She is Like You

By RSoul-

6.2K 328 450

She is Like You "Dia mirip kamu" "Aku suka caranya memperhatikanku" "Romantis bukan hanya tentang cinta sepas... More

I
III
IV
V
VI
Kezeeya
Dira
Kenapa
Dia
Mirip
Kamu
Fear versi Dira
Fear Versi Dira (Story)
Fear versi Kezeeya

II

478 30 81
By RSoul-

Bip..Bip..Bip..Bip..Bip.. suara alarm menggema memenuhi ruangan.

Dengan mata yang masih terpejam Dira meraba nakasnya, mencoba mencari benda yang memancarkan bunyi itu. Namun...

Bruk...

"Argghh....!" Jeritnya menciptakan gema baru di ruangan itu. Dalam keadaan setengah sadar, gadis itu memegangi wajahnya yang memar akibat mendarat di lantai.

"Ugghhhh...."

Pusing, mual dan rasa pahit di lidahnya mulai kembali ia rasakan ketika kesadarannya sudah kembali pulih.

*Dira POV

"Untung hari ini libur,"

Jadi tubuhku yang lemah ini, bisa ku istirahatkan sejenak. Ini bukan pertama kalinya bagiku, merasakan sakit ketika bangun tidur, padahal sehari sebelumnya sehat-sehat saja. Dan hal seperti ini sudah sering terjadi padaku. Karena apa? Karena aku sadar kelalaianku adalah penyebab utamanya.

Hari ini aku berencana kerja bakti--membersihkan kamar ini yang baunya sudah seperti bau metro mini. Tapi apalah daya, sepertinya semua rencana itu belum dapat terlaksana karena kondisi tubuhku yang di luar rencana.

Aku mendesah pelan melihat bungkus camilan dan bajuku yang berceceran. Keinginan untuk meninggalkan kesan yang baik kepada sang pemilik kamar, hanyalah bualan belaka jika sang pemilik melihat semua kekacauan ini. Tapi, semoga saja aku tidak bertemu dengannya hari ini.

Aku dengar dia bisa tiba-tiba pulang tanpa berkabar dan mengusirku tanpa perlu alasan. Rasanya pasti memalukan dan tidak nyaman, tapi demi Tuhan aku akan berjuang meski harus kembali mengemis. Kalian tahu kenapa? Karena tinggal di kamar ini adalah syarat mutlak dari ibuku.

Ya, beribu kali aku memohon dan beribu kali juga ibuku menolak permintaanku untuk kuliah di sini, alasannya hanya satu yaitu karena beliau tidak mau aku kuliah jauh dari orang tuanya. Memang terdengar overprotektif tapi begitulah ibuku. Maklumlah aku ini anak semata wayang dan di kota ini aku sendirian--- sebatang kara karena kedua orangtuaku saat ini menetap di Australia.

Sebenarnya kamar ini bukanlah kamar asrama pada umumnya, karena kamar ini adalah satu dari sekian banyak kamar yang disediakan oleh asrama khusus kampusku. Kenapa aku katakan ini adalah asrama khusus? Karena asrama ini bukanlah asrama yang diperuntukan bagi mahasiswa sepertiku. Asrama ini lebih pantas disebut hotel kecil milik kampus yang digunakan untuk tempat tinggal sementara tamu-tamu khusus yang diundang oleh pihak kampus.

Kuberitahu sedikit tentang kampusku. Kampusku ini adalah kampus swasta milik seorang dokter hebat di Indonesia. Tergolong elite dan kekinian, jadi jangan heran jika kalian akan bertemu beberapa publik figur ataupun anak-anak pejabat yang begitu tenar di dunia Maya. Bukan hanya itu, kampus ini juga terkenal karena jurusan kedokterannya yang berkualitas di atas rata-rata.

Namun keputusanku memilih kampus ini bukan karena hal itu. Aku memutuskan kuliah di sini karena hal lain yang lebih penting dari itu. Salah satunya adalah keinginanku kembali ke tanah air, Indonesia.

Aku lelah mengikuti keluargaku, karena gaya hidup yang nomaden menuntutku harus cepat beradaptasi. Pekerjaan Papa sebagai abdi negara, mengharuskan beliau hidup berpindah-pindah sehingga hal itu berdampak pada sekolahku yang tidak pernah selesai di satu negara. Kalian tahu rasanya beradaptasi dengan lingkungan baru, teman-teman baru, lagi? Rasanya lelah dan menyedihkan sekali. Aku bahkan benar-benar merasa tidak memiliki teman dekat karena hal itu. Menyebalkan sekali bukan?

Mungkin sebagian besar orang ingin sekali kuliah di luar negeri atau merasa bangga kuliah di sana. Tapi biarlah itu mereka bukan diriku. Karena aku sangat bangga bisa kembali ke sini, ke Indonesia. Menurutku Ijazah akan tetap menjadi Ijazah dari manapun itu tercetak karena yang terpenting adalah keahlianmu bukan Ijazahmu. Dan dari yang aku pelajari di negeraku ini, satu hal yang lebih penting dari itu semua yaitu Chanel (orang dalam). Jika kamu tidak punya yang satu itu, ijazahmu tidak pernah ada harganya.

Sudah hampir 3 minggu aku tinggal di Indonesia sendirian. 2 minggu aku habiskan di hotel dan kurang lebih 1 minggu ku habiskan di kamar ini. Oh ya selama tinggal di kamar ini, pak rektor memberiku beberapa peraturan namun semua peraturan itu telah ku langgar, atas dasar kenyamanan. Tentu saja Pak Rektor tidak tahu, karena jika dia tahu, pasti dia akan memarahiku.

Aku--- tipe orang yang tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyamanku, apalagi jika harus tinggal dalam ruangan yang bahkan hampir separuhnya harus tetap dibiarkan dalam keadaan tertutup kain putih berdebu. Ya alasan itu yang membuatku harus melanggar semua peraturannya.

Nafas kasar berembus bersamaan dengan denyutan di kepalaku yang belum juga hilang. Sambil memeluk guling kutatap bingkai- bingkai foto di sudut meja dekat rak pembatas. Dalam bingkai-bingkai itu terpasang foto dua orang gadis yang memakai seragam SMA dengan senyum manis dan menggemaskan. Mungkin salah satu dari gadis itu adalah pemilik kamar ini.
**

Silau matahari mulai mengusikku, menandakan bahwa Sang Pusat Tata Surya itu perlahan berpindah tugas menyinari belahan dunia yang lain.

Rasanya aku baru terlelap sebentar, nyatanya waktu berjalan begitu cepat. Tapi syukurlah kondisi tubuhku mulai membaik dan kepalaku sudah tidak terlalu sakit ketika aku bangun.

Sambil mengibaskan kaos yang basah karena keringat, kutatap kembali kekacauan di kamar ini. Kepalaku berdenyut lagi, entah karena kekacauan ini atau entah karena tubuhku yang memang belum membaik.

Baiklah, aku mengalah pada semua kekacauan ini. Satu persatu, baju dan bungkus camilan yang berceceran itu kini sudah berada di tempat yang seharusnya. Dengan sedikit tenaga yang kupunya, kamar ini kembali kusulap menjadi kamar yang bersih dan rapih. Dan hal itu membuatku harus mandi karena wangi tubuhku yang sudah membuatku risih.

Saat sedang asik melakukan ritual di kamar mandi, tiba-tiba saja tubuhku bergidik ngeri. Suara asing seseorang terdengar sangat dekat di telingaku. Rasa-rasanya seperti berbisik namun terlalu keras untuk sebuah bisikan.

"Jangan ganggu, jangan ganggu!" Batinku berbisik.

Aku sangat yakin hanya ada aku di sini, di kamarku dan pintu kamarku juga selalu dalam keadaan terkunci.

Aku diam, membiarkan hening menyelimutiku. Keran air yang semula menyala, kumatikan sejenak hanya untuk memastikan suara itu lagi. Namun suara itu lenyap bertemankan senyap.

Tak ada suara apapun, tapi rasa penasaran sangat menggangguku, jadi kuputuskan keluar dari kamar mandi.

Kubalut tubuhku dengan handuk dan kubuka pintu kamar mandi dengan perlahan, namun baru selangkah aku ke luar, tubuhku kaku dan mulutku hendak berteriak kencang ketika kulihat sesosok wanita asing berdiri di hadapanku.

Rambutnya coklat pekat tidak terlalu panjang. Matanya yang tajam dan kulitnya yang agak kecoklatan membuat wanita itu terlihat sangat cantik. Kharisma yang luar biasa terpancar erat di balik penampilan sederhananya---yang hanya mengenakan kaos putih bergaris dan celana jeans biru. Tinggi badannya mungkin hanya berbeda 5 cm-- lebih tinggi dariku.

Wanita itu membuatku terpaku dan menghentikan niatku untuk berteriak. Jujur saja, ini pertamakalinya dalam hidupku bertemu dengan seorang wanita yang memancarkan kharisma yang seluar biasa itu. Namun sayang, dia tiba-tiba pergi setelah mengucapkan beberapa kata yang tidak begitu jelas kudengar.

Otakku melambat selama beberapa detik karena kejadian itu dan entah kenapa aku mulai berpikir bahwa wajah gadis itu begitu familiar.

"Ya Tuhan, dia...?!"

" Arrgggh, shit!"

Aku kesal dan menyesal, keterlambatanku menyadari sosok wanita itu, menumbuhkan rasa bersalah yang teramat besar. Wanita itu adalah orang yang aku tunggu-tunggu karena dialah sang pemilik kamar.

"Ya Tuhan, seharusnya aku menyapanya dengan benar, bukannya bersikap seolah dia adalah pencuri."

Kusambar pakaian apa saja yang ada di dekatku, berusaha meminimalisir waktu agar aku bisa mengejarnya dan menjelaskan semuanya.

Syukurlah aku belum kehilangan jejaknya, karena sosok wanita itu terlihat sedang berdiri di ujung lorong sambil berbicara dengan seseorang lewat telepon genggamnya. Samar dari kejauhan kulihat wajahnya muram dan aku rasa, aku harus mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan dengannya.

Tidak berselang lama wanita itu menyimpan smartphonenya ke dalam saku celananya dan hal itu membuat jantungku berdebar karena gugup.

"Bagaimana cara memulai percakapan dengannya?"

Kupaksa otakku kembali berpikir. Tanganku yang tidak bisa diam tanpa sengaja mengetuk-ngetuk dinding dengan cukup keras hingga hal itu berhasil membuat wanita itu menoleh ke arahku. Tubuhku kaku seketika, "bodoh" batinku.

Dia menatapku dengan tatapan lelah dan penuh tanya. Mau tidak mau kupaksa seluruh anggota tubuhku untuk melawan kegugupanku dan kuhampiri wanita itu.

"Hmm... maaf karena saya belum sempat menyapa!" Ucapku gugup.

Kulihat dia hanya diam seolah menungguku kembali berbicara.

"Maaf atas kelancangan saya dan saya rasa kamu tidak salah kamar." Ucapku kali ini menatap mantap mata wanita itu.

Lagi-lagi dia hanya diam dan menatap lekat diriku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya karena aku tidak bisa membaca maksud dari sorot matanya. Tapi, aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk padanya, jadi kuberanikan diri membuka percakapan lagi.

"Sekali lagi saya minta maaf dengan situasi yang barusan terjadi. Perkenalkan saya Dira, Nadira."

Revisi 02/11/2020

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 107K 45
•Obsession Series• Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi ...
9.8M 883K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...