

"Lo ke sini dulu deh. Butuh tenaga cowok buat benerin rak."

"Oke."

Panggilan berakhir. Gue nggak berani bilang pada Kikan kalau tadi gue melihat Lana di sini.

Setelah pamit sama Mas Bahri gue langsung keluar dari toko. Dan bukan main, daun-daun itu berserakannya sampai di sepanjang jalan raya. Warna-warninya seperti tumpahan cat yang membuat jalanan terasa lain. Beberapa orang ada yang sibuk memfoto untuk galeri media sosialnya. Beberapa yang lain ada yang memunguti daun-daun mapel itu, yang tentunya mengundang pertanyaan kenapa bisa berguguran di Jakarta. Well, meskipun gue nggak yakin apakah seluruh Jakarta mengalami yang seperti ini atau tidak.

Pun gue mengambil selembar daun yang berwarna kekuningan. Cantik. Dan ini daun sungguhan. Gue menoleh ke arah perginya Lana dan cowok itu. langit masih mendung. Angin pun bergerak pelan. Kepyar-kepyur gerimis lembut terseok di udara menyambut datangnya hujan yang sepertinya tak lama lagi.

Hal aneh berikutnya, gue tiba-tiba mendapat penglihatan yang sekilas di dalam kepala. Lima detik, atau kurang. Sebuah penampakan ruang angkasa. Lengkap dengan tebaran galaksi yang diselimuti gumpalan nebula berwarna keunguan, putih, perak, gelap, magenta. Seperti hamparan lukisan gaya Jackson Pollock yang hidup di angkasa tinggi. Cahaya lintang bertebaran. Gelap.

Dan semakin aneh ketika di dalam kepala gue mendengar suara denting-denting. Lalu sesaat berganti menjadi suara seperti gerbang-gerbang yang terbuka. Semacam dimensi. Lapis demi lapis. Bukan secara kasat mata. Namun, terbuka di dalam diri gue. Demi Tuhan, gue nggak tahu itu tadi penglihatan apa.


Tertegun sejenak gue lantas mengucek mata. Mungkin halusinasi.

Gue merapatkan jaket. Meski udara kembali normal, namun bukan main suhunya seperti jatuh. Melenggang ke kios sebelah, gue melihat Kikan sedang menata deret DVD di rak. Dia berkacak pinggang melihat gue masuk.

"Kacau," katanya ke gue.

"Kayaknya lo harus lihat apa yang terjadi di luar."

"Apaan?" tanya Kikan.

"Lihat aja."

Kikan lalu melongok keluar. Dia sama terkejutnya dengan gue ketika melihat ada dedaunan musim gugur yang berserakan di sana.

"Terbawa angin," kata gue.

"Harus disapu dulu deh sebelum pulang," ungkapnya sambil menghela napas lelah. Dia lalu berdecap lesu.

Kikan hanya berkomentar seperti itu dan tidak menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang aneh. Maksud gue, maple sebanyak itu gugur di Jakarta? Ayolah, siapa saja yang waras pasti akan menganggap ini janggal.

***

Malamnya gue termenung di dek. Hujan turun lagi. Hujan malam yang terasa aneh. Isyarat-isyarat dari air langit itu kali ini terasa berbeda. Ricik airnya terdengar seperti morse-morse tentang kejanggalan lain yang tak seumumnya ada.

Untuk kesekian kalinya, gue disadarkan oleh getar ponsel ketika termenung. Bzzz, bzzz, kali ini Sidney yang menelepon. Sid adalah temen cowok gue yang punya pikiran aneh. Ekstrover dalam dirinya selalu bisa mengusik ruang introver gue yang terlalu nyaman. Sid selalu berusaha ―dengan cara apa saja― untuk membuat gue bisa seterbuka itu dengan banyak hal.

"Jun, ini udah gue render hasil akhir setelah preview yang kemarin. Gue tambahin efek suara dikit yang hasil editan lo biar makin cakep. Terus rencana gue mau share videonya mulai pukul setengah tujuh pagi. Gue mau share ke grup angkatan, ke Kabag Kesiswaan biar diteruskan sendiri, ke medsos kita termasuk YouTube," Sid menyerocos.

"Cool."

"Ada tambahan?"

"Kirim ke gue dulu sebelum di-share."

"Cek surel! Udah dikirim dari tadi. Ini gue telepon mau lapor aja. Njiiiir, lo sampai surel pun notifikasinya dimatiin?"

"Oh. Ya udah. Gue cek dulu."

"Jangan dimatiin teleponnya."

"Ya."

Beberapa menit kemudian. "Sip. Udah oke," komentar gue.

"Udah ditonton?"

"Udah. Durasinya cuma lima menit, kan?"

"Iya. Oke, ini berarti sip, ya?"

"Iya."

Kemudian hening nyaris satu menit. Dua menit.

"Ampun! Ngomong apa, kek. Sepi amat telepon sama lo," protes Sidney.

"Apa?"

Sid mendengus, "I hate you tiga ribu."

Klik.

***

Tiga hari kemudian berlalu dengan normal. Maksud gue, nggak ada lagi waktu yang berhenti tiba-tiba, atau tamu tak diundang serupa musim gugur, atau kilasan aneh yang gue lihat di dalam kepala.

Fenomena beberapa hari yang lalu diberitakan secara masif. Anehnya memang nggak ada pihak yang bisa menjelaskan secara pasti bagaimana daun-daun maple sebanyak itu bisa gugur di Jakarta. Apalagi, ternyata hanya di wilayah yang kemarin saja lokasi gugurnya.

Sepekan ini setelah beresin proyek video peringatan Sumpah Pemuda, gue izin untuk nggak datang ke perkumpulan anak-anak ekskul film. Sebenernya, gue lagi ada proyek sendiri yang perlu direncanakan matang-matang sebelum eksekusi. Yaitu, gue pengin bikin mini webseries yang diadaptasi dari karya gue yang di Wattpad. Ini masih rahasia, tidak ada yang tahu kecuali Kikan. Semacam, kejutan manis untuk pembaca gue tertjintah.

Menurut gue, bagian paling indah dari sekolah adalah ketika mendengar bel pulang. Terus sampai rumah langsung tidur. Bangunnya abis asar. Baru deh bebas mau ngapain aja. Termasuk meladeni nomor baru yang nge-chat tanpa basa-basi.

+628xx:
- Juno, ini Alan. Gue sama Naga udah lihat video yang lo garap. Tadi gue cari lo di ruang ekskul nggak ada. Besok bisa ketemu, nggak?

Nggak ada angin, nggak ada badai, tiba-tiba minta ketemu. Kenal kagak.

Satu jam gue telantarkan pesannya, lalu dia kirim lagi.

+628xx:
- Heh, Bambang. Ini WA bukan SMS yang nawarin pinjaman, yah. Jadi tolong dibales.

Gue:
- Alan siapa?

+628xx:
- Anak Indonesia. Anak Pak Emsul. Anak Nuski. Anak IPA. Bisa nggak besok ketemu?

Nggak jelas ini anak.

Gue:
- Sori, nggak kenal nama itu. Ada perlu apa?

+628xx:
- Ya makanya kenalan dulu, Jono. Gue Alan. Bisa ketemu nggak? Gue ada perlu, seriusan.
- Penting ini. Sama temen gue juga yang namanya Naga.

Gue:
- Mau perlu apa?

+628xx:
- Njir, lo makhluk apaan sih. Ribet amat kayak peraturan sekolah. Jadi gini bosqu. Gue sama Naga mau bikin Channel YouTube. Nah kita perlu videografer yang andal. Gue sama Naga udah lihat video lo yang Sumpah Pemuda itu. Jujur, itu keren. Tapi itu beneran editan lo, kan?

Gue:
- Iya. Itu gue, dan tim juga sebagian.

+628xx:
- Jadi bisa nggak ketemu?

Gue:
- Channel apaan?

+628xx:
- Nggak tahu sih pastinya. Ini ide Naga. Kita ngobrol aja dulu. Gimana?

Ini ajakan aneh ketika gue lagi mau garap proyek sendiri. Dan gue belum kenal sama dua anak ini. Gue menimbang-nimbang sebentar. Kalau pun gue mau, mungkin itu bisa jadi tambahan kru buat garap webseries gue. Lalu gue memutuskan untuk mencoba saja dulu.

Gue:
- Kalau mau ketemu jangan di sekolah.

+628xx:
- Oke sip. Mau di mana?

Gue:
- Besok gue ada perlu di Remember Me. Toko barang antik. Nanti gue share lokasinya. Ngga jauh-jauh amat. Pukul 16.00. On time. Kalau lewat semenit aja kalian nggak dateng, gue cabut.

***

***

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe

***

Huff, tarik napas dulu.

Gimana pendapat kalian tentang bab ini?

Dalam imajinasi Kakanda, bab ini magis banget loh kejadiannya. Kalian bisa bayangin itu nggak?
🌪️🍂🍁🌬️

Kakanda bakal sering memakai gambar gerak/GIF untuk menstimulasi imajinasi temen-temen barangkali ada yang perlu. Kakanda sadar tidak semua orang mudah menyusun imajinasi fantasinya ketika membaca. Nggak keganggu kan ya dengan gambar-gambar itu? 🙂

Bab 4 nanti pas malam Minggu kan? Siap-siap mesem dan melayang ya.

Menurut kalian ada hubungannya sama Lana nggak kejadian yang janggal itu?

Hm, atau cuma cowok rambut cepak itu saja?

Kita tunggu saja nanti. 🤫

Oh yaaa, ada kabar bagus neh. Bujangnya Kakanda, Juno baru dapat nominasi keren neh. Proud Dad is here 😎 ketamvananya sudah certified.

Keep connect with me:
Instagram: @sahlil.ge
Wattpad: TheReal_SahlilGe
Instagram Juno: @sandaranbahu

Continue Reading

You'll Also Like

65.9K 6K 50
"Kenapa kita dapet segitu banyak luka padahal umur kita masih 17 tahun?" "Supaya 27 tahun lagi, waktu lo juga punya anak yang umurnya 17 tahun, lo bi...
11.9K 1.5K 31
SUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa k...
2M 248K 44
Mimpi adalah bunga tidur. Namun bagaimana jika mimpi menghantuimu, mengekangmu pada setiap sudut kesunyian, menjebakmu tanpa tahu jalan keluar? Mimp...
1.3M 95.6K 21
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [6] : Danies Arta Dinat...