LIMERENCE; hyunjin ft. felix...

By amaryleteal

19.6K 2.2K 681

👑 Semesta mereka masing-masing berputar; Felix dan segala presensinya adalah suatu estetika bagi Hyunjin. At... More

Limerence-00
Limerence-02
Limerence-03
Limerence-04
Limerence-05
Limerence-06
Limerence-07
Limerence-08
Limerence-09

Limerence-01

2.5K 292 59
By amaryleteal

👑 Ruangan ini tenang, terkesan damai meski pencahayaannya agak temaram. Aroma lembut tercium di segala penjuru ruangan menambah efek nyata keindahan. Meski begitu, Hyunjin berdiri canggung di tengah-tengah ruangan. Sama sekali tak terbuai akan keelokan itu. Ia masih berpakaian kasual —kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku— berikut sebilah pedang yang menggantung di pinggang. Hyunjin mengakui jika perasaannya tak setenang suasana di ruangan ini. Tiga belas tahun berlalu dan ini pertemuan pertamanya kembali dengan Putra Mahkota Amethyst.

Lelaki yang berjarak sekitar lima belas langkah di hadapannya tampak tampan dan rapi, juga tenang. Memang ada sedikit raut wajah duka, tapi ia bahkan terlihat tak sebegitu terluka dibanding beberapa pelayan yang dijumpainya ketika dalam perjalanan menuju ruangan kakaknya ini. Mungkin seorang calon pemimpin memang telah dilatih untuk selalu berhati-hati dalam bersikap, bahkan hanya untuk sekedar menampilkan ekspresi.

Hyunjin menjaga air mukanya agar tetap stabil. Ia pun tidak boleh kalah tenang. Kedua lengannya jatuh di sisi tubuh. Maniknya nyalang menghadap ke depan. Posturnya tegap namun hormat, tidak menantang sama sekali. Tapi degup jantung Hyunjin yang bertabuh keras tak bisa dikontrol oleh dirinya sendiri. Belum lagi tatapan lelaki yang duduk di balik meja di depannya terasa begitu lurus enggan berpindah dari matanya.

"Selamat datang kembali, Sam."

Agak dramatis memang, tapi Hyunjin sungguhan merasa jika suara itu terlalu menggema di ruangan ini. Masuk ke telinganya dan terserap begitu saja ke dalam pikirannya. Hyunjin mengangguk singkat sebagai respon.

"Aku kembali, kak Chris."

Lain halnya dengan Hyunjin yang kelihatan agak tertekan, Chan malah terkekeh ringan. Lelaki itu kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tampak lebih santai.

Chan tersenyum, "banyak yang berubah, ya? Kau bahkan memanggilku kakak seperti tengah membaca naskah di depan matamu."

Mendengar tuturan dari lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu, Hyunjin buru-buru menundukkan sedikit kepalanya, meminta maaf non-verbal, "maafkan aku. Aku tidak bermaksud—"

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku senang kau kembali." Chan memotong.

Hyunjin menghembuskan nafasnya yang tadi tanpa sadar ia tahan, membungkuk lebih dalam sesaat. Ketika kepalanya kembali pada posisinya semula, tatapan Chan kembali menguncinya. Hyunjin tersenyum canggung dan mengucapkan terima kasih setelah itu.

"Kalau begitu, segara bersiap-siap di kamarmu. Upacara pemakamannya akan dimulai pukul sembilan tepat." Chan berujar lugas. Hyunjin mengangguk dan berniat segera berbalik setelah membungkuk hormat. Tapi panggilan Chan lebih dulu menahannya,

"Oi, Sam, kau tidak lupa dimana letak kamarmu, kan?"

Hyunjin tersenyum miring, menangkap adanya nada gurau dari perkataan kakaknya itu. Hyunjin sendiri tidak bisa percaya bahwa dia akan sebegini mudahnya akrab kembali dengan sang kakak. Tidak peduli betapa dekatnya mereka saat masih anak-anak, tapi telah banyak yang terjadi, dan rasa kebersamaan itu kian terkikis selang waktu ia terus tumbuh besar. Tapi memang Chan yang dulu dan yang kini bisa Hyunjin asumsikan sebagai orang yang sama hangatnya.

"Jika aku lupa…" Hyunjin menjawab, menyipitkan mata. "Bisa tidak kakak menunjukkannya padaku?"

Chan terkekeh senang mendengarnya, khilaf bahwa situasi saat ini akan begitu tabu untuk merasa senang, "aku yakin kau tidak lupa. Kamarmu masih sama. Sama seperti statusmu yang adalah Pangeran di negeri ini. Tidak ada alasan untuk merubah apapun, meski kau nantinya menghilang ke ujung dunia sekalipun."

Hyunjin tercenung mendengarnya. Terlalu terpaku. Sampai-sampai aksinya tertahan beberapa lama.

Hyunjin menutup pintu besar ruangan kakaknya yang baru saja ia singgahi. Dua pelayan yang menjaga pintu itu membungkuk hormat padanya. Hyunjin tersenyum samar, seadanya.

Selang beberapa langkah, manik Hyunjin menangkap rombongan yang berjalan satu lorong dengannya dari arah yang berlawanan. Mereka berpakaian serba hitam, keseluruhan busana mereka tampak sama, kecuali satu orang di tengah-tengah mereka yang melenggang terarah dan santun. Ia memakai gaun panjang polos yang lengannya sepanjang siku. Rambut pendek pirangnya tertata sederhana. Hyunjin hampir tak mengenali perawakan siapakah itu sebelum ia menatap matanya lebih teliti.

Ibu. Hyunjin sedikit berjengit. Hyunjin ingat jika ibunya punya mata yang kecil dan tajam, hampir serupa dengan yang dimiliki gadis itu. Tapi miliknya tidak setajam milik ibu Hyunjin. Dan satu orang lagi yang Hyunjin ingat memiliki netra yang seperti itu adalah Tuan Putri satu-satunya kerajaan ini.

Itu… adiknya?

Terbesit diam-diam dalam batin Hyunjin akan perasaan kehilangan.

Kerumunan itu makin mendekat, dan Hyunjin pun tak menghentikan langkahnya meski dengan keterkejutannya tadi. Hingga akhirnya mereka berhenti sekitar terpaut lima langkah dari Hyunjin yang ikut berhenti berderap.

"Salam, Yang Mulia." ucap mereka bersamaan. Hyunjin tersenyum sedikit. Kabar tentang kepulangannya begitu cepat tersebar meski terhitung baru sekitar dua jam dia menapak kembali di istana.

"Ya." jawab Hyunjin.

Keseluruhannya membungkuk hormat dengan rata. Tunduk di hadapannya. Namun gadis yang tadi dilihatnya hanya memandang ke bawah. Menolak untuk menunduk dan tidak ingin pula menatapnya.

Hyunjin berdehem, "Felixia?"

Sudah cukup lama nama itu tidak pernah keluar dari mulutnya. Asing.

Tampak jelas Hyunjin menangkap gambaran ketika gadis itu tersentak. Ia hanya berniat menyapa di tengah keraguan. Namun gadis itu tak bereaksi apa-apa setelahnya. Cuma mengangguk sekilas,

"Jalan." titahnya lemah. Memang ditujukan kepada pelayan-pelayan yang datang bersamanya.

Pelayan-pelayan di sisinya kembali bergerak. Dahi Hyunjin berlipat ringan melihatnya. Matanya masih menatap sang gadis hingga perawakannya tak lagi terlihat. Dan Hyunjin bersumpah jika ia melihat Felix, adiknya, mengerling tajam melalui sudut mata ketika mereka tepat berpapasan. Menembak manik Hyunjin secara tepat dan dalam. Aura intimidasi kental bersamanya.

Hyunjin menahan nafas. Gemuruh di dadanya kian menggebu. Dan Hyunjin tak menemukan titik temu akan alasannya. Hingga lelaki itu memutuskan berbalik dengan sekejap, dan atensinya seketika terpancang pada gadis dengan rambut pendek yang cukup menutupi leher jenjangnya itu. Ia berderap anggun tanpa menolehinya lagi. Sekilas Hyunjin sempat berpikir bahwa ia berdelusi, namun segalanya tampak begitu nyata untuk dikilahkan.

Jauh dalam diri Hyunjin mengatakan bahwa gadis itu seolah ingin membunuhnya melalui tatapan itu.


Atmosfer berkabung terasa kental kian memekat. Ventilasi-ventilasi besar yang menganga seolah tak berdaya untuk menyuplai udara segar. Hyunjin terjerat dalam aula luas yang menyesakkan. Suara pelayat yang menangis bersahutan dari satu penjuru ke setiap sisi. Bahkan beberapa di antaranya kelepasan meratap, terluka.

Hyunjin memasang raut sendu. Tak ubahnya yang lain, ia pun merasa berduka. Namun air matanya tetap tak bisa keluar dengan deras meski ia sudah mencoba mengenang memori-memori indah selama masa kanak-kanak yang ia habiskan di istana. Hyunjin tak terlalu dekat dengan ayahnya, sebab mendiang Raja itu tampak terlalu fokus pada kakaknya yang memang telah dilatih sedari belia untuk menjadi penerus tahta. Pelupuk mata Hyunjin baru basah ketika mengingat sang ibu. Ibunya adalah wanita paling cantik di negeri itu. Wajahnya agak dingin dan elegan, tapi sosoknya hangat. Hyunjin lupa bagaimana rasa dekapannya, tapi lelaki itu menolak lupa kala sang Ratu bersikeras membantah keputusan Raja untuk memindahkannya ke rumah paman. Ibunya cemas dan menangis ketika itu, sementara Hyunjin merasa tindakan ibunya terlalu berlebihan sebab pikirnya dia hanya akan pergi untuk mengunjungi paman selama beberapa hari saja. Dan Hyunjin baru paham beberapa waktu setelahnya jika itu adalah wujud pemberontakan seorang ibu yang merasa kehilangan.

Mata Hyunjin tak bisa fokus pada satu hal ketika gelisah seperti ini. Ia mendadak gagu untuk melakukan apa saja. Ada rasa canggung yang tercipta dalam dirinya, dan Hyunjin tak punya apapun untuk menetralisir perasaan seperti itu. Dan lagi, agak mustahil rasanya untuk bercakap-cakap dengan rombongan pamannya yang baru saja tiba seperempat jam yang lalu.

Usai mengusap matanya yang berair dengan punggung tangan berlapis sarung tangan putih, Hyunjin menerawang ke segala arah. Ia menatap kedua pigura raksasa lukisan mendiang orang tuanya yang berada di altar, kemudian dirinya menyempatkan diri mengamati kakaknya sekedar ingin tahu bagaimana air muka yang kakaknya tunjukkan. Chan masih sama, tapi kini wajahnya tidak menyembunyikan keterpukulannya dan sesekali mengusap mata dengan sapu tangan. Lalu, Hyunjin mendadak ingin tahu juga bagaimana reaksi adiknya. Tak terpaut jarak yang terlampau jauh, Felix berada beberapa langkah di samping Chan. Wajahnya agak basah dan matanya sedikit sembab. Habis menangis, tentu saja.

Hyunjin berang kepada dirinya sendiri. Sebagai anak kedua, bagaimana bisa hanya dia yang kelihatannya paling mendingan? Semua orang berduka, dan Hyunjin bagai sedih sekenanya saja. Apa mungkin karena waktu yang ia habiskan bersama keluarga intinya lebih sedikit dibandingkan saat-saat berharga yang ia lalui dengan keluarga paman? Meski begitu, yang wafat bersamaan hingga upacara ini terasa begitu pilu adalah orang tua kandungnya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika mereka bertiga bersaudara akan menjadi yatim piatu secara instan.

Hyunjin refleks saja melempar pandangan terluka ke arah Felix. Bungsu Amethyst itu tentu adalah yang paling lemah mentalnya. Setidaknya itu yang Hyunjin spekulasikan.

Tapi tiba-tiba saja manik kecil milik gadis itu melirik Hyunjin. Hanya melirik, bukan menatap. Dan Hyunjin mau tak mau enggan menoleh dan balik meliriknya juga meski jantungnya bertalu. Sejenak keduanya tampak terkunci dalam pandangan masing-masing.

Setelah itu, Felix yang duluan memutus tatapannya dengan beralih menatap kakaknya. Rupanya Chan menginstruksikan agar gadis itu untuk mendekat. Tak lupa Chan juga memberi gestur serupa pada Hyunjin, lelaki itu pun mengangguk paham. Mungkin inilah saatnya mereka memberi sepatah dua patah kata sebagai ajang pengenang kepergian kedua mendiang Raja dan Ratu. Dan ngomong-ngomong, Hyunjin bingung dengan apa yang harus ia katakan nanti.

Banyak hal yang terjadi, dan itu membuatnya tertekan. Di usianya yang ke sembilan belas, Felix harus menerima fakta bahwa ini adalah tahun paling menyakitkan di sepanjang hidupnya. Kematian kedua orang tuanya yang secara bersamaan sukses menampar Felix pada kenyataan bahwa segala hal buruk dapat terjadi secara tiba-tiba.

Rasanya baru kemarin kedua orang tuanya berpamitan untuk rencana liburan singkat di tengah-tengah problema politik yang harus mereka geluti setiap saat. Ada waktunya di mana mereka harus rehat sejenak dari perkara memuakkan itu terlebih ayahnya yang sudah memimpin negeri ini dengan baik. Dan Felix masih ingat sentuhan telapak tangan ayahnya di ubun-ubun kepala, juga dekapan hangat yang beraroma ibunya. Mengenang kembali semua itu membuat matanya panas lagi. Menyesakkan. Dan hari ini ia merasa lebih kesepian dari biasanya saat dua peti emas berisi orang-orang yang ia cintai tenggelam dalam tanah.

Felix mengusap kelopak matanya dan menepuk-nepuk pipinya yang basah. Ia memperbaiki sedikit tatanan rambutnya yang agak berantakan. Matanya mengamati kayu eboni kembar yang penuh ukiran estetika di hadapannya. Tertutup rapat menyembunyikan satu ruang kamar yang kurang lebih berukuran sama dengan miliknya. Ia tergugu cemas menyadari bahwa si pemilik kamar baru saja kembali tadi pagi. Bertahun-tahun yang lalu ruangan ini hanyalah satu kubus hampa yang tidak pernah dihuni siapapun kecuali para pelayan yang bergantian datang untuk mengusir debu-debu pada furniturnya. Tapi kini, saat jemari Felix mengusap kayu kokoh itu perlahan, seolah satu napas tertambat di dalamnya. Mengisi segala kehampaan yang pernah ada. Menjamah sepi yang selalu hinggap pada kamar itu.

Memutuskan untuk tidak berlama-lama mematung dalam ironi, Felix mengetuk tiga kali pada permukaan pintu. Jika di kamarnya, maka sudah jelas ada pelayan yang akan membukakan pintu, tapi mengingat sang empunya yang baru kembali, mungkin belum ada pelayan yang ditugaskan untuk berjaga-jaga di sini.

Menyadari tak ada respon yang berarti, Felix kembali mengetuk pintu. Kali ini dengan agak gemas. Rasanya terlalu baru baginya dibiarkan menunggu terlalu lama.

Decitan menggema efek dari gesekan bawah pintu dan ubin yang mengkilap. Sebelah pintu itu terbuka, Felix menelan salivanya agak kepayahan. Setelahnya sesosok rupawan muncul di hadapan Felix. Jaraknya tak lebih dari selangkah, dan Felix harus mengadah cukup tinggi menghadapnya.

Ada raut keterkejutan yang tercipta pada wajah lelaki itu, kakak keduanya. Felix tak berusaha tersenyum ramah sedikitpun. Pandangannya tetap terjaga, dan rautnya dibuat sedatar mungkin. Kemudian ia menyadari bahwa Hyunjin menatapnya dengan sebelah alis yang berjinjit.

"Oh, kau. Ada perlu apa?"

Jarak tidak sebegitu jauh, membuat napas Hyunjin yang beraroma mint itu terhempas ke arahnya. Belum lagi aroma wewangian yang maskulin tercium dengan jelas. Felix lagi-lagi menenggak liurnya hati-hati.

Tangannya meremas gaunnya sendiri sementara pandangannya jatuh menembak ubin. Felix berdehem singkat. "Aku ingin bicara. Boleh aku masuk?"

Tak seberapa lama, Hyunjin mengangguk setuju. Lelaki itu bergestur jantan menyuruh Felix duluan masuk ke kamarnya. Kemudian ia sendiri menutup pintu terlebih dulu sebelum mengekor di belakang. Setelah itu ikut duduk bersama si gadis di kursi santai dekat perapian.

"Ruangan ini… tetap bersih, ya." Felix menyapukan pandangan ke setiap sudut yang ada. Keseluruhannya tampak normal, seperti tidak pernah ditinggalkan selama bertahun-tahun walau kenyataannya terbalik. Hyunjin ber-hm saja menanggapi. Baginya kamar di rumah pamannya terasa lebih hidup dan nyaman.

"Jadi… apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Hyunjin tanpa basa-basi. Mendengar itu Felix menghela napas perlahan. Netranya kini hanya fokus menghadap Hyunjin. Dan pemuda itu dapat merasakan jika tatapannya lebih lembut dari beberapa saat yang lalu pertemuan mereka.

Pertama-tama, Felix berusaha agar tampak bersahabat dengan menyuguhkan senyum kecil. Ia menarik sarung tangannya yang tidak kendur sama sekali dalam upaya melawan gugup. "Aku minta maaf."

Hyunjin mencondongkan tubuhnya ke depan, sebelah tangannya menyangga dagu. "Untuk apa?" ia bertanya.

"Maaf karena aku tidak menyambutmu dengan semestinya… tadi." Felix menjatuhkan pandangannya ke pangkuan. Jemarinya saling bermain. "Jujur, aku hanya terlalu bingung, dan… canggung. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana padamu dan itu membuatku tidak nyaman. Aku harap… kau tidak terlalu mempermasalahkannya."

Hyunjin mengangguk saja sebagai jawaban. Maniknya mencerna setiap ekspresi yang gadis itu ciptakan. Hyunjin dapat mengerti jika itu adalah pengakuan jujur dari adiknya. Hyunjin juga tidak terlalu peduli, sebenarnya. Tapi mumpung situasinya memungkinkan, Hyunjin juga ingin menanyakan sesuatu.

"Aku tidak masalah dengan hal itu. Tapi kuharap ada alasan khusus bagimu untuk menatapku dengan tatapan membunuh seperti tadi."

Felix tersentak, "tatapan membunuh?"

"Ya."

"Ta-tapi… aku sama sekali tidak bermaksud begitu." Felix agak gelagapan. Tidak tahu harus bagaimana. "Aku  benar-benar hanya ingin memperhatikanmu dengan sungguh-sungguh. Aku tidak tahu jika pandanganku begitu mengganggu." cicitnya mengecil di akhir.

Hyunjin otomatis tersenyum. Adiknya begitu cantik dan menggemaskan. Telah berubah jauh sejak pertemuan terakhir mereka. Hyunjin ingin mengusap pipinya gemas andai saja hubungan mereka sedekat itu. Tapi Hyunjin sadar jika kehadirannya adalah sebagai 'orang baru' dan entah kenapa ada sedikit rasa iri yang muncul pada Chan kala terpikir mungkin lelaki dewasa itu sudah melakukannya lebih dulu.

Hyunjin buru-buru menyingkirkan pikiran buruknya jauh-jauh. Itu bukanlah hal yang penting saat ini.

"Jadi… bagaimana?" tanya Felix pada akhirnya. Hyunjin terkekeh.

"Sudah kubilang aku tidak mempermasalahkan itu sama sekali. "

Dapat Hyunjin dengar jika gadis itu menarik napas lega. Sehabis itu, Felix memutuskan bangkit. Menyudahi persinggahannya. Ia menunduk sekilas sembari mengangkat gaunnya sedikit, memberi hormat. "Terima kasih. Kalau begitu, aku pamit dulu."

Felix membalikkan badan usai Hyunjin mengangguk. Ia berderap menuju pintu masuk yang tadi dilewatinya. Felix tidak bisa mendeskripsikan tentang perasaan nyaman yang membuat dadanya lebih lega.

Berada satu langkah di depan pintu dan Felix berbalik. Hyunjin masih memperhatikannya sedari tadi. Satu senyuman tipis Felix keluarkan, "selamat datang kembali, kak Samuel." ucapnya.


Mind to review?
Sorry for typo(s) :)
Unpub or next? Mari cek ombak.

Continue Reading

You'll Also Like

Mom? [ch2] By yls

Fanfiction

112K 11.5K 33
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
1.1M 44.5K 38
(CERITA YTH. BAPAK DOSEN DAN SELURUH ISINYA HANYA TERSEDIA DI WATTPAD @eestehpanas , SELAIN DI WATTPAD SAYA KLAIM PLAGIAT) ...... "kok bapak si yang...
243K 25.7K 28
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
200K 19.2K 71
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...