LIMERENCE; hyunjin ft. felix...

amaryleteal tarafından

19.6K 2.2K 681

👑 Semesta mereka masing-masing berputar; Felix dan segala presensinya adalah suatu estetika bagi Hyunjin. At... Daha Fazla

Limerence-00
Limerence-01
Limerence-02
Limerence-03
Limerence-04
Limerence-06
Limerence-07
Limerence-08
Limerence-09

Limerence-05

1.2K 187 72
amaryleteal tarafından

👑 Mentari yang tenggelam menarik tirai malam agar segera berpindah posisi dengannya. Semilir pawana senja berganti hawa beku kala langit lebih menggelap. Sisa-sisa korona baskara senja masih terpancar di batas bumi barat.

Helaan napas Hyunjin menyatu dengan angin yang berlari-lari di ruangan ini. Menembus atsmosfer canggung yang tercipta.

Mereka begitu dekat, sangat dekat. Saking dekatnya membuat Hyunjin ingin memeluk gadis berambut pirang ini. Hyunjin niat menggeram keras-keras dan meneriakkan segalanya. Tapi inginnya tinggal angan begitu aroma Felix amat menginvasi indera pembaunya. Gadis itu masih menunduk juga memalingkan wajah. Ia juga tidak menanggapi apa-apa. Keduanya punya sesuatu yang masing-masing harus sampaikan, Hyunjin menyadarinya. Tapi lelaki itu memutuskan untuk memejamkan mata, menahan.

"Aku tidak bisa pergi."

Itu yang Hyunjin katakan usai menaikkan dagu Felix hanya untuk meneliti wajah gadis itu. Mata keduanya terkunci di suasana remang. Untuk sesaat mereka membeku sembari mendengarkan detak jantung masing-masing. Entah sejak kapan netra Felix yang tajam seolah kehilangan kepercayaan dirinya sendiri, itu yang Hyunjin pikirkan. Mereka masih seindah ametis, tapi redup akan kilaunya.

Rongga dada Felix diketuk keras oleh jantungnya yang memalu. Rasanya hembusan napas Hyunjin begitu familiar, meniup ubun-ubunnya. Ia bahkan merinding dengan hanya mengingat suara rendah yang Hyunjin ciptakan.

"Kenapa?" respon Felix mengudara. Hyunjin belum membalas. Felix menatap lekat lelaki di hadapannya sembari menggigit bibir dengan ragu. Tapi ia dapat menangkap jika tatapan Hyunjin tidak mendefinisikan sesuatu yang berarti. Ia menolak segalanya, menepis tangan Hyunjin yang baru akan menyentuh kulit pipinya. Bagi gadis itu, semua yang terjadi adalah permainan dan dia benci dirinya yang telah kalah.

"Baiklah, menurutmu aku mungkin hanya satu di antara sekian gadis yang pernah mengisi harimu. Kau besar di kota sementara aku harus terkurung di sini selama ini. Kau kakakku tapi kau memperlakukanku dengan cara yang berbeda. Kita lama terpisah, kita harusnya masih menjadi orang asing mengingat kau yang baru kembali ke sini, tapi kenapa kau dengan mudahnya masuk ke dalam duniaku? Aku..." Felix memejamkan matanya resah. "Mungkin bagimu biasa saja, tapi berat untukku menjadi seperti ini. Kau menyentuhku tanpa alasan yang jelas dan itu membuatku merasakan sesuatu, bukan, aku telah merasakannya bahkan sebelum itu terjadi. Dan selama ini akulah yang salah mengartikan segalanya..." gadis itu mengambil napas pendek, menghembuskannya berat, tergugu. "Aku salah dengan terlanjur menilai diriku istimewa untukmu,"

Hyunjin memandangnya tanpa berkedip. Suasana yang temaram membuatnya hanya mengandalkan bantuan lentera yang terpasang pada dinding-dinding ruangan untuk menatap gadis itu. Felix baru saja mengutarakan apa saja yang dirasakannya tapi itu terdengar seperti penjabaran Hyunjin sebagai dalang dari semua dilema yang dia rasakan. Felix harusnya tahu, bahwa bukan hanya dia sendiri yang merasa begitu,

"Kau bicara seolah menyalahkanku untuk segalanya." wicara Hyunjin rendah, namun menusuk. Felix tak mendengarkan dan beralih mundur selangkah. Refleks begitu saja. Hyunjin juga bergestur mengambil langkah maju. Begitu seterusnya, satu langkah mundur Felix dibalas selangkah maju dari Hyunjin. Felix masih mempertahankan raut resahnya serta mata yang menyorot gelisah, dan Hyunjin menerima semua itu. Tatapan yang ia perlihatkan terasa begitu membius.

Sampai di mana akhirnya Felix terpojok karena sisi belakang tubuhnya membentur meja yang sore tadi ia sandari. Definisi lainnya adalah jalan buntu. Belum sempat gadis itu memikirkan tempat berpindah, kedua lengan Hyunjin sudah jatuh duluan di kedua sisi tubuhnya. Menopang bobot tubuh pemuda itu yang agak merendah.

Bunyi hentakan yang berasal dari pertemuan tangan Hyunjin dan permukaan meja di belakang Felix terdengar begitu mengagetkan. Untuk beberapa waktu Felix merasa penglihatannya agak berkunang-kunang. Tapi itu tak bertahan lama ketika suara napas Hyunjin yang terengah sukses menyapa rungunya. Felix terperangkap di antara kedua lengan Hyunjin. Terkurung. Dan jangan lupakan perihal jarak mereka yang bahkan bisa merasakan pertukaran oksigen masing-masing.

"Berhenti menyudutkanku! Kaupikir hanya kau?" Hyunjin berucap dingin, sebelah sudut bibirnya naik. Felix bergetar gamang. "Aku pun selalu bertanya-tanya tentang sensasi asing yang tidak bisa kujelaskan sendiri. Tapi akhirnya aku sadar jika kau itu sumber dari adrenalin mengerikan ini." Hyunjin menatap tajam, memojokkan. "Nah, sekarang apa tanggapanmu? Bagaimana jika aku ingin kau mempertanggung jawabkannya?"

Felix tak menemukan ide perihal arah pembicaraan lelaki itu. Yang ia tahu kini darahnya berdesir lebih cepat di sekujur tubuh. Felix tercekat, dan lututnya terasa amat lemah. "A-apa?"

Felix melayangkan tatapan sengit begitu merasakan sakit di pergelangan tangannya yang digenggam Hyunjin. Gadis itu lupa sejak kapan Hyunjin telah memindahkan posisi mereka. Kini Felix berdiri menempel ke dinding, sebelah tangannya digenggam Hyunjin dan diangkat hingga berada sejengkal di atas puncak kepalanya. Sementara sebelah tangan lelaki itu mengurung kepala Felix di sisi kanan. Pria itu menatapnya dengan netra kelam yang berkilat.

Kepala Felix berputar pening saat mengingat kata-kata Hyunjin beberapa saat yang lalu. Ia menolak untuk merasa terintimidasi, tapi kini figur pemuda itu terlalu menyakitkan untuk dipandang.

Apa hal yang menarik simpati Hyunjin adalah penampakan gadis itu yang tengah meringis kecil. Namun begitu Hyunjin tetap bertahan akan kokoh genggamannya. Sekokoh dirinya. Dua pasang mata mereka bertemu tapi rahang Hyunjin yang menegas adalah pemandangan paling kentara. Ia sadar genggamannya menyakiti Felix tapi ia butuh itu untuk membuktikan bahwa lelaki itu bisa menjadi serius. Ia ingin menjelaskan bahwa apa saja yang telah dipikirkan oleh gadis itu adalah kesalahan, bahwa Hyunjin tidak bergurau dengan apapun, bahwa seorang Felix adalah alasan kegelisahannya. Bagaimana bisa gadis itu menjadi amat egois dengan melimpahkan segalanya kepada Hyunjin? Itu intinya. Penafsiran seolah Hyunjin yang kejam, itu sumber kegeraman lelaki itu.

"Kenapa kau selalu memainkan perasaanku?"

Tanpa Hyunjin sadari sebelumnya, kini lelaki itu mendapati mata adiknya yang berkaca-kaca. Felix menggigit bibir bawahnya kuat, menahan ledakan apapun yang akan ia keluarkan.

Hyunjin muak, memainkan apa?

"Demi Tuhan!" lelaki itu melemparkan tinju pada dinding di samping kepala gadis itu. Debumannya membuat psikis Felix terguncang. Telinganya berdengung, dan Felix nampak menelan kembali gumpalan air matanya yang nyaris terjatuh.

"Kau," Hyunjin membuang napas untuk yang kesekian kalinya. Air mukanya lebih lunak, tapi napasnya memburu. "Kau yang tidak mengerti diriku, Felixia." Hyunjin melepaskan cengkramannya pada tangan Felix, dengan begitu sebelah lengannya jatuh ke sisi tubuh.

Felix mengirimkan tatapan terluka padanya. Tepat terserap dalam pandangan lelaki itu. Secara alami, Hyunjin memajukan wajahnya dengan kecepatan konstan sampai ujung hidung mereka masing-masing nyaris bersentuhan.

"Kau menyakitiku, kak."
Ucapan Felix mencipta nelangsa bagi keduanya. Air matanya berderai, menjalari tulang pipi, berkilau tertembak lampu lentera. Angin masih bertiup masuk lebih dalam melewati balkon yang terbuka. Kata-kata yang terlontar dari rongga mulut Felix terasa menampar sukmanya, melebarkan mata Hyunjin.

Air mata yang menganak sungai di permukaan pipi gadis itu sukses membuat Hyunjin menarik diri. Hyunjin tertegun, sekaligus terpekur bersamaan menatapi gadis itu yang sesekali terisak dengan pipi yang memerah. Ini terlihat seperti merealisasikan soal Hyunjin sebagai antagonisnya di sini. Pemuda itu mendadak merasa pikirannya kosong sementara jiwanya sendiri hampa. Kemudian ia dengan pasti membawa tubuhnya sembari menyipta jarak yang semakin lama semakin lebar.

Hal terakhir yang Felix dengar adalah suara terbantingnya pintu dengan keras setelah langkah terakhir Hyunjin berderap meninggalkan ruangan. Gadis itu masih tergugu, tapi tidak bereaksi apa-apa. Ia membiarkan segala pertahanannya runtuh malam itu, menangis, merosot ke lantai.

Chan terlihat lebih segar hari ini. Itu yang Hyunjin lihat. Sejak menjadi Raja, Chan jarang tampak olehnya. Ia terlalu sibuk di ruangannya dan di ruang tahta, sepertinya. Mungkin pergaulan Chan sekarang hanya sebatas komunikasi bersama para Menteri dan Penasehat Kerajaan. Chan juga pasti lebih sering berkutat dengan dokumen-dokumen kerajaan dan soal-soal wilayah, politik, relasi; segala sesuatu hal yang tidak Hyunjin dalami dengan baik. Tapi...

"Kau kuat, Pangeran Sam." Tebasan pedang Chan nyaris menghempas samping kepalanya.

... Hyunjin tak menyangka jika Chan juga bisa mengayunkan pedang sebaik ini.

"Terima kasih. Kau juga, Baginda."

Hyunjin dapat melihat jika Chan menyeringai tajam, "tapi jangan sangka aku akan mengalah padamu."

Hyunjin memicingkan mata, memblokir pergerakan Chan, mengait pedangnya lalu menghempaskan benda itu ke udara. Chan terpekik dan terjengkang ke belakang. Satu serangan terakhir Hyunjin kerahkan membuat ujung senjatanya tepat berada sejengkal di depan wajah Chan. Mengancam.

Seringai kembali hadir menyambangi wajah lelaki itu, membuat tampang Chan jadi tampak lain. Tapi Hyunjin tak ambil pusing dengan hal itu. Hyunjin baru menurunkan pedangnya ketika Chan menyatakan menyerah secara non verbal. Ia mengangkat tangannya, dan Hyunjin langsung membantunya berdiri.

"Kelihatannya aku terlalu berlebihan. Maaf telah menyulitkanmu, Baginda." Hyunjin membungkuk sedikit kemudian kembali menegakkan tubuhnya.

"Wah. Kenapa aku merasa jika sedang direndahkan begini, ya? Jadi tersinggung." Chan menanggapi main-main. Lalu ia tertawa setelahnya. "Tapi beruntung tadi cuma pedang kayu. Kapan-kapan mau coba pedang sungguhan?"

"Boleh."

Hyunjin menggiring Chan ke kursi panjang di bawah pohon untuk berteduh. Hyunjin duduk di sebelahnya. Hari ini para prajurit perang sedang libur latihan dan banyak yang pulang ke kota untuk menjumpai keluarga mereka. Hal itu membuat lapangan ini terasa semakin luas. Semenjak ia datang kemari, Hyunjin sudah beberapa kali mampir ke tempat ini untuk melihat para prajurit melatih kemampuan mereka. Hyunjin sempat terkenang lapangan di rumah pamannya yang biasa ia gunakan untuk berlatih pedang bersama dulu.

Hari itu cerah, lazuardi membentang berteman kawanan kapas yang berarak tertiup angin. Chan tiba-tiba mengajaknya berlatih pedang ketika mereka tak sengaja bertemu di dekat ruang pengadilan. Hyunjin menebak jika Chan baru saja menyelesaikan masalah kriminal yang biasa terjadi di kota.
Berhubung Hyunjin juga senggang, ia menyanggupi ajakan Chan untuk bertarung di tanah lapang di samping kemah-kemah prajurit.

"Ngomong-ngomong," Chan memecah kebisuan di antara mereka. Hanya dibalas satu lirikan oleh Hyunjin. "Kau sudah menyiapkan sesuatu untuk hadiah ulang tahunku?"

Alis Hyunjin bertaut, baru ingat jika dua hari lagi pesta ulang tahun Raja mereka, Chan, akan digelar. Hanya berjarak dua bulan setelah pelantikannya waktu itu.

"Belum. Aku belum menyiapkannya, Baginda."

Hyunjin dapat mendengar kekehan Chan yang ringan di sampingnya. "Jika hanya ada kita berdua atau bersama Lixia, kau tidak perlu seformal itu padaku, Sam."

Hyunjin hanya menunduk, menjatuhkan pandangannya pada rumput hijau di bawah kaki yang sesekali bergoyang tertiup angin kering nan sejuk. Lebih untuk tercekat mendengar nama Felix daripada mengiyakan wicara Chan. Ngomong-ngomong tentang Felix, mereka sama sekali belum bertemu lagi sejak insiden malam itu. Karena setelahnya ia tak ikut makan malam bersama Chan dan Hyunjin. Esok harinya, Felix meminta izin untuk pindah sementara ke istana Putri yang terletak di belakang istana utama, dengan alasan ingin menenangkan diri. Chan menyanggupi hal itu karena merasa wajar mengingat kadang emosi wanita bisa sangat tidak stabil. Tapi Hyunjin paham melebihi siapapun tentang alasan sebenarnya.

Tentu saja untuk menghindarinya, bukan?

Dalam hati Hyunjin mendesah kecil. Kenapa susah sekali baginya untuk berkata jujur? Felix sudah berada dalam genggamannya waktu itu, dan seenaknya Hyunjin berkata seolah ia hanya iseng melakukan hal tersebut. Felix adalah seorang wanita, tidak peduli sedingin apa karakternya, ia tentu gampang tersakiti. Tidakkah sebenarnya Hyunjin juga merasakan sesuatu?

Sesuatu, yang sama, dengan Felix.

Tapi, memangnya mereka merasakan apa?
Ini baru yang pertama kali bagi mereka, dan itulah intinya. Keduanya sama-sama takut bagaimana jika mereka berdua ternyata hanya salah mengartikan sesuatu?

Malam itu, Hyunjin menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan lebih bercampur. Hatinya lebih berkonflik. Dua hari lagi pesta ulang tahun Chan akan diadakan. Semua tamu pasti hadir, apalagi saudara sendiri. Dan Hyunjin gelisah bagaimana harus menghadapi Felix yang datang nantinya.

Malam itu juga, bayangan Felix saat perayaan kenaikan tahta Chan sukses menghantuinya. Ingatan ketika mereka menari, senyum Felix, percakapan mereka, Hyunjin menolak lupa akan segalanya.

Sinar bulan yang berpijar lembut ikut menembak wajah Felix berperantara kaca jendela. Ia mengadahi langit bertabur konstelasi dengan kerlip lemah mereka. Felix membuang napas kecil, gusar.

Malam itu terasa lebih dingin, lebih kosong. Tapi dirinya mungkin lebih hampa. Tak peduli seberapa sunyi yang menyergap sukmanya, tapi hati Felix lebih menghangat. Keputusannya untuk rehat sejenak dari peredaran istana agaknya telah membuahkan hasil.

Felix menyentuh kaca bening pelapis kusen berkelir kuning emas itu, tatapannya nanar. Kerlingan manik Felix seredup gemintang di langit, sedangkan dirinya tertelan nelangsa gulita. Malam itu, segala pikirannya hanya diterangi temaram lentera. Di kepalanya terealisasikan satu figur yang familiar, tapi juga asing. Perasaannya masih tidak stabil, tapi jika Felix tidak memantapkan hatinya, maka ia tidak akan pernah merasa dewasa.

Dalam sunyi Felix bergumam,

"Selama ini aku terus berpikir untuk apa aku dilahirkan. Satu kerajaan harusnya hanya membutuhkan Pangeran. Seorang Putri nantinya juga akan dinikahkan dengan Pangeran kerajaan lain lalu menjadi Ratu di negeri baru. Dan selama itu belum terjadi, aku hanya akan jadi piala untuk pajangan," Felix mengambil napas pendek, "tapi sekarang aku tahu jika aku lahir untuk menjadi milikmu."

So how's?

Karena ada beberapa yg dm nanyain limerence, jadi aku beneran update ini :")

Jadi gimana? Kuy spill tea xD

Terus ini tuh bagian paling nggak enjoy pas ngetiknya :')

(+) males baca ulang, jadi typonya lebih bandel :'

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

116K 16.4K 84
Di suatu semesta lain, Adel dan Oniel adalah Kakak Beradik yang dibesarkan di panti asuhan, sampai suatu kejadian memaksa mereka untuk menjadi pelind...
93.7K 10.3K 32
Jaemin dikejutkan ketika sang pacar menyatakan bahwa bayi merah yang digendong oleh ibunya adalah anaknya. Sementara sang pacar sudah menghilang enta...
1.1M 61.5K 65
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
65.4K 8.6K 93
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜