RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

114K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 18 - Sandung

3K 695 87
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 24 Juli 2019 (BAB 18)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

*Bantu temukan typo.

***
Bab 18 - Sandung

***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Astrid Pramesti]

Salah satu perubahan yang paling signifikan antara aku sama Sultan yaitu interaksi biologis kami berdua. Maksudku, kami berdua ini suami-istri. Tapi interaksi biologis yang seharusnya ada seperti ketika kami saling rindu di Turki dulu, itu belum terjadi sejak aku tiba di Praha.

Dulu, saat kami dibentang jarak dan waktu, jika pertemuan itu tiba, akan mudah bagi salah satu di antara kami meniup morse tanda ... ya, itu lah. Bahkan satu ciuman hangat yang barangkali tepat untuk melelehkan bekunya Praha pun tidak ada lagi. Dorongan seks pada laki-laki memang rentan anjlok pada saat dilanda stres dan depresi. Aku pernah membaca buku psikologi seks yang membahas tentang ini. Paling parah pengaruh depresi pada laki-laki bisa seperti efek kebiri temporer. Wal iyadzu billah. Musim dingin pada diri Sultan yang pengaruhnya seperti ini memang beberapa kali pernah terjadi. Terutama di musim ujian tengah atau akhir semester. Atau ketika ada pengerjaan proyek penting. Atau ketika dia memberi isyarat aku tak boleh ganggu saat fokusnya terkunci. Tapi kali ini aku khawatir. Dia menghindari interaksi biologis bukan karena itu saja. Melainkan ada semacam kecenderungan traumatik yang menariknya untuk menghindari persentuhan lebih jauh. Setidaknya dia masih tidak keberatan saat aku memberinya kecupan pipi. Aku khawatir.

Kami melewati beberapa hari berikutnya dengan lebih dingin lagi. Bukan cuaca alamnya yang dingin. Tapi cuaca hati kami berdua. Aku sudah memberi pilihan pada Dalilah untuk pulang atau tetap tinggal. Dia memilih opsi kedua karena ini kesempatan baginya untuk sedikit menjelajah Praha selagi sempat.

Sultan memadatkan jadwal risetnya. Yang tadinya satu hari satu narasumber, sekarang dirapatkan jadi tiga narasumber dalam sehari. Aku bingung aja karena dia maksain banget nerabas cuaca dingin seharian penuh. Belum lagi malamnya dia gunakan untuk mengetik, membaca, memeriksa catatan, berselancar di internet, atau semacamnya. Dan pada periode serius itu, aku sama dia nggak banyak bicara panjang. Beda urusannya kalau Sultan lagi jadi mode Ayah ke Fathan. Dia nggak ragu buat gendong Fathan selagi aku nyiapin makanan.

Hari-hari ketat itu berakhir. Aku sudah pesan tiket pesawat dua hari sebelum nurutin apa karepnya Sultan ke Istanbul dulu.

"Kunci rumah disimpan di mana? Kan Mas Wisnu belum balik, Mas," tanyaku saat membantu Sultan mengemas pakaian.

"Nanti kamu tunggu saja sama Dalilah. Sambil kemas barang-barangmu. Aku mau ke rumah keluarga Sergey. Kenalan terdekat Wisnu yang bisa aku titipi kunci."

"Sergey siapa?"

"Adiknya Helga," jawabnya, "Nggak usah mikir yang macam-macam. Cuma nitip kunci. Lagipula kemungkinan besar aku kembali ke Praha sebelum musim dingin berakhir."

Nah, kan, berubah lagi, "Bukannya kamu bilang mau minta dispensasi sidang angkatan sekarang? Kok balik lagi ke Praha?"

Dia tidak langsung menjawab. Menutup ritsleting kopernya, "Kalau memungkinkan."

"Aku nggak suka ya kalau kamu mulai plin-plan gini. Seminggu yang lalu kamu bilang pengin ambil rehat. Aku dukung. Pengin pulang ke Indonesia aku dukung juga. Terus sekarang kenapa tiba-tiba mau balik lagi ke Praha? Kalau niat ambil dispensasi, ya nggak usah mikirin balik lagi ke Praha cepat-cepat. Bisa kan sebelum musim panas?"

"Kamu nggak ngerti," jawabnya singkat.

"Aku nggak ngerti karena kamu diem aja! Masalah yang satu udah mau kuanggap selesai, ini malah kamu yang urusan mau nunda sidang aja jadi ngerepotin kamu sendiri! Plin-plan," aku jengkel.

"Masih bisa kalau aku usahain."

Aku yang sedang melipat baju menghentikan aktivitasnya. "Usahain yang kayak gimana lagi? Kamu udah maksimal. Aku tahu kamu udah di ambang batas kemampuanmu. Nggak usah nekat. Pulanglah dulu. Buat jeda sebentar. Nggak ada yang akan marah kalau pun kamu nggak lulus cepat. Lagian kalau ambil promosi periode selanjutnya itu masih tepat waktu."

"Lagian aku wara-wiri dan makan bukan pakai duit kamu kok. Beasiswa menanggung semua."

Sumpah aku kesel banget denger dia jawabnya gitu. Nggak pikir panjang aku berdiri. Angkat Fathan dari tempat tidur, dan bilang, "Udahlah," aku sudah ancang-ancang hengkang, "Nggak usah balik aja sekalian!"

"Trid!" dia berdiri dengan tatapan lain.

"Apa?!" aku ngotot beneran, "Aku sudah sabar banget nurutin gimana maumu supaya kamu nyaman! Tapi kamu yang kayak nggak bisa ngehargain usahaku buat ada sama kamu. Jadi minggir! Nggak usah halang-halangi. Aku mau balik aja ke Indonesia. Buat apa keras-keras nolongin orang yang nggak mau ditolongin. Buat apa ngasih saran ke orang yang ditutupi telinganya." Sakit banget perasaanku. Jengkel bukan main.

"Aku belum selesai ngomong!"

"Kapan kamu ngomong? Kamu seminggu ini muter-muter sama urusanmu, tanpa ngajak aku ngomong apa-apa. Aku udah usaha banget buat ngertiin kamu. Di sini bukan aku yang nggak ngerti kamu. Tapi justru kamu yang sama sekali nggak bisa ngerti dengan keberadaanku di sini. Sekarang kalau kamu mau coba jelasin entah apa itu, aku udah pusing. Kalau kamu punya alasan yang mau jelasin, udah nggak penting lagi. Itu seharusnya kamu bicarain sebelum-sebelumnya. Bukan sekarang ketika kita mau pulang. Dan nggak usah bahas-bahas soal siapa yang biayain siapa. Kamu merasa bisa hidup dengan beasiswa? Oke. Silakan. Terus aja di sini. Atau mau lanjut ke S4? S5? S10? Ambil aja! Itu bukti kamu cuma mikirin sakitmu sendiri tanpa menengok kedepannya aku sama Fathan gimana," napasku seketika sesak dan berat. Mataku menetes pun udah bukan karena sedih. Murni jengkel.

Sultan nggak jawab sama sekali. Dia malah berdiri di depan pintu kamar bermaksud menghalau. Aku sempat mendorong dadanya supaya minggir. Sambil nangis. Beberapa kali usaha tetap aku nggak bisa. Sampai Fathan terbangun di gendonganku, aku berhenti. Aku sama Sultan beradu tatap tanpa bahasa sedikit pun. Matanya memerah. Berlinang hebat. Aku bisa melihat napas kami beratnya seperti apa.

"AKU BILANG, PULANG, MAS!" aku nekat membentaknya dengan suara retak yang sebenarnya nggak tega sama sekali.

Mata Sultan berkedip seraya berjatuhannya semua air yang dia tahan-tahan. Dia kalau nangis itu jarang ada suaranya.

Karena masih nggak ada jawaban apa-apa. Aku mencoba keluar sekali lagi. Dan kali ini aku malah makin sakit karena dia nggak menahanku lagi. Saking nggak tahannya aku jalan terus sampai ke bawah. Sayangnya setibanya di pintu depan, saat aku membukanya, angin dingin kasar sekali menerpa aku dan Fathan. Di sana lah aku memperjuangkan satu sabar sekali lagi cuma buat Fathan.

Dan rupanya Sultan mengejar. Cepat-cepat dia meraih gagang pintu dan menutupnya. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, begitu saja, dia menyergapku ke dalam lilitan peluknya. "Maaf," bisiknya lirih sekali.

Udah lah ya. Aku nggak tahan banget untuk nggak nangis. Pelukannya tidak terasa nyaman. Mungkin karena aku sedang nggak mengharapkan itu. Aku cuma pengin lihat dia memberanikan diri untuk bersikap tegas dalam pengambilan keputusannya. Kami terduduk di lantai parket sambil masih berpelukan.

"Kita pulang," bisiknya sekali lagi. "Maaf."

Tapi aku masih marah. Dan meskipun pada akhirnya kami jadi pulang. Semuanya menjadi benar-benar berbeda. Apalagi aku sempat bilang, "Lepasin aku aja biar kamu bebas dan nggak punya tanggungan apapun. Lalu masalahmu bisa utuh jadi masalahmu. Dan kamu nggak perlu merasa membebani siapa pun dengan masalahmu itu." Saking tak terkendalinya. Tentu dia menjawab, "Ini bisa diselesaikan tanpa gagasan berpisah." Tapi aku terlanjur sakit yang bener-bener sakit karena sekian lama kita bareng, dia masih dengan beraninya bilang soal 'duitmu'. Seolah aku dan dia bukan satu kesatuan yang bener-bener harus melengkapi satu sama lain. Entah itu terucap karena Sultan sedang sama jengkelnya atau apa. Tapi intinya kalimat itu meluncur dari bibirnya sendiri.

***

Semoga Allah menguatkan yang sedang melemah. Merekatkan apa yang merenggang. Meyakinkan apa yang meragu. Menyatukan yang ingin berpisah.

Continue Reading

You'll Also Like

6.4M 503K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
480K 39.9K 40
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
6.8M 484K 59
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
214K 7.4K 70
Bagaimana perasaan kalian kalau tau dipinang oleh habib tampan yang banyak digandrungi oleh kaum hawa. Senang? sudah pasti. Mari kita ikuti perjalana...