Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.5K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 9 Do Kyungsoo

1.3K 268 42
By padfootblack09


Yoongi tahu kalau pernikahan palsunya merupakan sebuah bencana dalam hidupnya. Tapi Yoongi tak pernah berpikir itu akan serumit ini. Min Yoongi, yang memang gila bekerja kebetulan mempunyai sebuah proyek besar yang harus diselesaikannya. Yoongi hanya menyesalkan mengapa di saat-saat seperti ini ia harus menikah. Apalagi dengan seorang Son Seungwan.

Semua pekerjaan membuatnya sibuk, terkadang membuat kepala Yoongi berdenyut, penuh tekanan dan depresi. Dan bagus sekali karena keberadaan Seungwan memperburuk semuanya.
Ketiga teman masa kuliah Yoongi terkejut ketika mengetahui siapa perempuan yang akan Yoongi nikahi. Mereka sedang berkumpul di sudut gedung resepsi saat itu, keempat mata elang tertuju pada seorang perempuan dengan gaun pengantinnya sedang tersenyum bahagia dengan teman-temannya. Mark tertawa terbahak, Ilhoon berkata Yoongi terkena karma tapi Kyungsoo menepuk bahunya, mengatakan semua baik-baik saja.

“Semua akan baik-baik saja.” Kyungsoo berkata saat itu, Mark dan Ilhoon telah menghilang, ia memegang segelas champagne, mengamati Min Yoongi yang hampir mabuk, tak mempedulikan apapun bahkan di pernikahannya sendiri.

Yoongi hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Ia melihat berkeliling dan melihat Seungwan sedang tertawa gembira bersama dengan keempat temannya yang memberikan selamat atas pernikahan mereka. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tamu-tamu tak berhenti untuk datang.

Kyungsoo melirik jam tangannya, kemudian pandangannya teralih pada seorang perempuan manis yang sedang mendekati Seungwan, “Seungwan sangat gembira.”

Yoongi tersenyum tipis, “Memang apa lagi yang bisa diharapkan.”

Kyungsoo ganti tersenyum, masih memperhatikan perempuan yang sedang bercengkerama dengan Seungwan.

“Siapa dia?” tanya Yoongi, merujuk pada perempuan tadi.

Kyungsoo tersenyum kecil, “Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk memberi tahumu, tapi, dia Nam Jihyun, tunanganku.”

Yoongi terkekeh. Langsung tersadar bahwa delapan tahun berlalu dengan sangat cepat, Mark berhenti menjadi playboy, Ilhoon sudah menikah dan bahkan Kyungsoo mempunyai seorang tunangan. Yoongi kemudian bercermin dengan dirinya sendiri dan menyadari bahwa ia juga sudah menikah.

“Juniorku di firma hukum kami.” Kata Kyungsoo.

Yoongi mengangguk, kemudian ia menyadari sesuatu. Kyungsoo, salah satu teman terbaiknya sekarang bekerja di salah satu firma hukum terpercaya di Korea.

“Kyungsoo-ah,” panggil Yoongi.

“Apa?”

“Apakah mungkin untuk … “ bisik Yoongi, “untuk melayangkan perceraian—“

Kedua mata Kyungsoo membulat, tak mempercayai pendengarannya, ia berkata, “Kau bercanda—“

“Tidak.” Balas Yoongi. “Tidak mungkin aku bercanda.”

Kyungsoo menatap Yoongi dengan gusar, “Pernikahanmu baru berumur delapan jam, Min Yoongi.”

“Sembilan jam, sebenarnya.” kata Yoongi tak peduli. “Seperti aku peduli saja.”

“Kau harus benar-benar pikirkan risikonya, Yoongi.” Kata Kyungsoo tegas.

Yoongi mendesis rendah. “Kau pikir aku perlu mempertimbangkan apa lagi kalau aku menikah dengan dia?”

Kyungsoo langsung menggeleng, tak menyetujui, melihat lagi kearah Seungwan, binar cerah yang persis sama sejak delapan tahun yang lalu. Kyungsoo tak mau ikut campur, tapi Kyungsoo mengharapkan sesuatu yang baik berjalan diantara sahabatnya dengan Seungwan. Walaupun harapan itu hampir mustahil. Tapi tetap saja.

“Kau sedang tidak berpikir jernih, Yoongi.” Kata Kyungsoo.

Yoongi berdecak kesal. “Kyungsoo, aku tidak pernah meminta sesuatu sepenting ini—“

Kyungsoo menghela nafasnya. “Tapi tetap saja, Min Yoongi.” Ia memperhatikan Yoongi sekali lagi, “Kau sekarang sedang mabuk.”

Yoongi berdecak sekali lagi. “Aku tidak cukup mabuk untuk memutuskan hal sepenting ini, Kyungsoo.”

Kyungsoo menggeleng lagi, “Tidak, Yoongi.”

Ia memutar tubuhnya, supaya bisa benar-benar memperhatikan Yoongi. “Setidaknya kau harus mencoba. Aku tidak berniat ikut campur, tapi aku punya pandangan bagus mengenai kalian berdua—“

“Omonganmu kacau, Kyungsoo. Aku hampir berpikir kaulah yang sedang mabuk.” Yoongi tergelak.

Kyungsoo ganti berdecak. Ia memperhatikan raut wajah Yoongi, kendati mabuk, Kyungsoo tahu Yoongi tidak sedang bercanda. Dia masih sangat waras untuk mengucapkan kalimat gila tadi. Kyungsoo mengalihkan pandangannya, langsung berpikir apakah memang hubungan Yoongi dengan Seungwan tidak ada harapannya sama sekali.

“Kau tega membiarkanku tersiksa hidup dengannya?” tanya Yoongi, memelas—sama sekali bukan Yoongi yang Kyungsoo kenal saat ini.

“Kau bahkan belum mencobanya.”kata Kyungsoo, mencoba berargumen, walaupun ia tahu itu percuma.

“Apakah aku bahkan harus mencoba.” Kata Yoongi kesal.

Percakapan keduanya diinterupsi oleh seorang perempuan mungil yang manis, ia mendekati mereka dan menyapa.

“Hey.” Wajah Kyungsoo menjadi sumringah, ia menarik Nam Jihyun ke arahnya, kemudian memperkenalkannya pada Yoongi dengan resmi. Mereka bercakap-cakap sebentar sampai akhirnya pulang.

Perhatian Kyungsoo terpecah sejak berpisah dengan Min Yoongi. Berteman lama dengan Min Yoongi membuatnya paham benar watak Min Yoongi. Yoongi memang benar. Yoongi tak pernah meminta bantuan orang lain terkait hal-hal yang sepenting itu, bahkan kepada para sahabatnya. Hal ini membuat Kyungsoo membatin, mungkin Yoongi benar-benar frustasi menghadapi pernikahannya.

Maka, malam itu Kyungsoo tanpa ragu mengirim pesan kepada Yoongi yang berisi, “Kalau kau memang benar-benar bertekad. Segera hubungi aku. Tapi ingat, pikirkan Seungwan, pikirkan ayahmu, pikirkan keluargamu. Dan aku sedang tidak mabuk ketika mengatakan bahwa aku punya pandangan bagus mengenai kalian berdua.”

Kyungsoo berharap Yoongi tak pernah menghubunginya.
.
.
.
Dengan pesan singkat Kyungsoo itulah maka Yoongi mencoba bertahan. Sepertinya Kyungsoo benar soal Yoongi sedang mabuk saat itu. Keputusan yang diambil bukan saja mempengaruhi hubungannya dengan Seungwan, tapi juga keluarganya, koleganya, bahkan pekerjaannya. Yoongi menjadi lebih hati-hati, meyakini diri sendiri bahwa ia akan memikirkan matang-matang sebelum menghubungi Kyungsoo lagi.

Keberadaan Seungwan di apartemennya setidaknya memberikan perubahan yang baik dari sisi fisiknya, apartemen lebih rapi dan lebih hidup. Tapi berbanding terbalik dengan perasaan Yoongi yang langsung tidak menyukai ide bahwa ia harus hidup di atap yang sama dengan Seungwan. Belum terbiasa dengan keberadaan Seungwan di sekitarnya.

Di hari pertama, Seungwan sudah bertingkah dengan memasak sarapan pagi, serta menyiapkan segala perlengkapan Yoongi. Yoongi mendengus kesal melihat kemeja yang di gantung rapi di depan lemari, kaus kaki serta dasi yang ditata di atas meja. Seungwan menyiapkan semuanya. Yoongi tekankan, semuanya.

Seungwan harusnya bersyukur, bahwa Yoongi bisa bertahan bermalam di Kasur yang sama dengan Seungwan. Tanpa Yoongi harus mengusirnya ke kamar lain, atau menendangnya untuk jangan berbaring terlalu dekat dengan Yoongi. Seungwan harusnya bersyukur. Yoongi mengulangnya dalam hati. Seungwan harusnya bersyukur.

Yoongi memijat pelipisnya, matanya beralih menatap kaus kaki dan dasi di atas meja, serta kemeja yang tergantung di depan lemari. Tak tahu harus melampiaskan amarahnya kemana, ia mengambil kaus kaki dan dasi yang tertata rapi, lalu melemparkannya ke dalam lemari dengan asal. Nasib yang sama juga menimpa kemeja putih bersih yang sudah disetrika dengan rapi, terlempar begitu saja ke dalam lemari.

Yoongi terduduk di pinggir tempat tidur, air menetes dari rambutnya hitamnya yang masih basah, memijat pelipisnya sekali lagi—Yoongi merasa pusing sekarang. Teori apapun tak akan bisa menjelaskan apa yang menyebabkan Yoongi begitu tidak menyukai apa yang telah Seungwan lakukan—bahkan itu hal yang baik sekalipun.

Mungkin memang otak dan hati Yoongi disetting untuk membenci perempuan itu. Yoongi yang keluar dari kamar menangkap sosok Seungwan sedang menyibukkan diri di dapur. Yoongi tidak menyukai keberadaannya. Aroma harum sup tercium dari tempatnya, tapi bahkan Yoongi tahu dia tidak akan pernah menyantap makanan itu.

Yoongi masuk ke dapur, ia menenteng sepatu mengkilatnya, tak terusik sama sekali dengan aroma sup Seungwan, kendati perutnya menahan lapar. Tak ada apapun di kepalanya saat ini kecuali segera pergi dari tempat ini dan menyelesaikan laporan yang Rose email tadi pagi. Ia melirik ke wajah Seungwan yang sedang berbinar menawarkannya untuk sarapan. Binar ceria di matanya itu, pipinya yang naik—tersenyum penuh kebahagiaan, juga bibir pink alami yang tersenyum lebar, Yoongi benci perpaduan itu semua.

Yoongi tak merasakan apapun ketika melihat Seungwan yang kecewa karena Yoongi menolak untuk makan. Binar dalam matanya menghilang, bibirnya digigit menahan kesedihan—Yoongi merasa puas bisa menghilangkan perpaduan gila ekspresi senang Seungwan tadi. Ia bahkan tak merasa menyesal telah membuang semangkuk sup buatan Seungwan ke tempat sampah. Yoongi tahu Seungwan bersedih. Yoongi tahu Seungwan menangis. Yoongi tahu. Tapi Yoongi tak peduli. Dia bahkan tak bisa merasakan apapun. Kebencian menutupi semua sensasi dalam hatinya. Ia hanya melenggang pergi melewati Seungwan di dapur, mengendarai mobilnya menuju kantornya.
.
.
.
Yoongi pulang di akhir pekan, lima hari kemudian. Kesibukannya yang luar biasa mengharuskannya untuk menginap di kantornya dan bekerja seperti orang gila. Dengan tenaga yang sudah terkuras habis, Yoongi pulang, membawa surat perpindahan tugas untuk Seungwan. Yoongi masih ingat perkataan ayahnya padanya tempo hari, “Seungwan adalah pekerja yang baik, Yoongi. Dia akan sangat berguna di unitmu. Tarik dia dari perusahaan Junmyeon—aku sudah mengatur kesepakatan dengan dia untuk menarik Seungwan ke unitmu.”

Persetan. Yoongi tak peduli sebaik apa performa Seungwan di balik meja kerja, yang jelas, Yoongi tak menyukai ide ini. Ini berarti Yoongi harus melihat Seungwan setiap saat. Tapi seperti perkataan Tuan Min sebelum-sebelumnya, semua perintah yang keluar dari mulutnya tak akan bisa dibantah. Maka disinilah Yoongi sekarang, mengulurkan surat itu di hadapan Seungwan yang langsung memberenggut sedih akan kepindahannya.

Yoongi menyadari bahwa hal yang sama lima hari yang lalu persis terjadi pada hari ini. Yoongi pikir Seungwan sudah bosan, atau lelah. Menyiapkan segala keperluan Yoongi dan memasak untuknya kendati Yoongi tak ada di rumah. Tapi ternyata Yoongi salah besar. Ia menemukan kemeja digantung di depan lemari, kaus kaki dan dasi yang mungkin Seungwan susun kemarin—dan juga, aroma nasi goreng kimchi yang memenuhi indera penciumannya. Yoongi berani bertaruh, Seungwan pasti melakukan semua itu lima hari berturut-turut walaupun yoongi tidak ada.

Yoongi tak bisa lebih kesal lagi.
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, Yoongi sibuk berkutat dengan laporannya. Senin pagi-pagi benar, yoongi sudah bersiap untuk pergi ke Busan. Ia pergi dari apartemennya bahkan ketika Seungwan belum bangun. Ia sudah menyuruh Rose untuk mendampingi Seungwan di kantor. Dan ia merasa bebas untuk pergi ke Busan.

Satu minggu penuh. Ia berada di Busan. Demi proyek besar akhir tahun yang harus ia susun—mengadakan rapat dengan dewan direksi serta para sponsor. Yoongi pulang ke Seoul dengan tenaga tersisa, ia langsung limbung ke tempat tidur begitu menginjakan kaki di rumah.

Seungwan melihatnya dengan khawatir. Yoongi tahu tanpa memalingkan wajah kearahnya. Begitu ia bangun keesokan harinya, sepatu dan dasinya sudah terlepas, kemejanya terganti dengan piyama tidur yang nyaman—Yoongi tak suka membayangkan bagaimana Seungwan menggantikkannya pakaian, tapi itu cukup untuk membuat Yoongi marah.

“Kau kelelahan. Yoongi.” Bela Seungwan setelah itu. Bahkan masih berani berbicara setelah Yoongi memelototinya.

“Dan itu pasti bukan urusanmu, ‘kan? Son Seungwan??” tanya Yoongi geram.

Seungwan malah tersenyum kecil, senyum bahagia yang biasa ia tunjukan pada Yoongi, “Tentu saja aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan keadaanmu seperti itu, Yoongi.”

“Hentikan.” Yoongi memijat pelipisnya, merasa semakin marah, “Hentikan semua omong kosongmu.”

Dahi Seungwan berkerut, tidak membalas perkataan Yoongi, Seungwan malah menjawab, “Aku memasak untukmu, ayo kita sarapan—“

Yoongi tak mendengarkan kelanjutan kalimat Seungwan, yang ada di hatinya sekarang adalah betapa Yoongi semakin membenci Seungwan. Senyumnya yang ia tampakan setiap hari, keberadaannya di dapur, sampai segala barang yang ia siapkan untuk Yoongi. Yoongi tak bisa dan tak mau menerima semua itu. Semua hal yang dilakukan Seungwan salah, semua hal yang ada pada Seungwan salah, dan Seungwan adalah kesalahan.

Dengan langkah lebar, Yoongi berjalan menuju ruang makan, melihat Japchae yang masih mengepul di mangkuk. Yoongi meraih mangkuk itu, kemudian kejadian dua minggu yang lalu terjadi lagi hari ini—Japchae itu terbuang dengan kasar ke tempat sampah.

“Ini bahkan masih pukul tujuh pagi.” Kata Yoongi pada Seungwan yang terbelalak di ambang pintu ruang makan, “dan kau sudah membuatku membuang sia-sia tenagaku.”

Seungwan masih tak bergerak ditempatnya, masih menutup mulutnya dengan telapak tangannya, melihat pecahan mangkuk berceceran di lantai. Yoongi mendekati Seungwan, menarik pergelangan tangannya ke belakang, menyudutkan Seungwan ke dinding.
Yoongi menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Seungwan yang sekarang ketakutan, hidung mereka hampir bersentuhan dan Yoongi bahkan bisa mencium wangi sabun mandi Seungwan—aroma apel. Yoongi akan membenci apel setelah ini.

“Aku sudah peringatkan kepadamu untuk jangan berbuat aneh-aneh.” Bisik Yoongi rendah, “Semua yang kau lakukan tak berguna—itu semua tak akan mempengaruhi apapun. Berhenti bertindak bodoh. Aku membencimu.”

Sesaat Seungwan mengira Yoongi sudah selesai bicara, ia bisa merasakan Yoongi mengendurkan pegangan tangannya, tapi ternyata ia salah. Yoongi mencekal kedua pergelangan tangannya hanya dengan satu tangan—tangan yang lain meraih dagu Seungwan dengan tidak sopan, ia berbisik tepat di telinga Seungwan, “Jangan berani kau menyentuhku, lagi—”
Yoongi menjeda sejenak, menarik wajahnya, ia menunjukkan senyum miringnya, “—Kau akan tahu apa akibatnya kalau kau berani menyentuhku lagi.”
.
.
.

Heyy selamat menikmati bacaan ini :) :) 💜💜 ada yang masih ingat ceritanya??

Terimakasih yang masih setia menunggu cerita ini setelah dua bulan.🙏🙏🙏🙏😭

Maaf sekali baru bisa update karena kesibukan dua bulan untuk ujian dan sidang akhir.

After this I am trying to more active to update the story💜💜💜

I love you so much 💜💜💜

Continue Reading

You'll Also Like

53.6K 8.4K 52
Rahasia dibalik semuanya
49K 3.5K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
313K 23.8K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
179K 15.2K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...