The Girl From Tomorrow [COMPL...

By beliawritingmarathon

1.3M 158K 107K

#𝕱𝖆𝖓𝖙𝖆𝖘𝖎 #𝐒𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 Juno tidak punya banyak pengalaman soal cinta. Tapi begitu dia jatuh cinta du... More

𝕵𝖚𝖓𝖔
01 - 𝕻𝖆𝖚𝖘𝖊
03 - 𝐉𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚 𝐌𝐮𝐬𝐢𝐦 𝐆𝐮𝐠𝐮𝐫
04 - 𝐂𝐢𝐮𝐦 𝐃𝐮𝐥𝐮
05 - 𝐋𝐚𝐠𝐢 𝐁𝐞𝐠𝐨 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐞𝐭
06 - Sinkronisasi Semesta
07 - A Soul Who Need To Be Saved
08 - Oh, Ternyata
Time-Space Synesthesia
09 - 1999
10 - Manusia Setengah Malaikat
11 - Dimensi
12 - Melati, Antara Ada dan Tiada
13 - Breathe
14 - Lana, Jangan Hilang!
15 - Sang Pengadil
16 - Buku Kunci
17 - Jika dan Hanya Jika
18 - Hak Untuk Merindukan
19 - Cinnamon Girl
20 - Teman
21 - Upgraded
22 - Suara Dari Kikan
23 - Setidaknya Jangan Berjuang Sendirian
24 - Demi Segalanya
25 - Para Adrian
26 - Orang Penting
27 - Soul Apocalypse
28 - Pertemuan Khusus
29 - The Axis Of Love
30 - Where is who?
31 - KITA
32 - Gone
32 - Apology
33 - Seolah
34 - sink down
35 - SOS
36 - Janji Jiwa
37 - Inside My Head
38 - Feels Like The End
39 - Fix You
40 - Under Your Spell
40 - Time And The Stories Left Behind [END]
JUNO TERBIT DAN GIVEAWAY

02 - 𝐒𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐭

79.6K 6K 2.3K
By beliawritingmarathon

Alo! Juno's Dad is back!

*****

Langsung aja, nih, Bosque.
Selamat membaca.

****

CHAPTER 02

[Estu Herjuno]

"Lo tadi ngerasain sesuatu yang aneh, nggak?" tanya gue. Kikan sedang berusaha memasukkan segarpu ramyun ke dalam mulutnya.

"Apaan?" Kikan nanya balik dengan mulut penuh.

Gue menimbang-nimbang apakah perlu jelasin soal kejadian waktu yang terhenti tadi atau menahannya. Ah, lethologica! Beneran, Kikan bukan tipikal manusia yang bakal langsung percaya dengan cerita semacam itu. Dan gue nggak mau disebut aneh hanya karena nyeritain anomali tadi.

"Nggak jadi," jawab gue.

"Dih, apaan banget sih."

Gue agak bengong jadinya. Lalu bersandar pelan ke kursi rotan.

"Ada apaan, sih? Gue kesel deh kalau ada orang yang mau ngomong, udah bikin penasaran, tapi malah ditelen lagi nggak jadi diomongin," protesnya.

"Nggak penting juga soalnya." Padahal dahi gue masih berkeringat.

Kikan memutar bola matanya. Lalu mengambil satu suapan lagi. "Lo nggak bikin ramyun juga?"

"Kagak," jawab gue menatap kosong ke arah lain.

"Kenapa? Abis lihat setan?"

"Setan?"

Kikan menyerah karena gue lagi nggak nyambung banget. Kemudian dia mengambil satu tusuk sempolan untuk dicampur dengan kuah ramyun.

Gue lalu membiarkan Kikan menghabiskan makanannya.

Masih agak bengong gue. Tadi itu apa? Kenapa semuanya terhenti dan cuma gue yang nggak? Bahkan Kikan kayaknya nggak sadar akan itu.

Setelah selesai dengan makanannya Kikan lalu mengulurkan ponselnya ke gue. "Nih, Instagram Lana. Nggak usah penasaran lagi. Foto profilnya kosong, cuma ada unggahan foto jam astronomi yang terkenal dari Praha itu. Pengikutnya juga cuma ada tujuh biji. Akunnya dikunci dan nggak semua orang bakal dia konfirmasi."

Mood gue langsung berubah. "Mana lihat?" gue memeriksa akun itu dan ternyata benar apa kata Kikan. "Cool," ucap gue singkat. Tanpa sadar bibir gue mesem cuma lihat gambar jam.

Kikan nyaris menyemburkan minuman dari mulutnya, "Lo serius penasaran sama dia?"

"Nggak juga," jawab gue. "Bukan penasaran ke dia, tapi penasaran kenapa cewek itu rame banget diomongin banyak orang."

"Pake alesan." Kikan merebut ponselnya kembali. "Bilang aja penasaran sama orangnya juga."

"Wajar kan kalau gue akhirnya penasaran juga?"

"Ya wajar. Eh tapi beneran loh, Jun. Dia beda banget!" Kikan mode gibah.

"Gimana, gimana?" gue mode ogah-ogahan tapi mau. Gue jarang tertarik ngomongin orang, tapi untuk kali ini gue siap gelar tikar.

"Lo denger nggak tadi pas gue nanya alasan dia suka sama sejarah? Wah parah sih, jawabannya nggak gue kira bakal kayak gitu. Gue bengong dong pas dia jawab panjang lebar."

"Cool." Gue mengangguk antusias dengan wajah serius.

"Pas siaran itu pertama kalinya gue ketemu sama Lana. Soalnya yang ngatur janji sama Lana kan tim. Secara paras ajib sih dia. Gue jadi nggak heran kalau anak cowok pada ngeces."

"Waw."

"Serius, anaknya easy going. Bisa ketawa juga pas tadi anak-anak pada bercanda."

"Cool," gue mengangguk lagi. Kali ini sambil bersedakap.

"Dan dia langsung akrab dong sama gue. Malah dia bilang pengin main ke kios DVD besok. Sempet ngobrol lama tadi, makanya dia tahu kalau gue ambil paruh waktu besok."

"Waw."

Kikan menyipitkan matanya, "Nggak ada gitu jawaban selain cool dan waw?"

"Keren!"

Kikan mendengus kesal. "Gue itu berusaha ngasih informasi ya biar lo nggak penasaran."

"Lah iya. Itu emang informatif kok!" gue terkekeh melihat ekspresi Kikan. "Cuman informasi kamu kurang nomor WhatsApp-nya aja."

Mendengar gue bilang gitu, Kikan langsung ketawa. "Eh, Bajul! Gue punya dong. Tapi ya masa gue kasih cuma-cuma. Pri-va-si. Dan gue udah janji ke Lana nggak bakal nyebarin nomornya. Kalau mau ya usaha aja sendiri."

Gue terkekeh dibuatnya. Lalu mengambil satu tusuk sempolan dan menggigitnya.

"Lagian, Jun. Ini tuh kali pertama gue lihat lo setertarik itu sama cewek. Padahal tahu anaknya pun belum. Tapi percaya deh sama gue. Lana itu kayak punya caranya sendiri untuk akrab sama orang baru."

Gue memasukkan sampah tusuk sempolan ke dalam plastik. Hujan masih meladu di luar sana. Lumayan deras. Tapi rasanya beda. Hujan kali ini seperti pasukan dari antah berantah yang sedang berusaha menyampaikan sebuah isyarat.

"Penasaran, sih," komentar gue hanya sebatas itu.

"Ya udah. Besok ikut gue aja ke kios kalau pengin tahu anaknya," usul Kikan yang sudah ambil satu tusuk sempolan lagi.

"Ya kali bakal kentara banget gue capernya. Belum lagi kalau ternyata dia itu pembaca gue di Wattpad. Mati kutu lah gue dibuatnya."

"Lah kenapa? Malah bagus kalau gitu! Bisa lebih gampang kalian cairnya. Lagian lo kayak anti banget deh sama pembaca."

"Bukannya anti. Lo nggak paham sih gimana rasanya bikin baper banyak orang lewat cerita yang gue tulis. Dan itu membuat pembaca cewek pada mengira seolah gue sebegitu pakarnya sama cinta. Kan lo tahu sendiri gue pengalaman cintanya masih level andai-kata."

Sontak Kikan terbahak-bahak, "Ya kan lo emang gitu! Emang pernah lo balas DM pembaca?"

"Kalau DM-nya penting ya pasti gue bales. Cuman kalau isinya pada ngalus, sementara gue nggak kenal sama mereka, bagi gue itu creepy."

Kikan malah makin ampun ketawanya.

"Orang asing nggak semuanya gitu, Junedi. Akrabin deh. Asal jangan baper aja," kata Kikan.

Gue menggeleng abai. Mengambil ponsel dari saku celana karena getar terus dari tadi.

Grup ekskul film lagi ada proyek buat tanggal 28 Oktober Senin besok. Sebagai yang pegang divisi videografi, gue sudah kelarin tanggung jawab gue untuk menangani editorial dan tetek-bengeknya. Tinggal disebarin aja videonya kalau udah pas waktunya. Hari Sumpah Pemuda emang rutin diperingati oleh SMA gue. Biasanya anak film yang sering dikasih mandat untuk bikin sinematografi khusus peringatan hari besar.

"Lo udah cek preview video yang gue garap belum? Yang semalam gue kasih itu," tanya gue ke Kikan.

"Udah. Bagus sih, mayan."

"Oke."

Lalu gue teringat satu hal yang perlu gue sampaikan ke Kikan. "Oh iya, tadi siang gue ketemu sama Asbi. Dia nanyain, lo lagi punya masalah apa, kok sama dia jutek amat?"

Kikan langsung setel budek.

"Denger nggak tadi gue ngomong apa?"

Lalu Kikan mendengus. "Lain kali kalau dia nanya, nggak usah direwes," jawab Kikan pada akhirnya.

"Hei," suara gue sengaja dibikin kalem biar dia noleh. "Wajar kalau Asbi nanya-nanya gitu soal gebetannya. Dia udah usaha biar bisa deket sama lo dari kapan coba. Sejak lo kelas sepuluh, kan? Sampai sekarang dia udah kelas dua belas. Bentar lagi lulus."

Kikan mencoba abai sama omongan gue. Asbi kakak kelas kami. Dia orang baik. Satu ekskul sama Kikan. Sekarang udah purna dari struktural ekskul radio. Tapi sesekali masih suka ke studio. Cuman dia lebih sibuk di sasana bela diri. Taekwondo. Udah lama Asbi usaha biar bisa jadian sama Kikan. Cuman Kikannya aja yang nggak tahu kenapa belum bisa nerima Asbi.

"Gue nggak bisa sama dia," kata Kikan tiba-tiba setelah kami hening.

"Kenapa nggak?"

"Jun, dia itu setelah lulus mau masuk Akmil."

"Masalahnya di mana? Bukannya itu keren?"

Kikan nggak langsung jawab. "Ya masalahnya, gue nggak mau kalau setelah bareng sama dia tiba-tiba jauhan. Lo kayak nggak tahu aja kalau di Akmil bisa lama banget nggak ketemunya."

"Jadi, lo cuma takut kalau kalian bakal LDR?"

"LDR bukan perkara biasa, oke?"

"Iya, sih. Terus gimana kalau dia nggak jadi masuk Akmil? Lo mau nerima dia?"

Kikan nggak jawab.

Akhirnya gue nambahin, "Yang gue tahu, cowok bisa mengorbankan apa saja untuk cewek yang dia sayang. Dan masalah ini gue kira lo cuma perlu ngobrol aja sama Asbi."

Kikan menepok ponselnya ke pangkuan sendiri.

"Gue boleh ngasih saran, nggak?" ucap gue lagi.

Lama nggak merespons, namun akhirnya Kikan menoleh ke gue. "Hm, apa?"

Gue mengembuskan napas panjang. "Mungkin, Asbi udah ngerencanain banyak hal untuk impiannya. Terus ketika dia jatuh cinta sama lo, untuk mewujudkannya dia harus mengorbankan impiannya jadi tentara. Dan lo nggak mungkin bakal sekejam itu, kan?"

Kikan berdecap. Lalu menghela napas panjang. "Sebenernya ini bukan masalah itu aja, Juno. Gue cuma ... apa ya," Kikan menjeda ucapannya. Lalu, "Lagi nggak mood buat pacaran. Paham nggak?"

Gue diam sejenak, "Kalau itu sih gue satu milyar persen paham."

Dan entah kenapa pembicaraan kami terhenti. Gue nggak mau bahas ini lebih lama. Obrolan ginian memang nggak akan pernah bisa bertahan lama di antara gue sama Kikan. Dari dalam diri gue sudah memahami ini. Kikan memang cewek yang mandiri, tapi bukan berarti cewek mandiri nggak butuh sebuah perlakuan yang penuh kasih sayang dari cowok. Terutama yang seperti Asbi.

Kikan cuma sedang menyangkal. Menyangkal banyak hal.

***

Pulang dari pertemuan sama anak-anak ekskul film, karena ini hari Minggu, gue menyempatkan mampir ke rumah sakit milik orang tua gue. Sekalian mau check up rutin. Private service.

Sekitar empat tahun terakhir gejala-gejala itu mulai berdatangan. Sering muncul ruam merah di lengan atau tungkai bawah yang bentuknya seperti bekas bekam. Kadang seukuran koin. Kadang juga bentuknya tak teratur seperti gambar pulau. Bisa hilang meski butuh sampai dua atau tiga hari, atau malah lebih. Lalu demam, mudah berkeringat setiap tidur, kepala pening seperti ditindih. Menyedihkan memang ketika masih semuda ini tapi badan udah rusak dan sekarat.

Gue hidup berdampingan dengan iblis di dalam tubuh. Iblis itu berbentuk penyakit kelainan darah serius bernama Vaskulitis. Atau penjelasan singkatnya itu peradangan pembuluh darah. Dan kasus yang terjadi pada diri gue, bentuknya ada dua macam: kemunculan ruam pada kulit dan penyempitan dinding pembuluh darah pada beberapa organ.

Beberapa kali tubuh gue diterawang pakai alat-alat canggih seperti CT Scan dan MRI. Untuk benar-benar membuktikannya, entah berapa kali gue juga sempat mengikuti tes darah, tes urin, pengecekan kondisi dinding pembuluh darah dengan prosedur angiograf. Sampai yang paling baru nih, bulan lalu kesekian kalinya gue mengikuti prosedur biopsi untuk memeriksa apakah ada organ dalam tubuh gue yang sudah terdampak. Karena risiko vaskulitis bisa menyerang semua organ dalam tubuh, tanpa ampun.

For your info, vaskulitis belum bisa disembuhkan, sampai detik ini. Artinya selama gue masih punya jatah hidup dari Tuhan, selama itu juga gue masih berdampingan bersama iblis bernama vaskulitis.

Anak se-Nuski nggak ada yang tahu tentang ini kecuali Kikan. Cuma Kikan satu-satunya anak Nuski yang tahu bahwa setiap detiknya gue sedang berperang melawan ancaman kematian.

Tuhan, gue nggak pernah mau mati muda.

Gue nggak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati masa-masa itu. Gila-gilaan sama temen, main ke mana-mana, mewujudkan mimpi, dan barang kali satu kisah cinta yang manis.

Jadi, perlawanan yang dilakukan oleh pesakitan seperti gue hanya berobat dan terapi. Oh, satu lagi, yaitu menjaga diri sendiri agar tetap aman. I'm overly protective to myself. Punya vaskulitis sama artinya gue harus lebih menyayangi tubuh gue sendiri di atas apa saja yang memungkinkan. Itu kenapa gue takut dengan luka fisik.

Sedih kadang, ketika ada yang menganggap gue lebay takut sama cipratan minyak. Mereka nggak tahu bahwa luka ruam bekas cipratan minyak bentuknya mirip seperti ruam karena vaskulitis. Setiap ruam vaskulitis muncul, gue ketakutan bukan main. Di dalam kepala seperti ada yang memaki ke gue "Itu pertanda! Lo bakal mati! Lo bakal mati! Lo bakal mati!" Dan gue kadang berakhir nangis tanpa suara di kamar. Atau telepon Bokap sama Nyokap dengan suara yang dibuat tegar. Atau pulang ke rumah mereka sekadar minta pelukan penenang untuk anak laki-lakinya yang tidak sedang dalam baik-baik saja. Mereka orang tua gue, dan gue rasa wajar kalau gue pengin bersandar pada kehangatan mereka.

Gue nggak boleh terlalu kelelahan. Itu kenapa gue nggak ikut ekskul olahraga di sekolah. Olah raga gue hanya sebatas treadmill di rumah dan renang sesantai mungkin.

Orang-orang kadang nggak sadar ketika mereka menilai kelemahan seseorang. Dengan mudah berkata lebay deh gitu doang padahal/Baperan deh/Gitu aja telepon ortu/lemah.

Duh.

Gitu doang, YOUR HEAD!

Seseorang tampak lemah bisa jadi karena dia sudah habis mengerahkan semua kekuatannya. Kalau nggak bisa menguatkan, maka jangan semakin melemahkan. Kita nggak pernah tahu luka sesakit apa yang sedang ditahan tiap orang. Kita nggak pernah tahu duka sedalam apa yang sedang disembunyikan tiap orang. Kita nggak pernah tahu beban seberat apa yang sedang dipikul tiap orang.

Ketika gue bolak-balik ke RS, ada yang nyindir kalau gue ini lemah. Ketika gue sering izin sakit, dibilang lemah juga. Ada, beberapa yang nge-judge gitu. Biasanya itu keluar dari lambe cowok-cowok yang lagi dengki gara-gara cewek mereka ngeliriknya ke gue kalau lagi lewat. Cih! Kalau gue kasep ya masa nyalahin gue? Itu bukan urusan gue, oke? Dan soal berobat toh gue lagi ikhtiar biar sehat untuk diri gue sendiri. Versi gue yang tercipta di dalam pikiran orang lain, itu bukan tanggung jawab gue. Itu urusan level cara kerja otak mereka dalam menilai seseorang!

______________
Iye, ho-oh.
Tau, IQ 135.
Marah aja
bahas otak.
Proud Daddy
iz here ☝️.
That's ma boi.
Next!
______________

Ortu gue adalah pemilik rumah sakit swasta di Jakarta. Gue sadar mereka sibuk. Dan gue nggak keberatan untuk jadi pihak yang mendatangi mereka kalau lagi kangen. Yang paling gue suka kalau lagi mampir ya bangsal anak-anak. Mama jadi dokter bedah spesialis anak-anak di sana. Bukan rumah sakit yang besar. Tapi lumayan bisa bikin bingung kalau pertama kali mampir ke sana meski ditemani denah gedung.

Kebetulan Papa lagi nggak ada. Sedang ada urusan bisnis ke Singapura, kata Mama. Jadi gue cuma bisa ketemu Mama doang. Itu pun nggak lama karena Mama ada jadwal operasi tak lama ketika gue sampai di sana. Setelah itu gue pulang. Tapi kepikiran buat mampir ke kios DVD yang Kikan kerja di sana.

Perlu nggak sih gue ketemu sama cewek yang bernama Lana itu?

Sekarang udah pukul dua sore. Kata Kikan, Lana mainnya pagi-pagi. Jadi palingan udah pulang anaknya. Karena punya kesimpulan gitu gue akhirnya memutuskan untuk melesat ke sana dengan motor. Gue juga perlu nyari album musik yang bagus buat koleksi. Udah lama nggak jajan. Gue duit ada, tapi bukan buat gaya. Ya elah, Papa keturunan billionaire asal Jenewa, Swiss. Rambut gue cokelat kehitaman, Bung. Papa asli orang sana. Kerabat kami banyak yang punya Penthouse di kota-kota tersohor. Dan orang Swiss udah punya rasa bangga akan kemewahan sejak lahir.

Tapi, sori aja nih, gaya hidup itu pilihan individu. Gue juga masih punya darah Nusantara dari Mama yang hidupnya bergaya sahaja meski punya. Tiap liburan (gue sering anggap itu mudik) ke Swiss yang paling penting gue bawa juga sandal Swallow yang udah dikuir nama JUNO, boxer, kaos oblong, sama sekoper berat yang isinya rindu untuk Sempolan dan kawan-kawannya. Maaf, gue bukan tipikal orang yang akan membeli barang mewah hanya untuk menegaskan bahwa gue berada.

Figur panutan gue adalah Agnez Mo. Meskipun sudah go internesyenel, tapi dia masih down to earth mau jadi model iklan balsem.

Agnez Mo meniti karir dari bawah. Seperti kata pepatah, "Sedikit demi sedikit lama-lama boleh kita menumpang mandi."

💚 Mbak Agnez Mo.

______________

Proud Dad iz
here again!
______________

Kios DVD yang Kikan kerja di sana, itu bukan seperti kios DVD yang suka ada di emperan jalan. Kiosnya gede dan ruangannya ditata seperti toko buku. Fancy. Tata letaknya keren dan bikin betah. Bukan cuma DVD film resmi saja yang dijual di sana. Tapi juga album musik karya musisi lokal maupun manca. Yang bentuknya vinyl pun ada. Bikin betah, aselik! Apalagi bisa bebas mencoba barang yang mau dibeli di sana langsung.
Yang paling bikin betah, menurut gue justru karena kios DVD itu persis bersebelahan dengan toko barang antik bernama Remember Me. Nggak banyak yang tahu kalau gue suka sekali sama barang-barang antik. Karena setiap barang antik bagi gue seperti menyimpan banyak cerita dari waktu ke waktu yang sudah mereka saksikan secara bisu. Gue lumayan kenal sama pemilik toko itu. Namanya Mas Bahri. Lulusan Arsitektur UI yang memilih untuk jadi kurator barang antik dan menjadikannya ladang bisnis. Menurut gue itu keren, karena tiap barang yang ada di sana malah punya nilai jual yang lumayan.

Ketika gue sampai di parkiran kios DVD. Ternyata lagi rame pembeli. Seperti ada serombongan anak-anak cewek SMA yang lagi pada kompak belanja di sana. Rame banget, ampun. Emang lagi ada special sale DVD apa? Jawabannya ada di poster besar yang tertempel di kaca kios. Diskon BucinBulan Cinta. Terus gambarnya kumpulan album koreah-koreahan. Gue mendengus. Bulan cinta dari mana? Oktober bukannya rame halloween? Marketingnya gila, manajernya Kikan. Demi recehannya anak-anak SMA.

Well, ini lebih baik gue cari aman ke toko sebelah. Remember Me selalu tenang karena nggak banyak orang yang tertarik dengan barang antik. Sambil nunggu Kikan mungkin gue bakal pesen makanan via jasa ojek daring. Mas Bahri selalu enjoy kalau diajak ngobrol.

Gue lalu melenggang ke arah Remember Me. Lonceng kecil di atas pintu berdenting ketika gue membukanya. Agaknya Mas Bahri lagi melayani transaksi. Dia menoleh ke arah gue dan langsung menyapa, "Pakabar, Bosku," sambil mengangkat tangan kanan.

Gue mendongakkan dagu untuk menyapa balik.

"Toko sebelah lagi ada pasukan amburewul haneul. Makanya gue kabur ke sini, Mas," kata gue sambil berderap mendekat.

"Nih, juga kabur ke sini si Neng."

Gue baru ngeh kalau pelanggan yang sedang dilayani Mas Bahri adalah seorang cewek. Seumuran lah sama gue, kayaknya. Cewek itu duduk di kursi tanpa sandaran. Memegang sebuah jam yang kayaknya sedang dinego harganya.

Gue menarik kursi lain untuk gue duduki. Bersebelahan dengan cewek itu. Gue melepas jaket. Dengan santai gue menyisir rambut memakai jemari.

"Ya udah deh. Harganya deal segitu," kata cewek itu.

Gue mengambil ponsel di saku mau ngabarin Kikan.

"Oke. Saya buatin kwitansinya dulu, ya," jawab Mas Bahri. "Namanya siapa tadi?"

"Lana."

Mendengar nama itu seketika napas gue tertahan. Gue langsung mati kutu entah kenapa. Seolah gue sudah terlalu santuy duduk di sana dengan tingkah polah gue, lalu dikejutkan dengan nama itu.

Sedikit ragu, gue menoleh perlahan. Asemnya, cewek itu juga menoleh ke arah gue. Cuma satu detik kebetulan dan gue kikuk langsung memalingkan muka.

Hell no!

***

***

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe

_______________________________

Hayo, bab ini bisa pas banget buat yang kemarin bilang Juno takut minyak panas itu Lebay. Sini sungkem sama Kakanda, minta maap. Jangan sampe Kakanda gaplok pake duit segepok kalo punya. 😏

Biar nggak pada nanya lagi. Kakanda asalnya dari Pemalang, Jawa Tengah 😇. Cuman sedang berdomisili di Bandung.

Ada yang orang Pemalang? Atau tetangganya Pemalang (Purwokerto, Tegal, Pekalongan, Brebes)?

Orang Bandung agendakan yok nobar Projen 2. Ehehe

Yang asalnya dari jauh karena rakyat Kakanda banyak sekali. Nanti Kakanda siapkan grup buat ngoceh ok. Soalnya Juno bakal gibahable ceritanya.

Tapi dibikin grupnya nanti, nunggu sampai di bab yang paling pedih dulu.

Enakan di WhatsApp atau Telegram?

PS: BAB 1-5 akan panjang kayak gini ya ges. Tapi ga padet-padet amat. Bab 2 memang saya khususkan seperti ini biar yang baca bisa paham karakter Juno dan apa yang sedang dia hadapi. Setelahnya pendek-pendek. Kalau kepanjangan nanti kalian beli bukunya harus nabung lebih. Kecuali, kalo udah mulai nabung dari now.

Semoga suka. Ditabung dulu rindu Junonya sampe Kamis. See you.

Fallaw:

Continue Reading

You'll Also Like

Lovakarta By Ayii

Teen Fiction

888K 95.1K 71
[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan pa...
3.4M 28.2K 2
Bukan Cinderella, tapi Tsunderella.
1.3M 97.7K 19
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [2] : MIkayla Cher Plea...
17.2M 1.3M 54
#EpikHighSchoolSeries [R13+] 11 IPA 1 bukan tipe kelas yang biasa diceritakan. IPA 1 cuma kelas biasa. Identik serius dan nggak menarik sama sekali...