Being Happy ...

By LibrAquina

87.7K 7.8K 283

Pernah merasakan kau tak punya pilihan untuk hidupmu sendiri? Pernah berada dalam posisi di mana kau tak puny... More

Prolog
BeHa | Satu
BeHa | Dua
BeHa | Tiga
BeHa | Empat
BeHa | Lima
BeHa | Enam
BeHa | Tujuh
BeHa | Delapan
BeHa | Sembilan
BeHa | Sepuluh
BeHa | Sebelas
BeHa | Duabelas
BeHa | Tigabelas
BeHa | Limabelas
BeHa | Enambelas

BeHa | Empatbelas

3.9K 410 15
By LibrAquina

"Masih perang dingin Lo?" Tanya Mili begitu melihat Gifta menapakkan kaki di kamar kos nya.

"Perang dingin apaan?" Kening Gifta mengernyit tanda tak mengerti dengan pertanyaan sahabatnya. Ia mengikuti langkah Mili, duduk di ujung spring bed Mili.

"Lo sama laki Lo?" Tanya Mili. Ia sedikit tahu perihal masalah yang tengah dihadapi sahabatnya itu setelah ditelpon Gifta beberapa hari lalu.

Gifta merebahkan tubuhnya di ranjang, capek karena baru pulang dari kampus. "Nggak ada ah gue perang dingin."

Hubungannya dan Febe memang sedikit dingin setalah hari di mana ia bereaksi terlalu berlebihan akibat nafsu makannya yang meningkat, yang ia sangka karena perubahan hormon pada tubuhnya karena adanya janin yang bertumbuh.

"Berarti tidurnya nggak butuh selimut dong?" Pertanyaan ambigu Mili disertai alisnya yang dinaik dan turunkan menggodanya membuat Mili mendapat lemparan bantal dari Gifta.

"Otak Lo ya!" Gifta beranjak dari ranjang, melangkah ke sudut kamar tempat di mana rak makanan Mili berada.

"Potato mana?" Gifta membalik tubuhnya menghadap Mili yang berselonjoran di karpet bulu.

"Ada itu. Cari yang bener."

Setelah menemukan apa yang dicarinya Gifta kembali duduk di pinggiran spring bed.

"Pusing pala gue." Ucapnya ditengah kegiatannya mengunyah keripik kentang berbumbu barbeque kesukaannya itu.

"Pusing kenapa?"

"Ya, mikirin kuliah sama si Febe yang ngambek."

"Nah itu namanya perang dingin dodol!" Mili gemas dengan sahabatnya yang satu ini. Masa begitu nggak ngaku perang dingin.

"Tapi gue nggak perang dingin. Dia cuma nggak sebawel biasanya aja." Aneh saja rasanya ketika orang yang biasanya banyak bicara padamu tiba-tiba hanya berkata satu dua kata saat bersama.

"Ohh, cuma nggak bawel aja. Yang lain masih sama kan?"

Gifta berpikir sejenak kemudian menjawab, "Iya,"

"Lagi talk less do more aja kali."

"Maksudnya?" Gifta bertanya tak mengerti.

"Yang penting kalian tidurnya masih punggung-punggungan."

"Kok Lo malah doain gitu sih." Bibir Gifta mengerucut kesal.

"Nggak doain. Cuma mastiin aja. Kalo Lo masih munggungin kasur dan laki Lo masih munggungin loteng." Ucap Mili santai.

"Yee, otak Lo." Kesal, Gifta melempar keripik kentang yang hendak masuk kedalam mulutnya ke hadapan Mili.

"Lah, emang enggak?"

Gifta mengambil lagi keripik kentang yang ada di pangkuannya, kemudian memasukkan ke dalam mulut. "Ya enggak lah. Ngomong aja dia males masa begituan gercep, nggak Febe banget gue rasa. Gengsinya setinggi Himalaya tuh orang."

"Jadi Lo kangen dong?" Goda Mili.

"Ih apaan sih. Gue itu lagi stres ini, gimana mau ngajak ngomong tuh orang."

"Ajak olahraga biar suasana kembali cair."

"Olahraga apaan, dia aja pulangnya malem terus, bener bener ngindarin gue banget.

"Ada kok olahraga yang bisa dilakuin tengah malam sekalipun."

Gifta terdiam mencerna usulan Mili. Olahraga apa, pikirnya. Lalu dia melihat sudut bibir Mili berkedut menahan tawa, "Olahraga apa sih? Gue nggak tau. Otak gue jadi menciut gara-gara masalah ini. Lo kasih saran tapi nggak jelas banget sih, Mil." Sunggut Gifta.

"Masa Lo nggak paham juga, Ha ha ha ha," akhirnya tawa Mili meledak. Sampai-sampai ia harus memegangi perutnya saking gelinya dengan kebodohan yang tiba-tiba melanda Gifta.

Seperti bohlam yang tiba-tiba menyala, Gifta tersadar dan paham arti ucapan Mili. Dengan geram dihampirinya Mili, ditimpanya tubuh sahabatnya itu seraya berkata, "Mili monyeeet, otak Lo greseeek!" Gelitikan diberikan Gifta di pinggang Mili hingga Mili menggeliat kegelian.

"Ampun, Gi. Ampun." Mili menjauhkan tangan Gifta dari titik gelinya. "Gue bisa ngompol kalo lo kitikin terus." Ucapnya dengan napas tersengal.

"Bodo. Gue nggak peduli!" Gifta masih mencoba menggelitiki Mili yang menggeliat menghindar.

"Kenapa sih Lo nggak mau hamil. Lo punya trauma melahirkan emang?" Mili berhasil menjauhkan tangan Gifta dari tubuhnya. Kemudian dia mengambil jarak dari Gifta sehingga sulit bagi Gifta untuk melakukan aksinya kembali.

"What? Mulut Lo ya, Mil." Gifta yang sudah kembali duduk tercengang mendengar pertanyaan Mili.

"Habisnya Lo aneh sih. Nggak mau punya anak padahal tiap hari 'enak-enak'. Mau enak tapi nggak mau anak." Ujarnya.

"Astaga Miliiii, bahasa Lo." Kepala Gifta menggeleng-geleng mendengar ucapan Mili. "Gue belum pengen punya anak saat ini aja kok." Beritahu Gifta.

"Ohh, kirain." Mili menghela napas lega. Dia mengira Gifta masuk dalam kelompok wanita yang nggak mau repot mengurus makhluk lucu nan gemesin itu. "Trus Lo udah bilang sama laki Lo alasannya?" Tanyanya lagi.

Wajah Gifta berubah lesu mendengar pertanyaan Mili. Lalu dia menggeleng dan berkata, "Pas panik itu gue ada ngomong deh, tapi nggak tau dia nangkep apa nggak. Kita kan lagi sama-sama kaget waktu itu."

Sejak hari di mana Gifta memberitahu kalau dia belum ingin punya anak, Febe sedikit menjaga jarak. Dia selalu pulang larut sehingga Gifta tak bisa membahas tentang masalah mereka.

"Atau Lo samperin dia ke kantornya. Pokoknya Lo kudu bergerak biar masalah kalian nggak berlarut-larut." Usul Mili.

"Ya masa ngomongin masalah beginian di kantor sih Mil, aneh ah Lo." Gifta tidak terima usulan Mili. Menurutnya tidak etis membicarakan masalah pribadi di kantor.

Kalau Gifta mau, dia bisa membuka obrolan ini di pagi hari ketika sarapan, tapi Gifta nggak mau. Gifta takut karena bahasan sensitif di pagi hari mood kerja Febe anjlok lalu berakibat pada kinerjanya di kantor. Pengertian banget kan Gifta jadi istri sampai masalah kinerja suaminya saja dipikirkannya.

Tapi maksud baiknya tidak ditanggapi baik. Febe langsung jaga jarak tanpa mau mendengarkan penjelasan Gifta. Dasar suaminya ambekan!

"Trus gimana dong biar masalah Lo cepet kelar." Mili menatap Gifta prihatin. Takut masalah yang dihadapi sabatnya jadi berlarut-larut kalau tidak diselesaikan secepatnya.

Gifta mengedikkan bahu, "Ntar lah gue pikirin lagi." Ucapnya pasrah.

***

Sedari tadi Gifta melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Sepuluh menit lagi pukul sebelas. Gifta sudah membulatkan tekadnya, masalahnya dan Febe harus diselesaikan hari ini juga. Tapi melihat Febe belum juga menampakkan batang hidungnya padahal hari sudah larut, tekad Gifta yang tadinya sudah bulat makin lama makin surut hingga menyisakan sepersekian persen saja.

"Tapi kalau gue tunda-tunda terus kapan kelarnya ini masalah?" Gifta berbicara pada ruang kosong.

"Bodo lah, mau perang dunia pun gue musti clear-in nih masalah malam ini juga. Titik!"

"Ngomong sama siapa?"

"Astaga!" Gifta memegangi dadanya. Ia tersentak kaget karena Febe tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. "Kamu kok udah di sini aja? Kapan masuknya?" Gifta berdiri menghadap Febe.

Alis Febe terangkat mendengar pertanyaan Gifta. "Kamu terlalu konsen dengan pikiranmu ampe nggak nyadar ada orang di sekitarmu." Febe melewati Gifta, kakinya melangkah menuju sofa yang ada di sudut kamar.

"Kenapa belum tidur? Ini kan udah malam?" Tanyanya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Aku mau ngomong." Gifta berkata. "Tentang yang masalah kita."

Febe terlihat enggan, "Udah malam. Besok aja ngomongnya."

"Aku mau ngomongnya sekarang." Turning back bukan pilihan yang tepat. Gifta takut nyalinya akan ciut kalau dia tidak melakukan saat ini juga.

Febe menghela napas kasar. "So, kamu mau ngomong apa? Mau bikin pembelaan kayak mana?"

Mata Gifta berkaca-kaca mendengar ucapan Febe. Seperti dia tidak mempunyai pendapat untuk mengemukakan keinginannya. Seperti perlakuan yang selalu diterimanya dari orangtuanya. Dia tidak berhak memilih.

"Bukannya aku nggak mau punya baby. Aku mau. Banget, malah. Tapi untuk waktu dekat ini, aku ingin kita pending dulu. Aku ingin nyelesain kuliahku dengan tenang..."

"Lakukan apa yang mau kamu lakukan. Nggak usah peduli sama keinginanku." Febe memotong ucapan Gifta.

"No! Kita butuh kompromi. Kita butuh komunikasi. Kamu nggak bisa ngomong kayak gitu ke aku seolah-olah aku nggak ada artinya buat kamu." Gifta meradang. Dia tidak suka mendengar ucapan Febe yang seolah tidak peduli. Masalah ini harus berdasarkan keputusan dua kepala. Ia dan Febe.

"Kalau kamu ingin denger mauku, aku mau kita tidak menunda. Aku mau benihku secepatnya tumbuh didalam perutmu itu. Itu yang aku mau." Febe berdiri. Kedua tangannya berada di kedua pinggangnya.

"Aku nggak suka menunda-nunda. Termasuk masalah anak. Walau aku dan kamu, kita berdua bisa berada dalam posisi sekarang ini karena tuntutan orangtua, tapi ketika aku menjabat tangan ayahmu, itu artinya aku sudah berkomitmen kepada diriku sendiri bahwa kamu, pilihanku atau tidak adalah tanggungjawab ku. Dan kamu tahu, setiap yang kusebut tanggungjawab didalamnya ada keegoisan. Aku bertanggungjawab dengan pekerjaanku dan aku egois dalam prosesnya. Aku ingin kesempurnaan, aku ingin semua sesuai aturannya. Begitupun dengan kamu yang sudah menjadi tanggungjawab ku. Aku ingin melewati proses wajar pernikahan. Kamu mengandung benihku, anak kita. Membesarkan mereka. Menjadi orangtua terbaik. Selalu bahagia hingga kita berdua menutup mata. Itu yang aku mau."

Air mata Gifta sudah mengalir bak anak sungai. Ucapan Febe terlalu manis seandainya saat ini mereka berada dalam kondisi normal. Tapi, saat ini, mereka tengah berdiri saling berhadapan dengan emosi yang menyelubungi hati mengungkapkan apa yang mereka inginkan. "Kamu harusnya mengerti kalau aku hanya meminta sedikit waktu." Pinta Gifta.

"Dan itu artinya kamu tidak percaya padaku."

Febe tidak suka dianggap remeh. Dia adalah orang yang kompeten. He believe he can do anything. Dia adalah orang yang bisa diandalkan. Dan egonya sangat terluka ketika manakala mendengar kata-kata Gifta.

Melanjutkan kuliah dengan tenang? Meminta waktu? apa Gifta pikir dia akan abai saja seandainya Gifta hamil saat masa perkuliahannya ada di posisi genting. Dia akan membiarkan Gifta melewati posisi sulitnya seorang diri? Benar-benar perempuan satu itu. Dia membuat Febe seperti seorang suami yang hanya mau enaknya saja.

Febe sadar masalah ini bisa dibuat sederhana kalau mereka berdua berbicara dengan kepala dingin. Tapi ego lelakinya tersakiti dengan reaksi Gifta beberapa hari lalu. Gifta tidak mempercayainya sebagai seorang suami.

Apa salahnya hamil dikala kau masih mengenyam pendidikan mu. Apa salahnya hamil saat kau masih muda.

Tidak ada.

Banyak orang di luar sana yang bisa melakukan kedua hal itu. Hamil dan tetap kuliah. Hamil dan tetap bekerja.

Kenapa mereka bisa?

Mereka berkomunikasi. Mereka saling bantu. Mereka saling mengerti.

Febe juga bisa kalau dia diberi kesempatan. Tapi Gifta tak memberikan itu. Istrinya menutup kesempatan itu tanpa meminta pendapatnya.

Jadi apa arti hubungan mereka selama ini? Keintiman yang mereka lakukan? Bagi Febe itulah proses yang harus dilalui agar rahim Gifta bertumbuh penerusnya.

Entahlah menurut wanita itu. Mungkin didalam otaknya, apa yang mereka lakukan hanyalah kesenangan untuk menyalurkan hasrat, entahlah, hanya wanita itu yang tahu.

Gifta mengayunkan kakinya, namun gelengan kepala Febe membuat langkahnya terhenti di langkah pertama. "Aku nggak bermaksud begitu." Ucap Gifta lirih.

Sungguh. Gifta tidak bermaksud melukai Febe dengan perkataannya. Dia percaya Febe sebagaimana dia percaya bahwa pernikahan mereka akan kekal.

Apa yang dia punya untuk pernikahannya ini selain keyakinan bahwa ini akan berakhir indah. Ya, hanya keyakinan. Tak ada cinta dalam pernikahan mereka. Belum. Karena cinta bisa tumbuh karena terbiasa. Cinta bisa datang tiba-tiba. Cinta mempunyai caranya sendiri untuk menghinggapi hati yang dia pilih.

Jadi, untuk membuat pernikahan ini berhasil Gifta menanamkan keyakinan pada dirinya bahwa pria yang dipilihkan orangtuanya ada yang terbaik. Mereka akan bahagia pada masanya. Itulah matra yang diucapkan Gifta hingga dia bisa menjalani pernikahannya dengan damai tanpa beban.

Namun, Gifta lupa pernikahan mereka masih rentan. Masalah sekecil apapun akan menjadi besar karena mereka tak punya cinta sebagai penawar.

Dan tibalah ia di titik ini. Di mana perbedaan pemikiran membuat mereka harus memenangkan pendapat mereka hingga membuat salah satu dari mereka merasa kalah. Dan tersakiti. Dan itu bukanlah apa yang dia inginkan.

"Dengan kamu membuat keputusan sendiri berarti kamu tidak percaya padaku. Kamu menganggap aku orang asing yang tidak perlu dimintai pendapat."

"So, gimana dengan kamu. Kamu pernah nanya aku emang? Nggak kan?" Febe yang tidak mau memahaminya membuat emosi Gifta tersulut.

"Ya, ya, semua memang salahku. Kegiatan yang kita lakukan selama ini memang salahku. Aku yang ngotot meminta jatah suamiku padamu. Aku yang selalu memaksa kamu. Jadi, maaf kalau apa yang aku lakukan bikin rencana kamu hampir gagal. Sorry." Febe melangkahkan kakinya keluar kamar meninggalkan Gifta yang hanya bisa terpaku karena syok dengan kata-kata Febe.

"Bukan seperti ini seharusnya." Lirih Gifta dengan air mata yang mengucur di pipinya.














Stay healthy and happy Gaes
♥️Libra











Continue Reading

You'll Also Like

43.5K 6K 51
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
1.3M 98.9K 31
Bocah berpipi bakpao yang kadar gemasnya sudah tak bisa lagi diukur. Bersama Ayah dan abang-abangnya yang tampan, Arion menyusuri hidup dengan penuh...
889K 78.5K 50
{Pre Order 30 April - 06 Mei 2024} Bagaimana rasanya menjadi Arisha? Ketika dia harus ikhlas melepas impiannya untuk bisa bersatu dengan cinta dalam...
249K 1.6K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...