Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.7K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 12 Slapped too Hard

1.4K 266 59
By padfootblack09


Dengan mantap Seungwan mendorong pintu itu sampai terbuka lebar. Enam orang dalam ruangan Yoongi itu langsung memutar kepala mereka kearah pintu masuk. Seungwan menjatuhkan rahangnya. Melihat Yoongi sedang mempresentasikan sesuatu dengan layar proyektornya—pembicaraannya terhenti karena ulah Seungwan.

U-know dan Max tampak mengangkat satu alis mereka dengan heran. Nakamoto Yuta mendelik. Junmyeon dan Jimin menggigit bawah bibir mereka dengan khawatir. Sementara itu raut wajah Yoongi seperti bersiap untuk membunuh.

"Sepertinya kau kedatangan tamu." Seseorang yang duduk dekat dengan Yoongi berkata, wajahnya tampan, tegas dan tidak ramah sama sekali. Itu adalah U-know. Ia menyilangkan kakinya di atas sofa, menyindir halus, merasa terganggu dengan kehadiran tamu tak diundang.

Nakamoto Yuta dan Max hanya menunggu, Junmyeon dan Jimin sekarang mendelik kearah Seungwan sambil memarahinya tanpa suara, membodohi tingkah Seungwan saat ini. Sementara itu Yoongi hanya menyeringai.

Seungwan tersenyum dengan kaku.

"Dia baru. Karyawan baru." Balas Yoongi dengan Bahasa Jepang yang fasih. Dilihatnya Seungwan dari ujung kepala ke ujung kaki.

"Ya, saya baru disini." Jawab Seungwan dengan Bahasa Jepang yang tak kalah fasihnya, berimprovisasi. "Saya hanya ingin menawarkan makan siang untuk kalian semua." Lanjut Seungwan entah dari mana.

Yoongi mendelik melihat Seungwan, Junmyeon dan Jimin menundukkan kepala tak mampu melihat kearah Seungwan atas kalimat yang barusan Seungwan lontarkan. Max menggaruk dagunya, tampak berpikir, tapi Nakamoto Yuta langsung menyambar, "Kami tidak perlu apapun."

Seungwan berdehem lagi, keringatnya mengalir deras dari pelipisnya, kemudian ia tersenyum sebaik mungkin, tetap berusaha mempertahankan wibawanya. Seungwan lalu membungkuk kecil, dan undur diri, menutup pintu di belakangnya.

Seungwan membuang nafasnya dengan keras begitu pintu ruangan Yoongi tertutup. Limbung, ia berpegangan pada dinding—menyentuh dadanya yang berdetak hampir meledak. Merasakan dirinya sendiri hampir mati karena tercekik, Seungwan buru-buru mengambil botol mineral di tasnya, kemudian meneguknya dengan rakus.

Ketika berbalik beberapa detik kemudian, Seungwan mendapati Rose berdiri tak jauh dari tempatnya. Menutup mulutnya sendiri dengan tangan, dan kedua matanya membulat ketakutan. Ia membeku di tempat. Tak mampu bicara, bahkan ketika Seungwan mendekat kearahnya dan menyentuh bahunya.

"Rose..." kata Seungwan. Rose hanya mampu menggerakkan bola matanya, melihat kearah Seungwan—hampir menangis.

"Aku—aku menghancurkan semuanya...." Kata Rose terbata. Isak tangisnya sudah ada di ujung tenggorokkannya dan Rose tak mampu lagi bicara.

"Rose..." kata Seungwan berbisik, ia memegang kedua lengan Rose.

Rose menggeleng, "Aku—aku seharusnya berjaga disini dan—tidak boleh ada yang masuk kesana—"

Seungwan membulatkan kedua matanya. Merasa sangat bodoh, ia melihat kearah Rose, "Maafkan aku Rose... Aku tidak tahu—aku bodoh—aku tidak seharusnya masuk—"

"Aku—aku baru saja pergi ke toilet dan—"

"Rose, aku benar-benar bodoh—"

"Tidak—ini salahku..." kata Rose mulai terisak.

"Aku yang bodoh—" sangkal Seungwan menggeleng.

Rose tampak limbung, Seungwan kemudian memegang tangannya dan menuntunnya masuk ke ruangan Rose. Kedua perempuan itu terduduk berhadapan. Rose menaruh kepalanya di atas meja, terisak dan ketakutan. Merasa sangat bersalah, air mata Seungwan mengalir. Membodohi dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, Seungwan akhirnya ikut terisak. Ia bisa saja membuat Rose kehilangan pekerjaannya.

Kedua perempuan itu menangis. Sesenggukan. Berhadapan. Berpegangan satu sama lain. Sampai kira-kira lima menit kemudian.

Rose mendongakkan wajahnya terlebih dahulu. "Kau tidak tahu apa-apa, Wendy."

Seungwan kemudian menggeleng. "Aku terlalu bodoh dan bertindak ceroboh, Rose—"

Rose kemudian menggeleng. Tidak menyetujui. Tetap merasa yang paling bersalah. Lagi pula, siapapun yang paling bersalah diantara mereka berdua, keduanya tetap akan menghadap pada boss mereka. Rose tidak menemukan keuntungan apapun pada Seungwan selaku istri bossnya. Maka ia menyiapkan mentalnya. Menghadapi apapun yang akan bossnya lakukan atau katakan padanya.

Pintu besar ruangan Yoongi tiba-tiba terbuka. Membuat Rose dan Seungwan tersentak di tempatnya. Masih dengan wajah sembab, keduanya keluar menuju lorong, menjabat orang-orang yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan ekspresi wajah berbeda-beda. Junmyeon dan Jimin melewati Seungwan dan keduanya menyempatkan diri untuk menepuk bahu Seungwan—entah apa maksud dari tepukan itu.

Seungwan meneguk salivanya dengan susah payah ketika orang terakhir dalam ruangan itu akhirnya muncul. Min Yoongi. Dengan seringaian khasnya, Matanya yang menatap Seungwan dengan tajam. Satu tangannya yang masuk ke dalam saku dan rambut hitam legamnya yang tampak berantakan—seperti baru saja diacak-acak oleh pemiliknya. Seungwan otomatis tahu bahwa ia baru saja membangunkan singa jantan yang baru tertidur pulas.

.

.

.

Rose dan Seungwan berdiri berdampingan ketika menghadap ke boss mereka, Min Yoongi. Keduanya menundukkan kepala, seperti terdakwa yang siap untuk dihukum. Sementara itu Yoongi terduduk di kursinya, manaikkan satu kakinya dengan santai, sembari melihat ke pemandangan luas lewat dinding kaca ruangannya—sama sekali tak berminat untuk melihat kearah dua orang bawahannya.

Kira-kira sudah sepuluh menit Seungwan dan Rose menghadap. Namun Yoongi sama sekali belum mengindahkan mereka. Rose sudah ingin menangis lagi, sementara perasaan bersalah yang sudah bersarang di dada Seungwan semakin besar.

"Siapa yang ingin menghadap dahulu?" Yoongi akhirnya berkata dengan geraman rendahnya. Masih belum mau melihat kearah Rose dan Seungwan. Yoongi memang bertanya, siapa yang hendak menghadap dahulu? Tapi di telinga Seungwan, itu lebih seperti, siapa yang ingin dihukum dahulu?

Rose menegakkan kepalanya, sedang menyiapkan mental dan hatinya, ia menghembuskan nafas. Kemudian maju satu langkah di depan Seungwan, dengan lembut menyentuh pundak Seungwan untuk mundur, keluar dari ruangan Yoongi. Seungwan otomatis menurut. Ia mundur dan menghilang di balik pintu.

Menunggu di luar ruangan Yoongi adalah tiga puluh menit paling menyiksa dalam hidup Seungwan. Seungwan berulang kali mendesah, memilin tangannya sendiri, menepuk-nepuk dadanya, membatin bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi itu sama sekali tidak membantu. Rasa bersalahnya pada Rose membayangi dan Seungwan tak tahu harus berbuat apa kalau Rose sampai kehilangan posisinya.

Setelah menit-menit yang terasa seperti di neraka, pintu ruangan akhirnya terbuka. Rose muncul di balik pintu besar itu dengan wajah sembab, mau tak mau membuat Seungwan semakin merasa bersalah.

Seungwan buru-buru menghampiri Rose yang masih terisak. Ia menangkup wajah Rose dan bertanya, "apa yang terjadi?"

"Aku baik-baik saja." Kata Rose pada Seungwan. ia mengelap air matanya dan tersenyum pada Seungwan. "Aku baik-baik saja."

"Rose maafkan aku..." ucap Seungwan ingin menangis.

"Lupakan—jangan aneh-aneh, masuklah karena boss sudah menunggu."

Seungwan langsung tersentak. Ia otomatis memutar stilettonya untuk masuk ke ruangan Yoongi. Jantungnya berdebar keras ketika melihat Yoongi bersandar di meja, memasukkan satu tangannya ke saku dan tangannya yang lain mengacak rambutnya sendiri. Matanya lekat melihat kearah Seungwan.

Yoongi tak mengatakan apapun ketika Seungwan akhirnya sampai di depan matanya, tidak menunduk—hanya menatap lurus kearah Yoongi. Yoongi dapat melihat perasaan bersalah dalam mata Seungwan. Yoongi menghembuskan nafas dalamnya, emosinya sudah bergejolak.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan, Son Seungwan?" tanya Yoongi.

Seungwan mengangguk.

"Lalu Rose—"

"Dia tidak bersalah." Potong Seungwan langsung. "Dia tidak bersalah—aku, saya yang sangat ceroboh dan—"

Yoongi tidak heran akan kalimat yang dilontarkan Seungwan. Rose juga mengatakan hal yang sama padanya beberapa menit yang lalu. Bahwa yang bersalah adalah Rose sendiri dan Seungwan tidak tahu sama sekali dengan itu.

Yoongi tidak peduli siapa yang lebih bersalah disini. Dia hanya kesal dengan kenyataan bahwa mereka berdua telah mengganggu rapat pribadinya—menginterupsi presentasinya. Yoongi membenci itu. Terlebih, ketika tahu bahwa Seungwan merupakan salah satu yang membuat insiden itu terjadi.

"Aku tidak peduli siapa yang salah diantara kalian berdua." Balas Yoongi. Ia melihat kearah Seungwan sekali lagi—berpikir hukuman macam apa yang bisa ia berikan pada Seungwan, atau kemarahan seperti apa yang harus ia berikan pada Seungwan.

"Kalian menggangu. Menginterupsi presentasiku. Mengusik kenyamanan para tamuku. Apa kelakuanmu memang seperti itu? Rose sangat lalai—sepuluh bulan selama aku mempekerjajannya sebagai sekretarisku—"

"Rose sama sekali tidak bersalah." Kata Seungwan sekali lagi, memotong kalimat Yoongi, dengan berani. Yoongi menatap tajam kearah Seungwan—hendak marah karena memotong perkataannya. Tapi kemarahannya lenyap, melihat sorot mata Seungwan yang menatap lurus kearah Yoongi, pasrah dan penuh permohonan.

Yoongi kemudian merasakan sedikit rasa iba—dan juga, empati. Teringat Rose beberapa menit yang lalu—rasa bersalah Rose yang sama besarnya dengan Seungwan. Tatapan matanya dan cara berbicara yang hampir sama, memohon dan berebut menjadi orang yang paling merasa bersalah. Tapi rasa iba dan empati yang dirasakan Yoongi hanya tertuju pada Rose—bukan Seungwan. Istrinya itu tak mendapat sedikitpun emosi dari dalam hatinya.

Yoongi seharusnya marah pada Seungwan. Atau lebih dari marah—mengingat bagaimana Yoongi marah pada Rose tadi, mampu membuat perempuan itu menangis sesenggukkan. Tapi ketika ia berpikir, ia kemudian tahu bahwa kemarahannya tak akan berakibat apapun pada Seungwan. Kemarahan, larangan dan peringatan yang selama ini sering Yoongi beri untuk Seungwan terbukti tak berguna.

Masih melihat kearah Seungwan, Yoongi merenung, walaupun Seungwan lolos dari hukumannya sebagai seorang karyawan. Seungwan harus tetap mendapat hukuman sebagai seorang istri Min Yoongi. Seungwan paling tidak harus diberi tamparan, berharap Seungwan akan berubah—berhenti bertingkah aneh, atau paling tidak, Seungwan merasa terancam.

"Salah atau tidaknya Rose, itu bukan urusanmu sama sekali." Kata Yoongi. "Dia teledor. Dan kau, ceroboh, bodoh, tak bisa diatur."

Untuk pertama kalinya selama berada di ruangan itu, Seungwan menundukkan kepalanya, tak bisa membantah pernyataan Yoongi. Seungwan kemudian hanya bisa menatap sepatunya sembari memilin tangannya sendiri.

Yoongi kemudian berbalik, membelakangi Seungwan, ia melihat jalanan melalui dinding kacanya sembari memasukkan kedua tangan ke saku. Sudah punya sesuatu yang bisa membuat Seungwan merasa tertampar—Yoongi sudah memikirkannya, bahkan berminggu-minggu sebelum hal ini terjadi. Kalimat yang menurut Yoongi bisa membuat Seungwan terbungkam. Yang mungkin bisa membuat Seungwan berhenti bertingkah aneh. Yang mungkin bisa membuat Seungwan menyerah.

Seharusnya Yoongi menyimpan ini untuk nanti—tapi mungkin ini adalah saat yang tepat. Mungkin Yoongi tak punya waktu lain untuk menyampaikan ini pada Seungwan. Mungkin Yoongi tak akan punya alasan lagi untuk menyampaikan ini.

"Keluar dari ruanganku—aku sudah selesai bicara." Kata Yoongi kemudian.

Kedua mata Seungwan membulat—ia mendongak, "Tap—tapi, Min Yoongi-ssi, rapat tadi, dan Rose, bagaimana dengan Rose—"

"Kau ingin mendapatkan makian dariku?" potong Yoongi, tanpa melihat kearah Seungwan. "Tenagaku sudah habis saat berbicara dengan Rose tadi."

Kedua pupil Seungwan semakin melebar.

"Tap—tapi...." Bantah Seungwan—tak terima. Merasa tidak adil karena Rose terlihat begitu menderita selama tiga puluh menit dan Seungwan tak mendapatkan apa-apa.

"Kemarahanku hanya akan membuang energiku—apalagi denganmu." Lanjut Yoongi.

Seungwan menundukkan kepalanya. Ia kemudian teringat bahwa Yoongi belum mengatakan apa-apa mengenai Rose yang masih berada di posisinya ataukah Yoongi langsung memecatnya begitu saja.

"Apakah anda memecat—"

"Keluar dari ruanganku. Sekarang." Potong Yoongi tegas.

Kedua bahu Seungwan melorot. Ia menghembuskan nafas sesaknya, kemudian, dengan lemah, memutar stilettonya untuk keluar dari ruangan itu.

Ketika ia mencapai gagang pintu, Yoongi memanggilnya sekali lagi.

"Seungwan..." kata Yoongi.

Pergerakan Seungwan terhenti. Ia baru pernah mendengar Yoongi memanggilnya dengan panggilan itu dan itu membuat bulu kuduk Seungwan meremang. Sama sekali bukan firasat yang bagus. Ia berbalik dengan lambat, mendapati Yoongi sudah berbalik kearahnya, kemudian Yoongi bertanya, "Kau masih berencana untuk melanjutkan misi bodohmu itu?"

Seungwan mendongak. Kedua kelopak mata Seungwan mengerjap dengan bingung. "Misi?"

Yoongi mengangguk membenarkan. "Misi." Ulangnya.

Seungwan melihat Yoongi lagi, "Misi—bodoh, apakah pertanyaan ini masih ada kaitannya dengan kejadian yang tadi—"

Yoongi mengangguk. Dengan malas.

"Apa kau masih berencana untuk melanjutkan misi bodohmu itu?" ulang Yoongi bertanya.

Seungwan membulatkan kedua matanya. Teringat akan misi bodohnya yang tidak sengaja Yoongi baca dua minggu yang lalu, misi Seungwan yang baru: membuat Yoongi jatuh cinta pada Seungwan. Tapi Seungwan ragu Yoongi sedang membicarakan misi itu.

"Misi yang mana yang kau maksud—maaf, saya tidak mengerti." Seungwan menjawab.

"Misi bodoh yang tertulis di ponselmu itu—" Kata Yoongi merotasikan bola matanya, "—jangan buat aku untuk mengatakan kata-perkata misi itu."

Seungwan melihat Yoongi dengan bingung. Tulisan dalam sticky note di ponsel Seungwan membayanginya lagi, misi Seungwan yang baru. Masih bingung, lalu Seungwan hanya mengangguk.

"Bagus." Ucap Yoongi kemudian, beranjak dari tempatnya, kemudian berjalan kearah Seungwan. "Karena aku ingin memberimu peringatan."

Seungwan berkedip bingung, kemudian Yoongi mendekatinya, jaraknya dengan Yoongi saat ini tidak lebih dari selangkah kaki, sehingga Seungwan harus mendongak untuk melihat Yoongi, stiletto delapan sentimeternya terbukti tidak berguna.

"Misimu untuk membuatku—euh, jatuh cinta padamu, benar 'kan, Son Seungwan?" Yoongi bertanya.

Seungwan mengangguk kecil kemudian. Ia melihat ke dalam mata Yoongi yang hitam kelam.

"Aku memperingatimu sejak saat ini. "kata Yoongi dalam bisikan pelan. "Dan aku sedang bersikap baik padamu, Son Seungwan."

Mata Yoongi menyipit, mendorong wajahnya untuk bertatapan langsung dengan Seungwan. "Menyerahlah." Ujar Yoongi, dalam. "Menyerahlah pada misi bodohmu itu."

Bulu kuduk Seungwan semakin meremang, mendengar Yoongi berbicara seserius ini dengannya. Mata Seungwan berkedip—berusaha mencerna maksud Yoongi.

"Aku tidak akan pernah jantuh cinta padamu, Son Seungwan." tandas Yoongi tepat di wajah Seungwan.

Kedua mata Seungwan melebar. Kalimat yang Yoongi sampaikan diluar ekspetasi Seungwan—tapi tak mampu membuat Seungwan terkejut. Seakan Seungwan sudah tahu kalau Yoongi akan mengatakan kalimat itu tak peduli kapan.

Bukannya merasa tertampar, hormone adrenaline justru mengalir deras dalam diri Seungwan, ia mendongak lagi, menolak untuk mundur, Seungwan beradu pandang dengan mata tajam Yoongi, jarak wajah keduanya sangat dekat dan bahkan hidung mereka hampir bersentuhan. Dengan tegas, Seungwan menjawab, "Aku tidak perlu peringatan apapun, Min Yoongi."

Yoongi kemudian menyeringai. Ia memperhatikan wajah Seungwan yang tak merasa gentar sama sekali, apalagi takut. Yoongi mengangkat tangannya, menyentuh pangkal hidung Seungwan dengan telunjuknya, kemudian telunjuknya meluncur di hidung bangir itu, mendarat di kedua celah bibir Seungwan. Yoongi belum melihat raut ketakutan Seungwan dan ia membatin bahwa umpannya kurang kuat—ia butuh sesuatu yang besar, sesuatu yang beberapa menit lalu sudah dipikirkannya, yang bisa membuat Seungwan meledak begitu saja.

"Aku mencintai Jenny Kim dan tak akan pernah ada wanita yang menggantikannya." Ucap Yoongi kemudian, merasa puas.

Wajah Seungwan menjadi pias—seperti habis dihajar sesuatu, ia menjauhkan wajahnya, menatap Yoongi dengan wajah tak percaya. "Aku tidak bisa dibodohi." Desis Seungwan, menolak semua hal bodoh yang Yoongi katakan.

Yoongi mengangkat kedua bahunya—mengejek. Merasa sangat puas dengan reaksi yang Seungwan berikan—Yoongi tak perlu apa-apa lagi. Ia menyeringai sekali lagi sebelum bergeser dan menerobos melewati Seungwan keluar dari ruangannya sendiri.

.

.

.

Hello famsss. semoga suka part ini ehehehe :D :D

Terimakasih yang sudah komen dan vote chapter kemaren. terimakasih yang selalu nungguin cerita ini :D

terimakasih (sekali) yang sudah pernah rekomendasiin cerita ini ke wenga shiper lainnya. aku terharu parah T.T pokoknya terimakasiihh.

LAIN KALI REKOMENDASIIN CERITAKU INI LAGI BOLEH YA :D :D

Continue Reading

You'll Also Like

205K 4.7K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
75.4K 8.2K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
409K 30.3K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
135K 13.4K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...