yippee memperingati 2K readers aku kasih bonus nih satu chapter buat klen sobat telor itik hehehe enjoy!
***
"Bagi gue, menunjukan cinta gak harus dengan kata-kata, cukup gue dan dia saling mengisi kekosongan satu sama lain, itu sudah lebih dari cukup." –Jeffrey Aditama.
***
Jeffrey
Sepulang dari rumah Ibu saat minggu lalu, memang benar keadaan rumah tangga gue dan dia tampak semakin membaik. Rumah tangga kami sekarang sama seperti layaknya rumah tangga pada umumnya.
Saling memperhatikan, saling menanyakan kabar bahkan tak jarang juga melakukan kewajiban sebagai suami istri.
Kita sudah tidur satu ranjang.
Bahkan dia sekarang selalu menunggu gue pulang baru bisa tertidur, katanya kalo tidur sama gue jadi lebih nyaman ada yang nemenin.
"Sayang, nanti aku ada kelas tapi agak sore jadi kayaknya pulangnya malem deh."
Iya, sekarang dia juga kadang sesekali suka manggil gue dengan sebutan 'sayang'
"Yaudah, nanti abis dari rumah sakit aku langsung ke tempat les kamu aja ya!"
"Emang gak capek? Gak apa-apa kok aku bisa naik taksi." Dia juga gak pernah egois lagi.
"Gak apa-apa. Nanti pulangnya ke rumah Dokter Teo dulu, aku udah janji sama anaknya mau ajak kamu kesana."
"Oh yaudah kalo gitu."
"Assalamualaikum, I love you."
Gue bisa merasakan jika dia tersenyum ringan sebelum menjawab ucapan gue, "Waalaikumsalam,"
Dia memang belum pernah membalas ucapan 'I love you' itu dari gue walaupun kita tampaknya sudah membaik. Bahkan sangat baik.
Salah gue juga sih yang gak pernah meminta dia untuk membalas ungkapan gue itu.
Jarum jam sekarang hampir berada di angka 7 bahkan matahari sekarang sudah menyembunyikan sinarnya.
Gue segera bergegas merapihkan meja kerja gue, melepas almamater putih kebangsaan gue dan menaruhnya di stand hanger yang terletak di sebelah lemari dan bergegas menuju ke dalam mobil.
Hampir 20 menit gue berjalan menuju tempat les Kinanti yang memang jaraknya gak begitu jauh dari rumah sakit.
Tepat di depan gedung bernuansa aesthetic dengan warna hitam dan putih yang mendominan setiap sudut gedung gue melihat dia sedang berdiri bersama seorang pria.
Gue turun dari mobil kemudian menghampirinya, "Hai?" Sapa gue sambil mencium keningnya. Lalu pandangan gue beralih pada sesosok pria yang kini masih berdiri di sampingnya.
"Siapa?" Tanya gue mengarah pada pria itu.
Dia melirik sebentar sebelum menjawab, "Rafa." Lanjutnya, "Dia besok mau tampil jadi perwakilan dari sekolahnya. Makanya sekarang maksain latihan."
Oh, anak didiknya.
"Hai!" Gue mengawali untuk menyapanya dengan menjulurkan tangan gue. Karena memang dia sedari tadi hanya diam dan tampak gak tertarik saat melihat gue.
Dia meraih tangan gue, "Rafa, Om." Gumamnya.
Om?
Kinanti sontak langsung tertawa kecil mendengar ucapan bocah ini.
Bener-bener ya..
"Jangan Om dong! Mas aja atau Kak atau apa kek jangan Om!" Gue gak terima.
Kinanti gak berhenti tertawa. Justru tawanya semakin kencang kala mendengar perkataan gue yang sangat obvious gak terima itu.
"Ih kamu mah malah ngetawain!"
"Iya iya maaf hahahahaha." Dia masih aja ketawa.
"Rafa, mau bareng aja gak?" Tanya Kinanti pada murid didiknya.
"Gak usah, Miss. Nanti Rafa di jemput bunda kok." Jawabnya dengan pelan.
"Gak apa-apa nunggu?"
Dia mengangguk, "Bunda udah otw kok."
Kini Kinanti mengiyakan dan mengelus sejenak rambut Rafa sambil berlalu, "Kalo gitu Miss duluan ya!" Ucapnya, "Kalo ada apa-apa kabarin Miss, oke?"
Rafa mengangguk lagi.
Kinanti disini sangat mama-able Ya Allah. Gimana ini gue seneng banget lihatnya.
"Miss sama Om duluan ya!" Teriak Kinanti didalam mobil sontak membuat gue langsung melotot,
"Apasih? Abang ini tuh bukan Om!" Saut gue dengan nada sangat amat gak terima. Kalo Kiara yang manggil mah gak apa-apa 'Om' orang dia masih kecil. Lah ini kan si Rafa 18 tahun seumuran sama si Max. Sedangkan gue 24 tahun. Cuma beda 6 tahun doang. Gak lah gak terima gue di panggil Om.
"Iya, iya abaaaaang"
Gue cuma diam. Gak merespon apapun. Dan gue juga masih dia gak berniat menyalakan mobik sedikitpun bahkan sampai Rafa sudah hilang dari pengawasan gue dan Kinanti karena Bundanya sudak menjemputnya.
"Kok gak jalan-jalan sih? Rafa juga udah pergi loh." Dia mengeluarkan isi pikirannya.
Gue masih diam. Hanya melirik sebentar kearahnya dengan tatapan kesal.
She giggled, "Oh ngambek?"
Gue gak merespon.
Dia berusaha mengambil perhatian gue dengan sesekali mencolek dagu gue bahkan hingga menggelitiki gue. Tapi masih gak mempan.
Sampai akhirnya entah apa yang dia lakukan sampai-sampai keningnya terbentur pada dashboard mobil membuat gue sontak langsung bergerak dan memutarkan badan kearahnya.
"Aaduuh," Rintihnya sambil memegangi keningnya.
Gue mencoba menarik kepalanya dengan hati-hati dan memperhatikan keningnya yang baru saja terbentur itu tanpa suara.
Kan masih ngambek. Hehe.
Dia yang melihat gue panik tapi tetep cool ini langsung tertawa keras. "HAHAHAHAHAHAHAHA!!!!"
Gue langsung melepaskan tangan gue dari kepalanya dan membuat space kembali.
Dia mencolek-colek lengan gue, "Udah sih, khawatir mah khawatir aja. Gengsi banget."
She teased me.
Tapi gue tetep terlihat cool.
Kini kedua tangannya kecilnya merangkup wajah gue, memaksa gue untuk memutar wajah menghadapnya. Dengan cepat gue memutarkan lagi kepala gue.
Harus jual mahal nih pokoknya.
Gak mau nyerah gitu aja, ternyata dia mengeluarkan jurus jitunya. Ditarik lagi wajah gue untuk medekat kearahnya tapi bukan untuk bertatapan karena dengan tiba-tiba dia langsung mencium pipi gue.
"Udah dong gitu doang ngambek." Ucapnya seraya memeluk gue dari samping.
Ah. She's so lovely.
Tanpa gue sadar kedua sudut bibir gue terangkat. Kalo di inget-inget, dia sekarang udah jarang banget ngambek sama gue.
"Laper nih aku." Lanjutnya sambil menatap gue. "Ke rumah Dokter Teo nya besok aja, ya?"
Gue melirik kearahnya, "Makan di rumah Dokter Teo aja kalo gitu."
"Kenapa?"
"Biar gratis." Jawab gue disertai cekikikan kecil.
Dia melepas pelukannya dari gue dengan wajah betenya, "Ish!"
"Yaudah, yaudah, mau makan apa?"
"Seafood 38!" Jawabnya dengan semangat.
"Tumben mau seafood?"
"Lagi pengen makan makanan kesukaan kamu aja. Emang gak boleh?"
Kali ini gue menatapnya cukup dalam, "Kamuuuu....."
Dia mengangkat alis sebelah kirinya.
"Kamuuuu, gak lagi ngidam kan?" Tanya gue dengan hati-hati. Karena biasanya dia selalu enggan ketika gue ajak makan disitu. Katanya banyak orang, engap.
Bukannya menjawab, dia justru malah mengedipkan matanya berkali-kali dan terdiam untuk beberapa saat seperti sedang berpikir.
Am I going to become a father soon?
***
Rafa Ardhio S