Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.5K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 15 Worst Night in Jeju

1.9K 290 174
By padfootblack09

Yoongi terbangun pukul setengah tujuh pagi. Ia menoleh ke samping dan tidak menemukan Seungwan disana. Ini adalah hari pertama ia akan menghabiskan waktu di Jeju, dan biasanya keluarga besarnya hanya akan menghabiskan hari pertama dengan bersantai di rumah. Memikirkan itu, membuat Yoongi merindukan Jinna. Keponakannya yang berusia empat tahun—keponakan satu-satunya dan merupakan cucu satu-satunya keluarga Min. Membayangkan bercengkerama dengan balita super cerewet itu saja sudah membuat Yoongi sumringah.


Yoongi kemudian beranjak untuk membersihkan diri, mengambil alas kaki rumah kemudian berjalan menuju pondok utama. Yoongi dapat mencium harum masakan khas keluarganya bahkan sebelum ia menginjakkan kaki ke pondok utama. Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan ternyata masih cukup pagi bagi orang lain, karena Yoongi baru melihat ayahnya duduk di atas tatami sedang membaca koran. Di hadapannya ada meja pendek yang sudah tertata beberapa jenis makanan diatasnya.


Yoongi melepas sandalnya, ia mengambil tatami kemudian duduk di salah satu sisi meja. Jangan heran dengan keheningan yang tercipta diantara dua manusia es bermarga Min ini. Karena memang begitulah kodratnya. Tak akan membuka mulut kecuali membicarakan hal yang benar-benar penting. Urusan perusahaan, atau, yang masih Yoongi ingat dan paling membuatnya trauma, pembicaraan mengenai perjodohan konyolnya.


"Ibu belum tiba?" itu suara Jisoo. Ia muncul dari arah dapur, membawa semangkuk besar sup yang masih mengepul. Ia tersenyum kecil kepada ayah mertuanya, yang hanya dijawab dengan gumaman. Memang begitu. Jangan heran. Jisoo sudah terbiasa.


"Yoongi." Pandangan mata Jisoo berpindah kearah Yoongi. "Aku ingin bicara denganmu."


"Bicaralah." Ujar Yoongi santai. Sejak tadi mengintai pie daging dengan matanya, akhirnya tangannya terulur untuk mengambil satu.


Jisoo mengerenyit dengan jengah. "Ke belakang sebentar." Jisoo kemudian menyeret Yoongi ke dapur, ia memastikan Seungwan tidak ada—sedang kembali lagi ke pondoknya untuk mandi.


"Mengapa Seungwan tak tahu apa-apa??"tanya Jisoo dengan pandangan menuntut.


Yoongi mengangkat satu alisnya, tak tahu. Sejenak mengabaikan pie daging di tangannya.


Jisoo berdecak. "Resep keluarga—semuanya."


"Ah..." Yoongi bergumam, ia tersenyum kecil. "Dia sudah tahu?"


"Dia sudah tahu?" ulang Jisoo tak percaya. "Seungwan sama sekali tak tahu apa-apa, Min Yoongi. Kau gila?"


"Bukan salahku 'kan kalau ibu belum memberi tahu apa-apa?" Yoongi menyeringai "Lagi pula aku tidak punya hak untuk memberi tahunya."


"Kau tidak perlu memberi tahu isi resepnya." Kata Jisoo mendengus. "Bukan urusanmu untuk mengajarkannya memasak. Tapi paling tidak kau harus menceritakannya. Bahwa—"


"Apa?" potong Yoongi agak menantang. "Bahwa aku hanya bisa makan makanan dari tangan ibuku? Atau aku hanya bisa makan dari resep keluargaku? Bahwa aku tak bisa makan semua masakanmu? Bahwa semua makananmu hanya akan berakhir di tempat sampah?"


Jisoo tampak kaget. Matanya melebar, dan ia mundur satu langkah ke belakang. "Berakhir di tempat sampah?"


Yoongi merotasikan bola matanya, ia menggigit pie daging di tangannya, kentara sekali sangat malas membahas itu. Menyesal ia harus menyebut-nyebut itu.


"Yoongi—" Jisoo sedikit terbata. "Kau membuang masakan Seungwan ke tempat sampah???"


"Dia cukup beruntung aku tidak menumpahkannya ke atas kepalanya—"


"Min Yoongi!" sergah Jisoo, tak percaya. Jisoo berusaha mengontrol emosinya—ia menarik nafas dalam-dalam. "Kau bukan mahasiswa berusia dua puluhan lagi!"


Yoongi hanya berdecak. Malas untuk membicarakan hal yang tidak penting ini lagi. Ia melahap sisa pie daging di tangannya, kemudian, dengan mulut penuh, berkata, "Kalau sudah tidak ada lagi yang mau kau bicarakan, aku mau pergi. Lapar." Menandakan betapa ia sangat menyepelekan pembicaraan ini.


Jisoo menggeleng tak habis pikir. "Kau sudah berjanji untuk tidak menyakiti istrimu sendiri Yoongi."


Yoongi yang baru mau berjalan, menghentikan niatnya. Ia berbalik menghadap Jisoo lagi. "Siapa bilang begitu?"


"Kau berjanji pada Seokjin bahwa kau akan bersikap netral pada istrimu, bahwa kau tidak akan menyakitinya—"


"Itu karena aku belum tahu kalau istriku ternyata adalah si Seungwan itu!" potong Yoongi agak emosi.


"BERHENTI MEMANGGILNYA BEGITU!" kata Jisoo setengah berteriak. Emosinya melunjak lagi, merasa sangat marah karena Yoongi menyebut Seungwan dengan seperti itu.


Emosi Yoongi ikut tersulut. Ia bersumpah jika Jisoo bukan merupakan teman sekaligus kakak iparnya, ia sudah menendang Jisoo jauh-jauh. Yoongi kemudian mendesis, "kau tidak tahu apa yang sudah kulalui dulu—selama dua tahun penuh—"


"Aku tahu." Ujar Jisoo memotong kalimat Yoongi. Ia menarik nafas untuk mengontrol emosinya lagi. "Aku tahu semua itu, Min Yoongi. Kita semua tahu."


Yoongi membuang pandangan matanya, tak ingin tersulut lagi emosinya. Ia berkata lebih halus, "Dua tahun, Jisoo. Dua tahun."


"Pantas. Kau pantas mendapatkannya. Kau harus mendapatkannya. Seungwan tak bersalah. Kau sangat pantas—" Jisoo memijat pelipisnya sendiri. "—atau seharusnya dari awal kau tidak bersikap seperti itu. Semaumu sendiri, kasar, tak berperasaan—kau seharusnya tak seperti itu Yoongi."


"Itu sudah kodratku." Balas Yoongi tak mau tahu.


"Sikapmulah yang membuat Seungwan bertingkah seperti itu terhadapmu." Jelas Jisoo. "Kalau kau bilang itu semua adalah kodratmu, kalau begitu Seungwan memang ditakdirkan hadir untuk menyadarkanmu."

.

.

.


Pembicaraan Yoongi dengan Jisoo berakhir sia-sia. Yoongi keras kepala dan Jisoo kehilangan akal untuk menyadarkan Yoongi; supaya Yoongi tidak menyakiti Seungwan lagi. Percuma. Debat mereka terpaksa berhenti karena kehadiran Nyonya Min ke pondok utama itu. Memanggil semua orang untuk berkumpul di meja.


Seokjin datang bersama Jinna dua menit kemudian. Jinna sudah mandi dan wangi, khas bayi. Wajah Yoongi langsung sumringah. Ia menarik Jinna untuk duduk di pangkuannya.


"Samchoon katanya ada onnie baluuu." Kata Jinna begitu ia duduk.


"Apa? Siapa? Onnie?" tanya Yoongi gemas, ia menjawil pipi gembul Jinna.


"He eh. Onnie Sewan—Wanwan—Wawan." Kata Jinna kesulitan mengingat.


Yoongi tersenyum, merasa semakin gemas. "Itu imo, bukan onnie. Min Jinna."


"Seungwan dimana?" perhatian Yoongi teralih oleh Seokjin yang bertanya. Sang ibu, Nyonya Min yang sudah menata diri di tempatnya kemudian mencibir. Yoongi mencoba untuk tidak menyeringai.


"Harusnya dia datang sebelum kita semua datang." Komentar Nyonya Min kemudian.


"Dia memasak denganku, tadi, ibu." Kata Jisoo membela.


Yang menjadi bahan pembicaraan akhirnya tiba. Seungwan yang baru selesai mandi menyapa semua orang. Ia tersenyum sambil mengambil posisi di samping Yoongi.


Yoongi akhirnya menyeringai juga. Memperhatikan senyum Seungwan yang tak mencapai matanya—hanya Seokjin dan Jisoo yang menyambut kedatangannya. Sementara Yoongi berhasil membuat Jinna sibuk dengan pie dagingnya.


"Mengapa baru datang?" tanya Nyonya Min pada Seungwan—tidak mau melihat langsung kearah Seungwan dan sibuk menyesap tehnya.


"Saya baru mandi setelah memasak dengan Jisoo tadi, bu—"


"Seharusnya kau mandi dulu." Potong Nyonya Min, jengah sekali. Bibirnya mengerucut, kentara bahwa dia terpaksa mengajak Seungwan bicara.


"Nanti bau lagi dong bu." Jisoo masuk ke percakapan, berusaha mencairkan suasana. "Aku saja belum mandi." Kata Jisoo sambil nyengir.


Nyonya Min repot-repot memutar kepalanya kearah Jisoo—dimana sebenarnya lebih mudah memutar kepalanya kearah Seungwan dibanding Jisoo. Bibirnya yang semua mengerucut kemudian melengkung keatas, memperlihatkan giginya, ia kemudian berkata dengan nada bercanda, "berarti kau bau, nak!"


Nyonya Min yang berhasil mencairkan suasana yang semula ia bekukan sendiri. Tapi tidak semua orang mencair. Yoongi memperhatikan semuanya. Satu-satunya orang yang tidak merasakan hangatnya suasana, duduk tepat di sebelahnya, Seungwan, yang justru menganggap keadaan semakin mencekam. Apalagi setelah itu Nyonya Min selalu mengajak Jisoo bercanda—Seungwan tak pernah diikutkan dalam percakapan. Terasing.


Seungwan terus menggigit bawah bibirnya sepanjang sarapan pagi itu. Berusaha ikut tertawa pada lelucon garing Seokjin, dan berusaha masuk dalam percakapan Nyonya Min dengan Jisoo atau Jinna, kendati Nyonya Min menutup telinga atas semua yang Seungwan lontarkan. Jisoo berusaha membantunya, namun tak ada hasil.


Seungwan akhirnya menyerah. Berdiam diri sepanjang dua puluh menit terakhir acara sarapan pagi itu. Tak ada yang menyadari diamnya Seungwan. Kecuali Yoongi, yang sedari tadi menyeringai senang dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya.

.

.

.


Seungwan ternyata harus merasakan kesedihan yang sama selama dua hari lagi sejak sarapan pagi itu berakhir. Malam harinya, semua anggota keluarga pergi ke rumah orang tua Jisoo—seharusnya Seungwan merasa senang. Ia berkenalan dengan dua saudara kandung Jisoo yang berhati sama baiknya dengan Jisoo; Kim Jinhwan dan Kim Jiwon. Juga bertemu dengan dua orang tua Jisoo yang menyambutnya dengan baik. Tapi sayangnya, pikiran Seungwan hanya terfokus pada ibu mertuanya yang masih mengacuhkannya.


Hari kedua di Jeju dihabiskan keluarga besar Min untuk berwisata ke Pantai Jungmun. Keadaan masih sama. Nyonya Min masih mengacuhkannya dan fokus Seunwan masih juga hanya pada Nyonya Min. Bahkan ini membuat Seungwan belum bisa banyak bercengkerama dengan Jinna, walaupun sudah lama sekali ia ingin bermain dengan keponakannya itu.


Hal yang membuat Seungwan semakin sedih adalah kenyataan bahwa Yoongi diam saja. Walaupun Seungwan tahu kalau berharap pada Yoongi itu percuma, tapi tetap saja. Seungwan tahu Yoongi memperhatikannya. Interaksinya dengan ibu mertuanya yang sangat menyedihkan. Yoongi melihat tapi bersikap tak peduli. Bahkan air muka Yoongi menunjukkan seolah-olah ia menikmati semuanya, seolah-olah ia berkata, 'Rasakanlah, Seungwan'.


Seperti pada saat Seungwan membuatkan kopi untuk ayah mertuanya. Seokjin, Jinna dan Jisoo sedang berjalan-jalan dari ujung ke ujung di pesisir pantai Jungmun itu. Sedangkan Tuan dan Nyonya Min duduk bersantai di bawah teduhan, menikmati pemandangan. Sementara itu Seungwan sedang membongkar bekal-bekal makanan yang mereka bawa, Yoongi sedang memotret tidak jauh dari tempatnya.


Seungwan menawarkan untuk membuatkan kopi ketika tuan Min meminta. Dengan hati-hati, Seungwan membuat dari termos panas yang sudah disiapkan sebelumnya, menaruh kopi hitam dua sendok kecil takaran, gula satu sendok makan, serta satu sendok krimmer organik. Seungwan mengawasi ayah mertuanya ketika menyesap kopi buatan Seungwan. Seungwan pikir ia aman, ketika dilihatnya Tuan Min tidak berkomentar apa-apa ataupun mengerenyitkan wajah. Ternyata salah besar.


Tuan Min meninggalkan tempat teduhan itu tak lama kemudian. Meninggalkan Seungwan, Nyonya Min dan Yoongi dalam kecanggungan.


Nyonya Min menyambar kopi buatan Seungwan yang diletakkan diatas tatakan. Ia melihat Seungwan seakan bisa membunuh dengan pandangan matanya. Seungwan meneguk salivanya dengan susah payah ketika dilihatnya Nyonya Min mengerenyitkan wajah setelah mencoba kopinya.


"Kopi apa yang kau buat Seungwan?" tanya Nyonya Min, lembut, tapi membuat Seungwan terancam.


"Kopi—" Seungwan tak bisa menjawab. Tak mengerti bagian mana yang salah dari kopinya. Semua takaran sudah Seungwan sesuaikan.


"Bukan kopi yang biasa suamiku minum." Kata Nyonya Min kemudian. Ia berdiri dari tempatnya, kemudian mendekati Seungwan, melihatnya dengan tajam. "Terlalu manis. Kau harus mengurangi dua koma lima gram gula yang tadi kau tambahkan. Krimmer hanya ditambahkan sebanyak lima gram, atau tujuh koma lima gram kalau kau menggunakkan gula lima gram."


Nyonya Min kemudian membuang kopi itu di hadapan wajah Seungwan. Seungwan langsung menundukkan wajahnya.


"Jangan melakukan suatu hal yang belum pasti kau dapat lakukan." Katanya kemudian, menaruh cangkir kosong di depan Seungwan. "Aku tidak akan menyebutmu tak berguna bahkan kalau kau tidak melakukan apa-apa."


Bagaimana keadaan Seungwan? Sudah hampir menangis. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.


"Lebih baik diam saja Seungwan." kalimat terakhir yang dilontarkan Nyonya Min. Sebelum akhirnya ia menyibukkan diri membuat kopi untuk suaminya lalu kembali ke tempatnya.


Seungwan buru-buru menjauhi tempat itu. Berlari-lari kecil mencari kamar mandi. Sebelum benar-benar pergi, Seungwan bisa melihat dari pandangan buramnya, Yoongi yang menyeringai ke arahnya.


Hari dimana mereka berlibur ke pantai Jungmun adalah hari terakhir Yoongi dan Seungwan berada di Jeju. Besok pagi mereka sudah harus terbang kembali ke Seoul. Malam hari terakhir itu, Seungwan terlihat sangat drop. Lelah. Mungkin bukan hanya secara fisik, tetapi juga mentalnya. Yoongi tak bisa melihat pancaran mata yang biasa Seungwan tunjukkan, sejak mereka akhirnya kembali ke pondok mereka.


Seungwan lebih banyak diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara itu Yoongi menikmati ketenangan itu. Yoongi kemudian melakukan kegiatan yang menurutnya menyenangkan, mengecek hasil fotonya, serta memperhatikan Seungwan yang berduka.


Tepat pukul sebelas malam, Yoongi memutuskan untuk tidur. Seungwan sudah lebih dahulu berbaring di kasurnya—sudah terlalu lelah untuk berbasa-basi ria dengan Yoongi, Yoongi pikir begitu. Mematikan lampu pondok, Yoongi mengulet sebentar, lalu berbaring tepat di samping Seungwan.


Yoongi pikir ia bisa tidur nyenyak, tidak akan terbangun-bangun lagi sebelum alarmnya sendiri yang membangunkan. Tapi ternyata ia salah. Biasanya ia terbangun karena tiba-tiba terkena migraine, atau tangannya yang kaku karena genggaman tangan Seungwan. Yoongi membuka matanya dengan sendirinya, tangan kirinya tanpa sadar meraba kepalanya dan tak merasa nyeri apapun. Ia melirik kearah Seungwan—tangannya sama sekali tidak digenggam Seungwan.


Atau mungkin belum.


Seungwan bergerak gelisah dalam tidurnya. Kedua kakinya yang bergerak tak tentu arah, dua tangannya yang tremor, serta hembusan nafas tak teratur. Yoongi memperhatikan Seungwan mengubah posisinya untuk ke tujuh kalinya, sampai akhirnya tangan Seungwan bergerak mendekati tangannya. Sudah Yoongi bilang. Mungkin belum.


Dugaan Yoongi sangat tepat. Dua puluh detik kemudian, tangan kanan Yoongi sepenuhnya berada dalam genggaman Seungwan. Kemudian kegelisahan Seungwan berangsur-angsur menghilang—kedua kakinya yang semula bergerak tak menentu, sekarang meringkuk ke dalam dan diam, lalu terdengar hembusan nafas Seungwan yang teratur. Sama sekali tak tahu kalau Yoongi sudah terbangun.


Yoongi merotasikan bola matanya. Dengan geraman rendah, Yoongi berkata, "Apakah kau juga suka menggenggam tangan orang lain ketika sedang sedih—merengek seperti bayi?"


Seungwan kemudian terpaku di tempatnya. Wajah ketakutan Seungwan dapat Yoongi bayangkan bahkan ketika Seungwan tidak menengadah melihatnya.


Sementara itu Seungwan meneguk salivanya. Ketakutan, ia menengadahkan kepala, melihat Yoongi yang seratus persen sadar. Seungwan otomatis melepaskan tangannya, menundukkan kepalanya lagi, kemudian berguman, "maaf."


"Ini bahkan tidak ada petir." Balas Yoongi, menarik tangannya. "Atau kau menggunakkan itu hanya untuk alasan—"


"Tidak." Jawab Seungwan, masih tak berani melihat ke mata Yoongi.


"Lalu apa?" tanya Yoongi.


Seungwan tak menjawab. Tak tahu juga apa jawaban yang harus diberikan. Ia hanya ingin menggenggam tangan Yoongi. Tak ada yang lain.


Melihat Seungwan yang hanya terdiam, membuat Yoongi semakin kesal, ia berbalik memunggungi Seungwan, kemudian berkata, "Jangan berbaring terlalu dekat denganku atau kutendang kau keluar dari kamar ini."


Seungwan kemudian bergeser menjauhi Yoongi. Memandangi punggung lebar Yoongi dengan sedih. Pandangannya sudah mengabur oleh air mata. Rasanya sesak sekali. Seungwan lelah—ia hanya membutuhkan seseorang untuk bersandar.


Seungwan diam-diam merangkak di tempat tidur mereka, meraih ponsel dan bantalnya lalu dengan perlahan meninggalkan kamar itu. Tak ingin mengganggu Yoongi dengan suara tangisnya.

.

.

.

Halo famss. karena ada yang pengen di up malam ini, bukannya minggu depan dengan double up, makanya aku up sekarang. 

di chapter ini sebenarnya nggak banyak ambil bagian plot utama dari cerita, sebelumnya aku sempet ragu untuk bikin chapter ini. hampir pengen kuskip aja. karena kalau kalian cermat, ini sama sekali nggak nambah isi cerita, atau naikin plot. apalagi, di chapter ini, (sekali lagi) aku terpaksa menyiksa Seungwan. jadi keinginan untuk meniadakan chapter ini sebenarnya sangat besar. wkwkwk.

Tapi karena (setelah aku pikir dan teliti lagi) chapter ini nanti bisa berefek ke chapter-chapter selanjutnya, yang otomatis ujung-ujungnya bakal mempengaruhi plot, jadi aku memutuskan untuk tetep bikin. plot ini adalah pengantar. penting tapi nggak penting. tapi tetep dibaca  ya, soalnya ngefek ke bagian bagian selanjutnya wkwk. 

Karena plot yang datar di chapter ini, dan juga karena aku menyiksa Seungwan (lagi). tadinya aku pengen double up, itung-itung mengobati kalianyang bosen banget dengan Seungwan yang begini-begini terus. 

Tapi ternyata, proses aku untuk menulis, tidak selancar yang aku bayangkan. kkkk. maunya sih seminggu sekali bisa nulis satu chapter gitu ya. tapi .... belum bisa. kkkk. jadi baru bisa pegang cerita ini lagi setelah kurang lebih satu bulan yang lalu (yes. chapter 14 sebenarnya sudah ready satu minggu sebelum akhirnya kuupdate)

Jadi, intinya, terimakasih lagi (aku nggak bisa nggak ngucapin makasih) untuk semua yang ngikutin cerita ini dari awal (aku lihat di draf dan ternyata cerita ini kupublish sudah sejak satu tahun yang lalu. hell) ataupun untuk semua orang yang baru bergabung. selamat datang famss. semoga jangan bosan yahhh. 

Buat yang penasaran kapan Yoongi kena karma, atau kenapa Seungwan sedih terus. mohon bersabar ya. hahaha. dari awal bikin plot cerita ini nggak bakal ngira bakal selambat ini. intinya semua jalan cerita sudah kususun (lumayan) rapi. walaupun berjalan sangat lambat, (fyi. sampai chapter 15 kira-kira baru seperempat atau sepertiga dari keseluruhan cerita). jadi aku nggak akan mungkin untuk mengubah plot dengan mendadak, karena nanti belakangnya bakalan hancur. atau mempercepat plot karena nanti jatuhnya akan aneh. 

heehehe. begitulah saya.

Pengen membiasakan diri untuk berjalan di plot yang sudah ada. hehe.

Okay. maafkan kalau kebanyakan omong. I LOVE YOUUUUU

SEKALI LAGI AKU KANGEN MOMEN BTS RV T.T SEDIH BANGET BTS NGGAK MASUK LINE UP AAA T.T T.T

Continue Reading

You'll Also Like

67.9K 5K 24
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...
1M 84.8K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
195K 9.6K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
37.7K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...