Komet Reunion

By saturnisa

39.2K 6K 4.2K

Their marriage life. 4/17 More

1 - Parents
3 - A Kid
4 - Love Letter(s)
5 - Propose
6 - The Answer

2 - Commitment

6.2K 1.1K 860
By saturnisa

Ramai sekaligus hangat.

Mungkin seharusnya pengelola restoran keluarga di mal tempat beberapa alumni kos-kosan Komet berkumpul malam itu mempersiapkan diri sejak malam sebelumnya dan tidak lupa memberitahu tamu restoran yang lain bahwa akan ada keributan-keributan kecil, suara tawa yang seperti dikeraskan toa, minuman tumpah karena tersenggol dan karaoke dadakan.

Bisa dibilang momen ini adalah pertama kalinya mereka berkumpul lagi di luar acara pernikahan (terakhir pernikahan Rasyid), setelah semuanya menjalani hidup yang baru di luar Komet kecuali krucils, belantara dunia baru setelah lulus kuliah dan bekerja, tanggung jawab baru, dan tentunya status yang baru.

Mereka melarutkan obrolan dan ucapan selamat atas status baru Acid sebagai ayah di antara tegukan minuman mereka, disertai candaan-candaan dan nostalgia. Acid duduk di kursi di tengah meja, bersisian dengan istrinya yang kandungannya sudah semakin besar. Tidak akan ada yang bisa memungkiri sorot mata bahagia yang terpancar dari mata mereka berdua, dan berpasang-pasang mata yang ada di sana, mengelilingi satu meja, dengan masing-masing porsi bahagia.

Rama memangku putri kecilnya yang baru berusia sepuluh bulan bergantian dengan Mala. Namanya Raras Paramastri, dia sudah jadi sasaran cilukba sampai unyel-unyel gemas para wanita seperti Dica, Ayu, Andini dan Adelia, sementara Violet satu-satunya yang melambaikan tangan kaku dengan wajah meringis—yang menurut dia adalah tersenyum—di depan anak Rama. Di antara mereka hanya Rama, Acid, dan Jime yang sudah menikah, Jafar sedang persiapan, Wawan dan Satrio juga persiapan, persiapan main Fortnite.

"Emang dasar lo Pipiyot, makanya anak kecil pada takut sama lo." Ledekan yang tentu saja keluar dari mulut pacar Vio sendiri, dibalas dengan mulus lewat jeweran di kuping.

"Dia gak takut! Tuh liat dia ketawa!" Vio membela diri.

"Oh berarti dia ngetawain lo, katanya 'Apaan sih nih tante-tante.'" Wawan mendadak jadi dubber Dek Raras.

"Liat tuh sekarang dia bengong ngeliatin lo! Pasti dalem hatinya 'Hmmm ini pasti om-om yang pernah bikin kuping ayahanda sakit dulu kayak radio butut.'"

"Sembarangan! Justru gue orang yang berjasa buat ayahnya dia!"

"Hah? Jasa apaan lo? Jasa sedot wc? Apa ngosek?"

Jime memutar bola matanya menghadapi pertengkaran Wawan Vio jilid 1000 itu.

"Udah, udaaah, jangan beranteeem." Rama melerai dengan sabar. "Oh ya, Vi, gue gak dipanggil ayahanda kok, papa biasa aja."

"Oh sorry, Ram. Gue pikir kan karena lo Raden, jadi dipanggilnya ayahanda, adinda, kisanak, APA LO?" Vio sewot melihat Wawan meleletkan lidahnya persis bocah.

"Kalo Wawan dipanggilnya ntar apa Vi, sama anak kalian?" Pertanyaan pancingan Acid dengan segera membuat Wawan dan Vio melotot.

"Sok kageeet, sok speechleeeessss." Satrio dengan segera bergabung dalam komplotan provokator. "Bukannya lo bilang kapan hari tuh pengen dipanggil Daddy sama anak lo ntar? Berarti lo dipanggil Mommy ya, Nik?"

Wajah Wawan dan Vio sudah semerah jambu air sekarang lalu keduanya bersahut-sahutan mengelak.

"APAAN SIH?"

"KAPAN GUE NGOMONG GITU?"

"Lho emang kenapa sih? Masa iya lo berdua gak ada rencana ke arah sana?" Jime ikut nimbrung, sekalian kepo.

"Tau, udah semua kan base-nya?? Mana homerun-nya doooong, penonton tribun depan menanti-nanti neeeeh." Acid semakin menjadi-jadi, di sebelahnya Dica menautkan alis heran.

"Base apa sih, Mas?" Tanyanya.

Vio ikut menganga, "LO BERDUA NGAJARIN APAAN AJA SIH KE DIA??"

Wawan berubah salah tingkah meski wajahnya masih seperti tengah berada persis di depan perapian. Acid dan Satrio terbahak.

"Lo harusnya makasih sama kita, Nik. Kalo nggak, sampe sekarang gak ada kemajuan."

Ayu di samping Satrio mengembuskan napas menyadari base apa yang sedang dibicarakan, "Jail banget kamu."

"Hehehe emang harus gitu, Beb. Ini tuh aku ngebantuin mereka tauuuk."

"Lo jangan gampang kemakan omongan orang kenapa sih! Pantes lo bikin kaget gue!" Vio berbalik ngomel-ngomel pada Wawan sementara yang lain menahan tawa karena secara tidak langsung pasangan itu memberitahu pada semuanya kalau hubungan mereka memang sudah 'maju' dan tidak melulu bertengkar.

"Apaan sih lo? Kok jadi ngomel ke gue??"

"Tuh liat Dek Raras, Wan, lucu bangeeet. Masa lo gak pengen punya satu?" Si kompor Acid masih belum selesai dengan agendanya.

"Heh, dikira ngurus anak segampang ngurus tamagotchinya dia!" Wawan menunjuk kalung tamagotchi Vio tanpa memandang wajah pacarnya, "kalo lo sama Rama ya iya udah siap. Kalo gue kan—"

"Berarti kalo udah siap, mau ya?" Kali ini Rama yang menggoda.

"Eaaaaa, tuh Vi, si akang mempersiapkan diri dulu."

"Ngelamar dulu ajalah, Wan, beli cincin. Ngasihnya yang bener, jangan cincin Saturnus lo kasih, kegedean anjir."

"Setaaaan!"

Rama refleks menutup kedua kuping Raras dan Acid menutup kedua sisi perut Dica.

"Eh, eh, bayangin deh Wawan punya anak. Ntar anaknya fotokopian dia." Satrio mengomando khayalan yang lain, tawanya menyembur sebelum lanjut membayangkan anak Wawan, "kalo hujan bukannya pake payung malah pake kresek di kepala HAHAHAHA."

"Terus ama bapaknya diwarisin celana legend."

"Kasian ntar orang sekompleks harus bantuin nyopotin."

"Terus pas naksir cewek gengsinya gede."

"Anjir iya banget."

"Mau bilang 'Kamu cantik' malah 'Kamu can...tengan."

"HAHAHAHAHHAHAHA."

"Bener gak, Vi? Wawan pernah gak bilang lo cantik?"

"WOY LO SEMUA B—" Wawan menggigit bibir menyadari ada bayi mungil di pangkuan Rama yang seharusnya memakai earmuffs saja supaya tidak mendengar umpatannya.

"Amit-amit, amit-amit." Vio menghela napas seraya mengelus perutnya, membuat Wawan mendelik.

"Ngapain lo ngelus perut segala??"

"Dih kenapa lo sewot???"

"Tanda-tandaaa, ada kunyit mini sebentar lagiii~" Satrio mencondongkan badannya menyebrangi meja hanya untuk toss-tossan dengan Acid.

"Yo, udahlah jangan ngeledekin mereka terus. Kasian." Kata Ayu pelan seraya menarik ujung jaket pacarnya yang biasa ia panggil Iyo.

Sejenak yang lain mengerjap-ngerjap mendengar perempuan mungil itu bersuara lembut, apalagi saat Satrio manut meski masih cengengesan.

"Nah kalian jugaaa niiih, kapaaaan?!" Wawan serasa dapat celah meledek balik Satrio.

"Kapan, Beb?" Satrio mengoper pertanyaan pada Ayumi, dengan santai ia mencomot dimsum dan mengunyahnya bulat-bulat, membuat pipinya yang sudah kembung semakin terlihat kembung.

Ayumi tidak menjawab, sebaliknya ia menatap Satrio yang cuek makan dengan tatapan ganjil.

"Iya, lo kan berisik Intro Akad mulu, Sat. Ayolah, masa intro terus dari dulu? Kapan masuk reffnya?" Timpal Jime.

Satrio hanya ngikik di sela kunyahan dimsumnya, "Eh, Cid. Anak lo perkiraan lahirnya kapan?"

"Ooooo pengalihan isuuuu." Jime mencibir, ia menangkap bahu terangkat Ayu sebelum gadis itu melanjutkan makan dengan cuek seperti Satrio.

"Kalo menurut perhitungan dokter sih dua minggu lagi, tapi bisa juga minggu ini. Eh kamu gak pengen ngelahirin sekarang kan, Ca?"

"Nggak." Dica menjawab kalem.

"Kirain. Soalnya hospital bag udah selalu aku siapin di mobil."

"Bentar lagi ya, Ca, gimana rasanya? Deg-degan ya?" Ayumi melontarkan pertanyaan.

"Gak terlalu sih, malah dia nih yang sering panik sendiri," Dica menunjuk pipi Acid. "aku susah bangun aja dikiranya udah mau lahiran, malah disuruh ngeden."

"Serius, Ca? Hahah kocak."

"Pernah juga aku bangunin malem-malem minta bantuin jalan ke kamar mandi, dia bangunnya loncat, terus ngambil konci mobil, mau bawa aku ke RS."

"Itu namanya aku siaga, Caaaa."

Yang lainnya tertawa.

"Maklumlah, nervous banget nih gue mau ketemu anak gue." Acid lalu menunjuk Rama dengan dagunya, "Tuh Raden juga panik kan pas Raras lahiiir??? Ke rumah sakit cuma pake kolor??"

Jafar menunduk menyembunyikan tawa membayangkan momen yang diceritakan Mala waktu persalinan heboh tengah malam itu terjadi.

"Gila ya, Raden aja begitu apalagi lo, Cid, ntar?"

"Perlu dukungan dari kita gak? Misalnya jasa nyetirin gitu ntar?" Tawar Satrio, padahal dia gak bisa nyetir.

"Atau ngasih lo dukungan moral selama proses lahiran istri lo."

"Gak usah hehehehe. Gue bakal di dalem kok, nemenin dia." Acid berkata sok tegar, padahal lututnya sudah lemas membayangkannya.

"Bisa lo? Jangan freak out ya."

"BISALAH HAHAHAHA. Lo lupa gue pernah ada pengalaman?"

"Lah kapan?"

"Itu lho yang prosesi ngelepas celana Wawan. Kan gue kayak bidan waktu itu, tarik napas, buang napas, terus, terus..."

Wawan sudah ancang-ancang melempar kotak tisu tapi segan karena di sebelah sobat brengskinya ada istrinya, sedang hamil pula.

"Ih seneng deeeh, sebentar lagi Raras ada temennyaaa." Cetus Mala riang.

"Nah itu dia, jodohin ya sama Raras?" Acid terkekeh.

"Belom lahir aja udah lo ikutin bursa perjodohan." Jime berdecak sementara para cewek mengobrol seru dengan Dica.

"Rencananya lahiran normal apa caesar, Ca?" Ayu kembali bertanya, mengabaikan Satrio yang meliriknya diam-diam, memikirkan sesuatu.

Hanya Violet yang dengan polosnya bertanya, "Hamil tuh berat gak sih, Ca?"

"Beratlah!" Wawan yang menjawab kesal.

"Oh pernah ya lo? Hamil apaan? Bakso?"

"Lo tuh! Hamil burger Mcd!"

Dan pertengkaran mereka masih terus berlanjut.

*

"Gak kerasa udah jam segini lagi aja." Gumam Satrio saat ia dan Ayumi melangkah di parkiran motor setelah berpisah dengan Wawan yang memarkir motor cukup jauh dari motor Satrio. "Emang paling-paling dah kalo udah kumpul sama anak Komet tuh, bisa ampe mal tutup. Apalagi kalo tadi ada adek andelan aku, si Oevank hahahaha. Aku lebih lupa waktu deh kayaknya."

Ayumi berjalan sambil menunduk seperti melamun menatap jalanan yang ia injak, setengah mendengarkan ocehan Satrio.

"Mulut aku asem juga dari tadi gak ngerokok, sobat ngerokok aku udah tobat, ada anak juga." Ucapan Satrio serta merta membuat Ayu mengangkat wajahnya, tepat saat mereka tiba di motor gede Satrio diparkir.

Melihat sorot mata Ayu yang aneh, Satrio buru-buru menambahkan, "Gak sekarang kok maksud aku. Nanti pas udah nganterin kamu."

"Kamu bakal kayak gini terus, Yo?"

"Eh?" Satrio tertegun mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Ayu, ditambah air muka gadis itu yang tanpa senyum. "Maksud kamu ngerokoknya? Aku kan udah bilang, aku coba stop pelan-pelan tapi gak bisa langsung."

"Bukan soal ngerokok."

"Terus soal apa?" Seketika wajah Satrio menjadi serius, sisa tawanya lenyap begitu saja.

Bahu Ayu terkulai saat ia menunduk lagi, memejamkan mata, memikirkan cara menyampaikan isi hatinya saat ini pada Satrio.

"Ayu." Panggil Satrio pelan, bertanya-tanya.

"Kamu gak liat temen-temen kamu satu-satu udah punya rencana hidup mereka ke depan, jadi suami, jadi ayah, apa kamu gak punya rencana juga? Emangnya kamu bakal terus kayak gini?"

Rentetan kata itu seperti getaran yang menciptakan gelombang di kolam yang tenang. Satrio mengerjap beberapa kali, tidak menyangka akan mendengar Ayumi yang begitu terus terang, dan juga tidak menyangka kalau Ayumi memikirkan itu.

"Kamu kepikiran karena pertanyaan mereka tadi soal kita? Ya ampun, Yu, masa sih kita mau ikutin kata orang?"

"Bukan cuma kata orang." Balas Ayu, suaranya mulai lirih, tapi wajahnya tetap terlihat tegas, sangat kontras dengan perawakannya yang mungil. Satrio lupa bahwa ia pertama jatuh cinta pada Ayumi pun karena ketegasannya. "Aku ngikutin kata aku juga."

"Kata kamu? Maksud kamu?"

"Aku juga pengen punya rencana."

"Yu, kamu emang punya rencana, aku juga punya rencana. Aku tuh gak diem-diem sama ketawa-ketawa doang kok."

"Iya, rencana kamu, tapi bukan rencana kita."

Hening, apalagi hanya ada sedikit motor yang masih diparkir, mungkin pengunjung bioskop midnight.

Satrio diam, tangannya yang berada di dalam saku celana terkepal tanpa ia sadari. Ia tahu rencana apa yang ingin diutarakan Ayu karena meski selama ini di antara mereka tidak pernah ada yang membahas topik ini lebih dulu, Satrio berkali-kali merasa sebenarnya Ayu memikirkannya.

"Kamu udah terlalu santai, Yo. Ngerasa nyaman sama hidup yang bangun tidur, kerja, makan, pacaran, main game, tidur. Kamu lupa kalo kamu gak bisa terus-terusan gitu.

"Kalo kamu tanya aku, apa aku iri liat temen-temen aku yang lain satu-satu bridal shower, nikahan, punya anak, jawabannya iya, Yo. Aku iri. Aku juga capek pura-pura budeg setiap kali acara keluarga terus semuanya nanya-nanya aku kapan nikah aku kapan anu kapan ini kapan itu."

Satrio merasakan pedih yang terselip di tiap jeda ucapan Ayu dan itu meremas hatinya.

Ayu mendenguskan tawa sarkastik, "Kesannya aku ngebet banget pengen kamu lamar ya? Padahal aku cuma pengen tau, seenggaknya kamu ngomong aja, ke depannya kita mau kayak gimana. Seenggaknya aku tau kalo kamu serius."

Sesaat di antara mereka tidak ada yang bersuara, tapi tatapan Ayumi masih terpusat pada mata Satrio yang menghindarinya.

"Tujuan nikah sebenernya apa sih, Yu?" Tanya Satrio, berusaha seringan mungkin.

"Buat bahagia." Sahut Ayumi.

"Emangnya harus lewat nikah ya?" Tanya Satrio pelan namun menyentak. "Harus lewat nikah buat bahagia?"

Ayu menggigit bibir, menahan emosi yang sudah meledak di dadanya, "Menurut kamu mungkin nggak, menurut banyak orang juga nggak, tapi buat aku iya. Aku pengen punya keluarga. Buat bahagia."

Dia paham apa yang dikatakannya, seklise apapun kedengarannya, meski sekarang pernikahan terasa seperti romantisme yang kadang lebih banyak menjual mimpi dan tidak pernah mudah, tapi ini keinginannya.

Mata Satrio akhirnya membalas mata Ayu, tapi dengan sorot yang luar biasa sedih, "Sama kayak kamu nganggep nikah bikin bahagia, aku nganggep gak nikah bikin bahagia."

Kaki Ayu terasa goyah, angin malam yang sebenarnya tidak terlalu berembus seketika menggigit dan menusuk kulitnya dengan dingin yang ganjil. Ia diingatkan bahwa sebenarnya dirinya dan Satrio sama-sama menjalankan dan mengusahakan apa yang membuat mereka bahagia, di jalan yang berbeda, dan bukan salah keduanya.

"Berarti bahagia kita beda," ujar Ayumi getir, "percuma diterusin."

Dengan hati hancur, Satrio mencoba meraih lengan Ayumi, tapi Ayu menepisnya.

"Aku pulang sendiri." Katanya menahan air mata. Sebelum Satrio sempat mencegah, ia berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan Satrio.

"Yu, kamu naik apa?"

"Taksi." Jawab Ayumi dingin, sebelum mempercepat langkahnya ke luar area parkiran.

Satrio menatap perempuan itu menjauh, tidak mampu mengejar. Ia mendongakkan kepalanya ke langit malam, merasakan urgensi untuk berteriak sekencang-kencangnya.

Di dalam taksi, Ayumi menahan dirinya untuk menyandarkan kepala dan menempelkan pelipisnya ke kaca jendela, tapi ia memandangi trotoar dan lampu-lampu jalan dengan airmata sebagai perantara di antara retinanya.

Ada banyak pertanyaan orang-orang yang melekat erat di kepalanya seperti: 'Yuuuu, kapan nih gantian ngundaaang?'

'Eh cowok lo kerja apa, Yu? Udah mulai nyicil rumah masa depan beloooom?'

'Bukannya gimana-gimana Yu, mama cuma ngingetin aja karena mama sama papa belum tenang kalo kamu belum ketemu laki-laki yang baik, yang bisa bimbing kamu.'

Pertanyaan dan perkataan Satrio terus memenuhi benaknya, seolah menegaskan bahwa memang tidak pernah ada jalan tengah bagi dua orang yang sudah berbeda jalan angan.

Ayumi tidak ingin berjalan di belakang Satrio sebagai pengikut, ia juga tidak ingin berjalan di depan Satrio sebagai pemimpin, ia ingin berjalan di samping Satrio, beriringan.

Sayangnya, baik ia dan Satrio ternyata sama-sama memilih melepas genggaman tangan masing-masing dan berjalan berjauhan, dengan arah yang juga berlawanan.

*

Hari Minggu sore, motor Satrio terparkir di sisi jalan di depan warung makan. Bukannya langsung pulang, ia sengaja berjalan-jalan menyusuri jalanan dekat pemukiman itu.

Tersenyum melihat seekor kucing dan tiga anaknya di dekat saung pangkalan ojek yang kosong.

"Hai, Meng." Sapa Satrio seraya berjongkok di pinggir jalan, menarik ranselnya ke depan dan mengeluarkan kotak makan ukuran lumayan besar. Isinya makanan kucing yang dari jauh terlihat seperti sereal tanpa susu.

"Nih nih, met makaaan." Ia menaruh segenggam demi segenggam makanan kucing itu di empat titik supaya empat kucing itu tidak berebutan. Sambil menyaksikan mereka makan dengan lahap, Satrio mengelus punggung kucing kecil yang berada paling dekat dengannya. "Sorry ya, Meng, hari ini datengnya sendiri."

Sudah seminggu lebih Satrio tidak berkomunikasi dengan Ayumi, berkali-kali ia mencoba mengirim pesan tapi tidak pernah ada yang dibaca apalagi dibalas dan Satrio tidak menyalahkannya. Bukan salah Ayumi, karena Satrio memang mengecewakannya, tapi bukan juga salah Satrio karena keinginannya berbeda dengan keinginan Ayumi.

Sebenarnya Satrio benci menghadapi situasi seperti ini, di mana dia sadar kalau tidak ada yang salah dan benar tapi pada akhirnya mereka tidak ada yang mengusahakan satu sama lain.

Tidak ada kejelasan apa-apa.

Mungkin keduanya sama-sama berhenti berusaha mengerti.

Atau mungkin Ayumi butuh waktu, Satrio harap begitu.

Tangan Satrio tetap mengelus bulu si kucing, diam-diam mengulang pembicaraannya dengan Ayumi malam itu, yang dengan sekejap menjatuhkan harapan-harapan mereka.

Satrio tidak bisa bilang malam itu maupun setelahnya, alasan dia memilih untuk menghindar dari topik pernikahan selama ini, alasan dia bertahan di zona yang ia ciptakan sendiri sampai lupa kalau ada yang menunggunya keluar dan bergerak.

Satrio tidak bisa bilang kalau faktor utama kenapa ia tidak berani berkomitmen atau menjanjikan apa-apa karena ia mengingat mamanya dan apa saja yang ia alami bersama mamanya sejak ia kecil.

Pandangannya mengabur sejenak saat ia berbisik pelan, "Gue gak bakal kayak papa kan, Meng? Gue anaknya, tapi gue bukan dia kan?"

Kucing yang ia ajak bicara tidak berhenti makan tapi daun telinganya bergerak-gerak seperti mendengarkan, seolah memahami trauma Satrio, yang menyebabkan Satrio terlalu takut untuk memulai sesuatu bernama pernikahan. Suatu konsep yang sudah ia anggap skeptis sejak ia tahu kalau konsep itu memakan korban yaitu dirinya sendiri.

Konsep yang tidak pernah sesederhana maupun seindah kedengarannya.

Konsep tanggung jawab yang sering diingkari.

Konsep yang membuatnya berpikir jauh lebih mudah mengurus kucing.

Satrio mengelap dahinya sebagai kamuflase menyeka air mata menggunakan lengan hoodienya. Sebelum kucing-kucing di depannya menghabiskan makanan yang ia berikan, ia mengeluarkan hpnya, mengambil gambar mereka.

Berpikir belasan kali sebelum membuka chatroom ia dan Ayu, meski chat sebelumnya tidak ada yang Ayu baca, Satrio tetap mengirimkan gambar kucing itu.

'Ay, anak bulu pada kangen.'

Satrio membenamkan wajahnya di antara lengan dan lututnya setelah mengirim pesan itu. Terasa getar notifikasi masuk, secepat kilat ia membukanya, mengira itu Ayumi yang membalas.

Ternyata bukan, notifikasi itu dari Bagas Arrizqi.

'ANAKNYA ARENG BATOK LAHIR!!!!!!!'

*

a/n:

muehehehe guys, gimana seriesnya setelah dua chapter?

membuat antusias dan menanti kelanjutannya gaaaak?

oh ya buat yang nanyain krucils, meski mereka bukan tokoh utama di sini tapi bakal tetep disinggung dikit-dikit kok ceritanya dan masa depannya :D

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 91.8K 46
|๐‘๐จ๐ฌ๐ž๐ฌ ๐š๐ง๐ ๐‚๐ข๐ ๐š๐ซ๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ฌ - ๐ˆ| She was someone who likes to be in her shell and He was someone who likes to break all the shells. "Jun...
797K 8K 67
๐ข๐ง๐œ๐ฅ๐ฎ๐๐ž๐ฌ ๐š๐ฅ๐ฅ ๐จ๐Ÿ ๐ญ๐ก๐ž ๐›๐จ๐ฒ๐ฌ โœฆ . ใ€€โบ ใ€€ . โœฆ . ใ€€โบ ใ€€ . โœฆ don't forget to vote, share and comment. ๐Ÿค
974K 30.3K 61
Dans un monde oรน le chaos et la violence รฉtaient maitre, ne laissant place ร  ne serrait ce qu'un soupรงon d'humanitรฉ. Plume รฉtait l'exception. Elle...
184K 6.9K 55
แ€›แ€ญแ€•แ€บแ€แ€ปแ€ฑ แ€€แ€ญแ€ฏแ€€แ€ผแ€ฎแ€ธแ€€แ€ญแ€ฏแ€แ€ปแ€…แ€บแ€แ€šแ€บ แ‹ แ€€แ€ญแ€ฏแ€€แ€ผแ€ฎแ€ธแ€œแ€Šแ€บแ€ธ แ€›แ€ญแ€•แ€บแ€แ€ปแ€ฑแ€€แ€ญแ€ฏแ€แ€ปแ€…แ€บแ€œแ€ฌแ€›แ€„แ€บ แ€–แ€ฝแ€„แ€ทแ€บแ€•แ€ผแ€ฑแ€ฌแ€•แ€ฑแ€ธแ€”แ€ฑแ€ฌแ€บ แ‹ แ€”แ€ฝแ€ฑแ€ฅแ€ฎแ€ธแ€›แ€ญแ€•แ€บแ€แ€ปแ€ฑ ๐Ÿ€ แ€”แ€ฑแ€™แ€แ€”แ€บแ€ธ & แ€”แ€ฝแ€ฑแ€ฅแ€ฎแ€ธแ€›แ€ญแ€•แ€บแ€...