Hello My Future: Who are You...

By mustikashaleha

16.9K 2.6K 1.1K

Eira Syariza adalah satu nama yang sudah memikat hati Dafi sejak kali pertama dia melihat senyum perempuan it... More

Prolog
1- Blacklist
2- Tragedy
3- Impressed at First Sight
4- Step by Step
5-Sweet Memory
6- Sang Pujaan Hati
7- Menyentuh Hati Mereka
8 - Yang Tak Terduga
9- Konflik Batin
10- The Problems begin
11- Awal Persaingan
12- Real me
13- Extraordinary Guy
14- Serangan Pertama
15- Krisis Kepercayaan Diri
16- Tell me what you want
17- Try me
18- not gonna be easy
19- Aku Sudah Jatuh Hati
20- Untuk Rara
Intermezzo
21- Serangan Berikutnya
23- Aku Lelakimu
24- She is mine
25- Restu
26- akhir yang menjadi awal
Epilog
Spin-off

22- Kata Hati

396 78 36
By mustikashaleha

Selamat membaca 😊

--------

Dihari terakhir UTS ini, Eira dibuat bingung dengan sebuah panggilan telepon dari seseorang yang dia sungguh tidak pernah sangka. Sebuah panggilan yang memintanya untuk tidak memberi tau Dafi soal ini hingga akhirnya Eira terpaksa melibatkan Jeny sebagai alasan.

Sorry ya Jen, kamu jadi terlibat,” kata Eira pada Jeny saat mereka baru saja duduk di sebuah restoran. “Aku bilang ke Dafi juga kalau aku mau belanja sama kamu, biar dia nggak curiga dan maksa anterin aku pulang.” Ya, sepanjang UTS ini, Eira memang setiap hari pulang bersama Dafi. Entah apa yang Dafi katakan dan jaminkan pada Erlangga hingga adiknya itu percaya padanya begitu saja. Atau mungkin saja, Angga mulai lelah mengurusi kakaknya yang merepotkan ini.

“Iya, Ra. Kamu tenang aja. Sekarang, yang perlu kamu lakuin adalah jelasin kamu sama Dafi kenapa sampai begini? Kalian tiap hari pulang sekolah bareng. Ya meskipun main kucing-kucingan, tapi orang sekolah tetap tau dan kasak-kusuk dibelakang kalian. Terus ini lagi, tadi kamu bilang kamu ditelpon Papanya Dafi dan diajak ketemu disini? Oh my God, Eira! Hubungan kamu sama Dafi itu sudah sejauh apa sih sebenarnya?”

Eira menggigit bibir. Dia tercengang sendiri mendengar kalimat Jeny yang begitu panjang dan lebar tanpa jeda. Dia menghela napas hendak menjawab. Namun, kehadiran sosok laki-laki paruh baya dengan kemeja biru langit berbalut waistcoat navy menginterupsi mereka.

“Selamat siang, Eira,” sapa laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut Eira dengan menyalaminya.

“Ini, teman saya, Jeny,” kata Eira canggung.

“Halo,” Jeny mengulurkan tangannya.

“Saya Pratomo, Papanya Fabian—maksud saya Dafi, Fabian Dafito.”

“Maaf, Pak Pratomo, saya bawa teman. Maaf sekali,” tutur Eira. Dia berusaha bersikap santai tapi gagal total.

It's ok. Santai saja. Silahkan duduk!” Pratomo memberikan gesture mempersilahkan hingga Eira dan Jeny kembali duduk. “Saya paham, kamu pasti ragu untuk menemui saya sendiri. Tidak masalah,” lanjutnya setelah duduk. “Oiya, sudah pesan makanan?” Eira dan Jeny kompak menggeleng.

“Kita pesan jus saja,” kata Eira yang langsung mengundang tatapan protes dari Jeny. Bagaimanapun ini adalah aji mumpung alias kesempatan bisa makan hidangan di salah satu restoran mahal di Jogja yang belum tentu bisa didatangi istri PNS seperti Jeny dalam setahun sekali. Sayang seribu sayang dong kalau mereka hanya pesan jus.

“Ini kan jam makan siang, jadi kalian harus makan, terutama kamu, Eira. Saya nggak mau Fabian marahin saya kalau kamu sakit karena telat makan gara-gara saya.” Jeny langsung bernapas lega saat mendengar Pratomo tidak langsung menyetujui untuk hanya memesan jus. Dia segera membolak-balik buku menu.Berbeda dengan Jeny, Eira justru geli sendiri setelah menangkap satu hal bahwa ternyata sikap berlebihan Dafi yang aneh itu menurun dari Papanya.

Beberapa nama menu makanan dan minuman akhirnya di sebutkan mereka pada pramusaji. Sembari menunggu pesanan, Pratomo menatap Eira lekat penuh penilaian membuat Eira canggung sendiri.  Ditambah lagi tatapan Pratomo sangat mengintimidasi meskipun ekspresinya terlihat santai. Ya Tuhan, ini tatapan yang diwarisi Dafi juga.

“Sejauh apa hubungan kamu dengan Bian, Eira?” Pratomo akhirnya buka suara.

Eira sedikit terhenyak. Dia tidak menyangka akan ditembak langsung begini. “Em—itu kita masih sebatas teman,” jawab Eira ragu.

“Anak saya mencintai kamu. Kamu tau kan?”

Eira mengangguk ragu. “Ya, Dafi—Dafi sudah menyatakan perasaannya.” Perkataan Eira membuat Jeny melongo. Bagaimana bisa dia tidak tau soal itu. Eira sungguh tega tidak menceritakan ini padanya.

“Jadi?”

“Maksudnya?” Mendadak, kecanggungan membuat Eira bodoh.

“Jadi apa kamu juga mencintai anak saya?” Pratomo akhirnya mempertegas.

“Saya tidak tau. Maksud saya, belum tau.” Jeny langsung mendelik menatap Eira mendengar jawaban itu. Sungguh jawaban macam apa yang Eira berikan? Cinta ya cinta, enggak ya enggak, ini kok malah belum tau.

“Eira, apa ada peluang untuk kamu bisa mencintai anak saya?” Eira bergeming. Dia tidak menyangka Pratomo akan mencecarnya dengan pertanyaan seperti ini. Harusnya Eira tidak lupa bahwa Dafi versi tua ini adalah pengacara. Jadi sudah menjadi keahliannya untuk mengorek sesuatu sampai ke dasar.

“Hubungan saya dengan Fabian tidak terlalu baik. Bahkan mungkin anak itu sangat membenci saya. Satu kali pun dia tidak pernah meminta sesuatu dari saya meskipun dia tau Papanya bisa memberikan kemewahan dan banyak hal,” tutur Pratomo dengan tatapan sedikit berkaca-kaca. Eira tau mengingat hubungan ayah dan anak diantara Pratomo dan Dafi seperti membuka luka yang tidak pernah kering.

“Bahkan saat dia tau Mamanya menghubungi saya untuk mengeluarkan dia dari penjara, Fabian ngamuk dan hampir menyerahkan diri lagi ke polisi karena dia tidak sudi menerima bantuan dari saya. Beruntung tangisan Mamanya masih bisa menghentikannya berbuat nekat.”

Guratan kernyit terlihat jelas di wajah Eira. Dia tidak menyangka Dafi sebenci itu pada Papanya. Anak itu benar-benar banyak tingkah. Tapi Eira paham, Dafi pasti punya alasan untuk itu.

“Saya selalu berusaha mendekati Fabian dengan banyak cara tapi selalu gagal. Pemberian saya semua ditolak. Bahkan saat kuliah pun, dia lebih memilih kerja serabutan daripada menerima uang dari saya.”

Ya Tuhan, pantas saja Dafi pernah bilang kalau dia pernah melakukan banyak pekerjaan. Ternyata semua demi kuliah dan bertahan hidup. Memory Eira tiba-tiba terbuka pada percakapan dirinya dengan Dafi beberapa waktu lalu.

“Sampai Mamanya meninggal, akhirnya saya datangi dia lagi. Saya tawarkan bantuan lagi. Saya tanya dia mau apa. Kamu tau hal apa yang Fabian minta untuk pertama kalinya pada saya?” ada jeda untuk Pratomo menghela napas, “Kamu, Eira. Fabian menyebutkan nama kamu.”

“Maksudnya?”

“Dia bilang dia sudah tidak punya semangat hidup lagi setelah Mamanya pergi kecuali seorang perempuan bernama, Eira Syarizza. Dia mau saya membuatnya berada di dekat kamu.”

Hati Eira seperti dihantam sesuatu yang keras. Dia tidak menyangka akan sedramatis ini. Dia tidak mengira seseorang menjadikan dirinya semangat hidup. Eira meremas tangan Jeny di bawah meja. Seolah tau perasaan sahabatnya, Jeny menggenggam tangan Eira erat.

“Akhirnya ya seperti sekarang. Fabian mengajar di sekolah bersama kamu,” pungkas Pratomo sebelum akhirnya dua orang pramusaji datang membawakan makanan yang mereka pesan.

“Satu hal yang saya tau dari permintaan Fabian. Dia betul-betul menginginkan kamu. Dia mencintaimu bahkan sampai menembus batas prinsipnya yang dulunya menolak saya habis-habisan.” Pratomo mulai bicara lagi setelah pramusaji pergi. Laki-laki itupun kemudian menyendok barbeque meetballs with mashed potatoes pesanannya setelah memberikan gesture mempersilahkan pada Eira dan Jeny untuk makan.

Eira meraih jus semangka pesanannya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia masih tercengang dengan apa yang diungkapkan Pratomo.

“Eira,” Pratomo kembali buka suara setelah keheningan menyelimuti mereka selama menikmati makanan. Eira mendongak, kembali menatap Pratomo.

“Saya tau saya ini brengsek. Saya bukan laki-laki yang pantas disebut ayah yang baik karena sudah meninggalkan Fabian dan Mamanya.” Pratomo menjeda. Ada helaan napas berat disana. Jelas sekali laki-laki itu merasa bersalah atas masa lalunya.

“Tapi saya percaya, anak saya bukan laki-laki brengsek seperti saya, Eira. Meskipun delapan puluh persen fisik Fabian menurun dari saya, sifatnya sepertinya tidak. Larasati, Mamanya pasti mendidiknya dengan baik agar jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Jadi tolong, kasih dia kesempatan.” Raut memohon terlihat jelas di wajah pengacara masyhur itu.

“Saya ingin anak saya bahagia, Eira. Dan cuma kamu yang anak saya inginkan.” Pratomo mengakhiri percakapan mereka. Laki-laki itu bangkit kemudian pamit setelah membayar tagihan makanan. Dia meninggalkan Eira yang seratus persen masih terperangah. Bahkan tidak ada komentar yang gadis itu katakan sepanjang perbincangan tadi.

“Eira.” Jeny yang biasanya ceplas-ceplos terlihat diam sepanjang obrolan. Dia baru membuka suara saat Pratomo sudah pergi.

“Eira, Pratomo Gunadi, memohon sama kamu demi anaknya. Ini gila!”
Diam-diam selama makan tadi, Jeny memang mencuri kesempatan untuk membuka ponsel dan mencari tau siapa sosok Pratomo Gunadi.

“Ya, ini gila, Jen! Bahkan saking gilanya aku sampai nggak tau harus bagaimana.” Eira terlihat memijit kening.

“Bagaimana apanya? Ya udah jelas, kamu harus terima si Dafi. Ngapain mikir lagi sih? Anak itu cinta banget sama kamu, Ra. Apalagi diam-diam dia anak konglomerat. Ya Tuhan! Nggak ada alasan lagi buat nolak.”

“Sakti juga anak konglomerat tapi dia bangsat.”

“Ya Dafi bukan Sakti, Eira.”

“Sama juga dari keluarga Hardiyansyah.”

No! Yang Hardiyansyah itu istrinya Pratomo. Sementara Dafi anak Pratomo dari perempuan lain. Jelas dia bukan Hardiyansyah.”

Eira mengerang frustasi. Dia pusing dan bingung. “He loves you. Really love you,” Jeny kembali bersuara.

“Tapi aku takut, Jen,” keluh Eira dengan ekspresi resah. “Aku takut itu palsu. Aku takut keindahan itu cuma sementara. Dafi masih muda, Jen. Dia tampan dan karismatik. Bahkan dia bisa dapat perempuan yang lebih muda dan lebih cantik dari aku—,”

“Tapi dia memilih kamu, Ra. Dia milih kamu tanpa peduli yang lain,” potong Jeny. “Come on, Eira! Buang sikap skeptis, kekhawatiran, dan logika kamu sejenak, turuti kata hati kamu.”

***

Keadatangan Airin yang baru saja selesai syuting program berita, langsung disambut Sakti di ruang tamu. Laki-laki itu sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah namun Airin tau persis bahwa Sakti ke Jogja.

“Kamu boleh pulang,” kata Airin pada asisten yang mengekorinya. Asisten itupun langsung menunduk pamit dan pergi.

“Kamu sudah pulang, sayang?” tanya Airin yang langsung duduk di sofa sebelah suaminya. Ucapannya diiringi senyuman penuh arti. “Apa mantan kamu sehat?” Tanyanya lagi menyindir.

“Aku tidak menemuinya,” sanggah Sakti.

Airin tersenyum lagi. “Bagus! Ternyata kamu cukup hati-hati untuk tidak nekat.”

“Setidaknya otakku masih sehat, tidak seperti kamu yang penuh obsesi.”

“Kita tidak ada bedanya, Sakti. Kamu menginginkan Rara dan menempuh segala cara termasuk meninggalkan aku. Aku juga begitu, aku mencintaimu dan akan menempuh segala cara agar kamu tetap bersamaku.”

“Sudahlah! Aku tidak mau banyak omong. Aku kesini cuma mau mampir dan mengingatkan kamu kalau tidak lama lagi surat panggilan persidangan akan datang.” 

“Ternyata penolakan Mas Pratomo dan semua keluarga nggak menyurutkan niat kamu juga ya?” Airin tersenyum getir.

“Keputusanku sudah bulat, Airin. Jadi jangan mencoba mempersulit,” kata Sakti penuh penekanan. “Soal pembagian harta aku juga akan relakan saja. Biar semua cepat selesai,” lanjut Sakti.

Airin terkekeh. “ Sakti, kamu kira ini cuma keputusan sepihak dari kamu? Perceraian nggak akan terjadi kalau salah satu pihak menolak.”

“Kamu nggak punya alasan untuk menolak ini, Airin.”

“Aku punya alasan kuat. Aku masih sangat mencintai kamu sebagai istri,” tandas Airin. 

Bulshit!”

“Ternyata ancamanku tidak membuat langkah kamu berhenti.”

“Semakin kamu menggila, semakin mudah aku mengakhiri pernikahan kita,” tekan Sakti. “Dengar ya, Airin! Kalau sampai kamu nyentuh Rara, aku tidak akan tinggal diam.”

Airin berdecak. “Kita lihat saja nanti.”

“Sampai ketemu di persidangan, Airin,” kata Sakti kemudian bangkit dan pergi dari rumah.

Airin mengambil ponselnya dalam tas. Dia membuka kontak dan menelpon asistennya.

“Sakti sudah tidak bisa diancam, kamu realisasikan saja yang kemarin! Biar dia tau kalau saya nggak main-main,” kata Airin panjang lebar kemudian langsung menutup panggilnya.

Dia menghela napas. Sejujurnya bermain murahan seperti ini bukan caranya tapi sepertinya hanya ini yang bisa membuat Sakti kembali.

***

Suara penggorengan beradu dengan spatula terdengar dari arah dapur. Sejak sore, Erlangga rewel minta nasi goreng sosis. Alhasil Eira harus merelakan diri masuk dapur dan membuatkannya. Padahal Bu Wati sudah memasak sayur lodeh dan semur ayam untuk makan mereka.

“Emang si Fajar kemana sih? Tumben banget anak itu ijin kerja,” tanya Eira setengah berteriak agar Selain yang duduk di ruang tengah mendengar pertanyaannya. Ya, adik bungsunya itu sedang sibuk mengedit. Jarang-jarang Angga membawa pulang pekerjaan seperti ini. Dia selalu memilih lembur di studio bersama rekannya, Fajar, tapi karena Fajar absen, Angga sedikit ngeri berada di studio sendirian jadi dia memutuskan membawa pekerjaannya pulang.

“Kencan. Dia punya pacar baru,” jawab Angga.

“Gaya banget! Kalah kamu sebagai bos!”

“Asem kamu Mbak! Kamu lebih kalah lagi sebagai Mbaknya bos masih jomblo terus. Angka dua puluh sembilan menantimu tiga bulan lagi loh Mbak.”

“Dasar adik durhaka! Aku racunin juga ini nasi goreng.” Erlangga tidak menanggapi lagi. Dia hanya terkikik geli mendengar kakak perempuannya yang selalu sensitif jika membahas soal status.

Satu pesan masuk di ponsel Erlangga. Pesan yang membuat laki-laki berkumis tipis itu mengulum senyum.

Si chubby:
Mas Angga lagi apa?

Erlangga:
Lagi edit photo kamu. Bagus deh hasilnya.

Si chubby:
Serius? Jadi nggak sabar mau lihat.

Erlangga:
Nanti ya kalau sdh kelar aku kirim. Thanks sdh mau jadi model buat promosi studioku, Kai.

Si chubby:
Dengan senang hati, Mas Angga yang baik.

“Ciee, chat sama siapa sih?” Eira muncul dengan dua piring nasi goreng sosis.

“Model baru.”

“Ciee, kayaknya kepincut nih.”

“Cantik sih. Chubby, imut gitu. Tapi masih SMA. Masih anak bocah.”

“Inget, jangan kasih harapan palsu sama anak orang.”

“Ya gimana ya Mbak? Adikmu ini ganteng sih ya, jadi perempuan nggak dikasih harapan juga udah berharap sendiri.”

“Nyekek adik kandung, dipenjara berapa lama sih? Kesel banget aku denger kamu kalau lagi nyombong.” Erlangga terkikik melihat kakaknya yang mulai kesal. Dia kemudian menyuap nasi goreng dengan lahap.

“Mbak Rara sama Dafi gimana? Kayaknya makin lengket,” celetuk Angga.

“Masak? Perasaan kamu aja itu,” sanggah Eira.

Erlangga hendak meluncurkan argumennya lagi namun, suara ketukan pintu depan membuatnya mengurungkan niatnya. Dia bangkit dan berjalan dengan berat hati, meninggalkan nasi goreng yang sedang nikamat-nikmatnya dia makan.

Hai Rara ku, aku kirimin Apple pie kesukaan kita. Dimakan ya
-Sakti

Erlangga langsung geram membaca sepucuk surat yang tersemat di atas kardus berisi Apple pie yang baru saja dikirimkan oleh ojek online. Dia langsung kembali ke ruang tengah dan melayangkan tatapan tajam pada kakaknya.

“Ini sudah hari ketujuh. Mau sampai kapan Mbak diam saja, menerima kiriman-kiriman gila dari mantanmu yang bangsat itu?” tanya Angga serius. Dia meletakkan kotak Apple pie kiriman Sakti di atas meja dengan sedikit kasar.

“Mbak nggak tau harus gimana, Angga,” kata Eira sambil mengaduk-aduk nasi goreng nya. Nafsu makannya lenyap seketika.

“Ya Mbak harus tegas nolak dia. Bilang kalau Mbak nggak butuh semua kiriman ini. Sakti bisa makin berharap kalau Mbak Cuma diam,” tutur Angga penuh penekanan. “Atau jangan-jangan Mbak memang masih berniat membuka hati untuk dia,” selidik Angga curiga.

“Ya enggaklah! Kamu jangan nuduh.”

“Sikap Mbak yang nggak tegas bikin aku curiga,” ucap Angga yang sudah kembali mengunyah nasi goreng “Mending Mbak Rara pacaran aja sama Dafi. Lebih jelas,” lanjutnya dengan mulut penuh.

Eira hampir membuka mulut mengenai Dafi. Dia juga hendak menceritakan soal pertemuannya dengan Papa Dafi tadi siang pada Erlangga. Namun, suara dering ponselnya membuat Eira memilih bangkit dan mengambil ponselnya di kamar.

“Halo, Daf,” sapa Eira.

“Hei. Gimana tadi belanja sama Bu Jeny?” suara antusias Dafi di seberang terdengar.

“Habisin duit! Aku jadi beli hal-hal yang nggak perlu.” Eira mengigit bibir setelah mengucapkannya. Dia merasa seperti pembohong. Rasanya ingin sekali Eira berkata jujur kalau dia dan Jeny tidak berbelanja tapi Pratomo mewanti-wantinya agar merahasiakan pertemuan mereka dari Dafi. Pratomo takut Dafi marah.

“Ya nggak papa dong, Ei. Sekali-kali.”

“Oh iya, Daf. Aku mau nanya sesuatu,” kata Eira ragu. Dia mencoba memantapkan hati sejak tadi siang namun masih saja resah.

“Iya, Ei. Kenapa?”

“Aku boleh tau, kapan kamu mau minta jawaban dari aku?”

Terdengar kekehan halus dari Dafi di seberang. “Memangnya kenapa? Apa kamu sudah punya jawaban?”

Eira mengigit bibir. Dia sendiri juga masih ragu. Ragu yang dibuatnya sendiri. “Ya biar aku siap-siap.”

Dafi kini tergelak. Dia tertawa mendengar kata-kata Eira.

“Kok kamu ketawa sih? Nyebelin!”
Sesi telepon Eira dan Dafi tiba-tiba terhenti. Erlangga berteriak dengan volume penuh dari ruang tengah memanggil namanya.

“Mas Angga ngapain teriak-teriak?”

“Nggak tau. Aku tutup dulu ya, Daf.” Eira memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Dafi. Dia menyimpan ponselnya dalam saku dan berjalan keluar kamar.

“Ini rumah bukan hutan! Jangan teriak-teriak!” Sungut Eira.

“Mbak Rara duduk!” perintah Angga dengan nada tinggi.

“Kamu ini kenapa?”

“Duduk aku bilang!” Eira melihat ada raut amarah di wajah adiknya.

“Erlangga, kamu ini kenapa?”

“Mbak Rara yang kenapa? Kenapa sampai semua jadi begini?” tanya Angga sambil memperlihatkan ponselnya. Layar enam inci itu menampilkan sesuatu yang benar-benar gila.

“Mbak, ini benar-benar gila. Mbak Rara pelukan sama Sakti di depan umum dan sekarang seluruh Indonesia tau semuanya. Dia punya istri, Mbak. Mbak Rara waras kan?” nada Erlangga berubah frustasi.

“Angga ini fitnah!” bantah Eira dengan mata yang langsung berair.

“Terlepas itu fitnah atau nyata, realitanya itu mencoreng nama Mbak dan keluarga kita! Semua nggak akan terjadi kalau dari awal Mbak Rara tegas sama Sakti!” kecam Erlangga.

“Aku merasa gagal jagain kamu, Mbak! Gagal total!” Erlangga mengerang frustasi. Dia pergi ke kamarnya, menutup pintu dengan kasar.

***

Wahh kira-kira apa yang terjadi sampai Erlangga ngamuk begitu?
Tetap mampir buat baca cerita ini sampai end ya, Readers.

Thanks ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

383K 4.8K 6
Rank #1-marriage, 8/8/2018 18+. Ketika seorang yang super duper rapi dan bersih menikahi seseorang yang sangat berantakan. Berawal dari patah hati, E...
403K 9.7K 7
Notes. Untuk pembelian PDF Original hubungi 082165503008 Admin Nana. Baca part lengkap di Karyakarsa Innovel, KBMapp, GoodNovel Revan Aditama Perkas...
23.5K 2K 15
Jisung adalah sosok murid yang tenang dan sangat berprestasi, namun hal itu tak luput dari kekerasan para murid lain. Jisung yang sering menerima bul...