Komet Reunion

By saturnisa

39.2K 6K 4.2K

Their marriage life. 4/17 More

1 - Parents
2 - Commitment
3 - A Kid
4 - Love Letter(s)
6 - The Answer

5 - Propose

5.8K 863 753
By saturnisa

Satu persatu orang pergi dengan wajah cerah setelah saling bertukar senyuman di sebuah rumah bercat kuning muda. Seorang lelaki yang tidak terlalu tinggi namun terlihat gagah dan berpotongan rambut cepak memancarkan sinar matanya yang bahagia sekaligus lega. Terlihat jelas bahwa ia adalah pemeran utamanya hari ini.

Pemeran utama yang lain baru terlihat saat lalu lalang orang mulai berkurang, tubuh mungilnya adalah faktor dari tadi ia belum kelihatan, tenggelam dalam pelukan dan cium pipi kiri kanan.

Senyuman perempuan itu sama bahagianya dengan lelaki yang tadi, atasan mirip kebaya berbahan brokat yang ia kenakan berwarna hampir senada dengan baju batik si lelaki.

Sebelum mobil-mobil-termasuk mobil si lelaki-perlahan melaju meninggalkan rumahnya, perempuan itu berdiri di depan pagar, melambaikan tangan, masih dengan senyuman di wajah.

Mobil itu pergi dari pandangannya lalu ia menyadari kehadiran seseorang yang sejak tadi tidak beranjak dari jok motor, terparkir di seberang rumahnya. Senyuman perempuan itu memudar perlahan.

Semenit kemudian, ia berbalik, berkata lirih pada ibunya, "Ma, ada temen Ayu dateng. Ayu samperin dulu ya."

*

"Jadi... kenal di mana?" Satrio memutar-mutar sebatang rokok di antara jarinya, mengajukan pertanyaan tanpa menatap Ayumi.

Mereka berdua duduk berhadapan di warung kopi kekinian depan kompleks rumah Ayumi, Ayumi masih dengan setelan yang tadi, tidak sempat berganti baju, tatanan rambutnya pun masih serapi tadi, begitu juga make upnya meski sejak awal make upnya memang tidak terlalu kentara. Ia sengaja menarik Satrio untuk bicara di sini, tidak ada tempat lain, karena Ayumi bisa memastikan pembicaraan mereka tidak bisa diutarakan di teras maupun ruang tamu rumahnya.

Ayumi menghela napas, "Yo, sebelum itu, kenapa kamu dateng?"

Satrio mengangkat wajahnya, alisnya melengkung turun seperti seekor anjing yang tidak diajak main majikan, bahkan lebih lesu dari itu.

"Kamu ngasih tau kalo kamu mau lamaran, jadi aku dateng."

"Kamu gak bales chat aku tapi kamu dateng tiba-tiba." Ayumi tertawa miris, "Kirain udah gak peduli lagi."

Sorot mata Satrio semakin redup, seandainya perempuan di depannya ini tahu kalau ia bukannya tidak peduli. Bagaimana mungkin ia tidak peduli kalau sampai detik ini, Ayumi adalah seseorang yang paling penting untuknya.

"Kamu kasih kabar itu bukannya karena kamu pengen aku dateng?"

Plis bilang kalo kamu pengen aku dateng dan batalin acara lamarannya. Batin Satrio penuh harapan pedih.

"Namanya Ilman," Ayumi malah menjawab pertanyaan Satrio yang pertama, ia mengaduk-aduk kopi pesanannya tanpa meminumnya, matanya menerawang ke langit-langit seakan tidak ingin menatap Satrio, "kakaknya temen, waktu awal dikenalin, kata temenku he's single and ready to mingle,"

"Secepet itu?"

"Gak secepet itu juga, lima bulan cukup."

Tangan Satrio terkepal.

"He's looking for serious relationship, me too, so..." Ayumi mengangkat bahu sebagai lanjutan kalimatnya.

"Lebih tua dari kamu?" Satrio mempertanyakan intonasinya sendiri yang kedengaran seperti menginterogasi.

Ayumi mengangguk, "Lebih tua tiga tahun."

Sejenak hening meliputi mereka, Ayumi masih mengaduk-aduk kopi tanpa meminumnya dan Satrio masih memutar-mutar rokok tanpa menyalakannya apalagi menghisapnya.

"Kamu sayang sama dia?"

Akhirnya tercetus juga pertanyaan itu dari mulut Satrio.

"Dan dia sayang sama kamu?" Satrio bertanya lagi.

Ayumi memejamkan mata selama dua detik sebelum akhirnya menatap Satrio lamat-lamat, "Yang pasti, dia gak ragu sama aku, dan juga sama dirinya sendiri."

"Aku bukannya ragu. Berapa kali harus aku bilang aku belum siap, Ayu." Satrio terdengar sangat frustrasi.

"Gak siap dan ngehindarin aku berbulan-bulan, itu namanya apa kalau bukan ragu?"

Lidah Satrio mendadak kelu.

"Akui aja, Yo. Kita berdua sama-sama sadar, it's over, since that night."

"Aku masih gak ngerti."

"Bagian mana gak ngertinya?" Suara Ayumi mulai menajam. "Bagian kalo aku pengen nikah dan jadi orang tua sementara kamu enggak?"

"Bagian kenapa kita harus berakhir kayak gini? Kenapa bahagia kita beda? Kenapa aku gak merasa pengen nikah dan punya anak? Gak dalam waktu sekarang. Kalaupun aku maksain, yang kasian siapa? Anaknya. Kamu tau, Yu, aku itu produk dari orang tua yang egois, yang sebenernya belom siap punya anak tapi maksain punya anak. Akhirnya apa? Mereka pisah dengan kondisi gak baik-baik aja, yang jadi korban siapa? Anaknya, aku. Dunia ini termasuk orang-orangnya udah kacau, kenapa kita harus melahirkan anak gak berdosa dan membebani mereka karena keinginan kita sendiri? Aku jelas-jelas gak siap, Yu. Jadi gimana aku bisa maksain diri buat siap?"

Wajah Ayumi mengeras mendengarnya, sekilas tangannya terlihat gemetar, "Nobody said it was easy, Satrio. Emang gak gampang berkomitmen tapi seandainya, seandainya aja kamu percaya kalo kita jalanin sama-sama, itu bisa jadi lebih mudah, mungkin kita gak bakal kayak sekarang.

"Itu masalah kita. Butuh dua orang buat jalanin komitmen sama-sama, tapi tujuan kita aja udah beda. Gimana bisa jalan sama-sama? Ini aku udah bilang juga kan ke kamu? Makanya aku bilang, it's over since that night. Gak ada poinnya kita ulang-ulang sekarang."

Satrio memandang Ayumi dengan air muka sama terlukanya, "I'm sorry."

Ayumi mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Satrio, "Aku juga minta maaf. Pasti aku kayak ninggalin kamu kan? Semoga suatu hari kamu ngerti, gak ada yang ninggalin siapa-siapa di sini. Kita gak saling ninggalin, kita jalan tapi beda jalur. Sekarang, aku jalan sama-sama orang yang emang satu tujuan sama aku and willing to try with me. Aku yakin kamu juga bakal ketemu orang yang tepat, yang satu tujuan sama kamu, yang ngertiin maunya kamu, dan gak membebani kamu buat siap."

Sebelum air mata terjun bebas ke pipinya, Ayumi bangkit berdiri, menggigit bibirnya sekuat tenaga sebelum mengucapkan kalimat itu, "Good bye, Iyo."

Mata Satrio mengikuti langkah Ayumi yang berjalan ke arah pintu kafe, meninggalkan kopinya yang masih penuh dengan langkah gontai.

"Mungil." Panggil Satrio, sangat pelan tapi Ayumi bisa mendengarnya. Ia menoleh dengan mata yang basah.

"Selamat."

Ayumi menggelengkan kepalanya berupaya mencegah air matanya makin deras.

"Semoga kita masih bisa buka shelter kucing bareng-bareng."

Senyuman pedih terulas di wajah Ayumi sebelum ia menatap langsung mata Satrio sekali lagi.

Setelah Ayumi pergi, Satrio akhirnya menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam, dalam sekejap momen demi momen berebutan melintas.

'Yang di depan, misi dong? Kasian yang kecil di belakang gak keliatan.'

"Kenapa kok lo baik banget terus ngotot bantuin gue?"

"Kalo lo streetfeeding lagi, gue boleh ikut lagi?"

Satrio terbilang jarang menangis tapi saat ini yang ia inginkan hanya menyelebungi seluruh tubuhnya dengan selimut dan menangis seperti anak kecil. Bahkan lelucon apapun yang biasanya membuatnya terbahak-bahak tidak akan banyak membantu.

Diam-diam Ayumi juga menangis sepanjang jalan pulang ke rumah, padahal satu jam yang lalu ia baru saja dilamar.

*

Di pekarangan rumah keluarga Arzaq di Bogor, Bapak Arzaq diam-diam menyelidiki anak laki-laki semata wayangnya yang sedang mencuci motornya yang sudah sebulan tidak dimandikan. Setiap Wawan menoleh atau melirik curiga, ia langsung pura-pura mengobrol dengan burung-burung piaraannya.

"Ok, kasih tau sekarang Aa salah apaan? Lupa ngasih kembalian beli pakan burung?" Wawan bertanya to the point setelah ayahnya kepergok mengamatinya lagi.

"Enggak sih, A. E tapi berarti bener? Kamu belom ngasih kembalian?"

"Kirain buat Aa."

"Yeeeee, balikin ah."

"Kok ayah makin hari makin sayang burung daripada anak sendiri? Buat burung apa aja dibeliin, harga pakan yang mahal aja dijabanin. Kembaliannya ceban doang aja ditagih." Wawan memonyongkan bibir, berniat ngambek.

"Bukan makin sayang buruuung. Ini si Bagus sama Bugis kan emang perlu dirawat, A."

Wawan merinding lagi mendengar nama piaraan ayahnya, ia mulai berpikir sepertinya hidup sebagai burung lebih enak.

"Kamu juga nih, A. Udah punya penghasilan, udah kerja, tapi kok belom pernah jajanin Bagus sama Bugis?"

"LAH MAU DIJAJANIN APAAN? EMANG MAU TU MANUK KALO AA BELIIN TELOR GULUNG?"

"Atuh jangan beliin telor gulung! Beliin pakan burung yang mahaaal. Biar mereka juga rajin berkicau terus bisa menang lomba."

Wawan memutar bola matanya, "Kalo soal berkicau mah, Aa juga bisa."

"Makanya kamu bikin vokal grup sama mereka."

"Nanaonan sih, Yah."

"Kamu yang naon. Nih gini-gini mereka tuh sodara kamu, A. Ntar pas kamu nikah, mereka kudu dampingin."

Wawan bergidik, "Iye, terus mereka eek di pundak Aa."

"Gaklah, Bagus sama Bugis udah ditraining biar gak eek sembarangan, nih buktinya Ayah gak pernah diberakin."

"Dikasih popok aja sekalian."

Ayah Arzaq lagi-lagi berusaha memancing, "Tapi ngomong-ngomong nikah, kamu udah jadi belom ngelamar Neng Piolet?"

Mendengar itu, Wawan langsung batuk-batuk seolah baru saja keselek knalpot.

"Heh, jawab atuh. Kan kemaren kamu nanya-nanya soal ngelamar ke ayah, kenapa sepi-sepi aja abis itu? Kirain jadiiii."

Wawan mulai menyesal kemarin kehilangan kewarasan selama beberapa menit dan memutuskan berkonsultasi dengan ayahnya. Seharusnya ia tahu itu ide buruk.

"Cepetan kalo mau ngelamar, nunggu apa lagi cobaaa? Nih, kalo butuh reperensi dari pengalaman ayah waktu dulu ngelamar ibun kamu, dulu ayah ngelamar ibun di warkop."

"Warkop lagiiii warkop lagiiii." Wawan berdecak mengingat pertemuan pertama ayah ibunya juga di warung kopi. Sudah sepatutnya ia bersyukur ia tidak dinamai 'Warkop Arrizqi' atau 'Burjo Arrizqi'.

"Iya, persis di warkop tempat ayah pertama kali ketemu ibun."

"Terus? Cincinnya dicemplungin ke bubur kacang?"

"Enggaklaaah. Gak pake cincin waktu itu soalnya-"

"Masih bokek?"

"BUKAN! Masih belom beli, ayah mau nanyain dulu ibun mau gak nikah sama ayah, kalo mau baru dibeli cincinnya. Kalo udah beli terus taunya ayah ditolak? Kan repot, kudu dijual lagi A, cincinnya."

"Heeh dah heeh."

"Siapa tau kamu mau coba kayak ayah, A. Pilih tempat pertama kali kalian ketemu, terus nanyanya serius tapi santai aja, jangan tegang."

Wawan batuk-batuk lagi.

"Kalo ditolak mah kabur aja, isin."

"Yeeee. Gaklah, gak bakal ditolak." Wawan kembali menyesal sudah kepedean karena ayahnya melontarkan senyum menggoda yang menyebalkan. "Lagian siapa yang mau ngelamar sih!"

Belum sempat Wawan menyelesaikan misuh-misuhnya, hpnya bergetar, ada notif dari grup whatsapp, tandanya dia ditandai sehingga notifnya tetap masuk walaupun grupnya ia mute. Dari grup alumni SMA.

[UNDANGAN REUNI ANGKATAN]

[POSTER PENSI TAHUN INI]

'Seru nih pensi taun sekarang, ayo guys pada ngumpul.'

Jantung Wawan seketika berdegup kencang ketika dia menyadari sebuah koneksi antara acara ini dengan apa yang tadi ia bicarakan dengan ayahnya.

*

"Gas, ngaku. Lo ntar gak tiba-tiba manggung kan?" Vio memastikan untuk kesekian kalinya saat ia turun dari motor Wawan yang sudah terparkir di antara sederet motor lain.

"Enggak elah, ini murni gue mau dateng ketemu temen-temen SMA. Sekalian guest star pensinya keren."

"Emangnya lo tau HiVi?"

"Taulah! Emangnya gue seudik apa?"

"Tau lagunya gak lo? Jangan sotoy."

"Wah meragukan wawasan musik Wawan Mayer."

Vio mendengus, "Mulai deh keluar tuh stage name puyer, gak malu apa lo kalo didenger temen lama?"

"Kenapa malu? Bangga dong. Daripada nama gue jadi Kunyit Kisut. Baru tuh malu." Wawan menghentikan argumennya saat ia menatap gerbang SMA mereka yang dihiasi lampu-lampu kecil. "Wow, welkam bek to high schooooool!"

Vio mengikuti arah pandang Wawan dan ikut termenung beberapa detik mengingat kenangan-kenangan SMAnya. Seketika tawanya tersembur setelah mereka menukar tiket di gerbang, "Gas, inget gak lo pas lo jadi buronan wakasek disuruh ngosek-HAHAHA-terus gue nebeng balik."

"Inget," timpal Wawan ketus, "yang lo mau buka celana depan gue kan?"

"HEH! Ngomong ambigu banget! Kalo ada yang denger gimana?"

"YA EMANG KENAPA? KAN EMANG BUKA CELANA?"

"CELANA OLAHRAGANYA DOANG, ITU GUE MASIH PAKE ROK! DIEM LO, GUE MALU."

"Tau malu lo sekarang, dulu malu-maluin."

"Diem." Vio sudah siap-siap menjambak Wawan sampai kepalanya tertarik ke belakang namun sambutan meriah di koridor sisi area depan panggung memotongnya.

"NAH INI DIA PASANGAN KITA. JADI JUGA LO DATENG BERDUA."

"VIOOOOOO!!! LAMA GAK KETEMU, SUMPAH LO SEKARANG SAMA SI BAGAS????"

"EH DIA MASIH NGALUNGIN TAMAGOCHI LHO."

"INI SERIUSSS? BUKANNYA DULU LO BERDUA BERANTEM MULU???"

"HAHA DARI KELAS KITA ADA JUGA YA YANG CINLOK SAMPE SEKARANG."

Baik Vio maupun Wawan sama-sama bengong, tidak menduga semua serangan tadi. Ryan, teman sekelas yang juga mengoordinasi reuni ini merangkul Wawan, "Ayo sekarang lo berdua klarifikasi, dari kapan jadiannya hah? Jangan-jangan udah dari pas sekolah ya, tapi backstreet?"

"Apaan sih, elah." Wawan melirik Vio cemas. Rasanya seperti kondangan ke pernikahan teman lama mereka, ledekannya juga begini.

"Eh tapi ini serius kan bukan gimmick?"

"NGAPAIN GIMMICK?" Wawan kelepasan sewot.

"Kok bisa????"

"Gue juga bingung kok bisa ya."

"Heh." Wawan melotot mendengar balasan Vio.

"Tapi lo gak banyak berubah ya, Vi." Komentar salah satu teman.

"Ah kayak gak ketemu sepuluh taun aja. HAHA. "

"Serius, masih kayak bocah," kata temannya merujuk pada pakaian Vio saat itu yang mengenakan sweater kuning dan overall, lengkap dengan kalung tamagotchi.

"Emang masih petakilan." Cibir Wawan yang langsung dibalas sikutan Vio.

"Bawel."

"Tuh tuh mulai berantem mesra. Cieeee."

"MANANYA SIH??"

"Eh buruan ngaku, mulainya ada getaran-getaran cinta pas kapan? Pas jurit malem yang kalian berdua heboh itu ya? Atau pas kejar-kejaran gara-gara Bagas maling choki-choki lo, Vi?"

"Dulu maling choki-choki sekarang maling hatiiii."

Baik Wawan dan Vio sama-sama mengernyit, mereka seperti satu orang dalam dua tubuh jika dilihat dari ekspresinya.

Wawan berdeham karena masih didesak untuk menjawab, "Mana ada, dulu dia mah naksirnya Mister Al-"

"ALBRAKADABRAAAAA!!!! HAHAHAHAHA." Vio dengan segera menginjak jempol kaki Wawan membuat Wawan mencelat kesakitan. "Gak usah bocor begoooo."

"Terus sekarang bisa jadian sama Bagas gimana Vi? Bagas gantengan ya? Iya sih, mayan."

Vio tanpa sadar mendelik lalu meluncurkan deskripsi mirip gerutuan, "Dia mah gak ada perkembangan, sama aja kayak pas SMA, bacot-malah sekarang makin bacot-terus dari dulu ampe sekarang sering bermasalah sama celana dan kosekan."

Sekarang giliran Wawan yang menginjak kaki Vio agar tidak dibongkar aibnya.

"Celana?"

"Iya, dia sekarang pengusaha celana." Vio mulai balas dendam.

"Yang bener lo?"

"NGACO, NGACOOOO."

"Terus kalian nikahnya kapan?" Sampai ke pertanyaan pamungkas ini, Wawan dan Vio kembali berekspresi sama. Sama-sama mengernyitkan hidung seolah baru ditawari sup basi, teman-temannya geli sendiri melihat mereka berdua, dan semakin semangat meledek.

"Iyaa, awas ya harus ngundang kita-kita lho."

"ADOOOOH GERAH." Vio pura-pura sibuk mengipas menggunakan tangannya sekaligus tanda bahwa ia menyerah pada serangan sekutu.

Setelah dua puluh menit dikelilingi kompor meledug, Wawan menyenggol Vio yang sedang menyimak penampilan band di atas panggung. "Lo gak pengen ke situ?"

"Situ mana? Lo minta anterin ke toilet ya? Yailah takut lo?"

"Bukan toilet pinter, nih liat jari gue nunjuk ke mana."

"Ke kelas? Ngapain?"

"Ya... lo gak mau liat perubahannya? Itu kan dulu kelas kita tau."

Vio sedikit heran karena... ya namanya kelas pasti gitu-gitu aja, tapi ia  tetap mengikuti langkah Wawan melipir ke kelas. Kelas mereka yang dulu letaknya tidak begitu jauh dari area panggung, jadi sorot lampu dan hiruk pikuk pensi masih sangat jelas melewati pintu dan jendela kelas. Ruangan itu kosong karena titik pusat acara ada di luar.

Vio sedikit berjingkrak begitu memasuki kelas lamanya, "Inget gak, inget gak, gue duduk di sini, lo duduk di situ."

"Terus lo suka ketiduran pas pelajaran sejarah." Ejek Wawan, tidak sadar kalau perkataannya barusan adalah bukti kalau ia sering diam-diam memperhatikan Vio di kelas.

Wawan duduk bersila di atas meja sambil memandangi sekelilingnya, membiarkan setiap serpih memori ruangan itu tergambar di benaknya sementara Vio bermain-main dengan spidol di depan papan tulis, memunggungi Wawan.

"Gue mau tulis-tulis ah, 'Violet was here'."

"Ck, norak."

"'Kunyit was here'"

"NORAAAAAK."

Vio cekikikan, masih memunggungi Wawan seraya mencoret-coret papan tulis, tidak menyadari kalau Wawan sedang memperhatikannya, fokus.

Suara musik masih berdentum dari panggung tapi Wawan bahkan sudah tidak menangkap itu lagu apa, dia mengedip berkali-kali, menelan ludah, menarik napas, membuang napas.

Di tempat pertama kali ia dan Vio bertemu dan saling mengenal, di tempat yang menyimpan terlalu banyak kejadian yang merupakan alasan kenapa Vio sekarang menjadi orang yang sangat penting baginya, dan ia ingin seterusnya begitu.....

Wawan memastikan suaranya tidak tiba-tiba berubah jadi suara muppet saat memulai Pembukaan Undang-undang.

"Temen-temen kita tadi cepet banget yak udah pada nikah."

Vio berhenti memainkan spidol, ia menoleh sekilas pada Wawan yang sedang berharap ia bisa pura-pura mati. Ia mengangkat bahu lalu kembali memandangi papan tulis, "Ya udah ketemu jodohnya, mau ngapain lagi."

Dentuman musik mendominasi lagi.

"Lo mau nikah juga gak?" Wawan merasakan tangannya keringat dingin, terlebih karena Vio juga mematung seperti shock. "Kan.. kita juga gak mungkin gini-gini aja gak sih?"

Vio masih tidak bereaksi sampai Wawan khawatir dia sedang pingsan gaya baru: pingsan berdiri.

"Lo mau gak?...." Wawan terbata-bata, ia menarik napas lagi, "sama... gue."

Tangan Wawan semakin berkeringat dingin. Siapa bilang melamar itu mudah????? Bagaimana bisa orang menanyakan hal krusial seperti itu dengan jantung yang mau meloncat? Dan kalau setelah ini ternyata ia ditolak ia harus memikirkan cara menjelma jadi spidol.

Sedetik, dua detik, tiga detik, lima detik. Vio masih belum bereaksi dan karena Wawan sudah sedemikian senewen, ia menepukkan kedua tangannya keras-keras sampai Vio menengok.

"APA SIH GAS??"

Wawan bengong, "Lo gak denger tadi gue ngomong apa?"

Saat Vio menggeleng, sekujur tubuh Wawan serasa melemas, tapi ia menggunakan sisa tenaganya untuk mencela, "BUDEG YA LO?"

Vio ikut berang, "YA LAGIAN LO NGAJAK NGOMONG PAS DI LUAR BAND LAGI PERFORM. GIMANA GUE BISA DENGER?"

Wawan mengembuskan napas kesal apalagi melihat Vio meleletkan lidah dan kembali dengan kesibukannya mencoret-coret papan tulis. Sebelum Wawan memulai latihan jadi spidol saking merasa sia-sianya, Ryan menerobos masuk, "TERNYATA KALIAN DI SINIIIII. DICARIIN GURU KITA TUH DI DEPAN."

"Siapa?" Wawan masih kelihatan dongkol.

"Bu Santi, inget gak guru sejarah kita. Nyariin lo juga tuh, Vi."

Harusnya Wawan menanggapi dengan candaan, 'Nah tuh nyariin lo, ketauan lo banyak dosanya.' tapi Wawan sudah tidak mood, ia berjalan mendahului Vio ke luar kelas. Vio mengangkat alisnya lalu mengikuti keluar, meninggalkan Ryan yang tercenung menyadari atmosfer yang aneh di ruangan itu. Mata Ryan menyipit melihat coretan-coretan di papan tulis.

Di koridor, di depan pintu kelas mereka sekaligus tempat reuni kecil-kecilan terjadi, Vio berdiri di sebelah Wawan dan menyalami Bu Santi yang dengan ceria menyapa "Ini diaaaa yang suka tidur pas pelajaran ibuuu."

Vio melirik Wawan yang masih cemberut, ingin menyenggolnya lagi tapi takut efeknya sama dengan menyenggol gunung berapi.

Saat itulah Ryan menghambur dari pintu kelas di belakang mereka dengan wajah seperti baru melihat sesuatu yang spektakuler dan fantastis, ia memeluk Wawan yang langsung melongo.

"Eh Yan, apaan?"

"Selamat ya, Bro. Lo juga Vi," Ryan mengedip pada Vio, "selamat kalian berdua."

"Lo ngomong apaan sih???"

Salah satu teman mereka yang terkenal usil sejak dulu pura-pura memegang mikrofon di tangan dan bersuara diberat-beratkan seperti MC kondangan yang juga suara soundnya agak bergema, ia berkata sok resmi, "Mari kita ucapkan selamat pada kedua mempelai. Setelah ini akan ada sesi foto bersama."

Tanpa perlu dikomando, yang lainnya ikut koplak membentuk barisan dan menyelamati Wawan dan Vio. Mereka berdua terbengong-bengong tapi dengan konyolnya membalas menyalami teman-teman mereka, termasuk Bu Santi yang ikut menyalami meski tidak tahu apa-apa.

"Kepada para tamu dipersilakan menyantap hidangan yang telah disediakan." Si MC gadungan melanjutkan. "Sekali lagi selamat Bagas dan Vio."

"Selamaaaat, akhirnyaaaa."

"Bagaaas, jagain temen gueeee."

Wawan dan Vio-lengkap dengan air muka bodoh-serempak saling berpandangan bingung. Sama-sama tidak tahu kalau malam itu adalah malam bersejarah untuk mereka.

*

"Ini serius asli no tipu-tipu kan? Lamaran si kunyuk gak ditolak kan?"

"Bangsat, plis jangan cemari kuping anak gue dengan bahasa itu. Ayo ganti jadi monkey aja monkey."

Satrio terkekeh melihat ekspresi Acid si ayah baru yang kelewat protektif itu, "Lah lo tadi sama aja ngomong bangsat."

"Oh iya-TAPI KAN EMANG NAMA LO-ok, salah gue, nama lo Satrio. Deeek, ini Om Satrio yaa, bukan Om Bangsat ya."

Hari itu, Satrio menyempatkan bermain ke rumah Acid sekalian mengupdate kabar terbaru dari sobat bumbu dapur mereka, si Kunyit. Mereka duduk di lantai di ruang tamu sambil menjaga Icad yang mulai merangkak dan sedang aktif-aktifnya bergerak.

Sedang giliran Acid yang mengasuh sementara Dica memasak, terlihat dari setelan ayah-ayah yang dikenakan Acid: kaos oblong dan celana pendek.

Satrio menepuk-nepuk lantai di sekitarnya untuk memancing Icad merangkak ke arah dia sambil melanjutkan obrolan, "Asli ya si Kunyit diem-diem aja mau ngelamar."

"Dia trauma per-base-an kayaknya Sat sama kita, HAHAHA."

"Tapi kan kita jadi gak tau gimana dia ngelamarnya."

"Besok kita wawancara, kita kupas habis, Bro. Gue sih yakin dia mual pas ngelamar."

"Masuk angin."

"Gatel-gatel."

"Sembelit."

Mereka berdua toss-tossan geli membayangkan semua gejala yang dirasakan Wawan sebelum melamar Vio.

"Tapi gue salut sih, tu orang diem-diem udah nyiapin nyali."

"Iyalah, jangan ciut mulu, ntar kayak gue." Satrio tersenyum pahit.

Acid melemparkan pandangan simpati yang tulus pada temannya itu.

"Lo sempet takut nikah, Cid?" tanya Satrio, sekilas matanya seperti memandang ke arah yang jauh menembus dinding ruang tamu Acid. "Takut punya anak?"

"Pernah." Acid tidak menyangkal. "Gue takut banget, Sat. Takut gue gak bisa jadi suami yang baik, ayah yang baik, kepala keluarga yang baik. Lo tau sendiri gue orangnya kayak gimana."

Sudut bibir Satrio terangkat, ia tahu Acid itu bagaimana, tapi ia juga tahu Acid selalu punya sisi yang tidak bisa ia miliki. Salah satunya adalah keberanian dalam mengambil risiko.

"Tapi setelah takut-takut itu dijalanin, ternyata emang gak serem kayak yang gue kira, Sat. Semuanya baik-baik aja emang tergantung sama siapa lo jalaninnya." Acid mengirim tatapan tulus lagi, "lo pasti ketemu sama orang yang tepat buat jalanin bareng-bareng semua ketakutan lo. Bukan Ayumi, tapi pasti orang yang tepat."

Satrio memaksa tersenyum, "Amin."

"Soal anak juga," Acid kali ini bergumam sambil menatap Icad penuh sayang, "mungkin lo bener, banyak anak lahir dari keegoisan sama ketidaksiapan orang tua, tapi lo bakal tau sendiri rasanya kalo lo udah punya anak nanti, gimana bahagianya. Gue yakin, yakin banget, meskipun banyak yang egois, banyak juga yang mengusahakan yang terbaik buat anaknya, mengusahakan anaknya bahagia. Kayak gue hehehe."

"Gue percaya sih kalo itu."

"Dunia sekeliling lo bisa aja buruk tapi gak berarti lo juga bakal bikin hidup anak lo kelak sama buruknya. Lo bukan bokap lo, Sat."

Satrio menghela napas seperti mengeluarkan sebongkah batu dari dadanya.

"Beneran cobain nikah terus punya anak..." Acid nyengir mencairkan suasana, "Enak."

"Enak apanya nih?" Satrio tertawa.

"Enak semuanya, enak bikinnya juga."

"HAHAHAHAHA."

Masih Acid yang biasa, memang.

"Tuh anak lo bengong tuh."

"Utuk-utuk apa, Nak? Mau tau cara bikin kamu?"

"Woy." Satrio menggeleng-geleng, "Udah ah gue balik ya. Kabarin aja besok kalo Wawan udah siap kita interogasi."

"Yoi."

"Titip salam sama Dica, bilangin gue pulang."

"Sat,"

"Oi?" Satrio berbalik sebelum keluar pintu.

"Kalo butuh temen-temen lo, bilang. Kita joget kek, atau lo bantuin jagain anak gue kek, jangan sedih sendirian."

"Selow." Satrio tersenyum lebar sok tegar. "Dipikir-pikir kocak ya, dari dulu gue yang paling bacot soal intro Akad, taunya sekarang gue yang gak akad-akad. Hahaha."

"Tapi lo gak bakal sabotase nikahannya dia pake Intro Akad 10 jam kan?"

"Haha tai."

"HEH! PENCEMARAN TELINGA ICAD LAGI!"

"DAH AH GUE BALIK." Satrio melambaikan tangannya sambil melangkah meninggalkan rumah Acid.

Acid menghela napas memandang punggung temannya yang kesepian itu, ia lalu menatap lekat Icad dan menjunjungnya ke udara, membiarkan kaki-kaki mungil Icad di wajahnya.

"Dek, sekarang kamu alasan ayah sama bunda senyum, semoga pas nanti kamu udah gede, meskipun ada saatnya kita sedih, kita bakal tetep bisa bikin senyum satu sama lain ya. Ayah janji buat selalu ngeusahain kebahagiaan kamu. Ok? Ok? Aduuuuh, jangan ditendang dong muka ganteng ayahmu iniii."

Sedetik kemudian....

Hening.

Hidung Acid mengendus-endus.

"Caaaa, adek eeeek. Hahahahaha."

"Kamu gantiin popoknya dong, Mas. Sambil ganti celana..."

"Celana aku apa celana adek?"

"Ya adek dooong." Dica menimpali dengan sabar dari dapur.

"Kamu tuh ya, lagi diajak ngomong serius mengharukan malah eek." Acid mencubit pipi anaknya gemas. "Dasaaar, Risyad Aldinata."

*

a/n:

HAHAHAHA. BAGAIMANA KEJUTANNYA?

SENANG TIDAK MEMBACANYA?

Bagian penting dari cerita Wawan dan Vio di sini akan diceritakan lebih lanjut dan lebih jelas di Unluckily Lucky.

Dan.... yang baca Interval series pasti familiar dengan nama di akhir chapter ini *wink*

Selamat menyambut Senin.

Terima kasih love dan komennya!

Continue Reading

You'll Also Like

222K 10.6K 53
𝐀𝐧 𝐔𝐧𝐜𝐨𝐧𝐯𝐞𝐧𝐭𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 "From this day forward, I will dedicate my life to avenging my sister's years of misery." ꕥꕥꕥ S...
700K 101K 38
Yaduvanshi Series #3 it is a book under yaduvanshi series. But it could be read as standalone too. Nitya Raghavendra is a telugu businesswoman earnin...
208K 2.3K 18
I have found an ideal life. I have a loving husband, no work and no danger. This is exactly what I wanted when I ran away and changed my identity. Bu...
5.5M 224K 67
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...