Istri Kedua Ayahku

De Zahraaa101

39.5K 1.3K 72

Sabrina gadis remaja berusia enam belas tahun harus menjadi saksi hancurnya hubungan kedua orang tuanya. Den... Mais

Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku
Istri Kedua Ayahku

Istri Kedua Ayahku

6.2K 183 18
De Zahraaa101

"Itu anak Miranda dengan Tomy."

"Aaaggh. Apa ini Miranda? Ya Allah cobaan apa ini?"

"Maafkan Miranda Pa ..."

"Tomy yang dulu kah Miranda?"

Miranda diam membisu.

"Miranda! Jawab!!"

"I-iya Pa."

Plaak ...

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Miranda. Dia  tak berkutik  sama sekali. Menangis dan kaget dengan reaksi orang tuanya. Aku pun merasakan hal sama. Sesak rasanya jantung ini. Bagaimana bisa aku menerima kenyataan yang pahit ini. Anak yang kucintai ternyata bukan anakku.

Aku tak bisa membenci anak itu karena dia tak tahu tentang dosa orang tuanya. Tapi! Tapi Miranda? Dia seorang istri dan ibu. Apa dia tak memikirkan kami? Apa dia tidak takut akan karma?

"Kau tahu kan kenapa dulu kami melarangmu berhubungan dengan lelaki itu?"

Jleb jantungku berdebar kuat. Melarang hubungan Miranda dengan Tomy? Berarti orang tua Miranda mengenal betul lelaki itu.

"Kau tahu dia bajingan yang hanya ingin harta dan merusak anak gadis orang. Kau tidak lupa kan Miranda!"

"Pa. Sudah Pa."

"Sudah apa Ma? Ini akibat anak dimanja. Lihat dia telah mencoreng nama baik kita di depan Wahyu."

"Mas ... Mas aku mohon maaf."

Miranda mendekat dan memeluk lututku sambil menangis. Hati ini mencintainya tapi hati ini juga telah hancur dibuatnya.

"Saya harus bagaimana Pa?"

"Wahyu. Papa minta maaf atas perlakuan menjijikkan anak Papa. Papa serahkan semua keputusan kepadamu. Papa udah nggak bisa berkata apa-apa lagi."

Terlihat kekecewaan yang sangat dalam di raut wajah orang tua Miranda.

"Saya memikirkan anak-anak Pa. Bagaimana saya harus memberitahukan yang sebenarnya pada mereka. Terutama Sabrina. Bagaimana?"

"Miranda kau menghancurkan kehidupan anak-anakmu."

"Maafkan Miranda Pa-Ma. Miranda khilaf."

"Khilaf? Khilaf kau bilang sampai punya anak? Itu bukan khilaf tapi memang kau sadar melakukannya!"

Ayah mertuaku bangkit dan masuk ke dalam kamarnya disusul oleh ibu mertuaku.

***
Tak lama mereka keluar dengan wajah yang sudah merah padam.

"Wahyu."

"Iya Pa."

"Papa barusan telepon teman Papa. Dia bilang istri yang selingkuh sampai punya anak talaknya sudah jatuh walau tanpa diucap."

Aku menarik napas mendengar penjelasan tersebut. Ada rasa lega. Tapi ada rasa sedih. Sedih memikirkan nasib anak-anakku yang tidak bisa jauh dari ibunya.

Aku bangkit dan mendekat ke orang tua Miranda. Mencium tangan mereka.

"Pa-Ma. Wahyu minta maaf karena tidak bisa menjadi suami yang menjaga istrinya."

Entah bagaiman caranya air mataku perlahan keluar. Ayah mertuaku langsung memeluk dan menguatkan diriku.

"Maas ..."

Miranda bersimpuh di kakiku. Memohon agar diberi kesempatan lagi.

"Saya butuh waktu Pa."

"Iya, Nak. Papa mengerti."

"Pulanglah ke rumah Miranda. Aku akan pergi untuk beberapa hari menenangkan hati dan pikiran. Aku belum bisa menerima semua ini."

Aku bergeser dan berpamitan dengan orang tua Miranda lalu berlalu pergi. Entah  kemana aku akan pergi. Yang jelas aku butuh waktu. Aku tidak akan memberitahukan masalah ini pada orang tuaku. Karena mereka sangat menyayangi Miranda. Mereka akan hancur ketika mengetahui bahwa Miranda berbuat sesuatu yang sangat buruk ini.

****

Aku menghentikan mobilku di sebuah taman. Yah, taman tempat aku melamar Miranda dulu. Mengenang kembali masa indah kami berdua. Namun hati ini kembali sakit.

"Miranda!! Kenapa? Kenapa Miranda?"

Aku berteriak di dalam mobil. Memukuli setir dan jendelanya.

"Miranda aku mencintaimu setulus hati. Kenapa kau membunuh cinta ini Miranda! Aaarrgghh!!"

Aku kembali melaju. Kini melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam hatiku hanya ada kekecewaan. Aku ingin mengakhiri semuanya.
Laju mobil kian cepat. Tapi tiba-tiba aku mengingat Sabrina. Putri kecilku. Dia akan sangat terpukul jika mengetahui semua ini. Perlahan kukurangi kecepatan mobilku dan berhenti.

Kemana perginya cinta untuk Miranda? Kenapa Miranda seakan tak ada lagi di hatiku.

"Kau membunuh cintaku Miranda! Kau membunuhku Miranda!"

Kuputar mobilku dan menuju rumah yang ada di Vila. Aku butuh ketenangan saat ini.

***

Sesampainya di Vila aku langsung masuk ke kamar. Merebahkan diri ke atas tempat tidur. Mencoba menenangkan diri.
Kuraba saku celana dan mengambil gawai. Foto keluarga yang menjadi wallpaper itu menyakitkan hatiku lagi. Foto yang sangat bahagia itu kini menjadi kenangan.

Kulihat banyak sekali pesan dari nomor yang sama 'Miranda'.

'Mas kamu dimana?'

'Mas maafkan aku.'

'Mas kumohon beri kesempatan untukku.'

'Mas pulanglah.'

'Mas tolong balas.'

'Mas aku mencintaimu.'

Aku melemparkan gawai itu ke sofa setelah membaca pesan terakhir Miranda.
Cinta? Cinta seperti apa yang dia beri untukku? Jika dia cinta tidak mungkin bisa melakukan hal serendah itu.

"Cinta yang mana yang kau maksud Miranda!!"

Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi. Mungkin pikiranku akan sedikit membaik. Kuisi bak mandi dengan air hangat dan masuk ke dalamnya. Merendam diri agar merasa baikan. Meredam emosi yang tak terkatakan ini.

Setelah selesai aku keluar dan berganti pakaian. Lalu gawaiku kembali berdering.

*Putriku Sayang*

Kutarik napasku dan duduk di balkon. "Wa'alaikum salam. Kenapa belum tidur Sayang?"

"Papa dimana?"

Apa yang harus kujawab? Aku tak pernah berbohong dengan keluargaku.

"Papa ..."

"Iya Sayang. Papa di Vila kita."

"Yaah kok Papa pergi sendiri?"

"Papa butuh waktu sebentar."

"Papa capek kerja yah?"

"Iya Sayang."

"Ya sudah besok kami  menyusul Papa ya ..."

"E-enggak usah Sayang. Papa ada kerjaan juga di sekitar sini."

"Yaaah ..."

Suara Sabrina terdengar kecewa. Seandainya aku bisa jujur. Dia pasti akan lebih kecewa lagi.

"Ya sudah. Papa jangan begadang, yah. Sabrina sayang Papa."

"Papa juga sayang Sabrina."

"Muuach ... muuach. Da-da. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Hati ini sungguh terluka. Aku tidak sanggup membayangkan nasib anak-anakku ke depannya.

***
Kulirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 04.26 WIB. Mataku tetap tak bisa terpejam.
Aku bangkit dan mengambil wudhu. Kemudian membentang sajadah dan sholat. Rasanya itu yang kubutuhkan. Berkeluh kesah kepada Pencipta-Ku.

***
"Ya Allah. Sungguh hamba adalah manusia penuh dosa dan kekurangan. Ya Allah hati ini sungguh sakit. Tolong berikan hamba petunjuk untuk semua ujian ini. Aamiin ..."

Setelah selesai rasanya mataku amat berat. Kembali kurebahkan tubuh ini ke atas tempat tidur. Dan tak lama aku pun terlelap.

****

Dreeet ... dreeet.

Gawaiku berdering berulang kali. Dengan mata yang masih tertutup kuraba meja mencari gawai itu.

*Leni*

Aah Leni sekertarisku. Kulihat jam ternyata sudah pukul 10.56 WIB.
Kepalaku rasanya berat. Kucoba duduk dan menjawab telepon itu.

"Iya Len kenapa?"

"Pak hari ini ada jadwal pertemuan dengan pihak Pak Surya."

"Iya Len. Tolong kamu tunda, yah. Saya nggak enak badan. Kepala saya sakit."

"Owh. Bapak sakit? Ya sudah baik Pak. Semoga segera sembuh."

Setelah telepon terputus aku mandi dan keluar mencari makanan. Perutku rasanya sudah keroncongan.

***

"Toloong ... tolooong!!"

Continue lendo

Você também vai gostar

655 52 11
Menikah itu mudah? Ya, kalau ada pasangannya. Yang susah itu, menjalani pernikahan dan hidup dalam satu atap yang sama dalam waktu selamanya, menyat...
379K 4.1K 5
[Dihapus sebagian] Versi lengkap baca di dreame manteman #Sequel Destiny Bagaimana jika kamu dipertemukan kembali dengan masa lalu yang dulu sangat...
3.5M 36.8K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
847 56 10
Berawal hanya ingin mengetahui tentang masalah keuangan pabrik yang dirintis diam-diam, Sashi justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Sang suami be...