Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.5K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 10 On Call

1.4K 283 104
By padfootblack09


Seungwan sudah sering kali terkena imbas kemarahan Yoongi. Tak terhitung. Sejak ia masih mahasiswa sampai ia berubah status menjadi istrinya. Tapi mungkin kemarahan Yoongi pagi tadi adalah yang paling mengerikan. Seungwan tak pernah benar-benar melakukan kontak fisik ketika Yoongi marah, tapi kejadian tadi pagi membuat Seungwan tahu bahwa kemarahan yoongi tadi sanggup membuat Seungwan menangis sesenggukan selama satu jam penuh.


Itu adalah kesialan Seungwan yang pertama, kesialan Seugwan yang kedua terjadi lima belas menit setelah Seungwan berhenti menangis. Bel pintu berdenting—Seungwan dalam keadaan tidak mau bertemu siapapun, terutama sahabatnya, Seulgi.


"SEUNGWAN!!!" seru Seulgi di ambang pintu, jelas terkejut melihat wajah Seungwan yang sembab, Seungwan berusaha tersenyum sebaik mungkin, walaupun ia tahu itu percuma. Seulgi masuk dengan tergesa, meletakan dua buah papper bag di meja makan, ia mendekati Seungwan, kemudian menangkup wajahnya—melihatnya dengan khawatir.


"Apa yang terjadi padamu???" tuntutnya, Seungwan melepaskan tangan Seulgi dengan enggan. Tidak ingin mendengarkan ceramahan Seulgi.


"Tidak ada yang terjadi." Jawab Seungwan. Ia mendekati paper bag di meja, mengintip isinya.


"Aku membawa beberapa barangmu di kantor—tertinggal." Kata Seulgi, "tapi itu tidak penting—duduk kemari dan ceritakan apa yang terjadi." Tuntut Seulgi, duduk di salah satu kursi makan.


Dahi Seungwan mengkerut, tidak suka ide itu, Seulgi akan mengatainya bodoh lagi. Menceritakan kejadian tadi itu berarti Seungwan harus menceritakan semua hal yang terjadi beberapa minggu belakangan—Seungwan tidak mau membuat Seulgi khawatir. Selama ini Seungwan selalu berkata pada Seulgi bahwa semuanya baik-baik saja dan Yoongi tidak seperti dulu lagi, ia sudah memperlakukan Seungwan dengan lebih baik.


"Tidak ada yang terjadi." Ungkap Seungwan, membelakangi Seulgi, berniat membuat dua cangkir teh untuknya dan Seulgi.


"Kau tidak bisa bohong padaku, Seungwan. Kau ingat?" balas Seulgi ngeyel.


Seungwan mendengus. Tetap tidak mau menceritakan yang sebenarnya, Seungwan menaruh secangkir teh ke hadapan Seulgi. "Aku benar-benar baik-baik saja." Jawab Seungwan menaikkan kedua bahunya.


Di luar dugaan, Seulgi tampaknya menyerah. Karena setelah itu Seulgi hanya balik mendengus, menyeruput tehnya, kemudian bergumam. Biasanya Seulgi akan mencerca Seungwan sampai Seungwan bicara. Seungwan menaikkan alisnya dengan heran.


"Apa yang terjadi?" Seungwan balik bertanya pada Seulgi.


"Tidak ada yang terjadi." Kata Seulgi tampak enggan.


Seungwan menyipitkan matanya, tidak percaya. "Kau tidak bisa membohongiku, Seulgi, ingat?"


Seulgi tampak menghela nafasnya. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja makan, tampak kebingungan, yang mana sama sekali bukan Seulgi yang Seungwan kenal.


"Ingat Jimin??" tanya Seulgi, akhirnya buka suara.


"Jim—teman Junmyeon itu—yang—Park Jimin??"


Seulgi mengangguk, mengerucutkan bibirnya, tampak tak menyukai topik yang sedang dibicarakannya tapi terpaksa diungkapkannya.


"Park Jimin yang menyukaimu dua tahun belakangan ini???" tanya Seungwan.


Seulgi mengangguk lagi, ia menggigit bawah bibirnya, tiba-tiba merasa sedih. "Dia memberikan undangan pertunangannya dengan Mina."


"Bukankah kau harusnya merasa senang? Kau tidak perlu merasa terganggu dengan keberadaannya yang selalu—"


"Sepertinya aku terkena karma." Keluh Seulgi, matanya berkaca-kaca, hampir menangis.


"Apa???"


"Dia sebenarnya sudah menyerah." Ungkap Seulgi. "Dia menyerah menyukaiku."


"Tidak mungkin, Seulgi, dia sangat menyukaimu—"


"Dia mengatakan itu sendiri, Seungwan." potong Seulgi sedih. "Dia mengatakan padaku, dia menyerah menyukaiku, sebaliknya dia bersumpah akan membuatku jatuh cinta padanya." Kata Seulgi menjeda perkataannya.


"Lalu?" kata Seungwan ingin tahu.


Seulgi memberenggut. "Lalu dia berhasil."


"Hah??" Seungwan membulatkan kedua matanya, jelas terkejut dengan pernyataan ini. Ia mungkin salah dengar. "Jimin bersumpah akan membuatmu jatuh cinta dan dia berhasil????"


Seulgi mengangguk, kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja, hanya untuk terisak disana. Seungwan tahu ini bukan saatnya untuk memikirkan Yoongi, tapi wajah manusia es itu melintas begitu saja di kepalanya. Seringainya yang menyebalkan, kalimatnya yang menusuk hati, juga perilakunya yang kasar.


Seungwan hanya mampu mengelus puncak kepada Seulgi, mengatakan semuanya akan baik-baik saja, dan Jimin mungkin memang bukan orang yang dimaksudkan untuk Seulgi. Tapi walaupun begitu, hati dan otaknya terpaku pada satu hal: Min Yoongi. Pikirannya menjadi liar dan mengimajinasikan hal di luar akal sehatnya. Seungwan merasa bersalah ketika ia menaikkan kedua sudut bibirnya di hadapan Seulgi yang masih menangis. Jangan salahkan Seungwan. Salahkan semua rencana yang tiba-tiba tersusun dalam otaknya.


Misi Seungwan yang baru: membuat Min Yoongi jatuh cinta padanya.

.

.

.

Perkataan Yoongi beberapa hari yang lalu terbukti hanyalah angin lalu bagi Seungwan. Yoongi langsung menyimpulkan begitu ketika ia menemukan box-box makanan yang sengaja Seungwan kirimkan ke ruangan pribadi di kantornya. Bukan hanya itu, sehari setelah kejadian Yoongi membuang Japchae Seungwan ke tempat sampah, Seungwan tetap bersikap seperti biasa. Menyiapkan kaus kaki dan dasi, kemeja disetrika rapi. Harum masakan yang menguar ke setiap penjuru ruangan. Seakan Yoongi peduli.


Senyum Seungwan juga masih sama, binar ceria di matanya, pipinya yang naik—tersenyum penuh kebahagiaan, juga bibir pink alami yang tersenyum lebar, ketika menawarkannya sarapan. Yoongi tak mengerti mengapa ia bisa ingat setiap detilenya, dan itu membuat Yoongi semakin tidak menyukainya. Aroma apel dari sabun mandi Seungwan juga masih bersliweran di sekitar Yoongi, senandung yang Seungwan nyanyikan, dan bahkan Yoongi jadi tahu kebiasaan Seungwan yang lain. Seungwan akan memoles lipstick merah maroonnya setelah Yoongi menolak sarapan, Seungwan akan memakai stilettonya di tangga dekat garasi ketika Yoongi sedang memanaskan mobilnya dan Seungwan akan bersenandung lagi ketika berjalan memutari mobil Yoongi untuk mencapai mobilnya sendiri. Seperti tak ada yang terjadi, seperti Yoongi tak pernah melempar hidangan Seungwan ke tempat sampah, seperti Yoongi tak pernah mengancam Seungwan di dinding dapur, seperti Yoongi tak pernah melukai Seungwan sama sekali.


Yoongi jadi tahu kalau Seungwan tak pernah jera dan tak akan pernah menyerah pada usahanya itu, yang mana, membuat Yoongi semakin kesal.


Yoongi memandang box penuh makanan itu, tampak sangat familiar dengan box itu. Ia bisa menghirup aroma bulgogi menguar dari situ. Bahkan tanpa membuka tutupnya-pun Yoongi tahu kalau bulgogi itu bukan buatan ibunya.


"Rose." Yoongi memanggil melalui telepon extension, sekretaris pribadinya yang ruangannya terletak persis di depan ruangannya. "Seungwan mengirimiku makanan ini?"


"Yes, boss." Balasnya kemudian.


"Kemarilah, Rose. Datang ke ruanganku sekarang." Perintah Yoongi kemudian, tanpa mendengarkan jawaban Rose, ia menutup gagang telponnya.


Tidak sampai dua puluh detik kemudian, Rose datang ke ruangan Yoongi. Senyum manis menghiasi wajah cantiknya, mungkin ia merasa bangga karena berhasil membuat box makanan itu selamat sampai meja Yoongi. Juga merasa senang karena bossnya akhirnya bisa makan dengan baik.


"Ambil." Kata Yoongi, mengarahkan dagunya pada box Seungwan.


"Ne?" tanya Rose bingung.


"Ambil." Kata Yoongi lagi.


Rose melihat Yoongi, masih kebingungan, tapi tetap mengambil box penuh makanan itu. Ia kemudian berdiri di hadapan Yoongi lagi, bertanya-tanya untuk apa ia harus mengambil box itu.


"Buang semuanya ke tempat sampah." Perintah Yoongi.


"Ne???" Rose membulatkan matanya, ia melihat yoongi lagi, barangkali bossnya itu bercanda—untuk pertama kalinya, kemudian melihat lagi ke box yang dipegangnya. "This box, boss??"


Yoongi telah menyibukkan diri dengan laptopnya, biasanya ia akan mengabaikan semua hal termasuk pertanyaan sekretarisnya, namun kali ini mulut Yoongi membuka suara. "Ya." Ucapnya, mengambil sebuah map di lacinya, ia melanjutkan, "Kau lupa Bahasa Korea? Throw that box to the trash."


"But, boss, this is from your wife." Kata Rose memastikan.


"yes, and?" balas Yoongi.


"Boss—"


"Buang." Kata Yoongi, lebih tegas, kali ini melakukan kontak mata dengan Rose—tanda bahwa Yoongi siap untuk marah.


Rose meneguk salivanya sendiri, jelas tak mau membantah perkataan Yoongi, tapi juga tak tega membuang box milik Seungwan itu. "Boss—kau tidak boleh melakukan itu."


"Melakukan apa???" tanya Yoongi mendelik.


"Mem—membuang makanan yang sudah Wendy buat." Jawab Rose agak terbata.


"Aku tidak membuangnya." Balas Yoongi. "Kau yang akan membuangnya."


Rose mengerenyitkan dahinya, tahu bahwa ia tak akan pernah bisa berdebat dengan bossnya. Ia menggeleng kemudian, memutuskan untuk membantah perintah Yoongi, "Aku tidak bisa." Ucapnya.


Yoongi berdecak, melihat Rose mengembalikan box itu ke mejanya. Mengumpat dalam hati bahwa Seungwan bisa membuat sekretarisnya sendiri membantah perkataannya. Rose mundur perlahan, terlihat ketakutan yang mana membuat Yoongi heran. Rose memilih untuk membantah perkataannya demi Seungwan, padahal Rose ketakutan setengah mati menghadapi Yoongi.


"Boss. Kalau tidak ada lagi yang kauperlukan—"


"Panggilkan Seungwan." putus Yoongi.


"Baik boss." Balas Rose sambil membungkuk rendah dan menghilang dari hadapan Yoongi.


Tidak lebih dari dua menit kemudian, Seungwan telah muncul di hadapan Yoongi. Tampak cantik dan elegan dengan rok pendek, lipstick merah maroon dan stiletto tingginya. Tersenyum cerah mengalahkan sinar matahari yang menyeruak masuk ke ruangan Yoongi.


"Kau memanggilku, Min Yoongi-ssi." Ucap Seungwan, berdiri tiga meter di hadapan Yoongi.


Yoongi belum pernah melihat Seungwan di kantornya dan ia merasa aneh dipanggil oleh Seungwan dengan kata Min di depan namanya. Yoongi melihat Seungwan, rambutnya yang digelung rapi sampai stiletto delapan centimeternya. Senyumnya yang berbeda seratus delapan puluh derajat, bukan ceria dan kekanak-kanakan, tetapi anggun dan menawan. Rok hitamnya yang diatas lutut, blouse peachnya yang membentuk lekuk tubuh Seungwan dengan sangat sempurna. Pundaknya yang mungil, namun berpostur tegak, percaya diri. Hanya dengan melihat penampilan Seungwan, Yoongi tahu Seungwan punya karisma luar biasa di belakang meja kerja. Yoongi mengerenyit di luar kesadarannya, tak menyukai apa yang sedang dipikirkan otaknya.


"Seungwan." Kata Yoongi akhirnya bicara.


"Tolong panggil saya Wendy." Kata Seungwan memunculkan senyum irit khasnya. "Panggil saya Wendy ketika di kantor, Min Yoongi-ssi."


Yoongi tersenyum miring, "Tapi kau membawa masalah pribadimu ke ruanganku ini, Seungwan."


Seungwan mengangkat satu alisnya, "Ne?"


"Bisa kau ambil box diatas meja itu?" tanya Yoongi, kentara sekali menghalus-haluskan suaranya sendiri, Yoongi menyimpan tenaga untuk meledak setelah ini.


Seungwan dengan percaya diri mendekati meja pendek dengan beberapa sofa di samping meja kerja. Ia kemudian mengenali box itu, senyumnya otomatis sirna. Bahunya melorot, kepercayaan dirinya menghilang.


Ketika Seungwan kembali ke tempatnya, ia melihat Yoongi sudah duduk bersandar di mejanya, melonggarkan dasi sembari melihat kearah Seungwan seperti seekor karnivora mengintai rusa. Seungwan berdehem, menghilangkan gugupnya, ia melihat takut-takut kearah Yoongi.


"Siapa yang membawa box itu ke ruanganku?" tanya Yoongi dengan santai, mengambil sebatang rokok di kantong jasnya, kemudian menyalakan pematik.


"Rose." Jawab Seungwan, menunduk.


"Siapa yang membuat bulgogi itu?" tanya Yoongi lagi, kali ini benar-benar memperhatikan reaksi dan jawaban Seungwan. Menguji apakah seungwan berbohong atau tidak.


"Sa—Son Seungwan yang membuatnya." Kata Seungwan terbata, menggigit bawah bibirnya diakhir kalimatnya, Seungwan memejamkan matanya erat-erat.


Yoongi tersenyum miring, merasa puas entah untuk alasan apa. "Kau pikir kau bisa menipuku?"


"Aku tidak menipumu..." Seungwan semakin menundukkan kepalanya. Aura kemarahan Yoongi memancar dari tempatnya berdiri bahkan ketika Seungwan memejamkan mata.


Yoongi tertawa mengejak, yang mana membuat bulu kuduk Seungwan meremang.


"Dimana kau mendapatkan box yang sama persis seperti box milik ibuku?" tanya Yoongi dengan geraman rendah.


Seungwan meneguk salivanya, keringat dingin mencucur dari pelipisnya, ia tak tahu harus menjawab apa. Seungwan memang berusaha mengelabuhi Yoongi.


"Dari mana kau mendapatkan box yang sama persis seperti box milik ibuku—apakah aku bahkan harus bertanya dua kali, hmm? Son Seungwan?" tanya Yoongi menyipitkan mata.


"Ak—aku bertanya—pada Seok—Seokjin oppa..." jawab Seungwan dengan lirih.


Yoongi menampakkan senyum miringnya. Jelas harus memberi Seungwan pelajaran. Walau ia tahu Seungwan tak pernah jera, setidaknya Seungwan bisa belajar, bahwa Yoongi berkepala batu dan berhati sedingin es, tak akan pernah mencair bahkan jika itu di neraka.


Yoongi kemudian berjalan santai kearah Seungwan, menikmati bagaimana istrinya itu berdiri ketakutan sembari memejamkan mata. Yoongi mendekatkan wajahnya ke telinga Seungwan, sangat dekat sampai Yoongi bisa mencium aroma apel dari tubuh Seungwan, kemudian Yoongi berbisik rendah, "Aku harus menumpahkan bulgogi ini ke atas kepalamu atau kau mau buang bulgogi ini ke tempat sampah?"


Seungwan melakukan pilihan yang kedua. Dipikirnya ia bisa segera kembali ke ruangannya dan menyelesaikan pekerjaan tanpa harus berlama-lama di kamar mandi untuk membersihkan diri dari bau bulgogi. Nyatanya setengah jam kemudian, Seungwan masih juga berdiam diri di kamar mandi, untuk menangis sesenggukan disana.

.

.

.

Karena pekerjaan yang tidak ada habisnya, Yoongi baru bisa pulang ke apartemennya dua hari kemudian. Dia langsung ambruk ke Kasur begitu menginjakkan kaki di kamar. Tanpa sempat mandi maupun mengganti pakaiannya. Jam baru menunjukkan pukul delapan malam dan Yoongi biasanya bisa tertidur sampai delapan belas jam penuh jika sudah menghabiskan waktu lembur di kantor.


Tapi malam ini berbeda. Mimpi buruk mengusik tidurnya dan ia merasakan ketidaknyamanan yang Yoongi tak tahu berasal dari mana. Yoongi terbangun pada pukul dua dini hari malam itu.


Yoongi membuka matanya. Menyadari kalau ia baru saja bermimpi. Keambisiusannya untuk mendapatkan sponsor dari Jepang yang sudah ia susun sejak dua bulan belakangan ini menguras isi otaknya. Pertemuan itu akan terjadi pada beberapa hari ke depan dan itu tampaknya mempengaruhi tingkat stress Yoongi. Yoongi baru saja bermimpi Nakamoto Yuta, salah seorang penting untuk rapat besok, berangkat ke Korea dan pesawat yang ia tumpangi jatuh. Aneh memang. Hanya mimpi. Yoongi mengingatkan dirinya sendiri. Hanya mimpi.


Yoongi mengusap wajahnya dengan satu tangan kirinya, ia hendak bangun untuk minum ketika disadarinya tangannya yang kanan kini tersangkut sesuatu. Yoongi kemudian menoleh, mendapati Seungwan sedang menggenggam erat—sangat-erat—tangan kanan Yoongi di dadanya. Seungwan menggenggam tangan Yoongi. Diulangi. Seungwan menggenggam tangan Yoongi. Seungwan menggenggam tangan Yoongi.


Yoongi otomatis menghembuskan nafasnya, berusaha berpikir positif, ia mengusap matanya lagi, mengonfirmasi bahwa Seungwan memang sedang menggenggam tangan kanannya. Dan itu memang benar. Seungwan tampaknya tertidur meringkuk di dekat Yoongi, kakinya tertekuk ke dalam—seperti janin, kedua tangannya memegang telapak tangan Yoongi dengan erat. Yoongi menghembuskan nafas untuk kedua kalinya—berusaha menetralisir emosinya yang tiba-tiba naik. Ia mengurut pangkal hidungnya—belum melepas genggaman tangan Seungwan, kemudian ia menyadari bahwa kemeja kerjanya telah terganti dengan piyama tidur yang nyaman. Kaus kaki dan sepatunya telah terlepas. Jam tangan juga sudah tidak melingkar di pergelangan tangannya. Untuk ketiga kalinya Yoongi menghembuskan nafasnya.


Migrain mendera kepalanya.


Yoongi berdecak. Ia menarik tangan kanannya dengan paksa, membuat Seungwan tersentak kaget dan terbangun. Seungwan mengusap matanya, masih mengantuk ia melihat ke sekitarnya, kemudian matanya menangkap wajah Yoongi yang sedang menatapnya dengan tajam. Kedua mata Seungwan otomatis melebar.


"Apa yang kau lakukan?" tanya Yoongi berdesis, mengurut tangan kanannya yang terasa kaku karena ulah Seungwan.


"Aku...aku..." Seungwan berkedip dengan gugup. Ia berdehem kemudian berkata, "Apa kau tahu kalau tadi baru saja hujan deras sekali?"


Yoongi bisa melihat bekas-bekas air hujan di jendela kaca kamar mereka, tapi ia tak peduli. "Itu bahkan tidak menjawan pertanyaanku." Balas Yoongi.


"Ah, eung—itu... aku—aku tidak bisa—" Seungwan terbata, "aku takut pada petir dan— aku tidak bisa tidur maka—"


"Bukankah sudah kuperingatkan padamu kalau jangan pernah berani untuk menyentuhku lagi? Dan kau bahkan menggantikanku piyama."


"Aku—aku maafkan aku. Aku sangat takut tadi jadi—" Seungwan tergagap lagi.


Yoongi menatap Seungwan dengan tajam, memperhatikan bagaimana Seungwan ketakutan menjawab pertanyaannya. Yoongi tahu Seungwan sudah berkali-kali ketakutan menghadapinya, berkali-kali menangis karena ulah Yoongi. Tetapi satu hal yang Yoongi belum mengerti adalah, mengapa Seungwan tidak pernah jera? Tidak pernah menyerah?


"Apa ini juga bagian dari misi bodohmu untuk menjadi istri yang baik?" tanya Yoongi—ide ini muncul begitu saja.


Seungwan berkedip, tampak ingin mengiyakan, tapi ia berkata, "Tidak—sebenarnya aku tidak terobsesi lagi untuk jadi istri yang baik untukmu."


"Wow. Great." Balas Yoongi sarkas. Ia tidak merasa lega sama sekali, justru semakin was-was. "Lalu apa yang kau lakukan?"


"Tidak ada..." jawab Seungwan. "Aku hanya ketakutan dan—"


Decakan Yoongi menghentikan perkataan Seungwan. "Aku tidak peduli—Son Seungwan. Aku tak peduli kau takut pada apa. Kau takut pada petir? Aku akan berdoa supaya setiap hari ada petir." Kata Yoongi pedas, masih mendelik. "Kenapa kau tak pernah jera? Kau memasak, menyiapkan semuanya, bertingkah konyol di kantor, menghubungiku ketika aku tidak pulang. Apa kau tahu kalau semua itu menggangguku? Kau bilang kau sudah tidak terobsesi pada misi bodohmu itu—jadi itu berarti kau harus berhenti bertingkah aneh-aneh, bukankah begitu?"


Seungwan menggigit bawah bibirnya. Ini pertama kalinya Yoongi bicara sebanyak ini pada Seungwan. Sejujurnya Seungwan juga tak tahu mengapa ia masih melakukan itu semua walaupun Yoongi sudah banyak menyakitinya. Seungwan tak tahu. Satu hal pasti yang Seungwan tahu adaah karena Seungwan mencintai Yoongi. Sangat. "Statusku masih merupakan istrimu, Yoongi, jadi aku—"


"Son..." Potong Yoongi melihat kearah lain. "Itu benar? yang tertulis di ponselmu itu?" Yoongi menunjuk ponsel Seungwan yang baru saja menyala—sialnya, menampakkan app sticky note yang berisikan; 'Misi Seungwan yang baru: membuat Yoongi jatuh cinta pada Seungwan.'


Seungwan menutup mulutnya sendiri, bodoh. Ia mematikan ponselnya, kemudian melihat Yoongi terdiam tanpa ekspresi di wajahnya. Yoongi jelas melihat tulisan bodoh itu.


Yoongi tak bisa berkomentar apa-apa. Ia menunduk kemudian mengurut pangkal hidungnya lagi, mencerna semuanya. Mengapa Seungwan tidak lagi terobsesi untuk menjadi istri yang baik bagi Yoongi? Mengapa Seungwan masih gigih meakukan ini itu yang bahkan Yoongi tolak? Itu karena Seungwan punya misi lain yang lebih bodoh dari sebelumnya.


Yoongi sangat pusing akan kegigihan Seungwan yang sungguh merepotkannya. Dan membayangkan bahwa ia harus bertahan dengan ini semua selama ia masih terus bersama Seungwan membuatnya ingin semakin memukulkan kepalanya sendiri ke dinding.


Terlalu marah untuk marah, Yoongi kemudian bergeser dalam diam, berniat menenangkan diri dan pindah ke kamar sebelah.


"Tunggu—" Seungwan mencegahnya, melihat Yoongi dengan mata yang sudah berkaca-kaca, "—aku saja yang pindah." Ucap Seungwan kemudian.


Seungwan kemudian beranjak, membawa sebuah bantal serta ponselnya, menghilang di balik pintu kamar.


Sementara itu Yoongi masih terduduk—mengurut pangkal hidungnya, tangannya yang lain menelusuri nakas dan mengambil ponselnya. Ia merasa keputusan yang ada di kepalanya sangat tepat dan ia yakin ia tidak akan pernah menyesal. Yoongi lalu mencari sebuah kontak, kemudian menelponnya.


"Kyungsoo-ah, tolong siapkan suratnya. Akan kuurus berkasnya besok pagi."

.

.

.

Happy 5th anniversary my lovely RED VELVET !!! uhhh!!!! Thankyou for being singer(s) thankyou for being Red Velvet thankyou for being born, the 5 stars that born. I am not crying exactly.

.

.

.

Sengaja banget update pas RV ultah hehe. hope ya'll enjoy this!

Jujur saja fams... tadi waktu ngecek lagi cerita ini aku berpikir kalau ceritanya mulai membosankan. hahaha.

jujur saja fams, ini ngebosenin nggak? narasinya kepanjangan nggak? plotnya kelambatan nggak? ini cerita sebenernya kurang apa? ada yang mau komen kah? ada yang perlu diperbaiki kah? ada yang mau kritikkah???

.

.

terimakasih yang sudah mau nungguin kkkk.

I LOVE YOU unch.

Continue Reading

You'll Also Like

164K 15.6K 38
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
244K 36.7K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
38.1K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
65.6K 5.9K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...