Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

219K 18.1K 725

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

A Mystery

3.1K 285 0
By askhanzafiar

"KAKAK JELEK KENAPA GAK BANGUNIN AKU!" Teriakan ku menggema hampir ke seluruh ruangan.

Setelah tiga minggu lamanya berada di Negeri Kincir, akhirnya kami dapat pulang ke tanah air kembali. Tentunya tak lupa juga dengan kak Kenan yang mulai berusaha melupakan masa lalu. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga kami, menambahkan penghangat dalam setiap kerinduan.

"Memangnya kamu sekolah?" Suara ledekan dari mulutnya berhasil membuatku bertambah kesal.

"KAKAK!" Tanganku dengan ringan memukul lengannya dan spontan berlari menuju ke luar rumah.

"Mau diantar, enggak?" teriaknya dari dalam.

"Enggak usah, Kak. Sudah ada teman yang jemput," sahutku langsung tersenyum ke arah Muhzeo yang sepertinya sudah agak lama menunggu di depan motor.

"Aduh, lama, ya? Kita telat, enggak?" Netraku terarah pada jam tangan hijau tosca di tangan.

"Loh, jam tangan gua kenapa?" Mataku terbelalak dan berusaha menyeting jam tangan. Barangkali hanya sedikit tergeser atau bagaimana.

"OH IYA, DIRA! TADI KAKAK ENGGAK SENGAJA NYENGGOL JAM KAMU SAMPAI JATUH KE GELAS MINUM. DITARUHNYA SEMBARANGAN, SIH," teriak KAK Kenan dari dalam.

Aku melotot tajam. "Astaghfirullah,jam tangan kesayanganku!"

"Eh, Dir!" Muhzeo menahan tanganku yang hendak masuk kembali ke dalam rumah untuk memaki-maki Kak Kenan.

"Jangan sekarang berantemnya, ya! Kita makin telat nanti, loh!" Tangannya menyodorkan ponsel ke arahku.

Mataku terbelalak ketika melihat jam telah menunjukkan pukul 06.48.

"Ze! Tinggal 12 menit lagi!" Badanku sudah panas dingin dan mulai kalang kabut. Tubuhku spontan naik ke atas motornya.

"Ayo, fast!" Tanganku mendorong-dorong tubuhnya untuk segera melakukan motor.

"I–iya, sabar." Ia pun menyalakan motor dan langsung melaju dengan cepat.

👀

"Tuh, kan gerbangnya sudah ditutup!" Aku sedikit takut melihat pintu gerbang yang telah terkunci dengan rapat. Sepertinya ini pertama kali kulihat pemandangan yang begitu asing semasa duduk di SMA. Ya, aku adalah siswa yang sangat disiplin dan tepat waktu. Seharusnya kejadian seperti ini tidak terjadi.

Anehnya ... Muhzeo hanya menggeleng dan menampilkan senyum simpulnya. "Pak!" Muhzeo melambaikan tangannya ke arah penjaga sekolah.

Sosok lelaki paruh baya itu menghampirinya. "Loh, Mas Zeo? Kenapa bisa telat, Mass?" tanyanya alih-alih membukakan pintu gerbang.

"Nunggu perempuan dandan ternyata lama, ya, Pak?" Tatapan mata Muhzeo tertuju padaku dengan kekehan kecil.

Penjaga sekolah yang kuketahui bernama Pak Tejo itu ikut tersenyum. "Enak aja! Tadi gua telat bangun tau!" belaku kesal.

"Aduh, ini pacarnya, toh, Mas?" Pak Tejo tersenyum ramah ke arah kami.

Aku membalas senyumnya dengan kaku dan melirik ke arah Muhzeo, masih dengan tatapan yang sedikit kesal.

"Proses, Pak! Doakan saja." Ucapan Muhzeo yang diselingi dengan cengiran itu membuatku melotot tajam.

"E–eh, enggak benar itu, Pak!" bantahku sambil menjewer telinganya.

"Auh, santai aja kali." Bukannya berhenti, ia malah semakin mengencangkan tawanya.

"Aduh, Mbak, Mas, sudah bercandanya, ya. Keburu ada guru piket lewat. Nanti habis kalian berdua kena hukuman, loh! Lebih baik langsung lari saja, ya! Tapi lain kali jangan telat, ya." Pak Tejo menutup pintu gerbangnya kembali.

"Oke, Pak!"

Setelah menaruh motor di parkiran, kami segera berlari ke arah pintu masuk.

Zleb ....

Aku dan Muhzeo sama-sama berhenti melangkah. Pandangan kami saling bertemu dengan perasaan yang sangat tak mengenakkan.

"Lo ngerasain sesuatu?" Pertanyaan yang kami lontarkan itu hampir sama.

"Euh, kaya aura mistis?" Muhzeo mencoba untuk memastikan.

Aku mengangguk perlahan. Baru kali ini aku merasakan keanehan lagi. Sekolah ini tiba-tiba saja mengeluarkan aura yang berbeda dari biasanya.

"Ze, ini gua enggak salah gedung lagi, 'kan? Gua enggak mau, loh!" Tubuhku langsung mendekat ke arah Muhzeo. Tanganku telah meremas ujung jaket yang dipakainya sembari menatap sekeliling dengan perasaan was-was.

"Kayaknya enggak, deh. Ini tuh seperti ada sesuatu yang baru aja masuk. Ya, hal itu buruk. Makanya aura sekolah jadi berbeda," ungkap Muhzeo.

"WAH, BAGUS, YA, KALIAN TELAT!" Suara killer dari sang guru piket berhasil membuat kami berdua terlonjak kaget. Terlihat ia memukul-mukulkan penggaris panjang ke tangannya.

Cengiran kami hanya bisa mengembang sembari menatap satu sama lain. "Bukannya langsung masuk malah pacaran di sini, ya! Kalian mau hukuman apa, hah?"  Bentakannya membuat anak dari kelas terdekat menoleh ke arah jendela.

"Ih, Ibu, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, loh, Bu! Jangan shuudzon begitu, ah." Aku terkekeh sembari menyaliminya.

"Pinter saja ngelesnya, ya."

"Bu, saya boleh tanya tidak?" Aku pun mendekat ke arahnya.

Bu Yery—guru piket hari ini—langsung menautkan alisnya karena bingung.

"Ibu, merasakan aura berbeda, tidak?" Pertanyaanku itu langsung membuat beliau terdiam sejenak.

Sepersekian detik lamanya, ia mengangguk tanda setuju. "Kalian juga merasakan? Ibu pikir, ibu lagi sakit atau enggak enak badan. Ternyata bukan karena itu, ya?" Ia menatap kami serius.

"Nah, makanya itu, Bu ... saya belum ke kelas karena ingin coba cari tahu apa yang menyebabkan hadirnya aura gelap di sekolah ini," terangku padanya.

Ia menggerakkan rotannya di udara. "Halah, bilang saja kamu enggak mau masuk kelas, 'kan? Alasanmu basi, cantik!"

Aku mengembuskan napas yang begitu berat. "Ya sudah, deh, kalau ibu tidak percaya, enggak apa-apa, tetapi saya dan teman-teman akan beruasaha mengungkapkan apa yang terjadi, Bu. Assalamualaikum." Aku dan Muhzeo langsung lari menuju ke kelas.

"Hei!" Suara menggelegar milik Bu Yery mampu membuat kepala kami spontan menoleh kembali.

"Iya, Bu?" Kami sudah deg-degan setengah mati. Takut bilamana mendapatkan hukuman.

"Kalau sudah tahu, beri tahu ibu, ya?" Bu Yery terkekeh.

Aku dan Muhzeo bernapas lega. "Siap, Bu!" Kedua jempol kami mengarah padanya.

Setelah sampai di depan kelas, betapa beruntungnya kami saat guru yang bertugas mengajar belum masuk ke kelas.

"E–eh! Dari mana aja lo berdua?" Paul dan yang lainnya menghampiri tempat duduk kami.

"Gua telat. Enggak ada yang bangunin," sahutku.

Elsa tertawa sebentar. "O–oh, jadi lo nunggu dia?" Ia sedikit menyenggol bahu Muhzeo. "Bucin!"

"Heh, sembarangan!" Muhzeo langsung meneguk air mineral yang ada di tasnya.

"Assalamualaikum." Suara dari guru yang baru saja datang membuat semua yang ada di dalam kelas menoleh.

Kami yang tadinya asik nimbrung dan duduk di asal tempat, kini mulai duduk di tempatnya masing-masing.

"Anak-anak, kali ini kita kedatangan teman baru. Ayo, nak, masuk!" Seorang anak dengan rambut yang dikuncir kepang masuk ke dalam kelas. Badannya kurus dan seragam lamanya terlihat lebih berkelas.

"Ayo, perkenalkan dirimu!"

Tatapan matanya nampak tegas dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Salam sejahtera untuk kita semua."

"Perkenalkan nama saya Dahlia Anggraini. Asal saya dari SMAN Bellatrix Raya. Salam kenal, ya. Semoga kedatanganku bisa kalian terima dengan baik." Ucapannya langsung mendapat banyak sambutan dari teman-teman sekelasku.

"Nah, Dahlia, silakan duduk di sebelah ... ah, di sana! Sebelah Hilmi, ya!" Bu Tini tersenyum sembari mengelus pundaknya.

Aku menoleh ke arah Hilmi yang tampak masam wajahnya. "Loh, kenapa harus di sebelah saya? Di sana masih ada tempat lain, loh, Bu. Ini kan tempat khusus perangkat game saya, Bu."

"Loh, suka-suka saya, dong! Toh, ini kelas Ibu yang memimpin. Masih untung Ibu mengizinkan kamu untuk membawa alat-alat itu. Memangnya kamu mau kalau alatnya ibu sita?" Pertanyaan Bu Tini melayang dengan puas ke arahnya.

Mulut Hilmi terbungkam sembari memejamkan mata dan langsung memindahkan seperangkat alat yang biasa dia gunakan untuk bermain game.

"Silakan, kamu boleh menempati kursi di sana, Dahlia!" Bu Tini tersenyum ke arahnya dengan ramah.

Aku sedikit tersenyum saat melihat Hilmi yang nampaknya agak dongkol. Ia sama sekali enggan merespon saat Dahlia berusaha berinteraksi padanya.

"Anak-anak, kita kembali pada materi, ya ...."

👀

Kring ... kring ....

Bel istirahat seakan-akan menjadi jalan menuju surga dunia bagi perut-perut yang sudah mengadakan konser musik keroncong. Semua anak berlarian ke arah kantin demi memenuhi kebutuhan pangan empat sehat lima sempurna.

"Hm, hai!" Tanganku spontan melambai ke arah Dahlia yang masih duduk di tempatnya.

"Hai juga ... Nadira."

Aku sedikit heran. "Loh, dari mana kau tau namaku?"

Ia terlihat sembari menunjuk ke arah dadaku. "Dari nametag yang kau punya itu," sahutnya.

Aku menepuk kening dengan perlahan. "Oalah, iya lupa, hehe. Oh iya, perkenalkan ini Elsa." Aku memberikan space pada Elsa untuk sedikit maju.

"Hai, Elsa!" Tangan mereka saling berjabatan dan mengembangkan senyumnya masing-masing.

"Senang berkenalan dengan kalian."

Aku menoleh ke arah jam dinding sekolah. "Oh iya, mau ikut ke kantin?" tawarku.

Dia tersenyum lagi sembari menggelengkan kepalanya. "Oh enggak usah. Aku bawa bekal, kok," sahutnya seraya menunjukkan kotak makan berwarna merah muda.

"Oh, oke. Kalau begitu kami duluan, ya."

"Hati-hati." Ucapannya terdengar sedikit lirih. Kami pun menanggapinya dengan anggukan.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja ....

Brugh ....

"Auh!" Aku agak melenguh sedikit saat tanganku menyentuh pecahan keramik.

"Dir, mengapa kau bisa terjatuh?" Elsa membantuku berdiri. "Enggak ada apa-apa, loh?" Ia melongok ke arah bawah, barangkali ia dapat menemukan sesuatu yang membuatku terjatuh.

"Aku meleng kali, El. Gapapa, kok," sahutku dengan tangan yang sibuk membersihkan rok.

"Jadi ingat ucapan Dahlia." Ucapan Elsa membuatku terdiam sembari menatapnya. "Ucapan? Ucapan Dahlia yang mana, El?" tanyaku yang tak sama sekali mengerti maksudnya.

"Dia bilang hati-hati, 'kan?" Elsa sedikit termenung.

"Hah?"

"Bisa jadi kan kalau–"

"Astaghfirullahal'adzim, Elsa, kita tidam boleh shuudzon dengan orang lain." Aku menjewer telinganya pelan.

"Auh! I–iya maaf. Enggak lagi deh!" ujarnya sambil mengerucutkan bibir.

"Bagus, dong, kalau dia bilang seperti itu, tapi sayangnya, aku kurang berhati-hati. Jadinya jatuh, deh."

"Ya sudah, Dir. Terserah kamu."

"E–eh, kok!" Aku sedikit meringis ketika lutut terasa ngilu. Apa mungkin memar di dalam, ya?

"Sini biar aku bantu, ya. " Elsa mengalungkan tanganku di lehernya. Ia menuntunku jalan hingga ke kantin.

"Loh, Dir, kenapa?" Paul membantu memapahku untuk duduk di kursi panjang.

"Ah, enggak apa-apa. Cuma jatuh saja tadi."

Muhzeo langsung berpindah duduk di sebelahku. "Beneran enggak apa-apa?" tanyanya.

Aku mengangguk perlahan.

"Gara-gara ucapan Dahlia, tuh!" celetuk Elsa.

"Elsa sudah!"

"Ceritakan!"ujar Muhzeo dingin.

Yang lain mulai terdiam tak ingin ikut campur.

"Euh, anu tadi–"

"Jangan bertele-tele!" potong Muhzeo.

"Tadi dia pesan hati-hati ke Dira. Eh, enggak ada batu, enggak ada angin, pokoknya enggak ada benda yang bisa nyelengkat, nah, tiba-tiba si Dira malah jatuh gitu aja," terang Elsa.

"E–eh, kalian tau, enggak?" Hilmi mulai memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Coba tebak, selama pelajaran Bu Tini dia ngapain?" Hilmi memutus pembicaraannya terlebih dahulu untuk bertanya.

Semua menatap ke arahnya dengan tatapan yang bingung. "Ngasah pisau!"

DUAR ....

Srut ....

"Astaga, gua kaget!" Paul mengelus dadanya.

"Ih, jorok banget! Jusnya kok malah disembur, sih!" ketusku.

"Habisnya si Muhzeo pakai acara ngegebrak meja segala. Kan gua kaget." Paul terkekeh sambil merapikan bekas semburannya dengan tisu.

"Lagian lo ngapain, sih, segala gebrak meja gitu, Ze?" tanya Elsa mengipaskan tangannya ke arah Muhzeo. Barangkali dia sedang emosi.

"Tadi gua juga enggak sengaja lihat di belakang tulisan bukunya. Kalian tau kan kalau tadi gua disuruh Bu Tini kembalikan buku tugas ke yang punya? Tulisannya gini, "Aku akan segera memecahkannya." Entahlah maksud memecahkan itu apa? Yang jelas, gadis itu misterius banget," terang Muhzeo.

"Mukanya imut, tapi aslinya bikin orang yang tau langsung kisut, ya?" Ia terkekeh sembari melahap peyek kacang di hadapannya.

"Dan anehnya ... kenapa dia bisa bawa pisau ke sekolah? Apa enggak ada yang melarang?" tanya Hilmi penasaran.

"Atau jangan-jangan ... dia psikopat?!"

"Hus! Jangan bikin kesimpulan sendiri. Kita cari tahu dulu kebenarannya." Aku berusaha tenang sembari melahap donat kentang kesukaanku.

"Tapi, Dir, kurang bukti apalagi, sih? Sekolah kita bakal terancam bahaya, loh!" Elsa nampak bersikeras dengan argumen pertamanya.

"Ya tapi–"

"TOLONG! TOLONG!" Kami sama-sama menoleh dan langsung berlari ke arah sumber suara.

Karena suara itu berasal dari toilet kamar mandi perempuan, akhirnya hanya aku dan Elsa saja yang berusaha menelusup masuk walau sudah banyak siswa-siswi yang memenuhi area.

"Hila, ya?" tanyaku kepada anak itu.

Kami berdua langsung menghampiri dirinya yang sudah berwajah pucat pasi. "Tolong gua, Nadira, Elsa! Tolong!" Tangisnya mulai meledak sembari memeluk kami.

Tangannya tiba-tiba saja menunjuk ke arah cermin kamar mandi.

KAMU HARUS MATI, HILA! KAMU PERUSAK HIDUPKU. BAGAIMANAPUN JUGA KAMU TIDAK AKAN BISA LARI DARI KU HAHAHA.

"Bejat!" Aku langsung menghapus bercak merah-merah dari kaca itu.

"Tuh, kan, Dira! Jangan-jangan pelak– hmp!" Aku menutup mulut Elsa dengan tanganku. Seharusnya ia tak memperparah suasana dengan ucapannya yang belum ada bukti.

"Maaf, Elsa kalau ngomong memang suka asal ceplos, Hila. Kamu bisa ikut dengan kami? Sekedar berbicara bersama?" tanyaku yang mencoba bersahabat karena memang baru kali ini kami berbicara secara langsung.

Hila mengangguk. Aku mulai melepaskan bekapan tanganku dari mulut Elsa.

"Ma–maaf, aku kelepasan, Dira." Aku hanya mengangguk.

"Udah, woy, bubar!" Suara menggelar milik Paul berhasil mendapat sorakan dari para makhluk perempuan yang memang hobinya penasaran itu.

Aku dan Elsa izin kepada yang lain untuk berbicara sebentar.

Sesampainya di taman, aku langsung menyuruhnya untuk duduk. "Ada masalah apa, Hila? Siapa tau kami bisa membantu." Aku mulai membuka percakapan.

"Aku enggak tau, Dira, tapi ...." Ia menggantungkan ucapannya. "Sepertinya ini dendam." Wajahnya tertunduk dalam-dalam.

"Dendam? Dendam apa?" tanya Elsa sembari memegang tangannya.

"Maaf, aku tidak bisa memberitahukannya pada kalian." Ia tersenyum sembari menunduk kembali.

"E–eh, baiklah tidak mengapa, Hila. Oh iya, saranku, kamu jangan pulang sendiri, ya. Usahakan kamu ke luar kelas bersama dengan temanmu. Jangan biarkan dirimu sendirian. Aku takut bila tulisan pada cermin itu benar-benar terjadi. Siapapun yang akan membunuhmu, entah itu hanya bohongan atau asli, pasti ia akan mengincar saat dirimu sedang sendirian." Kutepuk pundaknya, berusaha mentransfer kekuatan untuknya.

Ia mengangguk dengan lemah. Aku mulai menggenggam tangannya. "Tak apa, Hila. Ada Allah." Tubuhku spontan memeluknya. Semoga saja itu hanya sebuah ancaman.

"Terimakasih telah memenangkanku, Dira."

"Dengan senang hati."

👀

"GAK! ENGGAK MUNGKIN, PAK! INI SEMUA ENGGAK MASUK AKAL! INI SEMUA DI LUAR NALAR!"

Suara jeritan dari kelas sebelah membuat satu sekolah langsung heboh. Aku dan yang lainnya yang baru saja datang, spontan langsung ikut menyerbu kelas itu.

Dan ....

Assalamualaikum! Jumpa lagi dengan aku, heuheu. Alhamdulillah, aku sempatkan untuk update walaupun minggu-minggu ini banyak sekali tugas dan ulangan. Maaf, ya, digantung dulu.
Jumpa lagi 👻.

Instaa@khanza.amr

Continue Reading

You'll Also Like

78.5K 4.1K 42
Dia hilang sejak satu tahun yang lalu dan sekarang kembali untuk menyelesaikan semuanya yang belum sempat terselesaikan. Dendam yang mendalam. "A-aku...
99.6K 4.7K 38
Kenapa sulit sekali untukku melihat masa depanku? Aku bisa melihat masa depan orang lain yang berputaran dengan rizeki, jodoh, bahkan kematian. Lalu...
17.5K 2.8K 13
[ SHORT STORY ] Semuanya bermula ketika mereka berlibur di villa itu.
17.4K 840 32
Kim Rena gadis indigo yang bisa melihat mereka yang tak terlihat dengan jelas, namun saat usia 12 tahun mata ketiganya sudah ditutup dengan rapat. sa...