Damar Dictionary

By chicagotypewriter23

22.3K 4.1K 1.8K

There are a lot of words to associate with Damar Aji Pradipta and still they're not enough. Following The Lov... More

Prelude
Aberrant
Acronym & Akin
Anachronism
Arcane
Awhile
Bane
Basis & Better
Bolster & Breathing
Candid
Community
Confluence
Daunting
Defunct
Dumbfound
Elegy
Ephemeral & Epilogue
Exemplar
Fallible
Flux
Fraught & Gravity
Guise
Healthy
I & Idea
Indelible & Ineffable
Jaded
Juxtaposition
Kerfuffle
Latitude
Love & Lover
Motif
Nascent
Neophyte
Nomenclature & Obstinate
Only
Paleontology
Persevere
Posterity
Qualm
Quintessence
Quixotic
Rapproachment & Raze
Reservation
Rest
Rubberneck & Sacrosanct
Scapegoat
Stanchion
Stymie
Sunder
Tableau
Taciturn
Tenet
Ubiquitous
Vagary & Vestige
Viable

Gregarious

398 82 17
By chicagotypewriter23

gregarious, adj.
: enjoying the company of other people

Oktober akhirnya tiba yang berarti jadwal sidangku sudah di depan mata.

Lebih tepatnya tiga jam dari sekarang.

Aku tidak panik, tapi bukan berarti aku tidak tegang atau gugup. Blazer hitam dan kemeja putih yang kupakai rasanya seperti baju zirah perang. Dosen pembimbingku sudah menyiapkanku untuk hari ini dan aku bertekad tidak akan mengecewakan mereka. Syukurlah dosen pengujiku tidak termasuk dosen killer. Tapi, aku tahu beliau sangat pintar dan fakta itu membuatku merasa terintimidasi.

Namun, kali ini usaha dan do'a memang tidak mengkhianati.

Satu jam sidang berlalu dengan lancar. Aku menjawab semua pertanyaan dari dosen penguji sebaik mungkin. Sepertinya cukup memuaskan karena dosen pembimbingku mengangguk-angguk. Begitu namaku, Tiko dan Jesi disebut, lalu disahkan untuk lulus dan bisa ikut yudisium, rasanya kakiku berubah seperti jeli saking leganya.

Setelah sesi foto bersama dosen pembimbing dan penguji, aku dirubung oleh para gadisku dan Seno serta teman-teman seangkatan. Diberikan ucapan selamat. Dipasangkan mahkota kertas--template lulus sidang yang dibuat sama untuk satu angkatan--dan selempang bertuliskan Kirana A. Lazuardi, S.K.G dari para gadisku dan Seno.

Akhirnya!

Aku jadi sarjana juga!

Walaupun aku tahu perjalanan jadi dokter masih panjang.

"Widih, BIO BEM pertama yang sidang! Kabid PSDMO kesayangan gue, selamat!" Yugi, si ketua BEM, menjabat tanganku dan menepuk bahuku bersahabat.

"Makasih, Gi," kataku tak bisa tidak tersenyum. "Cepat nyusul, biar bisa farewell BEM."

"Tenang, dua minggu lagi," sahut Yugi percaya diri. "Eh, btw, tadi kayaknya ada yang nyariin lo deh Ki. Kayaknya bukan anak sini, tapi nanyain lo sama Seno."

Seperti sudah diatur, otakku langsung mengasosiasikan ucapan Yugi barusan dengan mereka. Jangan-jangan ... Tunggu dulu! Tapi aku 'kan tidak bilang kalau aku mau sidang hari ini?! 

"Ketemu di mana, Gi?" tanyaku.

"Di gedung C lantai satu," jawab Yugi menunjuk ke bawah dengan jempolnya. "Mungkin kalau lo ke bawah masih ada. Soalnya salah satu dari mereka pasti susah naik tangga."

Setelah mengucapkan terima kasih untuk informasi barusan pada Yugi, aku langsung keluar ruangan dan menuruni tangga dengan tergesa. Secepat yang aku bisa dengan rok sepan yang membatasi gerak kaki. Tak peduli tatapan aneh orang lain yang melihatku pakai mahkota dan selempang. Bahkan tanpa ingat untuk bilang sesuatu pada para gadisku. Di selasar gedung C sudah ada dua orang yang tidak aku duga, tapi sebenarnya bisa kuduga akan berada di sini.

"Bu Dok, selamaaat!"

Dirga membawa setangkai bunga mawar dan senyum terlebar. Putih, warna mawar favoritku. Di belakangnya, ada Damar yang dibantu berjalan oleh Seno. Sudah dua minggu sejak dia kecelakaan karena Shila. Kakinya masih di-gips, tapi wajahnya sudah jauh lebih baik. Lebam dan lecetnya sudah hilang menyisakan satu plester kecil di pelipis. Ada tongkat yang membantu berjalan di bawah ketiak kanannya. Aku menatap mereka. Campur aduk antara bingung atau senang melihat keduanya di sini.

"Makasih, Dir," kataku menerima bunga dari Dirga. "Heh, bolos ya lo sama Damar?"

"Enak aja!" Dirga tampak tersinggung dengan tuduhanku. "Hari ini kebetulan nggak ada kelas, jadi ya kita ke sini aja. Nggak tau deh entar  pas Seno atau Clarisse sidang."

"Kaan ... nggak suka deh Dirga pilih kasih!" komentar Clarisse.

"Damar?" Wuri menyenggolku lengan kananku. Aku baru sadar kalau para gadisku sudah ikut turun ke lantai 1.

"Yang ini Dirga," kataku memperkenalkan mereka.

Sementara Wuri dan para gadisku berjabat tangan dan berkenalan dengan Dirga, aku melangkah lebih dekat pada Damar. Dia tidak bawa bunga seperti Dirga, tapi membawa kotak persegi kecil.

"Nih!" katanya menyerahkan kotak itu padaku. Senyum Damar tersungging di wajah. "Selamat ya Ki."

Aku menerimanya. Kotak itu berisi 4 cokelat persegi kecil dengan huruf S, K, G dan gambar senyum pada bungkusnya. "Makasih, Dam." Lalu diam dan mendadak merasa salah tingkah. Bertanya-tanya sendiri apakah aku harus membahas alasan kenapa aku tidak bilang kalau aku mau sidang?

"Eh, Kirana mau traktir kita makan-makan nih," Jamie mengalihkan topik pembicaraan. "Lo berdua ikut aja. Iya 'kan, Ki?"

"Nggak apa-apa nih?" Dirga meminta persetujuanku.

Aku mengangguk. Memang tidak masalah kalau Dirga dan Damar ikut. Hanya saja ini tidak termasuk dalam rencana.

Tidak pernah kubayangkan bahwa suatu saat Damar dan Dirga akan duduk semeja dan mengobrol bersama para gadisku dan Seno. Aneh sekali seperti kolaborasi paling ambisius yang pernah kuharapkan. Ini pertama kali mereka bertemu, tapi kelihatan seperti sudah kenal lama. Tidak canggung sama sekali. Mungkin ada Clarisse dan Seno cukup membantu seperti konektor yang menghubungkan komponen pada gigi tiruan. Selain itu, Damar dan Dirga memang supel ditambah dengan Wuri, Jamie dan Jia yang memang suka kepo. Klop!

"Ooh, jadi Minanti mau nikah?" tanya Damar dari sebelah kananku.

Tuh 'kan. Baru 30 menit, tapi ceritanya sudah sejauh itu!

"Iya," jawab Minanti yang kebetulan duduk di sebelah kiriku. "Februari nanti habis wisuda. Datang ya kalau ada waktu."

"Biar Kirana ada temen kondangan," celetuk Jia pelan. "Kasian sendiri mulu!"

"HEH!" protesku sebal, tapi yang lain malah tertawa.

"Kalau butuh wedding singer atau MC juga gue bersedia nih," kata Damar. Entah bercanda atau tidak, tapi Minanti tersenyum dan mengangguk sambil bilang akan dicatat. 

Aku menoleh pada Damar. "Loh, aku nggak tahu kamu nyanyi buat wedding sama nge-MC juga."

"Kirain buat gantiin Seno doang ya?" goda Damar menyebalkan, lalu malah menyombongkan diri. "Damar Aji Pradipta mah serba bisa atuh, Ki."

Aku mencibir, tapi merasa senang karena aku sudah kembali merasa seperti biasa di dekat Damar. Tidak salah tingkah lagi. Aku memperhatikan gips di kaki Damar dan baru sadar ada banyak gambar kecil warna-warni.

"Puput?" tunjukku pada kakinya.

Damar tertawa kecil. "Iya, biar kayak di film-film Barat gitu. Kamu mau gambar juga nggak?"

"Nggak usah. Makasih," tolakku sambil tertawa.

"Patah?" Una bertanya menunjuk kaki Damar. Rupanya memperhatikan percakapan kami.

"Retak, tapi nggak separah itu kok," sahut Damar mengangkat bahu.

Mata Jamie sudah berkilat-kilat iseng.  "OMG! Tapi masih bela-belain datang ya, Dam."

"Iya dong. Kan biar kenalan sama kalian." Tuh 'kan makin dipancing, Damar malah makin semangat menanggapi. "Biar nggak pada kepo lagi, Damar temennya Seno tuh yang mana. Iya nggak, Ki?" Damar menyenggol bahuku main-main, tapi aku malah mendelik.

Damar justru tertawa melihat reaksi heboh para gadisku. Dasar tidak waras ini anak!

Untungnya tidak ada pembahasan yang menjurus pada pertanyaan klise semacam 'kapan jadian?' atau pertanyaan ala-ala Bapak/Ibu Mertua seperti 'seberapa serius dekat sama Kirana?'. Topik obrolan malah cenderung normal, lebih pada cerita-cerita sehari-hari seperti kuliah dan kesibukan masing-masing.

Seperti teman biasa.

Setelah membayar, aku kembali ke meja dan mendapati setengah dari para gadisku menghilang. Hanya ada Wuri yang sedang mengobrol dengan Dirga, Clarisse dan Seno yang mengobrol dengan Una.

"Jamie, Jia sama Minanti ke mana?" tanyaku pada Damar.

"Toilet," jawabnya singkat.

Aku membulatkan mulut berbentuk huruf O dan duduk lagi. Damar menatapku lekat-lekat seperti ada yang mau dibicarakan tapi ditahan. Aku balas menatapnya.

"Mau ngomong apa, Dam?"

Damar menghela napas dan akhirnya meluncurkan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin kubahas hari ini. "Kenapa nggak bilang kalau hari ini mau sidang?"

Oh, nadanya sedih dan ... kecewa?

Perutku melilit tak nyaman menyadari kali ini akulah yang membuat Damar sedih dan kecewa. Aku melirik sekeliling meja, tapi tampaknya tidak ada yang memperhatikan kami bicara.

"Sori, Dam," kataku sungguh-sungguh. "Aku emang sengaja nggak bilang. Takut kamu beneran datang ..."

"Emang aku nggak boleh datang?" tanyanya pelan sekali sampai hampir tidak terdengar.

Boleh! Boleh banget! Rasanya aku mau teriak kencang. "Bukan gitu, Dam ... Tapi, kaki kamu 'kan lagi sakit ... terus Bandung-Jakarta jauh ... terus aku takut kamu kenapa-napa ..."

"Kaki aku emang lagi sakit, Ki, tapi aku ke Jakarta 'kan nggak jalan kaki," katanya menghela napas lagi.

Iya, memang aku yang salah. Aku tahu Damar datang karena dia senang dan ingin merayakan keberhasilanku bersama-sama. Aku menatapnya tidak enak hati. "Maaf ya Dam."

"Iya, dimaafin ..." Damar menyentil keningku pelan sambil terkekeh. "Makanya lain kali nggak usah rahasia-rahasiaan sama Aa Damar. Udah tahu ada Seno sama Dirga."

"Iya juga. Lupa mereka keran bocor," gerutuku sebal. "Kamu juga Dam! Lain kali nggak perlu sampai datang kok. Awas kalau sampai bikin bolos kuliah!" ancamku mengacungkan tinju yang jelas bukan ancaman sama sekali.

"Eh kok berantem?" tanya Minanti yang sudah kembali dari toilet bersama Jamie dan Jia.

Aku menurunkan kepala tanganku sedangkan tampang Damar pura-pura memelas minta diselamatkan Minanti supaya aku benar-benar tidak jadi meninjunya.

"Hati-hati ya Dirga sama Damar," kata Wuri saat kami berpisah. Hanya butuh satu setengah jam untuk membuat Damar dan Dirga menerima ucapan perpisahan penuh perhatian seperti itu.

"Iyaa, kapan-kapan main lagi dong," Jamie ikut nimbrung. "You two are not so bad."

Ckckck, Damar dan Dirga resmi diterima.

Dirga tertawa. "Baru kali ini ngumpul, tapi lebih banyak ceweknya. Cool girl," lalu dia fist-bump dengan Jamie.

Aku menyenggol lengan Damar. "Tuh, temen-temen aku nggak kalah seru 'kan?"

Damar mengangguk. "Makasih ya udah diajakin gabung."

Rasanya seperti deja vu ketika dulu aku diajak ikut glamping bersama teman-teman Damar. Aku mengerti betul rasanya diterima oleh orang-orang yang penting bagi teman kita. Like expanding friendship.

"Sama-sama, Dam."

Seperti Damar yang tersenyum saat menanggapi ucapan terima kasihku, aku juga tersenyum. Mungkin tidak sebagus senyum Damar, tapi aku tulus.







an. Eak ada yg gantian kenalan

Continue Reading

You'll Also Like

61.6K 5.5K 33
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
589K 59.2K 46
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
268K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
95.8K 8.6K 21
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...