RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

114K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 15 - Sultanisme

4.4K 732 118
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 10 Juli 2019 (BAB 15)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 15 - Sultanisme

***

BAB INI MEMERLUKAN KONSENTRASI UNTUK MEMBACANYA. SILAKAN CARI TEMPAT ATAU POSISI MEMBACA YANG NYAMAN.

Bantu saya temukan typo.

***

[DULU - Sultan El Firdausy]

"Kamu menjelaskan sepanjang itu pada Ayaz?" Astrid bertanya saat kami sedang dalam perjalanan pulang dengan bus. Aku memilih pulang dengan bus karena ada rute lain yang bisa ditempuh supaya ada waktu lebih panjang dengan Astrid.

"Iya. Ayaz tidak perlu diajari sebenarnya. Aku hanya menceritakan satu fenomena di negara kita. Karena yang aku lihat tidak ada hal yang mencoloknya seperti fenomena hijrah di tanah air. Ayaz sudah tahu banyak."

"Terus reaksinya gimana?"

"Reaksinya? Ya dia mengerti. Yang aku jelaskan pada Ayaz bukan sesuatu yang terlalu rumit untuk dia cerna."

"Kamu yakin dia baik-baik saja?"

"Yakin. Ayaz cuma tidak tahu harus bagaimana caranya menolak Ulfa dengan tanpa melukai."

"Mustahil!" tampik Astrid, "Nggak ada penolakan yang tidak dibersamai luka."

"Ya, tapi Ayaz sudah tahu caranya setelah ngobrol sama aku."

"Gimana?"

"Ya rahasia. Ini jurusnya laki-laki."

"Ish. Apaan sih."

Aku terkekeh melihat reaksinya. Perutku mulai terasa lapar. Tapi belum aku ungkit lagi di depan Astrid. Hari sudah gelap sekarang. Persediaan beras di flat tinggal satu kali masak lagi. Bahan makanan yang kupunya juga sepertinya belum aku pasok. Aku sempat mengkhawatirkan ini dari pagi. Bagaimana kalau nanti Astrid lapar juga? Harusnya hari ini Gunawan sudah mentransfer uang yang dia pinjam minggu lalu sesuai janjinya. Tapi belum ada notifikasi di ponselku atau sekadar konfirmasi. Di dompetku hanya ada beberapa lembar uang yang cukup untuk makan malam ini saja. Bagaimana dengan sarapan?

Aku beristighfar kemudian. Tersenyum. Tidak boleh begitu. Tidak boleh mengkhawatirkan rezeki. Untuk sesaat aku memperhatikan Astrid yang sedang memainkan ponselnya.

Kadang aku ingin mengatakan banyak hal pada Astrid. Tentang diriku. Tentang dirinya. Tentang kita berdua. Dan tentang banyak hal yang ingin aku yakinkan padanya.

"Astrid besok mau pukul berapa berangkatnya?" tanyaku. Mode 'Astrid' selalu menjadi bagian favoritku kalau sedang bersamanya.

"Pagi agak siangan deh."

"Sekitar pukul sembilan atau sepuluh berarti, ya?"

"Iya."

Aku terdiam sesaat, "Nggak bisa bakda zuhur saja?"

"Nanti sampai sana suka males kalau kesorean. Kenapa? Kamu ada UTS jam segitu?"

"Iya."

"Ya udah sih, nggak apa-apa kalau nggak bisa antar."

"Maksudnya kalau bakda zuhur aku bisa antar sampai ke flatmu."

"Kamu capek abis UTS. Nggak perlu wara-wiri."

"Lusa aku prei. Tidak ada UTS. Bisa aku pakai untuk istirahat. Jadi nggak masalah kalau besok aku sempatin antar Astrid ke Ankara."

"Beneran nggak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Kalau nggak apa-apa ya aku seneng."

"Jadi besok mau nungguin di flat sampai aku selesai. Atau kalau mau ikut ke kampus juga tidak apa-apa. Biar kalau sudah kelar bisa langsung berangkat."

"Mm, aku ikut ke kampus aja deh."

"Ya udah. Kemarin nggak bawa banyak salin, kan?"

"Enggak, cuma empat setel baju."

"Jaket nggak bawa?" tanyaku.

"Cuma satu ini saja yang lagi dipakai."

"Aku ada satu jaket wol di lemari. Besok bawa Astrid, ya?"

"Kenapa harus aku bawa? Kan aku juga punya."

"Ya bawa aja. Buat ganti-ganti. Keren loh sepertinya kalau Astrid yang pakai. Sekarang lagi sering dingin kalau malam. Nggak tahu karena cuaca. Atau cuma karena kita yang jauhan."

Astrid terdiam sesaat. Bayangan lampu-lampu kota menerpa dari luar. Menyoroti kami berdua yang sedang duduk rapat tanpa sekat.

"Perjalanan ini akan sampai ke mana ya, Mas?" tanya Astrid. Ini bukan tentang bus yang sedang kami tumpangi.

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung sopirnya dan penumpangnya."

"Aku cuma penumpang di kehidupanmu?"

"Iya. Tapi penumpang yang duduknya di sebelah sopir."

Astrid seperti tersenyum, "Maaf semalam aku cuma bercanda. Nggak hamil kok."

"Ya jangan dulu, lah."

"Tapi kamu sudah pengin punya baby?"

Aku tidak langsung menjawab, "Kalau ditanya pengin ya pasti pengin. Tapi sekarang dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Kita sedang dalam rute yang menuju destinasi kehidupan mendatang."

"Iya."

"Aku harus merencanakan banyak hal. Segalanya harus well prepared sebelum kita benar-benar niat punya anak. Ini masih panjang. Bukan berarti aku sedang panjang angan-angan. Tapi ini sebagai doa saja semoga yang seperti ini, kita berdua, bisa sampai lebih lama dari napas kehidupan. Jalani saja yang sekarang. Pacaran. LDR-an. Kangen-kangenan. Seru juga menurutku." Aku tertawa kecil.

"Kalau aku sudah selesai S2 deh."

"Sesiapnya Astrid saja. Yang penting jaga kesehatan."

"Kamu suka kangen rumah, Mas?"

"Selalu. Abi, Bu Farah, Mas Mahfuz, santri-santri. Terutama nuansa pesantren yang kadang masih suka terbawa mimpi. Belum lagi majelis sholawat yang dulu suka aku kunjungi kalau lagi ada yang dekat. Semuanya terlalu membekas. Aku besar di sana. Seperti sarang burung dan sekarang aku harus belajar terbang dan cari makan sendiri. Bedanya sekarang udah ada kamu."

"Aku masih suka mikir belum bisa jadi lebih pantas untuk punya kamu."

"Kenapa?"

"Kamu tahu, kan. Tapi sekarang aku sudah banyak belajar. Aku memulainya dari tempat yang benar. Kamu yang mengarahkan. Oh, iya. Nazam-nazam kitab Aqidatul Awam sudah aku hafal."

"Wah?" aku cukup terkejut karena Astrid kukasih arahan untuk menghafal kitab itu saat terakhir kali kami bertemu. Jadi sekitar dua bulan yang lalu. Setiap malam Jumat aku selalu mengulas sebagian nazam yang ada di dalam kitab tipis itu.

"Iya. Kan kamu yang suruh. Sekhatam kamu kasih kajian kitab itu, aku berusaha menalar. Kamu menyarankan agar aku hafal semua nazamnya, kan?"

Astrid, istriku, kalau boleh aku jujur tentang dia, pemahamannya mengenai Islam masih belum banyak bahkan saat kami menikah dulu. Dia di pesantren hanya sebentar. Aku ingat dia keluar dari pesantren ketika sebelum Ramadan. Bertepatan saat Ayahnya mulai sakit sampai akhirnya berpulang. Jadi dia belum banyak mengambil ilmu agama di pesantren. Apalagi memang pada saat itu pola pikir Astrid masih ke mana-mana. Dia masih diributkan dengan keinginannya masuk universitas top. Belum cukup fokus mempelajari ilmu agama. Makanya aku bertekad untuk membawa Astrid pada fase perubahan dalam pengawasanku sendiri.

Dan aku tidak menamai proses Astrid itu sebagai hijrah. Tetapi proses memulai dari awal. Astrid aku gembleng dari hal-hal yang paling mendasar. Bahkan sebelum aku sedikit demi sedikit mengulang kitab fiqih Safinatun Najah untuknya, aku sudah lebih dulu menanamkan pemahaman dasar padanya sebagai manusia yang dibebankan tanggung jawab di bumi ini untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Jadi dia bisa berpikir dengan sadar, bahwa persaksiannya dalam dua kalimat syahadat memiliki makna dan interpretasi yang sangat mendalam dalam kehidupannya.

Dia mungkin sejak kecil menerima bahwa dirinya adalah muslimah mengikuti kedua orang tuanya atau lingkungannya. Tapi dia belum menyadari bagaimana persaksian syahadatnya itu dengan sebenar-benarnya untuk apa? Bahwa "Aku bersaksi tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah," itu untuk apa? Aku jelaskan pada Astrid bahwa menjadi muslimah baginya bukan hanya sekadar "Iya aku muslimah mengikuti kedua orang tuaku." Atau setelah itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Bahkan setelah bersyahadat pun, ada tanggung jawab yang harus dia genapkan atas ikrar yang telah dia ucapkan tersebut. Dari sanalah aku mulai memberi pemahaman pada Astrid tentang apa peran rukun iman, berikut peran rukun islam yang selama ini sudah dia hafal mungkin sejak duduk di bangku PAUD.

Sama seperti yang pernah aku alami. Dalam agama tidak ada perintah untuk mengulang syahadat bagi mereka yang sudah islam sejak lahir atau mengikuti keluarganya. Dan tidak perlu mengulang syahadat di depan saksi karena yang seperti itu hanya dilakukan oleh mereka yang baru masuk islam atau mualaf. Hanya saja aku pribadi merasa perlu mengucap syahadat lagi sebagai kemantapanku dalam mengimani agamaku sendiri. Sebagai urusanku secara pribadi dengan Allah. Itu pun aku lakukan ketika sedang sendirian di dalam kamar, di atas sajadah, saat akal baligh-ku terasa mulai ada. Yang mungkin sebelum itu aku hanya berislam dengan mengikuti apa yang sudah ada di dalam lingkungan hidupku. Dan ketika aku mulai menyadari bahwa, baiklah, ini agama yang aku yakini, maka aku dengan kesadaran diri memantapkan syahadatku.

Bagaimana dengan Astrid? Ya, pada akhirnya dia menyadari yang seperti itu juga. Barulah, aku memberi penjelasan padanya tentang kewajibannya sebagai muslimah mulai dari sholat dan sebagainya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dulu pernah mengirim Muadz ke Yaman untuk mendakwahkan Islam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan yang sekarang juga telah terabadikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi besar yaitu Bukhari 1395, Muslim 132, Abu Daud 1586. Dan beberapa perawi lainnya.

Pesannya (matan/redaksi awal/isi haditsnya) kepada Muadz kurang lebih begini, "Engkau akan mendatangi sekelompok kaum ahli kitab. Karena itu, ajaklah mereka untuk besyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa aku (Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam) adalah utusan Allah. Jika mereka menerimamu dengan ajakan itu, ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam ...."

Bersandar dari hadits inilah aku juga mengajak Astrid memulai dengan cara demikian. Astrid sudah paham, bahwa ketika dia ingin kembali pada kesadaran beragamanya, itu tidak langsung melompat pada bab munakahat, tata negara, apalagi jihad. Tetapi kewajiban utama yang paling mendasari dirinya sebagai muslimah lebih dulu. Aku ajari dia tentang itu. Lalu kupinta dia untuk menyempurnakan bersucinya serta memperbaiki bacaan sholatnya. Kemudian kubimbing dia memahami secara perlahan beberapa fiqih dasar agar dia bisa beribadah dengan cara yang lebih afdal. Dia mendapat arahan ini dariku secara langsung ketika ada sekitar dua atau tiga bulan sebelum kami berangkat ke Turki. Jadi ketika kami masih di Indonesia waktu itu.

Pada masa itu aku memulainya dari kitab fiqih Safinatun Najah. Iya, kitab tipis yang biasa diajarkan para ustaz kepada anak-anak kecil. Astrid belum pernah mengaji kitab itu. Jadilah aku, suaminya ini sebagai pesantren privatnya. Termasuk, aku yang mengulas dan memperdalam lagi pemahaman Astrid sampai perihal haid dan nifas. Aku tidak bercanda, itu sangat penting karena berkaitan erat dengan bersuci. Sangat rawan menurutku kalau sampai seorang muslimah tidak paham urusan pribadinya seperti itu. Loh, kenapa aku yang laki-laki tahu? Jawabannya tentu karena belajar. Di pesantren bahkan kajian fiqih diajarkan secara gamblang entah kepada santri perempuan atau pun laki-laki. Meskipun pengetahuan mengenai haid dan nifas praktisnya untuk perempuan, yang laki-laki juga wajib tahu. Karena ada satu batasan atau malah larangan yang tidak boleh dilanggar seorang suami ketika istrinya sedang berhalangan.

Aku juga sempat mengajarinya ilmu tajwid dari kitab tipis Hidayatus Sibyan sebagai upayaku untuk memperbaiki tahsin dan tartil dalam bacaan Al Qur'an-nya Astrid. Dimulai dari yang sederhana dulu. Karena kita tidak bisa membangun megahnya istana iman dan islam tanpa akar pondasi yang kokoh.

Dalam metode pembelajaran di pesantren, seringkali ada pengulangan kitab-kitab fiqih pada kajiannya. Karena materi fiqih pun memiliki tingkatan yang tidak serta merta diberikan pada santri begitu saja. Kalangan Fuqoha atau ahli fiqih memiliki tradisi keilmuan yang terbilang unik. Dari sebuah kitab yang redaksinya masih asli yang juga biasa disebut dengan matan, bisa muncul kitab penjelasan atasnya yang kemudian disebut kitab syarah. Kemudian apabila kitab syarah tersebut menarik, maka akan mengundang para ulama untuk memberi tambahan yang biasanya berupa komentar atau memperluas penjelasannya yang kemudian disebut kitab hasyiyah. Itu kalau dihitung sudah tiga tingkatan dari satu kitab saja, kan?

Aku pernah menjelaskan pada Astrid tentang matan dan syarah. Dalam kitab kuning (disebut kuning karena kertas isinya berwarna kekuningan) atau kadang disebut juga dengan kitab gundul (tanpa kharakat/tanda baca), matan biasanya termaktub di pinggir halaman atau di bawah dan di atas garis. Garis apa? garis yang membingkai syarah pada halaman utama lembaran sebuah kitab.

"Jadi, syarah merupakan istilah untuk kitab yang menjelaskan kitab sebelumnya atau istilahnya ialah matan. Sedangkan matan? Matan yaitu apa yang dijelaskan oleh syarah," saat itu aku mengulas kembali agar Astrid lebih paham.

Tetapi dia kembali bertanya dengan cerdas, "Lalu hasyiyah bagaimana? Tunggu, atau ... kalau gitu berarti dalam kitab seterusnya isi hasyiyah menempati posisi syarah, sedangkan isi syarah menempati posisi matan? Layout-nya seperti kitab sebelumnya?"

"Seratus buat istriku. Hehe. Ya boleh lah disebut layout atau tata letak. Yang penting kamu paham."

"Berarti tebal banget dong kitab hasyiyah itu?"

"Iya dong. Karena dia mengulas kembali kitab sebelumnya."

Aku ambil contoh kitab fiqih karya Abu Syuja' Ahmad bin Husain bin Ahmad Ashfihan (434-500 H), yaitu kitab fiqih super masyhur yang bernama Taqrib. Kitab Taqrib merupakan kitab matan yang menarik perhatian banyak ulama fiqih lain untuk memperluas dan mengomentari atau bahkan untuk ditelusuri macam-macam dalil atas penjelasannya. Malahan ada belasan kitab syarah atas matan atau redaksi asli dari Taqrib itu sendiri. Salah satu kitab syarah dari Taqrib yang paling popular di kalangan pesantren yaitu kitab yang berjudul Fathul Qarib, mushanif-nya (penulisnya) yaitu Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy (918 H/1512 M).

Nah, kitab Fathul Qarib ini memiliki beberapa kitab yang memperluasnya lagi. Yang mana menjadikannya disebut sebagai kitab syarah dari Fathul Qarib dan hasyiyah dari Taqrib. Empat di antaranya yaitu: yang pertama ada kitab Al-Baijuri atau ada juga yang menyebutnya dengan Nisbat Al-Bajuri. Karya Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri bin Syekh Muhammad al-Jizawi bin Ahmad atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Ibrahim al-Baijuri. Sosok ulama besar yang juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas Al-Azhar, Mesir. Karena kitab Al-Bajuri predikatnya juga hasyiyah dari Taqrib maka sudah tentu Al-Baijuri ini tebal, bahkan terbagi ke dalam dua jilid. Yang kedua ada kitab yang cukup masyhur juga, yaitu kitab yang berjudul Kifayah Al-Akhyar. Karya Imam Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini (829 H). Ketiga ada kitab At-Tausyikh yang punya nama lain Qut al-Habib al-Gharib. Astrid terkejut saat aku menyebutkan bahwa At-Tausyikh ini merupakan kitab karya salah satu dari sekian banyak ulama besar tanah air yang paling aku idolakan, yaitu Syekh Nawawi Al-Bantani yang wafat pada 1315 H. Iya! Tidak salah lagi. Beliau adalah salah satu ulama tanah air yang mendunia. Dan yang keempat ada kitab Al-Iqna'. Kependekan dari Al-Iqna' fi Hall alfadz Abi Syuja' yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Muhammad al-Khatib as-Syarbini (977 H). Konon sebelum mulai menulis Al-Iqna' beliau berziarah ke makam Imam Syafi'i terlebih dahulu.

Ada beberapa kriteria termasuk usia untuk seorang santri bisa naik kelas mempelajari kitab fiqih dengan tingkat pembahasan yang lebih tinggi. Santri akan dibuat sampai terbiasa dengan materi-materi fiqih dari berbagai macam versi. Mulai dari kitab fiqih yang porsinya sederhana sampai kitab fiqih yang sudah men-syarah-i kitab-kitab sebelumnya. Biasanya santri akan dikenalkan berbagai macam pandangan fiqih oleh ustaz atau kiai mereka. Bahkan ada pesantren yang mengkaji fiqih dari perspektif empat mahzab besar. Atau hanya fokus pada satu mazhab saja, akan tetapi juga menyuguhkan komparasi dengan mazhab lainnya. Tujuannya apa? Agar santri bisa menjadi insan yang mengerti dan tidak gumun atau heran pada perbedaan pendapat ulama atau khilafiyah.

Santri yang mengerti perbedaan akan hal itu pada akhirnya akan tahu bahwa perbedaan adalah rahmat. Mereka tidak akan heran jika di muka bumi ini ada beragam cara orang islam dalam menjalankan ibadahnya. Mereka tidak akan menghakimi secara radikal ketika dihadapkan sebuah perbedaan. Karena akhirnya tahu bahwa mazhab pun memiliki satu sumber yang hulunya sama, yaitu Rasulullah sholallahu 'alaihi wa sallam.

Nah, zaman sekarang orang yang memulai hijrah kadang bagiku terlihat cukup menggelitik. Misalnya, ada seseorang yang ketika niat berhijrah itu tidak memulainya dari hal-hal yang mendasar. Mereka langsung menceburkan diri pada materi munakahat yang rawannya bisa membuat mereka mabuk cinta pada calon pasangan hidup masa depan yang tidak jelas ... entah siapa. Atau malah menceburkan diri pada sebuah prinsip Ketatanegaraan yang berbeda tanpa melakukan rekonsiliasi ilmu secara agregat. Atau malah menelan materi jihad secara mentah-mentah yang akhirnya bisa menyebabkan gagal paham dan imbasnya bisa mengarah pada aksi salah tindak. Apa yang terjadi? Aku tidak heran kalau pada akhirnya itu membuat proses hijrah mereka hanya berada pada sirkuit yang itu-itu saja.

Bahkan hijrah mereka ada yang terkesan hanya seperti perubahan gaya hidup atau lifestyle saja. Yang tadinya pakaiannya belum rapat, sekarang semakin rapat, ya itu bagus. Yang tadinya aku-kamu, saya-anda, menjadi ... ya apa. Aku sangat mendukung perubahan baik yang seperti itu, tetapi jangan sampai setelah melakukan perubahan sebatas itu saja lantas mangaku-ngaku atau mengklaim bahwa diri telah berhijrah. Awas, itu bisa menjadi sesuatu yang sifatnya riya.

Aku pernah mewanti-wanti Astrid soal ini. "Trid, hijrahkan dulu hatimu. Hijrahkan dulu keyakinanmu. Hijrahkan dulu kesadaranmu. Perkuat aqidahmu. Kokohkan tauhidmu. Urus dirimu sendiri dulu. Jangan dulu membenarkan atau menyalahkan apa yang dilakukan orang lain. Menyalahkan perbuatan orang lain itu hal yang mudah. Membaca kesalahan diri sendiri itu yang susah. Kalau bisa, jangan pernah mengatakan bahwa aku telah berhijrah. Awas, dalam perspektif wara' atau sikap kehati-hatian, pengakuan seperti itu bisa menjadi penyakit hati yang disebut riya'. Alias menampakkan. Kalau kamu mantap ingin berubah menjadi muslimah yang taat, cukup lakukan saja. Orang lain tidak perlu tahu. Orang lain tidak perlu mengakui bahwa kamu berhijrah. Allah yang menilai. Itu saja. Kenali agamamu baik-baik dari hal yang paling mendasar supaya tidak salah langkah. Hijrah bukan sebatas merubah gaya hidup saja, tapi bagaimana kita menjalani hidup dengan iman, islam, dan ihsan yang semestinya."

Dari sanalah, untuk kesekian kalinya, aku bisa jatuh cinta pada Astrid yang telah berhasil mempertahankan sosok santri dalam dirinya. Sosok muslimah yang moderat. Tidak menghakimi sesuatu secara keras karena selalu berusaha menghindarkan diri dari perilaku dan ungkapan yang ekstrem. Aku senang mengalami Astrid dari arah yang paling awal. Dia datang dengan cangkir yang belum penuh sehingga aku bisa memenuhi dengan pahamku sendiri.

"Itu jadi seperti sebuah prinsip hijrah Sultanisme dong," kata Astrid saat itu.

"Sultanisme?"

"Iya, prinsip hijrah yang kamu jelaskan tadi. Jadi semacam pemahaman hijrah ala Sultan yang kamu transferkan padaku itu."

Aku terkekeh, "Terserah. Berarti kamu Sultanisme pertama dan terdepan di hidupku. Kalau pun ada yang ingin meniru prinsip ini, aku anggap mereka berada di barisan makmum yang paling, paling, paliiiiiiing belakang."

"Kok gitu?"

"Ya karena sajadah makmumku hanya satu, dan itu cuma buat kamu. Cukup kamu. Orang lain lihat akunya pakai teropong sambil berkata, "Uwiiih, Sultan udah dikekep sama Astrid. Apa dayakuuu,'" aku tertawa kecil.

"Hehehe."

...

"Terus kapan kamu mau jelasin alasan kenapa kamu nyuruh aku menghafal nazam-nazam kitab Aqidatul Awam?" tanya Astrid.

Ruh ku kembali ke dalam bus untuk menjawab, "Ya makanya, Astrid besok berangkat ke Ankaranya setelah aku selesai UTS. Ada waktu sepanjang perjalanan untuk ngobrolin kitab keren itu."

"Ya udah."

Di perjalanan pulang itu Astrid sempat tertidur di sampingku. Aku biarkan dia nyenyak meski cuma beberapa menit saja. Baru kubangunkan saat sudah waktunya kami untuk turun.

"Masih ngantuk?" tanyaku.

"Iyah."

"Nanti Astrid langsung tidur saja kalau gitu. Aku mau belajar buat besok."

"Tapi lapeeeer," rengeknya.

"Mau makan dulu?"

Dia mengangguk. Baiklah, uang terakhir di dompetku akan kuniatkan untuk menafkahi Astrid.

Sampai di dalam flat Astrid langsung menjatuhkan diri ke atas sofa. Sambil menggumam capek banget.

Aku tersenyum melihatnya kelelahan. Lalu berderap mencantelkan tas di dinding kamar. Mengganti pakaian dengan kemeja tipis lengan panjang. Berjalan kembali ke ruang utama sambil menyingsingkan kedua lengan kaos.

"Kamu mandi dulu," kataku sambil berjalan, "Aku mau keluar sebentar. Sepuluh menit."

"Mau ke mana?"

"Ke bawah sebentar," mau nyari makanan yang bisa dibeli dengan harga uang terakhirku.

"Nggak lama kan?"

"Nggak. Makanya kamu mandi dulu aja. Kamu beres nanti aku udah di sini lagi."

"Ya udah deh. Duuuuh," dia melakukan peregangan di sofa, "Males banget mandi padahal. Astaghfirullah."

Aku berdecap. Mengambil sandal di rak.

"Andukmu di mana?" serunya.

"Tuh di sampiran. Dekat kamar mandi. Kan kamu tadi pagi yang terakhir pakai. Kecuali tadi kamu nggak mandi?"

"Ih apaan. Emang enggak," dia cengengesan.

"Astaghfirullahaladzim. Jorok banget," timpalku seraya tertawa dalam hati.

"Mas ambilin air dingin dong, tolong. Haus banget aku."

Aku menghela napas. Padahal udah mau pegang pintu mau keluar. Lantas aku kembali ke dapur untuk mengambilkan air dingin untuk Astrid. Dia sedang di kamarku mempersiapkan sesajen mandinya yang kadang ribet sekali dengan berbagai merek wewangian khas cewek yang suka pilah-pilih. Saat aku membuka pintu kulkas, seketika mataku membelalak. Terkejut karena isinya penuh. Banyak sekali! Lah kok bisa? Aku terheran bukan main. Tapi keherananku lekas terjawab saat melihat kertas-kertas yang ditaruh sembarangan di atas meja. Juga ada selembar lagi yang ternyata berisi daftar belanjaan yang sudah dicentangi satu-satu. Aku kenal sekali struk yang di bawah kertas itu dari salah satu toko di pasar yang tak jauh dari sini. Dan tulisan tangan pada daftar belanjaan itu adalah milik Astrid. Jelas. Dia pasti ke pasar dulu sebelum menyusulku ke kampus tadi pagi.

Aku bingung antara mau tersenyum atau terus membiarkan diri dalam tercengang. Yang pasti ... ini manis sekali.

Aku berjalan kemudian ke lantai tengah. Astrid sudah siap mau ke kamar mandi. Tanganku membawa satu pouch jus mangga kesukaan Astrid yang tampaknya juga dia beli tadi. Sudah dingin. Tanpa mengatakan apa pun aku menyerahkan minuman itu padanya.

Aku berdiri tertegun memperhatikan dia menyesap minuman itu. Haus banget sepertinya. Langsung kempes kurang dari satu menit dia menyesap.

"Kenapa sih ngelihatin gitu?" tatapannya curiga.

"Nggak apa-apa."

"Katanya mau ke mana? Buruan. Nanti keburu kemalaman."

"Nggak jadi."

"Lah kenapa?"

Aku tidak menjawab cepat-cepat. Hanya memperhatikan wajahnya lebih lamat. "Aku mau ikut mandi."

***
Wallahu 'alam bishawab.

***

TheReal_SahlilGe


PS:

Terimakasih untuk yang sudah bantu saya menemukan typo.

Continue Reading

You'll Also Like

375K 16.5K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
97.5K 4.6K 47
⚠️ FOLLOW SEBELUM BACA ⚠️ Ayasha Humaeera Rayzille, seorang gadis berusia delapan belas tahun. Ayasha adalah seorang gadis yang jarang mendapati kasi...
162K 15.5K 51
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
6.4M 503K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza