COOL Single Daddy

By ELLE_WANG

252K 27.1K 9K

BOOK THREE OF SINGLE DADDY THRILOGY Jillian Christabelle Law adalah sosok naif yang penuh kasih. Jill tidak p... More

1. Pendengar Gelap
2. Kehidupan Perkacungan
3. Makhluk Astral
4. Gorila Betina atau Parutan Kelapa?
5. Si Pencuri Ide
6. Penuh Kejutan
7. Cewek Melarat
8. Cewek Berselera Aneh
9. Rakyat Jelata
10. Si Ceroboh
11. Bocah Hilang
12. Kakak atau Tante?
13. It's Shopping Time!
14. Oh, Boy!
15. Anak Pantai
16. Kejutan Buruk
17. Kakak Kesayangan
18. Tantrum
20. Lowongan Baru
21. Waktunya Berpisah
22. Potong Gaji
23. Belajar Bersama
24. Pertama dan Satu-Satunya
25. Kenangan Manis yang Pahit
26. Mantra Ajaib
27. Rejeki Anak Soleh
28. Bayi Tua
29. Berdebar Untukmu
30. Dilema
31. Menunggu Resmi
32. Permohonan Tulus
33. Graduation Day
34. Mami Lebih Bagus
35. Kisah yang Tidak Pernah Dimulai
36. Selalu Kamu
37. Beringas!
38. Adik Rasa Kakak
39. WO Ajaib
40. Penolong Setia
41. Dua Bocah Nakal

19. Putri Kebanggaan

3.1K 640 206
By ELLE_WANG

Okelah karena kalian pada tergila-gila banget sama si Jill, nih kukasih lagi. Tapi part ini gak terlalu panjang. Jangan protes ya. Nanti aku ngilang lama lho. 😂😂😂😂

"Pa, kalau nanti Papa udah sehat lagi, kapan-kapan kita main ke pantai, ya?" Jill berujar penuh semangat. Padahal Jill tahu, sulit bagi ayahnya untuk diajak bepergian. Bahkan untuk duduk dalam waktu lama saja Stanley sudah tidak sanggup. Sepanjang waktunya hanya dihabiskan untuk berbaring dalam kesendirian.

Stanley tersenyum lemah.

"Jill sering kangen sama waktu-waktu kita dulu, Pa." Jill membelai lembut lengan sang ayah. "Papa tahu nggak? Papa tuh keren banget, tau! Papa serba bisa. Papa bisa buat istana pasir yang besar banget, bagus lagi. Jill selalu kalah. Jer juga nggak bisa. Belum-belum istana pasir yang Jer buat selalu rubuh, dan Jer pasti nangis."

Stanley mendengarkan sambil pikirannya ikut terbang ke masa itu. Masa ketika ia masih sedemikian gagah dan menjadi pahlawan super di mata anak-anaknya.

Inilah yang selalu Jill lakukan saat menemani Stanley di kamar. Ia akan bercerita apa saja untuk menghibur sang ayah. Ia tahu Stanley merasa begitu kesepian. "Terus Papa juga jago berenang. Papa kuat pegangin Jill sama Jer, ada ombak juga pegangan Papa nggak pernah lepas. Sampe Jill jadi nggak ada takutnya sama ombak."

Stanley kembali tersenyum.

"Terus Papa inget nggak waktu kita surfing? Pertama kalinya Papa ajarin Jill surfing, Jill sampe nangis-nangis. Badan Jill bonyok-bonyok karena nggak berhasil naik ke papan, yang ada jatuh terus nabrak-nabrak papan." Jill terkekeh sendiri mengingat kebodohannya dulu.

Stanley memandangi Jill sedemikian rupa. Putri pertamanya. Kesayangannya. Kebanggaannya. Putrinya yang penuh perhatian. Putrinya yang sangat pengertian, yang tidak pernah menuntut atau pun mengeluh.

"Pa, Jill kangen banget sama Papa." Jill menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan sang ayah. Dibawanya tangan kurus Stanley dan menempelkannya di pipinya. "Jill bukan nyalahin Papa yang sakit, sama sekali nggak pernah, Pa. Jill terima keadaan kita ini, Pa. Jill juga tetap sayang Papa. Buat Jill, Papa tetap yang terhebat. Tapi ada masa-masa Jill kangen banget pengin mengulang momen-momen yang dulu."

Untuk pertama kalinya sejak menemani Stanley di rumah sakit, pertahanan Jill runtuh di depan mata sang ayah. Hatinya begitu sedih saat ini. Air matanya mengalir semakin deras ketika merasakan tangan keriput Stanley yang membelai lemah pipinya.

Jill merasakan ponsel di sakunya bergetar. Gangguan ini setidaknya berhasil menyelamatkan Jill dari situasi muram yang tiba-tiba melingkupi dirinya dan Stanley.

"Pa, ada telepon. Bentar, ya?" Jill cepat-cepat menghapus air matanya, kemudian berjalan keluar meninggalkan kamar rawat ayahnya. Jill berjalan tergesa, mencari area yang cukup sepi di lorong rumah sakit, sambil menerima panggilan video call dari Kai.

Belum juga Jill sempat mengatakan apa-apa, suara Kai sudah terdengar. "Kamu ke mana aja? HP kamu nggak aktif dari kemarin siang, Jill."

"Maaf, Pak." Ditatapnya sepasang ayah dan anak di layar ponselnya dengan perasaan bersalah. Nyatanya ia memang melupakan janjinya untuk menerima setiap panggilan video call dari Kai. Sebelum mendengar kabar tentang ayahnya yang sakit, Jill selalu menepati janjinya. Namun begitu kabar yang cukup buruk itu mengejutkannya, Jill melupakan janjinya.

"Tunggu ...." Kai yang tadinya sudah berniat menuntut penjelasan dari Jill, langsung membatalkan niatnya ketika menyadari sesuatu yang janggal dengan gadis ini. "Ada apa sama mata kamu?"

"..." Jill langsung membuang pandangnya ke samping untuk menghindari tatapan Kai yang menyelidik.

Kai yang jeli langsung dapat menangkap kejanggalan yang lain. "Jill, kamu ada di rumah sakit?"

"..." Jill merasa semakin serba salah. Ia tidak ingin menjadikan sakitnya sang ayah sebagai alasan.

"Siapa yang sakit, Jill?"

Jill tetap diam saja.

"Jill, jawab saya." Suara Kai terdengar rendah dan datar, namun Jill menangkap ancaman di dalamnya.

"Papa saya, Pak," jawab Jill akhirnya.

"Papa kamu kenapa?"

"Papa saya kena pneumonia, Pak."

Kening Kai berkerut. "Gimana kondisi papa kamu sekarang?"

"Udah jauh lebih baik, Pak."

"Di rumah sakit apa, Jill?"

"Jauh, Pak. Bukan di Jakarta." Jill meringis.

"Kamu di mana?" desak Kai.

"Lampung."

"Lampung?" Kai terkejut.

"Iya, Pak."

"Jill, kenapa nggak kasih kabar apa-apa saya?" Entah kenapa ia merasa tidak suka ketika mengetahui hal ini. Kai tidak suka karena Jill tidak mengatakan apa-apa padanya. Padahal memang bukan kewajiban Jill untuk mengabarinya juga. Entahlah, Kai heran.

"..." Jill bingung harus menjawab apa. Ide untuk memberitahu Kai tentang kondisi ayahnya sama sekali tidak terlintas dalam kepalanya.

"Saya ke sana. Berikan nama rumah sakitnya," putus Kai tiba-tiba.

"Pak, jangan-"

"Jangan bawel, Jill!" Kai langsung mematikan sambungan tanpa mau mendengar bantahan Jill lebih lanjut.

***

Jill tidak lagi memikirkan percakapannya dengan sang bos besar pagi tadi, pikirannya teralih dengan berbagai hal yang perlu dikerjakannya, hingga Kai kembali menghubunginya sore ini.

"Jill, kamu bisa turun?"

"Bapak di mana?"

"Di kantin. Saya tidak bisa naik karena ada Jou."

"Sebentar saya turun, Pak." Jill menutup ponselnya kemudian cepat-cepat mencari Jeanna. "Jean, Kakak turun dulu, ya!"

"Mau ngapain, Kak?"

"Ketemu teman di kantin." Jill berjalan tergesa menuju kantin untuk menemui dua sosok yang menunggunya. Begitu memasuki area kantin, mata Jill langsung mencari kedua sosok itu dan akhirnya menemukan mereka tengah duduk di kursi dekat jendela. Jourell yang melihat kedatangan Jill langsung melompat turun dari pangkuan Kai dan berlari ke arah Jill.

"Jou!" Jill mengangkat Jourell dan menggendongnya. Dipeluknya bocah mungil itu dengan perasaan rindu. Jill terus menggendong Jourell sampai ke meja tempat Kai berada. Ia duduk perlahan dan berniat mendudukan Jourell di kursi sebelahnya, namun bocah itu menolak. Jourell tetap berkeras untuk duduk di pangkuan Jill.

Jill tertawa melihat kelakuan Jourell. "Kangen nggak sama Jill?" tanyanya sambil menjawil hidung Jourell.

Jourell yang duduk di pangkuan Jill dengan posisi menghadap gadis itu, langsung menaikkan kedua tangannya dan menangkup pipi Jill. Tangan kecilnya menangkup erat pipi gadis itu sambil matanya memandangi Jill penuh sayang. Setelahnya Jourell memindahkan tangannya ke leher Jill, merangkulnya erat, dan membenamkan kepalanya di ceruk leher Jill.

"Uuh! Jill juga kangen sekali sama Jou." Merasakan kasih sayang tulus dan kerinduan bocah mungil ini, Jill terharu.

Kai sejak tadi hanya diam saja memandangi interaksi Jill dengan putranya. Jujur hatinya tersentuh. Namun tak ayal ketakutan membayanginya. Apa yang akan terjadi ketika saatnya Jourell harus kembali ke Belanda?

"Coba sini Jill liat!" Setelah acara berpelukan yang cukup lama itu, kini giliran Jill yang merangkum wajah Jourell. Diamatinya wajah bocah mungil itu. Diusapnya pipi mungil Jourell. "Jou masih cakep, tapi kenapa pipi Jou jadi kurus?"

Jourell mengerucutkan bibirnya.

Jill memicingkan matanya. "Jou pintar nggak makannya?"

Kini Jourell menunduk dalam, menghindari tatapan Jill.

Jill memaksa Jourell kembali menatapnya, kemudian memasang wajah sedih. "Kalau Jou jadi kurus, nanti Jill sedih."

Jourell meronta dan melepaskan tangan Jill dari wajahnya, kemudian kembali menghambur memeluk Jill kuat-kuat.

"Pak, sebenarnya kenapa nyusul ke sini?" tanya Jill setelah temu kangen dengan Jourell berakhir. Kini bocah itu malah terlelap dalam pelukan Jill.

Kai menggeleng lelah. "Saya tidak sanggup menghadapi kerewelan Jou. Dia benar-benar membuat saya kesulitan karena terus menerus mencari kamu."

"Memangnya Jou ngapain sampai Bapak kewalahan?" Jill mengecilkan suaranya.

"Dia mogok makan. Kerjanya cuma menangis. Bahkan beberapa kali mengamuk." Kai tidak mengada-ada. Jourell benar-benar bertingkah seperti yang dikatakannya.

"..." Jill menunduk mengamati wajah Jourell yang terlelap dengan posisi menengadah ke arahnya.

"Lihat aja matanya sampai bengkak begitu."

Tangan Jill terangkat dan mengusap ringan kelopak mata Jourell. "Maaf, Pak."

"Bukan salah kamu, Jill. Saya juga nggak menyangka Jou sampai segitunya mencari kamu," ujar Kai sambil tersenyum. "Oh, ya! Gimana papa kamu? Apa penyebabnya sampai papa kamu bisa terkena pneumonia?"

"Papa saya udah lama sakit, Pak. Enam tahun yang lalu stroke. Kata dokter, pneumonia ini salah satu efek samping yang ditimbulkan akibat stroke."

Kai mengangguk paham. "Berapa lama papa kamu akan dirawat, Jill?"

"Mungkin satu minggu, Pak."

"Kamu ambil cuti?"

"Iya, Pak."

"Berapa lama?"

"Maunya sampai Papa diizinkan pulang, Pak. Tapi kalau nggak bisa, dua hari lagi saya kembali ke Jakarta."

"Ambil waktu yang kamu butuh, Jill. Tidak usah khawatirkan pekerjaan."

Ucapan Kai benar-benar di luar dugaan Jill. Dikiranya Kai akan marah-marah dan menyuruhnya cepat kembali ke Jakarta. Tapi pengertian dari Kai malah membuat Jill merasa tidak enak. "Saya rasanya jadi nggak nyaman kalau begitu, Pak."

"Atau kamu mau pindahkan papa kamu ke rumah sakit di Jakarta? Jadi selain kamu bisa tetap kerja, papa kamu juga bisa mendapatkan penanganan yang jauh lebih baik," usul Kai.

Jill langsung menggeleng. "Di sini aja, Pak."

"Kamu memikirkan biaya?" tanya Kai.

"Salah satunya jelas biaya, Pak." Jill mengangguk mantap. "Kalau di sini Papa pakai BPJS, jadi kami nggak pusing memikirkan biaya."

"Kamu bisa mengajukan pinjaman. Di Forty Media ada bagian yang mengurusi hal-hal seperti ini," saran Kai lagi.

"Jangan, Pak. Saya nggak mau buat tunggakan saya semakin menumpuk." Jill tidak kecewa dengan usulan Kai. Jill tidak berpikir Kai akan menawarkan untuk membiayai seluruh perawatan ayahnya. Hal semacam itu hanya terjadi di sinteron, bukan di kehidupan nyata.

"Jill, sebenarnya saya sedikit bingung. Kamu nggak terlihat seperti perempuan yang suka menghabiskan uang, tapi kenapa sepertinya kamu selalu terlihat nggak punya uang? Padahal saya yakin bayaran kamu cukup untuk menghidupi kamu," ujar Kai blak-blakan.

Jill tersenyum lembut. Sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Kai. "Karena yang harus saya hidupi bukan diri saya sendiri, Pak."

***

--- to be continue ---

Continue Reading

You'll Also Like

59.9K 6.3K 20
21+ Evelyn hanya terjebak dalam kisah yang salah. Maka itu ia menyadari, dirinya tidak boleh jatuh cinta kepada pria yang kini berstatus sebagai suam...
2.4K 186 26
Sebuah undangan misterius datang ke tempat Liana. Undangan menginap di mansion mewah secara gratis. Awalnya dia pikir ini adalah lelucon. Namun, saat...
100K 5.3K 23
Selena.... Setelah 10 tahun berlalu, akhirnya aku melihatnya lagi. Sekarang dia telah menjelma menjadi wanita dewasa yang sangat cantik. Dia bahkan l...
448K 21.7K 52
Semua orang menyangka bahwa gadis itu adalah istri sempurna dari putra tunggal pewaris keluarga yang terkenal sebagai keluarga Old Money. Tapi ayah s...