JEDA - Slow Update

By AbelJessica

1.7M 54.5K 5.4K

JEDA - JessJessica. More

My most beautiful someone
One day? Or day one? You decide, baby.
I'm doing this for me.
What A Lovely Little Mess I've Made
Excuse Me, Which Level Of Hell Is This?
But, darling, I can play your game too
Maybe I should give up
Aku capek.
InterMezzo
Kalindi Sara Ft. Kasena Sadeli
BUKAN UPDATE
InterMezzo (2)
THE END!
InterMezzo (3)
InterMezzo 4
InterMezzo (5)
InterMezzo (6)
InterMezzo (7)
InterMezzo (8)
InterMezzo (10)
InterMezzo (9)
InterMezzo (11)
InterMezzo (12)
INTERMEZZO (13) : Jeda ft. Raquel
InterMezzo (14)
Eyes On Me!
Gema Masa Lalu
InterMezzo (15)
InterMezzo (16)
InterMezzo (17)
InterMezzo (18)
InterMezzo (19)
InterMezzo (20)

Go Wild For A While.

24.2K 2.9K 63
By AbelJessica

"It's in the eyes. Always the eyes." – Anonymous.

***


Suara getaran di atas meja membuat Arun tersadar dari tidurnya. Dengan mata sepat menahan kantuk gadis itu menerima panggilan, lalu beranjak turun dari ranjang, karena Indi masih tertidur pulas di atas kasurnya sendiri. Arun tak ingin mengganggu istirahat gadis itu, jadi dilangkahkannya kaki menuju ruang makan, sambil membalas sapaan dari seberang telepon, "Ya Bu?"

          "Baru bangun?"

          "Iya," Arun berdeham karena suaranya serak, "Ibu sehat?"

          Helaan napas di seberang sana, "Ibu sehat, tapi mungkin kamu nggak akan terlalu suka dengan kabar yang akan Ibu sampaikan."

          Kepala Arun langsung pening karena kalimat ibunya. Sedikit banyak ia bisa menduga berita apa yang akan didengarnya.

          "Gimana kalau untuk sementara waktu ini kamu cuti kuliah dulu?" permintaan itu persis seperti dugaan Arun, "Ayah membutuhkan banyak dana untuk perobatannya, Aruna. Ibu harap kamu bisa mengerti."

          "Bu," Arun menghela napas supaya suaranya tetap terdengar tenang, "Selama ini juga aku nggak pernah minta uang kan?"

          "Kamu memang nggak minta uang saku ataupun bulanan, tapi Ibu tetap harus membayar uang semester dan uang kos. Benar kan?" ibunya menyahuti dengan suara yang dipaksa tetap tegar, "Ibu sudah ndak sanggup lagi, nak."

          "Tapi aku nggak bisa berhenti kuliah sekarang, Bu," tegas Arun, "Ini tahun terakhirku. Setelah tahun ini selesai, aku akan wisuda, lalu mencari pekerjaan untuk meringankan beban Ibu."

          "Berapa lama lagi?" tanya ibunya dengan suara gemetar, "Memang benar, kamu udah tingkat empat sekarang. Tapi kamu juga paham kan, hanya karena kamu berada di tahun keempat kuliah, bukan berarti kamu akan segera wisuda. Perjalanan kamu masih panjang dan membutuhkan banyak biaya. Ibu nggak sanggup lagi. Tolonglah, nak, tolong mengerti keadaan Ibu."

          "Jadi menurut Ibu selama ini aku masih kurang mengerti?" suara Arun mulai pecah karena kesedihan, "Teman-temanku mendapat uang saku dari orangtua mereka, sementara aku harus bekerja sambilan di banyak tempat hanya demi mengumpulkan uang makan, dan aku nggak pernah sekalipun protes. Yang seperti itu masih dianggap kurang mengerti?"

          "Teman-temanku membawa laptop dan notebook model terbaru untuk mengerjakan tugas, sementara aku harus membersihkan ruang komputer supaya diizinkan menggunakan komputer secara gratis. Itu juga bukan bentuk pengertian?!"

          "Arun...,"

          "Memangnya apa yang bisa kulakukan kalau aku pulang sekarang?" potong Arun dengan airmata yang siap mengalir ke pipi, "Pekerjaan apa yang bisa kudapatkan?"

          "Kamu bisa membantu Ibu untuk menjaga Ayahmu."

          "Dia bukan Ayahku!" jawab Arun penuh kebencian, "Laki-laki yang menghabiskan seluruh uangnya bersama pelacur, hingga menyengsarakan keluarganya sendiri, nggak pantas untuk dianggap sebagai Ayah."

          "Aruna!!"

          Napas Arun tersengal oleh kemarahan, tapi gadis itu berhasil menahan diri untuk tidak balas membentak ibunya. Tapi sama seperti sebelum-sebelumnya, wanita yang dibutakan oleh perasaan cinta itu sama sekali tak melihat pengorbanannya dan justru menjatuhkan ultimatum, "Terserah kalau kamu masih mau bertahan di sana, tapi Ibu nggak akan memberikan uang sepeser pun untuk kamu. Ibu sudah nggak punya apa-apa untuk diberikan pada kamu."

          Airmata Arun langsung menetes begitu panggilan diputuskan. Benaknya berhitung dengan cepat dan gadis itu sadar kalau ia tak punya banyak waktu untuk mengumpulkan uang. Bulan depan secara berturut-turut ia harus melunasi sisa uang semester dan juga uang kos. Tanpa bukti pelunasan uang semester, ia tidak akan bisa mengikuti ujian akhir. Dan tanpa bukti pembayaran uang kos, ia akan didepak dari tempat tinggalnya sekarang.

          Suara gemerisik dari pintu membuat Arun menghapus airmata. Sosok langsing Andrea memasuki ruang makan dan ketika pandangan mereka bertemu, Arun tahu kalau gadis itu terkejut melihat sisa tangisannya. Tapi mungkin kemarahan Andrea lebih besar daripada rasa pedulinya, karena kali ini gadis itu hanya berlalu menuju kulkas, lalu mengeluarkan sekotak susu khusus untuk diet.

          "Mbak," panggil Arun setelah berdebat dengan dirinya sendiri, "Aku.... boleh minta tolong?"

          "Apaan?"

          Kedua tangan Arun mengepal karena rasa malu yang perlahan naik ke tenggorokan hingga menimbulkan mual. Rasanya gadis itu bisa melihat seluruh harga dirinya jatuh berserakan, ketika dengan nekat meminta pertolongan pada orang yang sedang marah padanya.

          "Aku boleh pinjam uang Mbak? Aku... sedang butuh uang."

          Sejenak pundak Andrea membeku, seakan gadis itu ingin membalikkan tubuh untuk menanyakan keadaan Arun, namun batal di saat-saat terakhir. Setelah hening beberapa saat, akhirnya gadis itu melemparkan senyuman terpaksa, "Maaf ya Run, aku juga lagi banyak kebutuhan belakangan ini."

          "Oh...," sahut Arun pelan, "Iya, nggak papa, Mbak."

          Arun melepaskan tawa pedih begitu Andrea beranjak pergi. Ternyata ia benar-benar tidak punya harga diri, karena masih berani meminjam uang, pada orang yang bahkan tak mau menatap matanya. Tapi Andrea adalah jalan keluar terakhir, karena di kos ini, hanya ia yang sudah bekerja dan sering meminjamkan uang pada anak-anak lainnya.

          Mencoba meminjam pada Indi? Entahlah. Arun tidak pernah bisa menebak keuangan gadis itu. Indi memang tidak pernah mengeluhkan keuangannya, tapi gadis itu juga tidak terlihat seperti orang kelebihan uang saku. Barang-barangnya tak terlalu banyak bila dibandingkan anak-anak kos lainnya, pun bukan berasal dari merk-merk terkenal, kecuali Kai yang memberikannya pada gadis itu. Indi bahkan hanya memiliki dua batang pewarna bibir buatan dalam negeri, kalah oleh Arun yang tomboy, namun setidaknya memiliki lima batang pewarna bibir keluaran brand ternama.

          Arun masih menimbang-nimbang untuk meminjam uang pada Indi ketika ponselnya kembali bergetar. Nama Radeva menari-nari di layar ponsel, membuat Arun bertanya-tanya, bolehkah ia memanfaatkan pemuda kaya ini?

          Arun tidak ingin jadi orang jahat, tapi ia harus memikirkan masa depannya. Masa depan yang mungkin bisa diselamatkan, seandainya ia menerima Radeva menjadi kekasihnya.

          "Halo...," sapa Arun akhirnya.

          "Baru bangun? Lama banget ngangkat telepon."

          "Mh, gitu deh."

          Hening sejenak, "Kamu nggak papa?"

          "Hm? Memangnya kenapa?"

          "Aneh aja sih," suara Radeva terdengar ragu, "Biasanya galak dan ketus."

          "Ya udah, putuskan aja teleponnya kalau aku aneh."

          Radeva tertawa di seberang sana, "Maaf, maaf, aku cuma bercanda," lalu pemuda itu berdeham, "Nanti malam jalan, yuk?"

          Tolak. Tolak. Tolak, Aruna!!

          "Oke," nyatanya Arun melemparkan persetujuan.

          "Oke?" Radeva mungkin terperangah di seberang sana, "Kamu serius?"

          "Kamu nggak serius?"

          "Serius! Aku serius!"

          "Ketemu di mana?"

          "Di kos kamu. Ku jemput."

          "Aku bisa bawa motor sendiri."

          "Ku jemput," tegas Radeva, "Jam 7 aku udah sampai kos kamu. Okay?"

          "Oke."

          "See you soon, Aruna."

          "Ya."

          Panggilan diputuskan dan Arun tergugu. Inikah rasanya menggadaikan harga diri? Tapi kalau untuk masa depan, ia pasti boleh melakukannya bukan?

          Atau setidaknya, begitulah harapan Arun.

***

"Aku juga baru dikasih tahu, Ndi, dan ini pertandingan persahabatan. Nggak enak kalau aku nggak datang."

          "Tapi kamu udah janji kita bakalan pergi nonton."

          "Nontonnya minggu depan ya?" bujuk Kai, "Ayolah, Ndi, masa kita bertengkar karena hal sepele kayak gini?"

          "Kamu ingkar janji dan itu sama sekali bukan hal sepele," rajuk Indi, "Malam minggu kemarin nggak bisa datang karena ada kegiatan dengan anak-anak pecinta alam, malam minggu kali ini main basket. Lama-lama aku jadi tuyul beneran, karena kamu apelin malam jumat melulu."

          "Kita cuma nggak jadi nonton bioskop, sayang, bukannya nggak jadi keluar," Kai menjelaskan dengan sabar, "Kamu siap-siap, ya? Jam tujuh ku jemput ke kosan."

          "Ke mana."

          "Temani aku tanding basket. Mau ya?"

          "Nggak mau."

          "Tapi kenapa?" suara Kai berubah jadi geraman sekarang.

          "Aku nggak paham sama sekali tentang basket. Aku cuma jadi kutu busuk kalau nekat datang ke sana."

          "Teman-temanku yang lain datang dengan membawa pacar mereka. Kamu bisa ngobrol dengan mereka."

          "Nggak mau," bantah Indi lagi, "Mereka cuma membahas katalog dan hal-hal yang aku nggak pahami."

          Kai mengembuskan napas kuat-kuat lalu diam. Bungkamnya pemuda itu membuat Indi sadar kalau Kai sudah sampai pada batas toleransi untuk bersabar terhadapnya. Kalau sudah seperti ini, apapun yang Indi katakan akan menjadi angin lalu, tapi gadis itu tetap mencoba, "Kai? Maaf."

          Tapi seperti dugaan Indi sebelumnya, Kai hanya diam di seberang sana. Tidak memutuskan panggilan, tidak pula menyahuti. Hanya menutup mulut rapat-rapat agar tak perlu menyembur Indi dengan kemarahannya.

          "Semangat untuk pertandingannya ya, semoga kamu menang," bisik Indi ketika tiga menit berlalu dan Kai masih tetap diam, "Have fun, Kai."

          Indi tak lagi menunggu jawaban. Dengan berat hati diputuskannya panggilan, lalu ditelungkupkannya kepala di atas tumpukan tangan. Mati-matian gadis itu menahan tangis yang akan meluncur ke pipi, yang segera tertelan kembali karena suara berisik langkah kaki. Andrea baru saja memasuki ruang makan dan langsung membuang muka begitu pandangan mereka saling bertabrakan.

          "Baru pulang kerja Mbak?" sapa Indi karena Andrea hanya diam.

          "Iya."

          "Udah makan?" Indi mencoba lagi, "Sate yuk?"

          "Kamu aja ya," tolak Andrea setelah menghabiskan satu gelas air, "Aku capek."

          "Oh, okay."

          Indi menghela napas ketika Andrea berlalu tanpa menoleh. Rasanya aneh sekali melihat gadis itu bersikap begitu dingin terhadapnya. Biasanya Andrea akan datang dengan cengiran selebar perahu, lalu mulai menceritakan segala gosip yang entah didapatkannya dari mana, kemudian berakhir dengan sakit hati karena Indi mencela kebiasaan buruknya.

          "Yang bikin masalah kan Radeva, kenapa aku jadi kena getahnya juga sih?" gumam gadis itu sebal.

          "Kenapa denganku?"

          Indi hampir terjungkal karena terkejut mendapati Radeva tiba-tiba menyahutinya. Pemuda itu sendiri tidak merasa bersalah dan justru tertawa terbahak-bahak melihat Indi hampir mencium lantai, "Mukanya biasa aja elah, Ndi."

          "Namanya juga kaget," rengut Indi membela diri.

          "Udah makan?" tanya Radeva masih dengan sisa-sisa cengirannya.

          "Buat apa tanya-tanya?"

          "Si anjir," maki Radeva jengkel, "Sama aja nyolotnya dengan Arun. Pantes betah berbagi kamar."

          "Mau ke mana?" sambung pemuda itu ketika dengan cuek Indi beranjak pergi.

          "Kamar."

          "Jangan, woi!" teriak Radeva rusuh, "Di sini aja."

          "Ngapain?"

          "Tadi kami beli soto. Arun pesan untuk kamu juga," jawab Radeva mulai sibuk membongkar bungkusan yang sedari tadi digenggamnya.

          Indi terkejut karena Arun memesankan makanan untuknya, padahal sampai pagi ini, keduanya masih saling mendiamkan satu sama lain. Tapi belum lagi Indi berhasil mengatasi kebingungannya, Arun sudah memasuki ruang makan, lalu menyapanya seakan tak terjadi apapun, "Udah makan, Ndi?"

          "Eeeeng," begitu jawab Indi yang kebingungan.

          "Radeva beli soto untuk kita. Katanya sih enak. Kamu cicipin juga, supaya aku punya partner untuk menghajar si bangke ini, kalau ternyata makanannya nggak enak."

          "Abang," Radeva mengajari Arun sopan santun, "Coba bilang, Abang Radeva, gitu."

          "Monyet," begitu sahutan Arun.

          "Nggak ada manis-manisnya ya kamu jadi pacar," omelan Radeva itu sukses membuat Indi tersedak, "Wah, laper, Ndi? Pelan-pelan aja makannya. Nggak ada yang ngajak kamu lomba makan kok."

          "Ka... kalian pacaran?" Indi terbata-bata ketika bertanya.

          "Iya."

          "Sejak kapan?"

          "Kepo?"

          Kedua mata Indi sampai melotot karena tak percaya dengan tanggapan Radeva. Dengan sengit gadis itu kemudian melemparkan protes pada Arun yang asik mengunyah, "Serius deh Run, kenapa harus Radeva sih? Alay begitu orangnya."

          "Kemarin aku kerasukan," begitu alasan Arun, "Ini juga habis makan mau langsung minta putus.

          "Nggak akan," tanggap Radeva sambil mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Arun, "Aku udah mati-matian melakukan pendekatan. Jangan harap kamu bisa minta putus gitu aja."

          Indi pikir setidaknya Arun akan tersipu karena sikap manis Radeva barusan, tapi mungkin karena terlalu batu, Arun justru tak peduli dan hanya berkonsentrasi pada makanannya. Arun bahkan tak mengucapkan terima kasih ketika dengan baik hati Radeva menuangkan segelas susu dingin untuknya. Sebaliknya gadis itu mengerutkan kening, seakan terganggu dengan perhatian Radeva yang tercurah penuh untuknya.

          "Hari senin mulai magang kan kamu?"

          "He-em."

          "Dianterin Kai?"

          Pelan Indi menggeleng, "Lagi marah dia."

          "Kenapa?"

          "Tau deh."

          "Bukannya kampus kita ada pertandingan persahabatan dengan kampus Kai?" Radeva ikut berkomentar, "Nggak nonton kamu?"

          "Aku nggak ngerti apa-apa soal basket."

          "Kamu kan cuma disuruh nonton, Ndi, bukan disuruh ikutan main basket," tanggap Radeva.

          "Ya... ya iya sih," kemudian Indi mengempaskan tangan, bingung kenapa ia mau repot-repot menceritakan permasalahannya kepada kedua orang ini, "Tapi ya udahlah, udah lewat juga tandingnya. Telat kalau mau datang sekarang."

          "Pertandingan finalnya hari selasa," Arun memberitahu, "Kalau kamu mau, kita bisa datang bareng."

          "Kamu nonton?"

          "Disuruh si monyet," Arun menunjuk Radeva dengan garpunya.

          "Abang," Radeva tak putus asa mengajari Arun sopan santun.

          "Radeva ikut tanding?"

          "Setor tampang doang dia mah," Arun mendengus, "Model Radeva diturunkan, bisa babak belur kampus kita dihajar Kai cs."

          "Kita baru jadian, tapi kamu kok udah sepat sih, sayang? Malu ya? Salah tingkah karena ada Indi?"

          Arun langsung merah padam karena sindiran itu, "Siapa juga yang salah tingkah?!"

          "Siapa lagi kalau bukan kamu?"

          "Najis, Dev! Najis salah tingkah karena kamu," balas Arun mulai kehilangan kendali diri.

          "Abang," goda Radeva sambil mencolek dagu gadis itu, "Yang sopan sama calon kepala keluarga."

          "Nggak sudi dan jangan pegang-pegang!!"

          "Memangnya kenapa kalau pegang-pegang, hm? Pegang pacar sendiri juga."

          "Let me go you pervert!" maki Arun ketika Radeva mencoba merangkulnya, "Aaaaaarrrrrggghhhh!!"

          Arun menjerit, Radeva tertawa, sedangkan Indi merenung. Apakah kali ini ia benar-benar harus ke luar dari cangkangnya dan menemui Kai? Tapi bagaimana kalau pemuda itu bersikap dingin dan tak sudi berbicara dengannya? Indi akan malu dan sedih sekali kalau itu sampai terjadi.

          "Makasih karena kamu mau jadi pacarku. Aku senang."

          Lamunan Indi buyar karena kalimat Radeva yang ternyata berhasil mengalahkan Arun dan kini mengunci gadis tomboy itu dalam pelukan. Pemuda itu sedang menghujam kekasih keras kepalanya dengan tatapan tajam, lalu tiba-tiba saja Indi merindukan Kai, yang sering melakukan hal sama tiap kali mereka baru berbaikan.

          "Aku sudah memutuskan," seru Indi mengagetkan Radeva dan Arun yang entah sejak kapan sudah saling mendekatkan wajah, "Hari selasa aku akan datang ke pertandingan Kai!!"

          Indi bertepuk tangan gembira, Radeva mendengus, sedangkan Arun membuang muka. Indi benar-benar sukses merusak suasana di antara mereka.

**

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 122 13
Flora berhasil keluar dari lingkungan yang tidak menyenangkan dan masuk ke dalam lingkungan perkuliahan baru. Harapannya, dia bisa berhadil menyelesa...
588K 56K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
192K 7.2K 5
Dua fakta yang Vhiya tahu; 1. Admiral menyukai Pepep 2. Pepep bertunangan dengan Deva Satu keyakinan yang Vhiya tahu; ・Dia ingin membahagiakan Admira...
11K 883 7
Katanya, jadi mahasiswa itu enak. Katanya, jadi mahasiswa itu masuknya suka-suka. Katanya, jadi mahasiswa itu terserah mau pakai baju apa. Ambil sa...