Sepasang Topeng Venesia

By addison86

1.5K 100 2

Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berke... More

Bagian 1 (tak berjudul)
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

9

53 4 0
By addison86


Malam ini, malam berbalutkan sepi tidak seperti malam-malam sebelumnya yang sedikit tidaknya ada gurauan, canda tawa maupun guyonan konyol mendera ruang berkumpulnya segala sifat, dan juga ruang yang mau menerima segala problema. Namun kini, sesaat, tapi tak tahu pasti sampai kapan ruang berbentuk persegi memanjang ke samping harus merelakan si pelengkap kebersamaan berlayar jauh ke negeri seberang mencari peruntungan─peruntungan individu dan peruntungan buat dibagi bersama dalam skala besar.

Ruang keluarga, ruang berkumpulnya para penghuni rumah, benar-benar tampak seperti pemakaman umum, sunyi. Biasanya sehabis makan malam bersama, di ruangan ini akan terdengar suara televisi, dan suara majalah yang dibolak-balik serta suara percakapan yang mengundang gelak tawa. Mungkin, karena kesibukan padat yang barusan dilalui membuat 'penat' menyerang tubuh mereka. Jadi, saat ini tempat terbaik untuk melenyapkan 'penat', ruang tidur dengan merebahkan tubuh di atas ranjang lalu menutup kedua kelopak mata.

Namun, tidak bagi Reina, belum waktunya memejamkan mata. Dia masih ingin menikmati malam, meski bertemankan sepi di dalam kamarnya. Sebagaimana biasa, dia selalu meminta jari jemarinya menari di atas tuts tombol keyboard laptop tatkala suatu materi terlintas di pikirannya―dituangkan dalam sebuah tulisan yang membuatnya harus bermain serta meracik kata menjadi beberapa kumpulan kalimat, lalu ditempatkan dalam sebuah folder khusus menyimpan kumpulan tulisannya.

Reina sebenarnya juga memiliki ketertarikan terhadap buku, tapi tak serajin Arta bila disangkutpautkan dengan aktivitas membaca. Tidak harus menyelesaikan bacaannya dalam sehari, dua atau tiga hari maupun lebih dikarenakan rasa penasaran terhadap isi buku yang terus berkelanjutan, yang dia butuhkan ruang dan waktu baginya untuk memahami dari isi bacaannya―perkalimat, perparagraf, atau perhalaman, lebih-lebih per-bab karena bacaannya bukanlah fiksi, maupun bacaan ringan―sekali dibaca langsung dipahami.

Bacaan mereka berdua saja berbeda, Reina lebih cenderung dengan buku non fiksi, yang isinya berdasarkan data, fakta, dan penelitian yang membutuhkan kekuatan pikirannya untuk memahami kebenaran dalam tulisan. Dan, saat ini Reina sedang berencana membuat sebuah kumpulan tulisan dalam satu tema dengan aliran yang sama, non fiksi. Kemungkinan besar atau tidaknya nanti dari kumpulan itu bakal jadi sebuah buku, Reina juga berpikiran demikian dan mengharapkan hal itu.

Sementara fiksi yang disukai Arta, fiktif berarti tidak nyata, kumpulan imajinasi, khayalan atau cerita rekaan dari seorang penulis. Terkadang karakter dari seorang tokoh ciptaan seorang penulis terbawa dalam kehidupan pribadi Arta―bertingkah laku seperti tokoh rekaan.

***

Beberapa saat, gerah melanda tubuh Reina, sepulang dari restoran dia sama sekali belum mengguyur tubuhnya dengan air, lebih mengutamakan salah satu isi pikirannya yang minta segera dikeluarkan dari dalam bilik otaknya yang sudah sesak dengan pikiran lain―setidaknya dia telah mengetik poin-poin penting dari isi pikirannya, hanya tinggal mengembangkannya saja menjadi sebuah tulisan.

Selagi membersihkan tubuh, laptop tetap dibiarkan menyala di atas meja belajar yang menjadi tumpuannya bermain kata dengan huruf-huruf melekat permanen di setiap tuts laptop. Selain meracik kata-kata, Reina tak lupa membuka akun instagram-nya di telepon genggamnya. Banyak unggahan foto di akun IG-nya, tapi satu pun tak ada menampilkan sosok dirinya. Hanya ada foto berbagai jenis tanaman, masakan lokal maupun luar, pakaian wanita, foto bangunan dengan gaya arsitekturnya yang menarik begitu juga museum dengan segala isinya, dan objek wisata berupa pemandangan alam bak lukisan mahal dipajang di ruang tamu rumah mewah maupun lobi hotel bintang lima, serta foto benda-benda unik atau cendera mata, bukan sekedar foto, dia juga memiliki barang-barang itu didapatkannya sehabis melancong.

Siang tadi, saat berada di restoran, Reina sempat menggugah foto baru di IG-nya dan menuliskan sesuatu di sana, cendera mata yang sungguh berkesan dari negeri yang romantis, Venesia. Unggahannya itu berupa sebuah barang, kemungkinan besar sulit ditemukan di toko suvenir yang menyebar di seluruh wilayah Jakarta. Sebuah cendera mata berupa topeng Venesia yang menggambarkan pola wajah seorang perempuan, didapatkannya secara cuma-cuma dari seorang pria melalui si pemilik toko cendera mata ketika berlibur di kota nan romantis itu. Namun, sayangnya dia tetap mengeluarkan uang juga ketika dimintai membeli pasangan topeng itu, bukan untuknya melainkan buat si pria misterius yang memiliki ide yang sampai saat ini paling terkonyol menurut Reina, dan entah kenapa dia mau saja mengikuti kemauan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan bertemu dan melihat wajahnya juga belum pernah. Seolah pikirannya dirasuki kekuatan supranatural atau, di sekitarnya berkeliaran penyihir tua mengarahkan tongkat sihirnya sambil membaca mantra di hadapan Reina agar gadis itu melakukan sesuatu sesuai keinginannya.

Tidak, bukan begitu jalan ceritanya. Saat itu Reina benar-benar sadar, tak ada sedikit pun mempengaruhinya. Dia memang benar-benar tertarik terhadap benda itu.

Setiap liburan ke mana pun itu, ada saja cendera mata yang dibawanya pulang. Topeng Venesia menjadi cendera matanya kali ini. Yang memicunya yakin menerima topeng secara cuma-cuma serta membeli pasangan topeng itu untuk orang tak dikenalnya, karena cerita yang disampaikan si pemilik toko tentang sebab-musabab kenapa dirinya menjadi bagian dari sebuah permainan, dan itu yang membuatnya berkesan, sampai saat ini masih merasakannya meski tampak konyol dan aneh. Kata yang menempel saat itu di pikirannya ketika berusaha menerima topeng itu tanpa beban, 'tidak ada salahnya mencoba'.

***

Setelah setengah jam berlalu menghabiskan waktu di ruang mandi pribadinya, Reina langsung bergegas memperindah tubuhnya yang putih dan bagus bagaikan jam pasir dengan benang-benang yang telah menyatu dalam seribu rajutan, dan siap menutupi tubuhnya yang membutuhkan perlindungan.

Reina kembali melirik ponselnya, terpampang sebuah komentar baru dalam dinding IG-nya. Unggahannya tadi ternyata ditanggapi dan disukai seseorang, foto yang bagus dan objek yang di foto bagus juga, komentar dengan nama akun Ferdinand. Reina sama sekali tidak menyadari nama itu, walaupun menyadarinya tidak akan mungkin pria asing berada di benua biru mengerti kata-katanya dan mengomentarinya dengan bahasa yang sama.

Perihal apa yang membuatnya harus menyadari nama tersebut?

Sebegitu pentingkah nama itu?

Siapa pun dia, Reina tidak menanggapi balik. Setidaknya mengetik kata 'terima kasih' atas pujian dari sebuah akun yang menggunakan keindahan kota Venesia sebagai foto profilnya, itu sudah cukup, tapi itu tidak dilakukannya.

Reina tidak terlalu serius melihat unggahannya yang barusan ditanggapi seseorang, dan sama sekali tidak ada rasa ingin tahu siapa yang mengomentari unggahannya.

Selain sering menggugah foto menarik di instagram, dia tak lupa juga memposting foto-foto yang sama di akun facebook-nya. Tadi siang, dia juga memposting foto topeng itu di fb-nya.

Selepas melihat kembali sejenak IG-nya dengan rasa yang tetap datar tanpa turun-naik, Reina membuka akun fb-nya melalui telepon genggamnya juga. Postingan foto yang dimasukinya tadi, satu pun dari sekian banyaknya pertemanan belum ada menanggapi. Apa mungkin pengambilan fotonya kurang bagus, atau yang jadi objek foto kurang menarik padahal sebelumnya seseorang telah memuji hasil jepretannya. Sudahlah tidak penting, pikirnya dan seketika itu seseorang meminta pertemanan di dinding akun fb-nya. Tanpa berkata atau berpikir panjang 'bagaimana ya?', Reina langsung menerima pertemanan dari seseorang dengan mengkonfirmasinya.

Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba sebuah pesan online muncul di dinding akun messenger-nya. Langsung menyimpulkan meski dibumbui sedikit ragu. Mungkinkah ini orang yang sama, pikirnya. Nama akun dan foto profil sama seperti yang mengomentari unggahannya di IG. Yang tadinya Reina acuh kini jadi sedikit penasaran, namun sesaat.

"Boleh nggak, aku berteman denganmu?" pesan singkat berupa harapan. Padahal Reina sudah menerima permintaan pertemanannya, kenapa harus bertanya lagi. Meski, mungkin atau tidaknya si pemilik akun orang yang sama di IG-nya, tetap saja identitasnya tidak jelas. Begitu juga dengan Reina, memakai nama samaran di kedua akun sosial-medianya malahan dengan nama tak jelas 'menjelang senja' dan buruknya lagi tidak ketahuan dia laki-laki apa perempuan yang hanya menggunakan foto profil seekor anak kucing British shorthair manis dan lucu, merupakan ras kucing tertua yang memiliki perawakan besar dan gembul serta bulu yang tidak panjang tapi lebat, kecuali kalau melihat album fotonya atau postingannya di akun itu. Nama dan foto akunnya saja tampak berbeda, namanya seakan melukiskan dia seorang pujangga  namun foto akunnya menggambarkan dia seorang pecinta binatang.

Reina tidak memedulikan lagi jati diri teman barunya itu di dunia maya. Toh, dia juga sama tidak menunjukkan jati diri sebenarnya. Kalau niatnya sekedar berteman, 'kenapa tidak' bisik hatinya. Segera memutuskan bahwa dirinya merasa tak terganggu dengan pertemanan ini sebab sampai detik ini Reina belum menemukan keganjilan terselip dari maksud ajakan pertemanan seseorang di balik akunnya tersebut. Tanpa berprasangka buruk, Reina segera menanggapinya.

"Boleh....."

Seseorang di balik akun messenger itu tersenyum puas seolah dirinya baru saja memenangkan sebuah permainan. Sepertinya dia harus memulai sesuatu dengan baik dan berharap direspons baik pula―membentuk sebuah percakapan yang menyenangkan meski melalui kumpulan kata diketik di atas layar ponselnya.

Saatnya untuk mengenal seseorang lebih jauh lagi.

"Terima kasih telah menerimaku sebagai teman, kalau begitu sebagai awal perkenalan ataupun permulaan, boleh aku menyapa kabarmu malam ini?"

Reina tidak langsung membalasnya, dia sedikit merasa canggung. Seseorang yang menjadi lawan bicaranya meski cuma melalui dunia maya tidak dapat menyembunyikan kesopanan lawan bicaranya dalam merangkai kata yang santun. Reina jadi penasaran, ingin lebih tahu siapa sebenarnya orang ini. Sejenak dia membuka profil dan album foto dari teman mayanya, sama sekali tidak menemukan sosok foto si pemilik akun, yang ada hanyalah keindahan setiap negara yang ada di benua Eropa. Tapi, setidaknya dia tahu lawan bicaranya seorang pria, jelas dari nama akunnya, Ferdinand.

"Boleh....." Kata kedua kalinya Reina ketik sebagai jawaban.

"Hai, apa kabar?" sapa pria itu memulai.

"Baik....!" balas Reina mulai cekatan.

"Pastinya kamu seorang perempuan!" tebak pria itu.

"Iya, kok kamu tahu?" malah balik nanya.

"Dari foto-foto postingan kamu, ada tanaman seperti bunga, ada busana wanita kendati model pakaiannya tampak tomboi, serta berbagai macam masakan lokal maupun luar dan lain sebagainya, tentunya ini semua sangat melekat dengan perempuan."

"Kamu sendiri?" tanya Reina balik.

"Dari nama profilku, kamu sudah bisa menebak?"

"Iya sih, dari awal aku sudah menebak kamu pastinya laki-laki." Tanpa menyadari kalau nama si pemilik akun bisa saja mengingatkannya pada seseorang yang sama sekali dia tak mengenal wajahnya karena tak pernah bertemu ataupun bertatap muka. Tapi, itu sama sekali tidak menyapa pikirannya untuk mengingatkannya pada sesuatu.

"Itu kamu tahu."

Canggung, berangsur menghilang ditelan bulat-bulat oleh rasa percaya dirinya bahkan pembawaannya pun turut jadi ringan. Sama sekali tidak ada lagi beban dipikul pikirannya yang awalnya sedikit ragu tentang keberadaan teman mayanya itu.

"Pekerja atau pelajar?" pertanyaan yang pada umumnya digunakan orang di awal perkenalan di media sosial di jaman beberapa tahun yang lalu seperti mirc maupun friendster, entah kenapa masih digunakan pria itu di jaman sekarang.

"Aku mahasiswa, kamu sendiri?" jawab Reina langsung dan tetap menanyakan balik, dan secara tidak langsung dirinya turut berbaur dengan gaya anak muda jaman dulu.

"Sama, aku juga mahasiswa. Kamu kuliah di mana?"

"Itu rahasia, kamu sendiri?" jawab Reina tidak begitu terbuka, tapi anehnya dia menanyakan balik hal yang sama yang tidak ingin dijawabnya.

"Itu rahasia juga," balas pria itu.

Berteman lewat dunia maya ternyata mudah dan mengasyikkan, membatin Reina. Tapi sayang sebagian orang banyak menggunakan dunia ini untuk sebagai alat ngisengin orang. Untung saja, pria yang baru dikenalnya di facebook sampai saat ini tidak menunjukkan hal seperti itu, tapi tidak tahu beberapa menit  ke depan apa dia dengan sikap yang sama.


Terima kasih sudah mampir ke Bab 9 Sepasang Topeng Venesia

Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"

Selamat membaca!

Continue Reading

You'll Also Like

36.5K 2.3K 17
Akankah lian kembali membuka hati untuk salma? ikuti cerita aku terus yaa
670K 24.6K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
922K 15.4K 44
Story Pertama😘 Renata dan kawan-kawan datang ke Desa Kamboja hanya untuk melakukan kegiatan KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampus, projak yang...
588K 56K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...