RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

115K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 17 - Intermission

2.6K 594 60
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 22 Juli 2019 (BAB 17)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

*Bantu temukan typo.

***
Bab 17 - Intermission

***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Astrid Pramesti]

.....
Sejak percakapan penuh emosi itu. Aku merasa ada jarak antara aku sama Sultan. Percakapan itu memang berakhir dengan sebuah kesepakatan untuk berdamai dan nggak ada ungkitan apa pun. Aku juga sudah bertekad untuk menjauhkan prasangka yang akan menarikku pada pusaran cemburu. Tapi sebentar, wajar kan ya aku cemburu seperti itu? Khawatir, demi Tuhan. Sekarang bukan cuma Sultan yang punya ketakutan dengan perempuan selain aku. Tapi aku pun punya perasaan yang sama. Ingin menjaga dia di jarak seaman mungkin dari perempuan-perempuan asing. Karena hematku semua masalah yang ada sekarang diawali dari terlalu mudahnya Sultan membuka diri pada orang yang belum dia kenal.

Sekarang sudah nyaris tengah malam. Tapi aku hanya berbaring berdua dengan Fathan di kamar. Sisi lain tempat tidur ini masih sepi dan dingin. Sultan menjelang petang memaksakan diri untuk pergi saat ada panggilan dari narasumber yang meminta jadwal ulang pertemuan. Dan dia baru pulang sekitar pukul sembilan malam.

Praha sedang membeku lagi. Salju turun tipis-tipis. Sementara itu sejak Sultan pulang makan malam yang sudah aku siapkan belum disentuh sama sekali. Bahkan sopnya sudah menjadi dingin. Harus dipanaskan lagi. Aku tidak berani menyolek makan malam sebelum dia. Atau mengajaknya makan bersama ketika dia sedang dalam sibuk-sibuknya atau fokus akan sesuatu. Karena pengalamanku dia akan menunda makan tanpa ingin dipaksa ketika sedang seperti itu. Apalagi saat ini, di tengah semua konflik yang harus kami sibak perlahan dan harus dibicarakan pelan-pelan.

Jelasnya Sultan sedang banyak berubah.

Aku beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak sampai membangunkan Fathan. Meraih mantel wol hangat milik Sultan di belakang pintu lalu memakainya. Kemudian pergi ke ruangan di mana Sultan sedang menyelesaikan pekerjaannya sendirian. Itu adalah ruang khusus milik Wisnu yang dikongsi dengan Sultan karena untuk sekarang tidak banyak pekerjaan yang bisa diurus Wisnu secara fokus. Wisnu sudah tidak buka praktik untuk umum lagi. Hanya pasien yang secara khusus ditangani olehnya saja.

Saat aku tiba di ruangan itu, pintu memang tidak ditutup. Terbuka beberapa senti sehingga Sultan tidak menyadari kehadiranku di sana. Kuperhatikan dia dari belakang. Yang terlihat hanya punggungnya yang sedikit membungkuk karena sedang membaca catatannya. Mungkin hasil wawancara petang tadi. Lalu kembali menegak untuk mengetik. Tapi sebentar saja dia sudah meraih sebuah buku yang dia batasi halamannya. Membaca. Menarik garis bawah dengan pensil pada halaman yang dibacanya. Dan mengetik lagi.

Pada situasi yang sekacau sekarang, aku heran kenapa dia kadang masih bisa menemukan fokus pada apa yang harus dia selesaikan. Selain setelah mandi, momen dimana dia terlihat cukup menarik bagiku ya ketika dia sedang fokus dan menulis. Ada banyak ekspresi langka yang aku temukan di saat seperti itu. Keningnya yang mengerut saat berpikir. Atau dia yang tiba-tiba menggumamkan sebuah nada jika sedang bosan. Namun sekarang rasanya aku tak berani begitu jauh mendekatinya. Tapi aku ingin. Dia perlu teman meski terlihat bisa melalui ini sendirian. Tak lama kemudian dia bersandar pada kursi dan memijit keningnya untuk sebuah jeda. Mengembuskan napas panjang dan berat. Baik, ada yang mengganggu fokusnya.

"Mas?" aku memanggilnya dari pintu.

Tanpa menoleh dan masih bersandar pada kursi dia hanya menjawab, "Hm," sahutannya terdengar sungkan.

"Sudah makan?"

Dia tidak menjawab. Malah lanjut mengetik.

"Aku ambilin, ya? Supnya aku angetin lagi."

Oke, tanpa jawaban lagi.

Lalu tanpa menunggu persetujuannya aku melenggang ke dapur. Menghangatkan sup sebentar. Aku tuangkan pada mangkuk sebelum kubawa kembali pada ruangannya.

Aku nggak tahu apa yang akan aku hadapi di sana nanti. Tapi aku nggak mau jarak ini semakin renggang. Aku nggak mau dia dibiarkan seperti itu tanpa aku mengusahakan sesuatu. Dengan langkah perlahan aku mendekat padanya. Kutaruh mangkuk di meja dekat kertas-kertas. Dia tidak menoleh padaku sama sekali. Sabarrrr. Kurang disentil emang ini orang.

"Mas, makan dulu."

Oke, nggak dijawab lagi.

"Nanti lagi ngetiknya. Makan dulu."

Lalu aku berpikir keras apa yang membuat dia mengunci mulut seperti itu. Sampai akhirnya aku sadar ada yang salah dengan masakanku. Dia bukannya nggak mau makan masakanku. Tapi memang dia nggak akan pernah memakan makanan yang ada dagingnya.

"Astaghfirullah," aku mengucap saat itu juga. "Maaf, maaf, maaf." Aku buru-buru menyingkirkan mangkuk itu agak lebih jauh.

"Aku sudah makan." Seperti ada yang menekan tombol pause ke arahku ketika aku mendengar dia merespons.

"Maaf aku lupa. Nggak sengaja. Maksudnya aku lupa," nggak jelas banget aku jawabnya. "Beneran udah makan? Di mana? Makan apa?"

"Aku ingin sendiran, Trid," cara dia mengatakan itu akan membuat siapa pun yang mendengar merasa bersalah. Mungkin. Tapi aku ingin memperjelas semuanya karena dia banyak berubah hari ini. "Banyak yang harus aku kerjakan. Seminggu ke depan harus selesai dan kita bisa pulang. Sisanya aku selesaikan di rumah." Aku terkesiap.

"O-ke," jawabku ragu, "Kapan kamu memutuskan?"

"Aku cuma merasa perlu menyudahi semua ini dan kembali pada trek yang seharusnya," katanya lagi, "Menghadapi. Aku tidak meminta kamu untuk mengentaskan masalah yang aku hadapi. Aku tidak meminta kamu memenjarakan mereka. Aku tahu ini salah. Semuanya. Tapi kamu juga harus mengerti bahwa mereka tidak berulah atau membuka kelakuan mereka selagi kita tidak memulainya."

"Maksudmu?"

Sultan menekan tombol ctrl + S sebelum menjawab lagi. "Kamu jangan mengira selama ini aku tak melakukan apapun. Aku memantau pergerakan mereka. Aku juga memantau semua media berita barangkali ada pemberitaan yang menguak. Mungkin itu yang paling membuat aku terus merasa cemas selama ini, dan bukan apa yang telah mereka perbuat. Coba kamu pikirkan. Mereka tidak mungkin membuka kelakuannya sendiri. Kecuali mereka ingin menyerahkan diri ke polisi. Dan itu tidak mungkin. Tapi kalau kamu membuka kasus ini pemberitaan akan banyak. Apa yang aku takutkan justru akan terjadi."

"Tapi, Mas―."

"Kalau dibiarkan takut ada korban lagi?" potongnya, "Trid, kamu ingin aku kembali atau tidak? Sekarang maslahat yang paling besar itu ada pada kembalinya aku. Tidak betah berada di situasi seperti ini."

Aku menatapnya bingung. Tapi mata Sultan sangat jujur kali ini.

"Aku nggak bisa kalau harus membiarkan kamu dan Fathan di sini lebih lama. Tidak aman. Fathan nggak seharusnya ada di cuaca dingin seperti ini. Aku tadi mikir saat jalan pulang."

"Kalau aku tetep ingin mengungkap kasus ini bagaimana?"

"Silakan. Setelah itu aku nggak akan pernah bisa pulang. Pemberitaan ada di mana-mana."

"Terus bagaimaa dengan mereka?"

"Mereka siapa? Pelakunya?"

Aku mengangguk.

Sultan mengerjap sebelum melanjutkan, "Aku sudah berdoa sebanyak yang aku bisa, selama ini, agar Allah menutupi semua aib yang aku punya. Sekarang aku hanya ingin mengandalkan doa itu. Aku nggak boleh meragukan apakah Allah mendengarnya atau tidak. Tentu doa itu sudah sampai ke atas sana. Sekarang tinggal bagaimana aku yakin saja."

Selagi Sultan tenang, aku tidak ingin menyanggah dulu. "Lalu rencanamu apa?" tanyaku.

"Pekan depan kita pulang."

"Ke?"

"Ke Istanbul dulu. Aku mau minta penangguhan untuk disertasi. Aku nggak bisa memaksakan diri lagi kalau situasinya seperti ini terus. Aku bisa ambil sidang angkatan berikutnya. Itu masih tepat waktu untuk lulus. Sekalian aku mau mastiin Karin atau Ayaz nggak bertindak ceroboh. Dari curhatan Karin yang kamu tunjukkan tadi, aku tahu dia merasa bersalah padaku, Trid. Kamu menangkap kesan itu nggak?"

"Mungkin."

"Aku tahu Ayaz selama ini diam. Jangan sampai dia terprovokasi setelah kamu muncul."

"Setelah ke Istanbul, terus? Pulang?"

Sultan terdiam. Lalu mulai berkaca-kaca. "Tadi aku telepon Abi."

Tatapanku melebar saat mendengar itu.

"Dan Abi seperti tahu semuanya. Dia tahu aku sedang dalam masalah."

"Tapi dari mana Abi tahu?"

"Kamu seperti yang nggak tahu Abi saja. Tentu Abi juga curiga kenapa kamu nekat pergi kalau bukan karena ada masalah yang mendesak kamu menyusul. Apalagi bawa Fathan. Abi nggak mau tahu agar Fathan dibawa pulang, Trid."

"Itu keputusanmu?"

Jujur aku bingung harus bagaimana menanggapi keputusan Sultan. Di sisi lain itu juga yang aku harapkan. Tapi bagaimana? Kalau Sultan inginnya begitu, aku justru khawatir Wisnu akan bertindak lain kalau tahu persoalan yang menimpa Karin.

"Tapi kalau Mas Wisnu tahu yang menimpa Karin gimana?"

Sultan tidak bisa menjawab. Itu malah mendukung dugaanku kalau Sultan belum memikirkan secara matang keputusannya.

"Dia nggak akan tinggal diam," kataku lagi, "Kalau pun iya kita harus ngasih tahu Mas Wisnu soal Karin. Kita juga perlu mikirin gimana caranya agar dia nggak mengambil jalur hukum." Meskipun aku tetap ingin jalur hukum diambil.

Sultan hanya menghela napas panjang.

***

Maaf telat. Saya banyak kerjaan.
Yang penting update.

🙌

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 39.8K 20
Seperti kata pepatah, berharap kepada manusia adalah patah hati paling disengaja. Hal itu pulalah yang dirasakan oleh Aisfa, mantan badgirl yang sed...
24.5K 1.2K 20
Spin off Aku Dan Gus kembar Tentang sebuah janji yang pernah diikrarkan oleh seorang laki-laki bernama Zidan Aqil Az-zayyan di masa kecilnya kepada...
80.4K 11.8K 27
Tentang Aia yang memiliki banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Dan Edzar yang memiliki banyak kebingungan dalam hidupnya. Start: 14 Juni 2024 End: -
280K 19.8K 33
(Privat acak, follow sebelum baca) Ibrahim Alfaiz, seorang dosen muda di sebuah universitas swasta ternama, hanya bisa pasrah saat dia harus menikah...