Komet 101

By saturnisa

633K 60.3K 81.9K

Teman Kos - Kos-mate - Komet. [SUDAH DITERBITKAN, TERSEDIA DI TOKO BUKU] Info terkait terbit dan lain-lain a... More

Komet - Intro
The Atmojo's
Boncengan Motor Satrio
Acid & Dica pt.1
Acid & Dica pt.2
Origami Biru pt.1
Origami Biru pt.2
Bagas Arrizqi Gunawan - Just a Friend to You? pt.1
Bagas Arrizqi Gunawan - Just A Friend to You? pt.2
Pensi SMA Galang pt.1
Pensi SMA Galang pt.2
Naufal Akbar
Double N
Fariz, The Prince Charming
Fariz, The Prince Charming pt.2
Jafar & Perempuan pt.1
Jafar & Perempuan pt.2
Janji Jime pt.1
Janji Jime pt.2
Kampung Halaman Awang pt.1
Kampung Halaman Awang pt.2
Davi dan Bulan April
Davi dan Bulan April pt.2
Dzaky, "I love your mess"
Ucup & Double N
Hanif dan Maaf
Ponyo as Partner
PENGUMUMAN PRE ORDER KOMET 101

The Atmodjo's - Pembuka dan Penutup

10.8K 1.3K 2K
By saturnisa

Bertahun-tahun silam seorang anak duduk sendirian, menatap teman-temannya berlarian di lapangan. Ia tetap di tepian, pelan-pelan mulutnya mengunyah roti isi telur yang bersumber dari kotak bekal di tangan.

"Coba besok bawa makanan yang banyak, kamu bagi ke temen-temen kamu pas istirahat." Begitu saran kakak perempuannya, Kak Rani setelah ia mengadu bahwa tidak ada satupun teman sekelasnya yang mau mengajaknya bermain. "Siapa sih yang bisa nolak makanan? Gak ada." imbuh Kak Rani sebelum berjanji akan membuatkan adiknya itu roti isi telur besok pagi.

Iqbal kecil yang waktu itu duduk di kelas 4 SD kerap merasa tidak punya teman. Tidak ada yang mencarinya atau ingat padanya waktu formasi pemain bola kurang satu, tidak ada juga yang mau sekelompok dengannya kalau tidak ditentukan guru. Iqbal terbiasa sendirian.

Ia sendiri tidak tahu apa pastinya alasan teman-temannya tidak mau menemaninya dan menganggapnya layaknya debu di sudut kelas. Mungkin karena ia yang terbaik di kelasnya saat pelajaran IPA, mungkin karena dia terlalu banyak bicara tentang sains dan banyak hal lainnya yang membuat teman-temannya bosan. Mungkin ia sok pintar di mata teman-temannya, mungkin juga teman-temannya iri karena guru mereka sering memberikan perhatian ekstra pada Iqbal yang cerdas.

Mata Iqbal mengerjap menatap teman-teman sekelasnya berlarian sambil tertawa menendang-nendang bola. Seperti biasa posisi Iqbal adalah di pinggir, tersisih, menjadi bagian yang diabaikan, bahkan menawarkan makanan bukanlah solusi. Kak Rani salah dalam hal ini, padahal biasanya ia sering benar.

Iqbal tidak menangis, tapi tangannya sedikit mengepal. Ia terlalu kecil untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa agenda bahagia teman-temannya tidak melibatkan dirinya, tidak semua orang bisa menerimanya, seberapa keraspun ia berusaha.

Tangannya menutup kotak bekal berisi irisan roti isi telur yang masih menumpuk lalu berdiri dan melangkah pergi dari lapangan. Langkahnya gontai, memikirkan bagaimana caranya menghabiskan semua roti itu supaya Kak Rani tidak curiga.

Kapan kalian mulai menyadari dan menerapkan konsep realitas 'It's okay, I got myself' dalam hidup? Ketika kalian benar-benar sadar bahwa kalian hanya punya diri kalian sendiri?

Iqbal menyadarinya terlalu cepat. Terlalu dini menyadari bahwa pada akhirnya ia harus berpijak sendiri. He learned it the hard way.

Kotak bekalnya masuk kembali ke dalam ransel. Tidak semua orang suka roti isi telur.

*

Iqbal SMP kembali duduk di pinggir lapangan, kali ini di lapangan kompleks rumahnya yang sepi sore hari. Ring basket menjulang menyisakan bayangan di dekat kaki Iqbal yang memutar-mutar permen lollipop di tangannya.

Pada beberapa sore, Iqbal sering duduk di pinggir lapangan dekat rumahnya ini, menonton anak-anak kecil bermain bola atau asisten-asisten rumah tangga menyuapi balita. Iqbal sudah cukup senang meski hanya menonton dari samping. Ia sering bosan di rumah karena di rumah besarnya yang bergaya Jawa itu dia hampir selalu sendirian, terlebih sejak Kak Rani menikah dan Bang Rama kuliah di luar kota.

Sebuah bola bundar berwarna oranye tiba-tiba menggelinding ke dekat kaki Iqbal, menyusul siluet seseorang menghampirinya, membuatnya tertegun.

"Basket yuk?" Pemilik siluet itu tersenyum seraya memungut kembali bola basket yang tadi ia lempar.

"Kenapa tiba-tiba abang ngajak main basket?" Iqbal tertawa dengan kening sedikit berkerut, karena sejak abangnya kuliah dan hanya kembali ke Solo saat liburan—atau mungkin sudah jauh sebelum itu—ia sudah jarang sekali keluar rumah, menjadikan momen main sepeda dan kasti menjadi bagian dari masa yang tidak terulang lagi. Apalagi basket, Iqbal bahkan tidak tahu itu bola basket milik siapa.

"Emang kenapa? Bisa main basket gak kamu?" Rama mengoper bola basket itu pada adiknya yang dengan sigap menangkap. "Nice catch."

"Abang kali yang harusnya ditanya," Iqbal mencibir, ia bangkit berdiri lalu balas mengoper bola, "abang kan jarang olahraga."

"Eh? Kata siapa?" Rama memantul-mantulkan bola sambil menghindari tangan Iqbal yang berusaha merebut.

Sore itu disaksikan matahari yang sinarnya meredup di antara ranting-ranting pohon, kakak beradik itu bermain basket tanpa aturan yang jelas, tanpa menghitung skor setiap mereka berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Mereka menikmati saat-saat itu tanpa peduli hal-hal lainnya, diselipi tawa Rama dan rengekan Iqbal setiap abangnya sengaja mengecohnya.

Hingga matahari terbenam ibarat peluit tanda akhir pertandingan kecil mereka, mereka duduk meluruskan kaki di pinggir lapangan, di dekat pohon paling rindang dengan napas terengah dan dahi keringatan.

Iqbal mengipas-ngipas menggunakan ujung kerah kausnya, "Abang bawa bola basket, kenapa gak bawa minumnya juga?"

"Abang lupa." Rama menyibak rambut bagian depannya yang basah lalu merogoh saku celananya, "Tapi abang bawa ini."

Cokelat. Khas Bang Rama dan Kak Rani yang sering mengenalkan Iqbal pada konsep makanan adalah comfort.

"Abang bagi dua ya." Rama membagi cokelat itu menjadi dua bagian, mengukurnya terlebih dulu dengan jari lalu menyerahkan bagian yang lebih panjang pada Iqbal. Iqbal tertawa.

"Tambah aus tau, Bang, abis ini."

"Gak apa-apa abis ini kita langsung lari ke rumah."

"Yang duluan sampe, pijitin ya?"

Rama menggeleng-geleng tapi sambil terkekeh mengiyakan.

Di antara kunyahan cokelat, diam-diam Iqbal memperhatikan abangnya. Abang yang mengambil rapornya waktu ia naik ke kelas 6, abang yang mau menggendongnya di punggung meskipun ia sudah besar dan sudah berat waktu itu, abang yang mengatakan padanya kalau ia tidak akan bertumbuh sendirian, karena saat ia beranjak dewasa dan tidak lagi bisa abangnya gendong, sebenarnya abangnya pun sedang beranjak dewasa, ia tidak pernah growing up sendirian.

"Kamu jago juga tau, Dek, main basketnya." Rama menoleh lalu menepuk-nepuk kepala adiknya. "Kalo abang udah balik ke Jakarta lagi terus kamu bosen, daripada bengong di lapangan sendirian, main basket aja."

Iqbal terdiam, tapi ia membiarkan abangnya tetap menepuk-nepuk kepalanya sambil mendengarkan.

"Main basket sendirian juga bisa, gak perlu banyak orang." Lanjut Rama, membuat Iqbal seketika paham maksud abangnya.

Iqbal menghabiskan potongan terakhir cokelatnya, lalu berkata mantap, "Aku nanti mau SMA di Jakarta."

Rama menoleh lagi, kali ini matanya benar-benar melebar.

"Aku mau SMA di Jakarta, satu kosan bareng abang. Terus nanti mau jadi anak basket. Yang paling jago."

Rama masih kelihatan terkejut, tapi perlahan bibirnya membentuk senyum, "Iya. Abang tunggu ya."

Itu saja sudah cukup menjelaskan kenapa Iqbal sangat dekat dengan abangnya, orang yang membuat Iqbal tahu bahwa sebenarnya ia tidak pernah benar-benar sendirian, dan Iqbal tidak butuh sekotak roti isi telur untuk membuat Rama berada di sampingnya. Sejak awal Rama tidak pernah meninggalkannya sendiri.

*

"Abang lo nikah??" Kania, manajer klub basket Iqbal di SMA melotot memandangi kartu undangan di tangannya yang baru saja dibagikan Iqbal kepada semua anggota tim sore itu, seusai mereka latihan. Bisa dibilang, keterkejutan Kania adalah momen langka mengingat default wajahnya yang sedatar meja café.

"Tarik dulu itu mi lo." Cibir Iqbal, merujuk pada seutas mi goreng yang nyangkut di mulut Kania saking kagetnya ia diberikan undangan.

"Nggak, ntar dulu. Ini serius??"

"Ya serius dooong," Iqbal memutar bola matanya, "masa gue yang nikah."

Terdengar tawa dari teman satu tim mereka, "Ya kalo lo kan nikahnya sama Kania, Bal."

Kania menepis mi goreng di mulutnya sebelum menjitak si komentator.

"Raden Pramadipta Atmodjo dan Nirmala ...." Kania membaca nama yang tertera di undangan. "Bener ternyata abang lo nikah."

"Emang bener. Lo kira gue boong." Iqbal meneguk air dari botol minumnya.

"Kok lo biasa aja?"

Iqbal menautkan alis, menatap Kania, "Harusnya gue gimana?"

"Gak tau ya, gue selalu ngerasa lo bakal melewati masa-masa super emo kalo abang lo nikah..." Kania melotot lagi, kali ini tanpa mi goreng di sela bibir, "JANGAN-JANGAN LO LAGI MASA-MASA EMO?"

"Apaan siiiih, emangnya gue keliatan emo??"

"Iya juga, makan lo tetep banyak." Kania membuat Iqbal mendelik. "Atau lo diem-diem ya, Bal emonya?"

"Misalnya kayak gimana?"

"Kalo hujan ngeliat ke luar kaca jendela sambil matanya sendu-sendu gitu, terus tiap malem mau tidur nangis basahin bantal."

Iqbal bergidik, "Nggak tuh, gue gak kayak gitu. Biasa aja."

"Boong lo ya?"

"Emangnya apa yang bikin lo mikir gitu?"

"Lo deket banget sama abang lo sampe ke poin gue sering mikir lo bakal freaking out pas abang lo nikah."

"Freaking out?" Kening Iqbal tambah berkerut, ia jadi memikirkan apakah ketergantungannya pada abangnya sejelas itu.

"Misalnya pas hari pernikahan abang lo, lo kabur ke Gunung Gede terus meditasi."

"Apa sih, Kaaaan," Iqbal menggeleng-geleng.

"Atau nggak, lo kabur lewat jendela, pake beskap, terus..."

"Stop imajinasi liar lo."

"Lho? Kania bisa liar? Bayangin apa lo, Kan?" Celetuk teman satu tim Iqbal lagi, dan lagi-lagi Kania mengambil ancang-ancang menjitaknya.

"Itu bukan imajinasi liar!!! Emang gitu di series atau film yang suka gue tonton!! Pengantinnya kabur pas hari H, kayak tiba-tiba ada sesuatu yang bikin mereka 'Oh my God! I shouldn't be here!"

"Itu kan pengantinnya?? Gue bukan pengantinnya??"

"Tapi lo..." Kania tidak jadi meneruskan kalimatnya saat melihat raut wajah Iqbal, menangkap sesuatu di mata lelaki itu.

"Apa?"

"Gak apa-apa, gue ngerti sekarang."

"Hah?"

"Kapan terakhir kali lo ngomong sama abang lo?"

Iqbal terkesiap mendengar pertanyaan Kania, apalagi perempuan itu mengajukan pertanyaan tadi dengan ringan sambil memakan mi goreng.

"Ngomong yang bener-bener ngomong, ngobrol, brother talk sebelum abang lo nikah."

Iqbal menahan napas, seketika perutnya terasa sakit padahal ia tidak telat makan.

"Gue gak inget." Jawabnya pelan. Kania ternyata bisa menebak kalau Iqbal memilih untuk menjauhi abangnya sebagai cara untuk tetap baik-baik saja. Inilah bentuk freaking out Iqbal, sebisa mungkin menghindari sumber sakitnya yang mengakibatkan ia nyaris tidak pernah benar-benar bicara dengan abangnya, sejak abangnya disibukkan dengan persiapan pernikahan.

"Gue gak bakal ngerti sakitnya kayak apa sih, soalnya kata orang, pain is personal," Kania berkata lagi, "tapi lo tau kan kalo abang lo juga pasti nyadar. Lo gak bisa terus-terusan ngehindar tau."

Mulut Iqbal terkunci.

"Jangan bikin abang lo sedih karena ngira lo gak ikutan bahagia di kebahagiaan dia."

"Gue cuma belum siap." cetus Iqbal sedih. "Menurut lo dia bakal nyadar kalo gue ngehindar?"

"Ya iyalah!!!"

Iqbal mengembuskan napas berat.

"Ya udah nanti gue bakal ngomong.. Nanti pas hari H."

"Jadi lo gak bakal kabur pas hari H kan?"

"Nggaklah."

"Bagus, aneh banget soalnya kalo lo kabur pake beskap." Kania menutup kotak mi gorengnya. "Sorry ya, gue lupa nawarin. Hehe."

"Udahan ngomongin rencana nikahannya?" Ledek teman satu tim Iqbal yang tidak pernah absen menggoda Iqbal dan Kania sampai mereka jadian betulan.

"Apaan sih lo."

"Nikahan abang lo maksudnyaaa, bukan nikahan kalian berdua."

Kania betul-betul menjitak komentator bacot itu menggunakan kotak makan, "Asal aja lu kalo ngomong."

"Apa yang salah sih? Kan bener nikahan abangnya Iqbal?? Eh iya, Bal, ini nikahan putra keraton gak ada dress codenya kan?"

Iqbal mendadak teringat sesuatu mendengar pertanyaan itu, ia menoleh pada Kania.

"Eh,"

"Apa?"

"Lo..." Iqbal menelan ludah, "jadi pager ayu."

"Hah?" Kania sampai membentuk corong di kupingnya menggunakan telapak tangan.

"Lo jadi pager ayu di nikahan abang gue. Abang gue yang minta."

"KOK BISA?? GUE?? DI PERNIKAHAN KERATON??"

"Biasa aja kok, nikahan di gedung." Iqbal menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah.

"Eh seriusan? Gue gak lagi dijailin?"

"Iya bener."

"Terus tugasnya ngapain?"

"Ya jalan beriringan aja."

"Sama?"

Iqbal berdeham, tidak menjawab.

"SAMA LO???"

"NAH KAAAN! HAPPY WEDDING KANIA DAN IQBAAAL!!!" Kotak makan benar-benar melayang ke arah si komentator.

*

Iqbal menoleh, menatap keluar kamar dari celah pintu kamarnya yang ia biarkan terbuka. Terdengar orang-orang di luar saling susul menyusul berbicara, dengan inti yang hampir sama.

"Baik-baik, Ram."

"Sering-sering main ke sini ya, Radeeeen."

"Ram... Gue gak sanggup ngomong, gue sedih."

"Jaga diri lo."

"Pasti kita semua bakal kangen."

"Ram, lo belom ngoper jabatan mandor kebersihan, tapi gak ada yang serajin lo juga sih."

"Bang Ramaaaa huhuhu."

"Bang, kalo Opang gak piket pas hari piket, Bang Rama bakal langsung nongol buat ngomel gak?"

Suara-suara itu semakin jelas terdengar sampai ke kamar Iqbal di lantai atas. Meski Iqbal berusaha tidak terpengaruh, ia tidak bisa mencegah kakinya melangkah ke dekat pintu, membukanya sedikit lebih lebar dan mendengarkan. Hari ini adalah hari Rama meninggalkan Komet dan pindah ke rumah cicilannya yang akan ditempatinya bersama istrinya nanti. Pada hari ini, Iqbal memutuskan tetap menjalankan aksi menghindari kakaknya atau secara sederhana, dia tidak sanggup melepas Rama pergi.

Iqbal tahu ia masih bisa bertemu Rama dalam banyak kesempatan, Rama tidak sedang pergi ke luar negeri atau tempat yang jauh, tapi satu ruang pikiran Iqbal berkata bahwa pernikahan bisa jadi lebih jauh dari luar negeri.

"Ram, gue yakin besok juga kita ketemu lagi, tapi asli sih bakal kangen wangi lo yang kalo lo baru sampe pager aja, wanginya udah kecium ampe kamar gue. Lo orang apa duren sih? Nyengat."

Tanpa melihat pun, Iqbal sudah bisa menebak Acid mengatakan itu sambil memeluk Rama.

"Cid, Cid, kekencengan, Cid." Protes Rama mengandung sedikit tawa, bahkan sepertinya ia tidak benar-benar berusaha melepaskan Acid. Iqbal sangat tahu sifat kakaknya.

"Tinggalin aja parfum lo, Ram, di sini, kalo kita kangen bisa kita semprot-semprot buat merasakan kehadiran lo."

"Kalo bisa dalam bentuk kemenyan juga." Timpal Satrio sambil cekikikan.

"Gue bakal sering-sering main kok." Rama mengedarkan senyum teduh pada semua yang melepasnya pergi di ruang tengah, semuanya kecuali dua orang.

"Ram, Iqbal..."

Iqbal mencengkram kenop pintu saat Jime menyebut namanya berkaitan dengan absennya dia di momen mengharukan saat abangnya akan meninggalkan Komet sebentar lagi.

"Gak apa-apa." Iqbal lagi-lagi merasa bisa melihat Rama di bawah sana sedang tersenyum memaklumi, meski dengan sorot mata sedih. Mata Iqbal mulai digenangi air mata. Pastilah kakaknya sudah paham tanpa ia perlu menjelaskan, bahwa inilah mekanisme Iqbal untuk merasa sedih secukupnya.

"Wawan juga sama, dia gak mau keluar kamar." Kata Awang, "Terakhir gue cek, dia lagi pura-pura molor."

"Tau dari mana lo pura-pura molor?"

"Soalnya pas gue samperin lagi sambil makan indomie, kupingnya gerak-gerak."

"Kok bisa kupingnya yang gerak-gerak???"

"Sebenernya dia bangun kan? Cuma pura-pura tidur aja biar gak ikutan ngelepas Rama."

"Gak kuat pasti dia, takut mewek." Cibir Acid enteng.

"Bang Wawan kan jelek-jelekin Bang Rama mulu dari kemaren." Tiba-tiba Davi laporan.

"Jelek-jelekin apa?"

"Oh iya iya!" Galang ikut nimbrung, "Kalo Bang Rama gak ada, Bang Wawan uring-uringan ngomongin Bang Rama."

"Apa katanya?" Rama terdengar menahan tawa.

"Katanya Bang Rama temen sekamar paling nyebelin, paling bawel nyuruh ngosek mulu, paling ribet karena maunya rapi terus, bikin tidur gak tenang, gak seru."

Terdengar dengusan entah siapa, tapi yang jelas siapapun yang ada di situ tahu kebenaran di balik kata-kata Wawan.

"Kita seret aja si Wawan ke sini sekarang, banyak dosa dia sama lo." Canda Awang.

"Gak usah." Jawab Rama kalem. "Ok ya, gue pergi dulu, itu truk barangnya udah nungguin."

Iqbal beranjak keluar dari kamar dengan langkah berat seolah ada beban batu yang ia seret di kakinya, tapi ia tetap tidak menuruni tangga. Dari hiruk pikuk yang terdengar ke atas, sepertinya Rama sedang memeluk mereka satu persatu lagi secara singkat.

"Jaga diri kalian semua ya, sama jaga kebersihan." Pesan Rama di depan pagar Komet, dengan truk angkut barang terparkir di depan, siap membawa sepotong besar kehidupan Rama selama di Komet ke tempat baru.

Tepat saat Iqbal memberanikan diri mengintip dari balkon, terlihat sekelebat sosok—yang Iqbal sempat mengira hantu—berlari ke arah Rama dan memeluknya dari belakang.

Sekelebat itu adalah Wawan, dengan rambut berantakan dan wajah yang merengut dalam-dalam, tanpa mengatakan apa-apa. Hanya dalam sepuluh detik, Wawan melepaskan lagi pelukannya dan berlari masuk lagi ke dalam Komet. Tidak membiarkan semuanya termasuk Rama ternganga lebih lama, ia berteriak nyaring, "LO BENERAN ROOMMATE PALING ANCUR RAM! GUE GAK MAU NGOSEK LAGI!"

Iqbal bisa melihat Rama tersenyum sedih mendengarnya, karena lagi-lagi semua tahu, bukan itu yang benar-benar ingin disampaikan Wawan. Bahwa kenyataannya, Rama adalah teman sekamar yang terbaik yang bisa Wawan dapatkan.

Dan juga abang terbaik yang bisa Iqbal punya.

Hanya saja Iqbal masih belum bisa seimpulsif Wawan yang menyerang dengan pelukan persahabatan seperti tadi. Iqbal belum mau menangis dan belum mau melepas.

Tanpa Iqbal tahu, Rama diam-diam mengarahkan pandangannya ke balkon, sebelum truk angkut barang melaju pelan meninggalkan Komet, sekaligus meninggalkan satu fragmen kehidupan seorang Pramadipta Atmodjo.

*

Rama datang ke Komet malam itu dengan mobil, malam sebelum hari pernikahannya, memenuhi jadwal—dengan sedikit unsur paksaan—yang dibuat Acid yaitu kumpul-kumpul terakhir sebelum Rama melepas status bujangan.

"Kayaknya gak perlu balon-balon gini deh..." Komentar Rama setengah tertawa begitu melihat dekorasi seperti pesta ulang tahun di teras Komet, balon warna-warni, kertas krep, rangkaian huruf yang ditulis menggunakan crayon di atas karton berbunyi 'Team Groom'. Senyumnya tambah mengembang melihat sisa-sisa balon berserakan di lantai teras, sudah bisa ditebak kalau ada banyak korban balon yang sengaja diletuskan krucils atau trio bumbu dapur untuk mengagetkan satu sama lain.

"WELCOME RADEN YANG BESOK MAU JADI MANTEEEEN!!!" Sambut Jime yang mengenakan topi kerucut, kalau setelah ini terdengar bunyi terompet tahun baru, rasanya Rama tidak akan kaget.

"HAI MAS!" Acid ikut menyongsong dengan sorot mata penuh cinta yang sejujurnya agak menggelikan.

"Cid, gue prefer panggilan normal aja ya."

"Lhoooo latihan dong, mulai besok dan seterusnya kan lo bakal dipanggil 'Mas' sama istri lo sendiri," Acid menyenggol-nyenggol Rama, "gue juga jadi pengen deh dipanggil 'Mas'."

"Sama istri gue?"

Acid serta merta melotot, "Ya bukanlah! Sama istri gue."

"Emang udah punya istri?" Diam-diam Rama senang bisa punya kesempatan balas menggoda Acid.

"Ya lo juga belom. Kan baru besok nikahnya."

Rama menggeleng-geleng, ternyata tidak semudah itu membalas Acid.

Segugus tangan seketika mendorong Acid yang menghalangi langkah Rama ke ruang tengah. "Minggir lo, Masteng." Ujar sosok pemilik tangan itu sewot, wajahnya saat menatap Rama juga tidak kalah sewot.

"Hai, Wan." Rama tersenyum lega mengetahui Wawan tidak mengunci diri di kamar lagi seperti saat hari Rama pindah.

"Gue udah ngosek hari ini. Bersih." Sahut Wawan, cepat dan tetap sewot. Sebelum Rama sempat membalas, ia mengenakan topi kerucutnya dan melenggang ke ruang tengah. Gengsinya ternyata masih demikian besar sampai semua kata-kata yang sepertinya banyak ia pendam untuk Rama terangkum dalam satu laporan: 'Gue udah ngosek hari ini.'

"Cewek yang jadi istri Wawan harus bikin kamus terjemahan bahasa dia gak sih?" Acid berdecak.

Rama masih tersenyum menatap punggung Wawan yang sok arogan, "Wawan emang punya bahasa sendiri sih ya."

"Yoi. Menurut lo 'Gue udah ngosek' tadi artinya apa? 'Gue kangen lo' atau 'Selamat nikah'?"

"Kayaknya yang pertama." Sambar Jime.

"Wawan gak kayak gue sih, gue mah ngomong langsung aja ya, Ram, ya? Aku kangen, Masssss." Acid mulai menggelikan lagi.

"Cid, udah, Cid.. Ayo mulai acaranya. Kan lo yang susun." Jime memutar bola matanya.

"OH IYA, KAN MAU PESTA LO, RAM. LEZGOOO."

Acid menarik lengan Rama menuju ruang tengah yang juga menjadi sumber dari sayup-sayup suara musik sejak tadi, di sana sudah ada penghuni Komet yang langsung menyambut Rama dengan sorak sorai dan ledekan seputar bujangan yang tidak bujang lagi dalam waktu beberapa jam lagi.

"Ini acaranya ngapain aja, Cid?" Mata Rama memindai seisi ruangan, memastikan tidak ada benda-benda aneh misalnya bir kalengan atau rokok.

"Kita masih nunggu badut dateng."

"Hah??"

"Becanda Ram," Acid nyengir melihat ekspresi Rama yang mengira akan ada badut betulan yang akan mengubah pesta bujangan ini jadi benar-benar pesta ulang tahun bocah. "Kita mau ngapain aja, Saaaaat?"

"Karaoke intro Akad!" Sejurus kemudian Satrio sudah cekikikan karena dipentung Wawan. "Nggak, beneran kita mau karaokean, tuh udah siap."

Televisi yang sudah disambungkan dengan internet menayangkan tampilan playlist youtube berisi lagu-lagu karaoke. Alis Rama kembali terangkat heran membaca salah satu judul lagu 'Jangan Ada Dusta Di Antara Kita' milik Broery Marantika dan Dewi Yull tepat di atas lagu 'Kemesraan'. Kalau ada yang bilang ini playlist milik ayahnya, mungkin Rama akan percaya-percaya saja.

"Selain karaokean! Gue juga udah beli nasi goreng enak langganan gue!! Ntar kita makan bareng."

"Nasi goreng putus bukan tuh." Ledek Wawan merujuk pada cerita putus menyedihkan Acid di masa lalu.

"Weitssss, sekarang udah jadi nasi goreng nyambung." Sahut Acid asal.

"Terus nanti bakal ada pembacaan doa buat Rama dipimpin Jafar." Awang membacakan rundown, Jafar mengangkat tangan mendengar namanya disebut. "Ada juga penyerahan doorprize—sorry maksud gue penyerahan hadiah sama pesan-pesan dari kita buat Rama."

"Liat Ram, Komet tetep bersih kan?" Dzaky berkata seraya merentangkan tangannya membuat Rama kembali melihat sekeliling.

Rama tertawa, "Baru kerja bakti tadi ya? Karena gue mau dateng?"

"Nggak, emang sehari-hari bersih kok." Wawan yang menjawab, meragukan.

"Ngomong-ngomong krucils pada ke mana? Mereka gak ikutan?" Rama memandang tangga yang menuju lantai atas.

"Gue udah bilang ntar nunggu acara abang-abang kelar dulu semuanya baru mereka turun." Acid menjawab pertanyaan Rama sambil menekan-nekan remote, memilih lagu pertama sementara Jime menyiapkan mic.

"Dan mereka nurut?"

"Nurutlah, setelah ditimbunin makanan di atas."

"Ada Iqbal juga, Ram di atas. Lo gak tau?" Gumam Awang membuat Rama tertegun.

"Iqbal ke Komet? Kapan?"

"Tadi sore...." semuanya menatap Rama heran, "kok lo bisa gak tau?"

"Kirain dia di rumah tante bareng sodara-sodara yang lain. Gue seharian belom ketemu..."

"Iya sih, maklum ya manten sibuk."

"Tadi katanya Iqbal main bentar doang terus balik, besok berangkat ke gedung bareng sekeluarga.

Diam-diam Rama menatap tangga lagi, menyangka akan ada adiknya menuruni tangga itu sebentar lagi. Adiknya yang menghindarinya.

*

Di lantai atas, Iqbal yang dibicarakan sedang duduk bersila di balkon, menonton upacara pembersihan akuarium milik Biru. Disebut upacara karena Biru sendiri yang membuat kegiatan biasa itu jadi terasa sakral dan resmi, yang mana sulit dilakukan kalau tangan-tangan Opang dan Fariz ikut membantu.

"Kapan sih kita dibolehin ke bawah?" Cetus Fariz yang mulai bosan memperhatikan Biru menggosok hiasan karang menggunakan sikat untuk kesejuta kalinya. Ia mengernyit mendengar suara Acid menyanyikan lagu Mobil Balap diiring suara kecrekan. "Padahal mereka cuma karaokean doang."

"Emang pesta bujangan tuh ngapain aja sih sebenernya?" Iqbal buru-buru menambahkan melihat mulut Opang terbuka hendak menjawab, "Yang serius ya jawabannyaaa, yang serius."

"Nonton porno."

"Astagfirullah, Fariz... Bilangin ayah nih." Biru menggeleng-geleng.

"Kan bukan gue yang nonton!!!"

"Nggak kok, bukan." Sela Galang, tangannya terulur pada salah satu kerang imitasi properti Biru, tidak menyadari sekilas tatapan tajam sang empunya.

"Terus apa, Lang? Lo udah pernah ke pesta bujang gitu?"

"Nggak, diceritain papap. Dulu dia sama temen-temen kosannya pasa ngadain pesta bujangan buat Om Dyo terus buat papap, pada maen games, liat foto-foto jadul, pengakuan dosa."

"Pengakuan dosa?"

"Iya," Galang belum cerita sudah tertawa, "ngakuin dosa masing-masing ke orang yang dipestain. Pasti banyak sih."

"Kayaknya seru kalo Opang ikutan, dia kan banyak dosanya." Timpal Fariz.

"Yang mecahin piring kesayangan Bang Rama kan bukan gue doang, Riz." Sahut Opang santai.

Bola mata Iqbal mengikuti gerakan sirip ikan Biru yang dipindahkan ke baskom di dekatnya selagi akuariumnya dibersihkan, pelan-pelan ia melepaskan napas berat. "Untung gue gak ikutan kalo gitu."

Sesuatu dalam nada suara Iqbal membuat Galang, Biru, Opang dan Fariz diam-diam meliriknya.

"Gue banyak dosanya sama Bang Rama."

"Lo masih gak ngomong sama Bang Rama?" Biru selaku orang yang kadar kepekaannya paling tinggi mengajukan pertanyaan.

Tangan Iqbal memeluk kedua kakinya yang terlipat, masih sambil memperhatikan ikan Biru lalu menjawab pendek, "Belom siap."

Semuanya berpandangan, seketika memahami alasan Iqbal walaupun Iqbal tidak menyuarakannya, namun tetap saja ganjil melihat Iqbal yang biasanya sebegitu menempelnya pada abangnya kini bersikap seperti ini.

"Tapi pas Bang Rama ngasih gantungan kunci, kalian ngomong kan?" Galang bertanya hati-hati, menciptakan kerutan heran di kening Iqbal.

"Gantngan apa?"

Keheranan Iqbal menyebabkan semuanya kembali bertukar pandang tapi kali ini ada seberkas kepanikan di dalamnya, menyadari kalau Iqbal tidak tahu menahu soal notebook.

"Gantungan apa sih?"

"Nggg, anu, Bal.. sebelum Bang Rama pindah, dia ngasih gantungan buat semua—ADAW—GAK TAU DEH, MUNGKIN GAK SEMUA." Fariz mendelik pada Biru yang menyelanya dengan cubitan memperingatkan.

"Gantungan kunci biasa, Bal. Kayak kalo anak SMP beli oleh-oleh di Malioboro pas study tour." Opang bermaksud menghibur.

"Emang kapan abang ke Jogjanya?"

"Bukan gantungan kunci Malioboro, gak usah dengerin Opang," desis Biru.

"Kayak gantungan kecil bentuk binatang gitu, Bal. Katanya Kak Mala juga ikut milihin, masing-masing dapet satu buat kenang-kenangan, gue dapet gantungan jerapah," Galang menggigit bibir menghentikan ucapannya saat melihat wajah Iqbal mengeruh mendengarnya.

"Kok... gue gak dapet?"

"Mungkin belom! Kan kalian juga belom bener-bener ngobrol!" Tanggap Biru cepat.

Tapi terlambat, kepala Iqbal kian tertunduk. Lirih ia menggumam, "Gue paling benci perasaan ditinggal, being left out. Itu juga jadi alasan gue belom siap ngomong sama abang. Harusnya abang juga tau."

"Bal..." Alis para krucils serempak melengkung turun.

"Mungkin karena itu juga abang lo nunggu waktu yang tepat buat ngajak lo ngomong."

"Besok abang gue nikah, Lang."

Sejenak semuanya membisu, hanya terdengar kecipak yang ditimbulkan si ikan yang belum kunjung dikembalikan ke akuarium.

"Waktu abang pindah, gue mikirin seharian, abang enak banget jadi yang ninggalin bukan yang ditinggalin..." Iqbal menghela napas, air mukanya menjadi dua kali lipat lebih sedih. "Abang yang mulai kehidupan baru, di tempat yang baru, bebas dari pengingat-pengingat, sementara gue di sini... tiap buka kulkas gue bakal inget kalo gak ada lagi yang suka diem-diem naro buah buat dimakan bareng, gak ada yang bakal ngingetin supaya ngisi air di botol biar gak saling ngandelin, gak ada yang selalu bawain makanan buat gue kalo abis pulang dari mana-mana."

Biru ikut menunduk menatap akuarium kosongnya, merasakan kepedihan Iqbal yang dijabarkan dengan suara bergetar.

"Abang gak perlu dikelilingin kenangan karena abang pergi dan bikin kenangan baru."

"Semuanya pasti pernah ngerasain ninggalin sama ditinggalin..." Opang tahu-tahu bersuara, membuat yang lain mendadak tertegun. "Perasaannya yang ninggalin sama yang ditinggalin juga pasti beda tapi kalo dua-duanya sama-sama ngerasain kehilangan?"

Iqbal mengangkat kepalanya, memandang Opang, awalnya sulit menganggapnya serius karena ia mengatakannya dengan jaring kecil di tangan, hendak menangkap ikan Biru.

"Yang ninggalin sama yang ditinggalin sama-sama berat karena dua-duanya sama-sama ngadepin kehilangan kan? Kita sedih karena Bang Rama gak di sini lagi tapi pasti Bang Rama juga sedih kan?"

Perkataan Opang ibarat hujan yang perlahan turun rintik dan perlahan, mencuatkan gagasan bahwa kehidupan dan tempat baru bagi Bang Rama tidak berarti membuatnya terbebas dari perasaan kehilangan. Mungkin akan ada saatnya juga Rama menuang air dingin dan tersenyum sedih karena biasanya ia akan menyuruh yang lain tidak lupa mengisi setiap botol, ia akan termangu selama beberapa detik melihat potongan melon di kulkas atau saat ia pergi dan tidak lupa membelikan makanan.

Pergi atau tinggal, kenangan akan menjadi konstelasi cahaya yang tanpa sadar kita nyalakan sendiri karena kita ingin mempertahankannya. Kita tidak ingin benar-benar lupa dan memadamkannya.

"Bukan cuma kita yang mulai kehidupan tanpa Bang Rama, Bal, Bang Ramanya sendiri juga mulai kehidupan yang tanpa kita. Ini pasti sama beratnya buat dia."

Iqbal menggelengkan kepalanya untuk menyamarkan gerakan susut air mata sementara Opang dengan santai melontarkan candaan, "Iya, pasti Bang Rama bakal kangen gak ada yang mecahin piring dia lagi. Hahay."

Tangan Iqbal tidak ikut menyambit Opang seperti tangan-tangan yang lain, ia menarik napas dalam-dalam.

'Pasti berat juga ya buat abang?'

Sekejap kemudian lamunannya buyar karena Opang rusuh memindahkan ikan Biru kembali ke akuarium.

"Riq, ini ikan lo udah gak betah di baskom katanya."

"CEMPLUNGIN SEKARANG!"

"Bentar, ini susah dia gelepar-gelepar mulu."

"Gelembungnya mana gelembungnya??"

"Riz, kasih napas buatan."

"IKAN KOK DIKASIH NAPAS BUATAN?"

*

Di lantai bawah setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh yang juga menandakan batas tolerir Rama untuk acara pesta bujangan ini, beberapa sudah ada yang tidur-tidur ayam karena kelelahan habis menyanyi, beberapa yang lain menggasak camilan sambil memandangi sorot lampu disko LED milik Satrio yang berputar menghasilkan lukisan cahaya di dinding.

Rama meraih jaketnya yang tersampir di sofa, tepat saat Acid kembali dari dapur dengan segelas air di tangan. "Eh eh, mau ke mana lo?" tanyanya dengan nada mirip sipir pada tahanan.

"Pulang.. kan acaranya udah selesai. Udah malem, Cid. Besok gue—"

"Iyaaaa besok lo nikah, Pangeran. Tapi ntar dulu. Lo diem."

"Hah?"

"Gue aja yang anter lo. Ke hotel kan?"

"Gak usah, Cid. Ntar lo pulang ke sininya lagi gimana?"

"Gampang, ada taksi, ada permadani terbang. Banyak transportasi, Ram." Acid meneguk airnya cepat sebelum meletakkan gelas di meja dan berjingkat melewati Wawan dan Satrio yang sudah mendengkur bersebelahan di karpet. "Bentar, gue ambil jaket dulu."

Rama mematung menatap Acid yang lari ke kamarnya, ia menghela napas, tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa menentang Acid. Seketika teringat adiknya yang masih di lantai atas, Rama menengadah dan bermaksud melangkah ke tangga, mengajak Iqbal pulang.

"Iqbal udah balik duluan tadi, Ram." Ucap Jime seakan membaca pikiran Rama, ia mematikan televisi sehingga cahaya lampu disko yang seolah punya tarian sendiri itu menjadi terlihat canggung tanpa pengiring musik.

"Kok gue gak tau? Kapan pulangnya?"

"Kayaknya pas lo ke toilet, baru aja kok, Ram. Iqbal bilang dia dijemput sepupunya."

"Ng, Senja?"

"Kayaknya sih.. Soalnya tadi si Ariq ikut turun nganter ke depan." Jime mesem sendiri mengingat ekspresi Biru.

Rama mencoba memahami alasan Iqbal tidak bilang apa-apa, sudah berminggu-minggu adiknya itu menghindarinya.

"Eh iya, gue mau nelpon orang yang nyewain mobil, besok harus udah standby jam sembilan." Jime membuka ponselnya.

"Resepsinya siang kok, Jim. Gak usah pagi-pagi banget."

"Enak aja, kita harus udah ada pas mulai akad." Mata Jime melirik Satrio sekilas, menyangka Satrio akan bangun dengan brutal mendengar kata 'akad'.

"Yuk! Let's go!" Acid muncul dari kamarnya yang sebenarnya bukan lagi kamarnya secara teknis karena sejak Rama pindah, ia pun sudah nyaris tidak menempati kamar itu lagi.

Rama melempar kunci mobil yang langsung ditangkap tangan Acid.

"Bye, Raden. See you tomorrow!" Jime berdiri di atas sofa sambil melambaikan tangan.

"Daaah, Ram. Duh besok lo udah jadi lakinya Mala."

"Latihan lagi, Ram, ijab kabulnya!"

"Mau tidur baca doa dulu, Ram." Satrio berpesan setengah merem, sementara di sebelahnya Wawan bergeming meski Rama menangkap matanya terbuka sebelah selama sepersekian detik untuk kemudian pura-pura tidur lagi.

"Sampe ketemu besok ya temen-temen." Rama tersenyum sebelum berbalik mengikuti Acid ke luar.

"Bener nih, Cid, lo mau nganter? Gue bisa nyetir sendiri kok." Rama memastikan lagi saat sudah di dalam mobil.

"Benerlaaah. Lagian lo kan besok bakal jadi penganten, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, gue jadi pengawal yang nganterin lo sampe selamat ke hotel." Acid mengenakan sabuk pengamannya. "Lagian gue kan penanggung jawab acara sekaligus best man lo, jadi udah tugas gue mastiin lo aman."

Rama mendenguskan tawa kecil melihat senyuman jumawa Acid saat mengatakannya.

Selama beberapa menit mobil melaju, hanya terdengar suara dari music player dengan volume pelan—yang sempat diprotes Acid, 'Lagu lo gak ada yang asik, sendu semua'—selagi mobil melaju di jalanan yang tidak terlalu padat.

Acid melirik Rama yang melamun ditimpa sinar-sinar lampu jalanan yang menembus kaca jendela mobil.

"Ram,"

"Hm?"

"Gimana rasanya besok lo nikah?"

"Gak tau, Cid." Rama terlihat agak gugup, "Ini juga pertama kalinya buat gue."

"Jangan salah nyebut nama gue pas ijab kabul ya, gue tau lo juga kan cinta banget sama gue."

Acid terbahak melihat muka Rama.

"Di belakang ada hadiah bareng-bareng dari anak-anak Komet. Ntar lo gabungin sama kado-kado lain aja ya."

Mata Rama membulat, ia segera menoleh dan melihat sesuatu seperti poster dalam bingkai yang dibungkus kertas cokelat.

"Kapan lo taro situ?"

"Tadi pas lo masih pamit hehehe."

"Oh jadi itu alasan lo ngotot nganterin gue?"

"Nggak juga sih. Emang pengen nganterin lo juga."

"Itu apa isinya, Cid?" Rama masih menoleh ke belakang.

"Jadwal piket."

"Hah? Serius..."

Acid cengengesan, "Kenapa? Lo kecewa ya kita gak patungan ngadoin lo mesin cuci?"

"Nggak gitu," Rama memutar bola matanya, "tapi jadwal piket apaan segede gitu dan kenapa jadwal piket?"

"Ya kan lo yang bikin jadwal piket di Komet, di rumah baru lo ntar juga harus ada jadwal piket, jadi gue sama yang lain bikinin." tangan Acid merogoh saku jaket denimnya mencari permen mint selagi mobil berhenti karena lampu merah, "Ntar lo liat aja deh pas buka-buka kado sama amplop."

Acid menambahkan dengan canda melihat Rama bengong, "Tenang, itu kado kolektifnya doang kok, Ram. Ada juga kado personal, walaupun kayaknya kado personal gue cuma teflon buat masak."

"Pasti ide lo juga ya?"

Alih-alih menjawab, Acid kembali cengengesan sembari mengunyah permennya. Mobil kembali melaju saat lampu sudah hijau.

"Lo kayaknya udah tau juga, Ram. Tapi semua anak Komet, semuanya, kehilangan lo. Kita tau lo gak pergi jauh, kita masih bisa ketemu lo sesekali, tapi ya gitu deh, kita kayaknya gak pernah siap kehilangan Rama si tiang kebersihan kita dari Komet."

Sudut bibir Rama terangkat, ia menyandarkan pelipisnya ke kaca jendela, membiarkan cahaya-cahaya kota memantul di bola matanya sementara Acid kembali bicara.

"Semuanya beda-beda cara nyikapinnya. Butuh waktu buat si Bangsat terbiasa dengan ke-enggak-adaan nasi goreng lo, Jime yang masih bingung sama penempatan alat-alat kebersihan karena lo yang paling tau, Krucils yang masih sering bilang 'Kalo aja ada Bang Rama...'" Acid terkekeh, ia melirik Rama lagi. "Terus Wawan.... keliatannya dia cuek-cuek aja, tapi lo liat sendiri lah ya, pas lo pindah."

Senyum Rama semakin lebar dan matanya seketika berlapis air.

"Sejak lo pindah, dia jadi lebih sering ngosek."

"Yang bener lo..."

"Iya anjir, masih bersih juga dikosek aja sama dia. Buat orang lain, ngalihin sedih bisa maen game, nonton, dll, kalo Wawan ngalihin ke kegiatan ngosek. Tu orang jadi lebih rajin ngoseknya, sama ngisengin orang."

"Lebih positif sih." Rama menertawakan ironi, justru saat ia pergi, kamar mandi Komet jadi lebih bersih tanpa perlu gerakan militan meneriaki Wawan terlebih dulu. "Jadi lebih sering mandi juga gak dia?"

"HAHAHAHA, gak tau dah kalo itu. Tadi gimana? Gak bau kan?"

Keduanya tertawa.

"Gue juga sedih, Ram." cetus Acid seakan menyumbat tawa Rama perlahan, "tapi gue gak ngalihin ke mana-mana. Gue sadar banget kalo nanti gue dan yang lainnya juga satu-satu bakal ninggalin Komet kayak lo. Jadi ya udah, karena lo yang ninggalin duluan, gue milih buat jadi orang yang ada buat lo di momen penting lo, di momen hidup lo bakal berubah. Gue sengaja pengen jadi best man lo, nyiapin speech buat lo, ngadain pesta bujangan buat lo terus ngidein hadiah buat lo."

Acid mengunyah permen karetnya lebih keras untuk mencegah air mata.

"Karena gue pengen lo tau seberapa pentingnya lo buat gue."

Rama memejamkan matanya selema beberapa detik, sudah lama rasanya ia tidak bicara berdua seperti ini dengan Acid, lelaki paling santai yang pernah ia tahu tapi juga yang pernah ia lihat kehancurannya.

"Kalo ada momen yang ngubah hidup gue banget, selain ketemu Dica, adalah ketemu lo. Kedengerannya pasti FTV banget ya? Tahan, Ram, tahan, biarin gue kelar ngomong dulu."

Rama menggeleng-gelengkan kepalanya pelan meski masih dengan senyum terulas.

"Gue bersyukur banget waktu dulu lo ketinggalan KTP di fotokopian Teknik, bikin gue kenal lo, bikin gue tinggal di Komet dan punya keluarga baru, hdup baru, terus obrolan-obrolan kita di teras..." Suara Acid sedikit bergetar, "waktu gue balik ngerokok, waktu gue udah nyaris putus asa dan ngerasa hidup gue lagi diubah drastis, lo duduk di sebelah gue, lo dengerin, lo berusaha nolong gue. Percaya sama gue, Ram, dengan lo ngisi kursi teras yang kosong di sebelah gue waktu itu, lo udah nolong gue.

"Jadi sekarang giliran gue, hidup lo bakal berubah besok, di sini gue sekarang di sebelah lo. Selagi gue bisa, gue bakal ada buat lo kapanpun lo butuh gue, gimanapun berubahnya hidup kita setelah ini."

Rama berdeham dan menyeka air matanya, "Harusnya tadi gue pulang sendiri. Lo jadi liat gue nangis. Sialan."

Acid nyengir, "Belom juga denger speech gue besok, Nyet. Ah, lemah lo."

"Dasar tukang bikin nangis orang, Rasyid Ananta."

"Salahin juga nih playlist lo! Elah, besok-besok gue masukin lagu koplo dah biar di mobil lo gak sendu mulu."

Sekejap kemudian mereka berdua tertawa, sementara roda mobil berputar meninggalkan kilasan-kilasan hidup mereka berdua. Saat Acid mengejar Rama untuk mengembalikan KTPnya yang tertinggal, saat Rama menyaksikan Acid terburu-buru berangkat dengan pakaian rapi ke pernikahan sepupunya, saat Acid mencuci vespa sambil bicara sendiri dan Rama memperhatikannya, saat Rama duduk di samping Acid yang mengepulkan asap rokok dengan tangan yang gemetar, saat Rama membawakan sebuket bunga yang juga menyiratkan pesan penting di hari kelulusan Acid.

Kilasan-kilasan itu ada di belakang untuk membuat mereka menoleh dan mensyukuri berbagai perubahan dalam hidup sejak semua momen itu terjadi sampai sekarang. Karena hidup akan terus memaksa kita berubah tapi isi hati dan kepala kita akan selalu mengingat.

Dan dua orang yang melaju menuju banyak rotasi dan perubahan hidup itu sesungguhnya sama-sama berjanji untuk selalu menjadi best man satu sama lain.

*

Hari pernikahan Rama.

Iqbal mengintip jam tangan di lengannya yang sudah terbalut baju beskap, kurang dari empat puluh menit lagi abangnya akan melangsungkan akad dan Iqbal ikut kena imbas mulas-mulas.

Kelegaan sedikit terpancar dari matanya saat melihat rombongan anak Komet menghambur dari pintu depan gedung.

"KITA BELOM TELAT KAN BELOM?" Jime paling heboh berlari-lari menghampiri Iqbal.

"Belum kok, Bang."

"Kan gue bilang juga apa, masih lama, Jiiim." Satrio membungkuk ngos-ngosan.

"Jangan suruh gue lari-lari lagi setan, AMPIR MELOROT NIH SARUNG GUE."

"Bukan sarung, Wan." Desis Jime waspada kalau-kalau ada warga keraton yang memperhatikan kelakuan mereka.

"Iya maksud gue kain samping, apaan sih???"

"Si Acid belom dateng??? Dia kan berangkat misah, naik vespa."

"Udah, lagi di ruangan Bang Rama." Iqbal menghindari tatapan Jime yang seperti menilai kenapa Iqbal juga tidak berdiam di ruangan Bang Rama.

"Hai, udah pada dateng!" Sapaan cerah seorang perempuan dalam sekejap menyita perhatian mereka. Biru menelan ludah melihat Senja muncul dari belakang Iqbal, sudah mengenakan kebaya dan didandani sederhana namun cantik.

"Hai, Neng Indie!" Awang membalas sapaan Senja dengan memanggilnya nama yang lebih populer di kalangan anak Komet karena senja identik dengan indie, meski mungkin akan disangka Indie Barends.

"Eh iya, pager ayunya udah pada didandanin semua ya?"

Senja mengangguk membalas pertanyaan Jime, "Pager bagusnya kalo mau dimake up dikit juga boleh?"

"Ayo yang merasa buriiiik." Mulut Wawan langsung kena gaplok tangan Jime.

"Semuanya udah oke kook. Mereka udah bilang gak mau dibedakin jadi tadi pake bedak bayi doang." Jime nyerocos sembari memindai anak-anaknya satu persatu. "Farizzzz, blangkon lo mana? Opang, kerisnya jangan lo pake pedang-pedangan, ARIQ, KOK LO MASIH PAKE SANDAL JEPIT?? SEPATU LO MANA?"

Biru yang masih kaku karena kehadiran Senja, membelalak begitu mengikuti pandangan Jime. "Eh.. i..iya.. lupa, tadinya mau ganti di mobil."

"UDAH SANA AMBIL!"

"Sini aku anter." Senja menawarkan diri, nyaris membuat Biru menabrak patung es. "Kayak Cinderella aja kamu."

Iqbal menyeringai melihat Biru berjalan ditemani Senja dengan canggung.

"Eh aku ke ruang make up pager ayu dulu ya." Katanya pada Bang Jime yang masih sibuk mengurus anak-anak itik.

"Cieeee, mau jemput Kania ya?" Ledek Galang yang langsung dibalas dengan tinju pura-pura Iqbal.

Iqbal berhati-hati memasuki ruang make up perempuan dan sedikit terperanjat begitu menyadari ruangan itu hanya dipisahkan sekat dengan ruangan make up mempelai wanita. Nirmala, perempuan yang akan resmi menjadi kakak iparnya sebentar lagi sudah didandani, di sebelahnya Kak Rani menemani. Kak Mala cantik. Apa kabar nanti kakaknya melihatnya?

"Hoi, udah beres mantau kateringnya?" Suara Kania dengan segera membuat Iqbal sadar kembali tujuannya ke sini.

Tapi ternyata ia harus terkejut jilid dua melihat Kania yang berdiri di depannya sudah beres didandani dengan kebaya berwarna senada seperti Senja tadi. Gadis yang biasanya Iqbal lihat sehari-hari memakai kaus, jeans dan sepatu keds itu tampak berbeda. Iqbal berusaha mencari kosakata lain selain 'Cantik' dalam kepalanya karena ia terlalu enggan mengakui meski tidak ia suarakan, jadilah ia sebut 'Berbeda'.

Bibir Iqbal mengerucut saat keanggunan Kania dengan segera pupus begitu cewek itu melahap lemper dengan barbar.

"Ape lo?" Tanyanya sewot.

"Nggak. Kayak orang gak makan seminggu lo."

"Gue belom sarapan. Dari pagi udah dimake up." Sahut Kania cuek. "Temen-temen lo udah pada dateng?"

"Udah." Iqbal menoleh pada Nadhila dan Hana yang masih mengecek dandanan mereka di cermin. "Ditungguin pasangan kalian masing-masing tuh di depan."

"Eh iya, makasih Bal." Jawab Nanad sambil tersenyum manis. "Naufal gak kelupaan cuci muka kan?"

"Aman, Nad. Ganteng kok."

"Enak banget Kania dijemput ke dalem sama pangerannya hihihi." Goda Hana membuat Iqbal dan Kania sama-sama berekspresi aneh, seperti seseorang baru saja meletakkan kaus kaki di bawah hidung mereka.

"Ayo cepetan makannya. Lo kan harus dipegangin jalannya, gak biasa pake high heels." Kata Iqbal sok cuek, kalau ada Galang di dekatnya pasti ia sudah berbisik rese: 'Bilang aja mau gandengan lau'.

Kania baru berjalan tersaruk beberapa langkah ketika terdengar suara dari ruangan make up pengantin yang hanya dipisah sekat. "Iqbal?"

"Bal, lo dipanggil Kak Mala." Bisik Kania, padahal tanpa diberitahu pun Iqbal sadar ia dipanggil siapa. Ia menarik napas sebelum menengok.

"Iya, Kak?"

"Sini bentar boleh gak?"

"Mampus, lo diminta laporan katering." Bisik Kania lagi.

"Boleh, Kak. Bentar." Iqbal menatap Kania gusar, "ya udah lo dulan aja."

Kania meleletkan lidah sebelum melenggang lebih dulu keluar ruangan.

"Kenapa, Kak Mala?" Tanya Iqbal ragu-ragu, di belakangnya, penata rias pengantin sudah membereskan peralatan mereka tanda make up sesi satu untuk pengantin sudah selesai, Kak Rani berkedip padanya lalu keluar ruangan. Tiba-tiba Iqbal teringat obrolannya dengan Kania tempo hari, matanya langsung membelalak.

"KAK MALA GAK LAGI FREAKING OUT KAN?"

"Hah? Freaking out gimana, Bal?" Mala menahan tawa melihat wajah panik Iqbal.

"Jangan bilang Kak Mala tiba-tiba berubah pikiran, gak jadi mau nikah sama Abang? Kak Mala mau kabur???"

Sejenak dua-duanya sama-sama melongo sebelum Mala meledakkan tawa sampai hampir menitikkan air mata. "Kamu ngomong apa sih, Baaal??"

"Oh, nggak ya?"

"Nggaaaak. Sini duduk. Tenang aja, aku gak freak out kok." Mala menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Iqbal menurut meski masih bertanya-tanya.

Pertanyaannya dengan segera terjawab saat Mala mengeluarkan gantungan boneka kecil dari dalam pouchnya dan menyerahkannya pada Iqbal. Boneka gajah kecil.

"Waktu itu, Rama minta temenin beliin kenang-kenangan buat anak-anak Komet termasuk kamu. Tapi cuma punya kamu yang belum dikasihin. Kira-kira kamu tau gak, Bal, kenapa?"

Iqbal merasakan pandangannya mengabur perlahan selagi memandang gantungan boneka gajah di tangannya, ia menjawab pelan, "Karena aku ngehindarin abang."

Tangan Mala menepuk lembut bahu Iqbal, "Bang Rama berusaha ngerti alasan kamu menghindar dan dia takut kalo dia maksain ngomong sama kamu bakal bikin kamu tambah sedih. Jadi dia nunggu sampe kamu kira-kira siap."

Air mata Iqbal sudah mulai menetes, "Jadi dia minta tolong aku yang kasih ini buat kamu. Biar kamu gak mikir kalo cuma kamu yang gak dikasih. Percaya deh, Bal. Bang Rama mikirin kamu terus."

"Kamu juga harus tau kalo di rumah yang bakal aku sama Bang Rama tempatin setelah nikah, ada satu kamar kosong yang harusnya buat kamar tamu tapi dia nyebutnya 'kamar buat Iqbal'."

Mala tersenyum begitu Iqbal mengangkat wajahnya, "Kamar buat Iqbal?"

"Iya. Jadi kapanpun kamu mau main, mau nginep, pintu rumah kita selalu terbuka. Jangan khawatir kamu gak bisa bareng lagi sama Bang Rama ya, Bal. Bang Rama selalu mikirin dan ngeusahain kamu."

Hati Iqbal serasa diremas, ia tahu kalau Bang Rama memang tidak akan pernah meninggalkannya. Tidak pernah. Walaupun setelah ini banyak yang akan berubah setelah ini, walaupun ia pergi, ia selalu memastikan Iqbal tidak merasa ditinggalkan.

"Ma..makasih Kak." Iqbal sekuat tenaga menyamarkan suara lirihnya.

"Sama-sama. Nanti Kak Mala bikinin spageti lagi ya? Hehe."

Iqbal ikut tertawa, dengan cepat ia mengusap air matanya.

"Bal, talk to him, okay?"

Iqbal tersenyum, "Emang Iqbal mau ngomong kok, Kak."

*

Transisi waktu antara akad dengan resepsi berselang beberapa jam, Rama yang baru saja selesai mengucapkan ijab kabul dan melewati waktu kurang dari sepuluh menit dengan diri yang jauh lebih tenang setelah grogi tak putus-putus setiap malam itu kini telah duduk di pelaminan, dengan status resmi sebagai suami, dengan senyum yang menyiratkan lega dan bahagia. Mala yang sekarang juga sudah resmi berstatus istri sedang berganti baju di ruangan pengantin.

Gedung diisi dengan orang-orang yang mondar-mandir, petugas katering, keluarga dan teman-teman yang dari pagi sudah datang, krucil-krucil Komet yang bertugas jadi pagar bagus dan pagar ayu yang sekarang sudah menyebar ke banyak sisi gedung, sementara abang-abang mereka sudah berganti baju dari pakaian adat menjadi setelan jas, Acid bahkan sudah menata rambutnya jadi jidatan. Rama bisa melihat dengan jelas dari atas pelaminan dia mondar-mandir memotret para krucil, sesekali kepalanya menoleh ke pintu gedung seperti menunggu kedatangan seseorang.

Rama ikut menolehkan kepalanya meski beda arah, menunggu Mala muncul dari ruangan pengantin untuk menemaninya di atas pelaminan karena resepsi akan segera dimulai. Merasa kalau Mala belum akan keluar dalam waktu sepuluh menit, Rama menghela napas, tangannya merogoh saku jasnya, ada secarik kertas yang terlipat di dalam sana, yang membuatnya tiba-tiba berdebar.

Waktu dalam kepala Rama mundur ke waktu saat dia selesai akad dan berganti baju menjadi setelan jas, saat Iqbal menghampirinya dengan kepala tertunduk.

'Maaf Iqbal baru ngasih sekarang.' Katanya cepat dengan nada dikejar air mata, menyodorkan secarik kertas yang dilipat rapi. Rama seketika paham apa itu meski belum melihat apa isinya.

Rama mengenal Iqbal sejak ia kecil dan dari dulu Iqbal sangat biasa menyampaikan apa yang dipikirkan maupun dirasakannya secara apa adanya, tapi Rama merasakan kapan tepatnya Iqbal berhenti menyampaikan langsung perasaannya, yaitu saat Rama mau menikah.

Berkali-kali Rama menduga-duga, memikirkan dalam-dalam kenapa Iqbal berubah, kenapa Iqbal menghindarinya dan menolak bicara apapun selain bicara topik umum seperti orang asing. Iqbal tidak lagi mengungkapkan apa adanya, Iqbal menjadi lebih diam, dan hanya satu jawaban yang bisa dipikirkan Rama: Adiknya belum siap melepasnya pergi dan Rama sangat mengerti kenapa.

Rama adalah orang yang meyakinkan dan membuktikan kalau ia tidak pernah sendirian saat ia merasa sendirian, Rama adalah orang yang dicari Iqbal saat ia menangis karena melihat anak ayam yang terpisah dari induknya, juga saat Iqbal menang tanding basket, skala sekecil apapun. Iqbal mengikuti Rama sampai ke Jakarta, Iqbal selalu berada dalam jangkauan Rama. Sampai konsep pernikahan yang masih dicerna Iqbal membuatnya paham kalau jangkauan Rama akan meluas, Rama akan sama seperti yang lain, meninggalkannya. Iqbal lupa pada fakta bahwa Rama akan tetap menjadi abangnya apapun yang terjadi. Bahwa Rama juga sedih karena tidak bisa meyakinkan fakta itu pada Iqbal.

Mata Rama berpindah dari kertas di tangannya ke arah Iqbal yang sedang berdiri di dekat meja prasmanan sedang mengobrol dengan Kania tanpa sadar abangnya sedang memperhatikan.

Pelan-pelan Rama membuka lipatan kertas itu, mengingkari tekadnya sendiri untuk membuka surat itu nanti, takut menangis di depan umum karena apapun yang ditulis adiknya di surat itu berpotensi mengaktifkan haru dalam dirinya.

Hai, Bang.

Selamat ya buat pernikahannya.

Maaf butuh waktu lama banget buat Iqbal nulis dan ngasih surat ini, Iqbal jadi orang yang paling telat ngucapin selamat ke abang, padahal Iqbal adek abang.

Entah gimana, Iqbal paham abang juga sengaja gak nanya Iqbal, pasti abang juga gak mau tambah bikin Iqbal sedih kan, terus Iqbal gak mikir kalo abang juga pasti sedih.

Selama ini abang udah banyak ngorbanin perasaan abang tanpa bilang apa-apa. Dari dulu.

Waktu aku kecil, abang masih dipanggil 'Mas Rama' tapi terus berubah karena aku pengen manggil 'Abang' dan abang iya-iya aja.

Abang rela gendong aku di punggung abis main kasti di lapangan sore-sore, padahal abang abis jatoh.

Abang beliin bola basket dan ngenalin aku ke basket karena itu salah satu pilihan permainan yang bisa aku mainin walaupun sendirian.

Abang nyariin SMA yang bagus di Jakarta buat aku sekolah supaya pendidikan aku bagus.

Abang selalu inget beliin makanan yang aku suka kalo pulang kencan atau pulang dari mana-mana.

Abang bela-belain dateng ke pertandingan penting aku walaupun abang sendiri juga lagi sibuk.

Tanpa abang sadari, abang udah gantiin tiga sosok di diri abang, ayah, bunda, sama kakak.

Aku aja cuma bisa jadi Iqbal, tapi abang bisa jadi ayah, bunda, dan kakak.

Tapi pada akhirnya abang tetep jadi Bang Rama, Raden Pramadipta Atmodjo. Sekarang adalah waktunya abang mikirin abang sendiri, yang abang gak perlu berkorban, yang bisa bikin bahagia, ngikutin kata hati abang sebagai Rama seutuhnya, bukan sebagai ayah, bunda, atau kakak buat Iqbal tapi jadi Rama.

Dan itu diwujudin dengan pernikahan abang sama Kak Mala.

Jadi untuk itu, selamat ya, Bang.

Iqbal beneran ikut bahagia buat abang sebagaimana abang juga selalu bahagia buat Iqbal dan bikin bahagia Iqbal.

Meskipun ini pilihan abang, aku tahu bukan berarti abang berhenti jadi abang aku atau berhenti ada buat aku.

Abang gak pernah ninggalin aku sendiri walaupun abang jauh atau barang-barang abang dibawa pindah.

Jadi aku juga gak akan ninggalin abang.

Aku tetep Iqbal adek abang yang bakal main ke rumah abang atau nelpon ke abang minta tolong dibantuin ngerjain tugas atau minta temenin nonton superhero.

Aku inget banget kata-kata abang ke aku dulu soal growing up, dari pas abang bilang gitu aku belum bener-bener ngerti tapi sekarang aku udah ngerti, Bang.

Ini kita sama-sama lagi growing up, abang dengan menikah dan aku dengan menghadapi perpisahan sama abang.

Bener kata abang, ketika kita tumbuh, orang lain juga.

Ketika kita ngikutin arus hidup, orang lain juga sama.

Ketika kita berubah, orang lain juga sedang berubah.

Untungnya kita ngadepin itu semua bareng-bareng, tumbuh dan berubah tapi bersama-sama.

Mulai sekarang, abang harus inget buat tetep mikirin diri abang ya, apa yang bikin abang bahagia, lakukan. Sebagai Rama.

Aku juga bakal melakukan hal yang sama. Sebagai Iqbal.

Pada akhirnya, Rama sama Iqbal (Kak Rani juga) tetep kakak beradik.

Doa terbaik aku buat Bang Rama.

Makasih udah lahir lebih dulu dari aku dan jadi abang terbaik yang aku punya.

Makasih udah jadi temen pertama di hidup aku.

Aku sayang abang.

-Iqbal

PS: Kalo aku punya ponakan nanti, aku mau dipanggil Abang!!!!

Air mata Rama menetes tak terelakkan di atas surat itu. Dengan setelan jas rapi pengantin pria, dengan lagu cinta yang masih terus mengalun mengisi seantero gedung, dengan adiknya yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.

*

Cahaya matahari sore perlahan menggambar pola di dinding dengan bantuan ranting dan dedaunan yang mencipta celah. Dinding itu berwarna biru yang nyaris pudar karena belum dicat lagi. Seperti rekaman kamera, mata kita akan menyorot pada barisan sepatu di rak bertingkat-tingkat bersebelahan dengan barisan helm bermacam warna.

Terparkir vespa berwarna biru dongker, motor matic, motor gede, motor gigi yang ditempeli banyak stiker di garasi. Rekaman kamera lalu bergeser pada dua kursi di teras berlantai putih, dipisahkan meja bundar kecil yang diletakkan vas bunga imitasi bersebelahan dengan asbak. Pada banyak masa, kursi itu diduduki orang silih berganti, sambil memainkan gitar, memperhatikan yang lain menyiram tanaman-tanaman, menyikat sepatunya, atau memandangi hujan tengah malam.

Di balik pintu depan yang menyambut kita dengan keset, kotak-kotak dinding membentuk banyak ruang. Ruang tamu dengan sofa panjang yang sudah robek dan ditambal di beberapa bagian, biasanya ada yang tidur dengan kaki menjuntai di situ sambil menikmati apapun yang ditayangkan layar hpnya.

Ruang-ruang lain menyimpan cerita anak-anak manusia dengan segala karakternya. Bagaikan arsip raksasa yang menyimpan dalam format saksi bisu, bagaimana mereka tertawa, menangis, jatuh sakit, mendapat pesan penting yang membuat terlonjak, melamun menatap langit-langit, memeluk guling menjemput lelap, berjibaku dengan laptop dan tugas yang menumpuk, menyanyi keras-keras, bicara dari hati ke hati, mengobrolkan topik seremeh apapun, bertukar pikiran dan konsultasi rasa. Di antara mereka tidak pernah ada yang benar-benar tahu tentang hidup, mereka sama-sama punya banyak pertanyaan, lalu ruang-ruang dalam rumah beserta para penghuninya menjadi bagian dari pemecah tanda-tanda tanya itu.

*TAMAT*


Continue Reading

You'll Also Like

2M 57.1K 95
On the twelfth hour of October 1st, 1989, 43 women gave birth. It was unusual as none of them had been pregnant since the first day they started. Sir...
1M 32.5K 78
"π™Ύπš‘, πš•πš˜πš˜πš” 𝚊𝚝 πšπš‘πšŽπš–! πšƒπš πš˜ πš•πš’πšπšπš•πšŽ πš—πšžπš–πš‹πšŽπš› πšπš’πšŸπšŽπšœ! π™Έπš'𝚜 πš•πš’πš”πšŽ πšπš‘πšŽπš’'πš›πšŽ...πšπš˜πš™πš™πšŽπš•πšΓ€πš—πšπšŽπš›πšœ 𝚘𝚏 πšŽπšŠπšŒπš‘...
779K 29K 97
𝐀 π’πŒπ€π‹π‹ 𝐅𝐀𝐂𝐓: you are going to die. does this worry you? βͺ tua s1 ⎯⎯⎯ 4 ❫ Β© π™΅π™Έπš…π™΄π™·πš‡πšπ™Άπšπ™΄π™΄πš…π™΄πš‚...
147K 6.7K 100
In the vast and perilous world of One Piece, where the seas are teeming with pirates, marines, and untold mysteries, a young man is given a second ch...