CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 22 (a)

2.1K 555 199
By AryNilandari


Ponselku ramai dengan miscal dan pesan dari Kei dan River. Mereka menanyakan keadaanku dan menceritakan perkembangan terakhir. Setelah bertemu AKPRI, Kei langsung pulang ke rumahnya sendiri, dan terserap mengoprek Langit. Sekian banyak pesannya berisi jargon teknis dan kekaguman pada Shai. River makan siang dengan Bunda Dhias, dibuat terkejut dengan rencananya, dan play along hingga ke DIHS. Ia bilang, seharusnya aku yang berada di samping Shai, karena ia merasa tidak nyaman dengan sikap kakunya.

Kubalas dengan pesan yang sama, Aku baik-baik saja. Miss you. Jaga dirimu. Lalu kuhabiskan malam itu dengan menunggu. Antara tidak ingin terjadi apa-apa dan tersiksa karena tidak terjadi apa-apa yang membuatku curiga telah terjadi apa-apa pada mereka yang kusayangi. Shai terutama. Kenapa ia tidak menghubungiku? River bilang, Shai dan Bunda Dhias tinggal di apartemen Aidan. Dekat, tapi serasa beda dimensi.

Ah, sebelum aku mulai berpikir lebay, kulanjutkan saja tidur. Masih perlu pemulihan energi. Sebelumnya, aku tidur di dipan yang mepet tembok, karena di situlah Shai membaringkan aku. Aku duduk di sana dan menyadari ini dipan Shai. Begitu saja aku memutuskan pindah ke dipan Aidan. Berbaring dengan mata terbuka lebar. Kantuk mendadak hilang. Kenangannya kuat menyeruak keluar. Mewujud seakan nyata di sampingku.

Di sini, Aidan menulis Cheesy Poem-nya, di bawah selimut dengan penerangan lampu ponsel, tidak ingin membangunkan Shai yang sudah lelap di sebelah. Ia cengar-cengir sendiri.

"Aidan, Shai enggak akan tahu kalau kamu menyebut namaku. Aku ingin dengar."

"Aku sudah janji."

"Ya, bisik-bisik sajalah. Atau katakan di mana kamu pernah terlepas, enggak sengaja memanggilku."

Keningnya berlipat. "Enggak sengaja?" Ia menggeleng.

Aku menyemburkan napas. "Kamu ternyata keras kepala. Puisi itu bikin kamu lebih manusiawi, tahu? Tapi akhirnya batal juga. Entah kenapa aku jadi kepikiran. Rasanya kamu terlalu sempurna untukku."

"Aku enggak sempurna. You know I am dying to call your name. Oh, ralat, I am dead already." Aidan tertawa.

"Candamu enggak lucu." Aku uring-uringan karena Aidan sungguh pernah berucap mirip-mirip begitu pada Shai.

"Cheer up! Aku lebih suka melihatmu tertawa."

Aku memukuli dadanya. "Jangan jadikan kepergianmu sebagai lelucon. Kamu enggak tahu rasanya ditinggalkan."

"Oke. Maaf." Aidan tersenyum. "Aku mengerti. Sakit pastinya. Tapi itu karena enggak rela. Just let me go. Lebih baik buat kamu, buat Shai ... buat aku juga."

Kata-katanya masuk di akal. Tapi aku ingin bersikeras, hanya karena aku bisa bersikeras. "Aku pengin dengar kamu menyebut namaku dulu! Kalau enggak, aku enggak bakal melepaskanmu. Itu janjiku."

"Wah! Itu janji serius. Bakal jadi beban. Jangan."

Aku masuk ke dalam selimut. Mengabaikannya.

"Hei!"

Aku pura-pura tidak mendengar. Memejamkan mata rapat-rapat.

"Hei! Kamu memang pengin dengar namamu kusebut, atau cuma alasan untuk menahanku?"

"Apa bedanya?" Air mataku sudah menggenang. Tahukah Aidan, lebih berat lagi melepaskannya setelah membaca puisi itu?

Ia menghela napas. "Baiklah. Follow me."

Aku tercengang. Kulihat kenangannya turun dari kasur. Kuikuti kenangannya dari benda ke benda. Ia mengendap-endap menuju pintu, memegang handel, menoleh sebentar ke arah kembarannya. Shai tidak bergerak. Aidan pergi ke dapur yang gelap, meraba-raba, lututnya menyenggol kursi. Matanya mulai beradaptasi. Ia mengambil sebuah buku dari laci, menyelipkannya di balik piyama. Lalu keluar dari apartemen.

Aidan berbelok ke kiri. Ada taman di samping gedung. Batu-batu pipih menghubungkan teras dengan gerumbulan tanaman di tengah taman. Ia melompat dari batu ke batu dan sampai di depan sebuah gentong tradisional penghias taman. Berisi air separuhnya, dengan ikan-ikan kecil dan tanaman apung.

Aidan menyalakan lampu ponselnya, mengeluarkan buku. Judulnya, Kumpulan Mitos Nusantara. Ia membuka halaman yang sudah dibatasi dengan post it.

"Konon, kalau kamu rindu pada seseorang sampai sesak dada, karena enggak mungkin menyampaikannya meski ada alat komunikasi canggih, gentong bisa membantu. Berteriaklah ke dalamnya sampai perasaanmu lega."

Aidan membungkuk. Benar-benar memasukkan kepalanya ke dalam gentong, berteriak sekerasnya, "RHEA RAFANDA, I LOVE YOU!" Suaranya bergema. Ia mengulangnya tiga kali. "Feel better now. Nah, menurut buku ini, semesta akan memproses pesanmu. Gema suaramu akan menimbulkan efek gelombang yang pada akhirnya sampai kepada yang bersangkutan. Atau nyasar entah ke mana. Tapi, Rhea, kamu punya kemampuan ajaib yang kompatibel dengan gentong ini. Jadi aku enggak khawatir. Apa jawabmu?"

Aku tertawa. Menangis detik berikutnya. Kumasukkan kepala ke dalam gentong. Air tidak sampai menyentuh mukaku. "AIDAN, I LOVE YOU TOO!" Suaraku juga bergema.

"Rhea!" Daniel sudah berdiri di belakangku, memanggil dengan khawatir. "Sedang apa kamu di sini?"

Aku menyusut ingus. Tertawa lagi. Menunjukkan buku yang kuambil dari laci dapur. "Melakukan hal paling gila, paling cheesy, dalam hidupku, Kak. Mencoba alat komunikasi baru superajaib yang menyampaikan pesan antardimensi dengan mengandalkan getaran molekul-molekul udara."

Daniel tercengang. "Masuklah. Udara dingin dan kamu enggak pakai jaket. Sebentar lagi aku selesai tugas, digantikan Guntur. Aku bisa bilang ke dia kamu oke, kan?"

Aku mengiakan. Bergegas kembali ke balik selimut di dipan Aidan, dan memeluk kenangannya erat-erat. Aidan sudah melanggar janjinya dengan sengaja. Tapi itu berarti ....

"Now, can you let me go?"

Aku menghapus air mata. Lama tidak menjawab. Ia menunggu dengan sabar sampai akhirnya aku mengangguk.

"Good girl. Take care. Be happy for me."

Aku tersenyum. Melepaskannya pergi.

Dalam drama, adegan seperti ini biasa diiringi musik mengharu-biru. Aku? Hampa ....

Sampai Sabtu pagi, saat apartemen dihebohkan dengan kemunculan Bang El, disusul Tante Fang. Bang El mendadak pulang, berkunjung ke kosanku, panik karena aku tidak di sana. Tante Fang mengomelinya karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi menjelaskan juga aku ada di mana dan kenapa. Bang El tetap kesal karena aku ada di apartemen cowok, lalu bergegas ke sini.

Aku hanya duduk menyangga dagu di meja makan, sementara Bang El menasihatiku tentang bagaimana seharusnya menjadi gadis baik-baik, seolah ia punya pengalaman menjadi gadis baik-baik. Aku geli sendiri. Tapi tidak membantahnya. Cukup Tante Fang yang berkali-kali menyela untuk membelaku.

"Jadi, di mana Shai sekarang?"

"Di apartemen Aidan," sahutku.

Bang El tertegun. Mungkin baru menyadari sesuatu karena ekspresiku. Ia mengembangkan tangan. Dan aku bangkit untuk memeluknya. Tapi aku tidak menangis lagi.

"Tempat ini ideal untuk penjagaan," kata Tante Fang. "Dibandingkan kosan atau rumah kita. Makanya aku biarkan."

"Aku pengin ketemu Shai." Bang El berkeras. "Kamu bilang the Lark sudah ditangkap. Berarti anak-anak sudah aman?"

"Masih harus waspada sampai enggak ada lagi hal-hal meragukan."

"Berarti mereka masih akan kamu kurung sampai ubanan," kata Bang El dengan parafrase yang membuat kembarannya melotot. Bang El melanjutkan tak acuh, "Padahal aku pengin ajak Rhea jalan-jalan. Baru beberapa hari aku tinggal sudah kayak zombie begitu. Aku juga pengin kenalan dengan Kei dan River. Kalau pengaruh mereka besar buat Rhea, aku harus tahu motifnya. Dan paling utama, aku harus ketemu Shai. Layak enggak ...."

Secara demonstratif, Tante Fang berbalik pergi, mengabaikannya. Ia sudah mendapatkan izin dari Shai untuk mengakses dokumen di basement.

Aku cekikikan. Melepaskan diri dari Bang El. Aku punya ide cemerlang untuknya. "Main basket, yuk. Di lapangan sekolah. Ajak Shai, Kei, dan River. Sekali selidik tiga orang ketahuan."

Bang El menjadi bersemangat. Tante Fang mengizinkan dengan syarat, pengawal masing-masing harus tetap menguntit. Ia sendiri memilih melanjutkan tugasnya di apartemen Shai.

Setengah jam kemudian, kami berlima sudah berebut bola basket. Tentu saja, tidak ada yang bisa mengalahkan Kei. Shai bukan Aidan, tapi jelas sekali ia menikmati kesempatan bergerak bebas sebagai dirinya. Ia sering melemparkan senyum ke arahku, lengkungnya terukir lebih lama setiap kalinya.

Bang El, ayah macho berhati kelinci, tak kuasa juga menolak pesona mereka yang jujur menjawab setiap pertanyaannya. Interogasi blak-blakan yang membuat muka Shai merah padam, dan aku buru-buru menjauh agar tidak mendengar mereka. Tapi justru dengan begitu, tembok di antara Shai dan kedua sahabat Aidan pun runtuh.

Dalam cuaca hangat berangin, kami berlarian, berteriak-teriak, tertawa-tawa. Saling ledek ketika lemparan meleset. Angin yang disalahkan sepertinya tidak rela, bertiup kencang menerbangkan dedaunan.

Saat itu, Shai berhasil merebut bola dari Kei, lalu memegangnya di depan muka. Kei sudah ribut karena Shai mempertahankan bola terlalu lama. Pelanggaran. Aku berlari mendekat. "Rhe! Catch!" serunya.

Aku menangkap bola, dan tertegun. Setelah Aidan menggunakan gentong, sekarang Shai memanfaatkan bola untuk menyampaikan pesan. Benar-benar kembar cheesy. Tapi kata-katanya membuatku beku di tempat, sekaligus meleleh. "Ada daun kering di rambutmu. Cup. Hanya aku yang boleh mengambilnya. Aku ...."

Bang El sudah merebut bola dari tanganku. "Bang!" Aku mengentakkan kaki.

"What?" Bang El tertawa. "Kamu baca bola kristal apa main basket?"

Aku mengejarnya keliling lapangan. Bang El lari sambil mengepit bola kayak main American football. Sungguh kacau. Tapi justru menarik perhatian anak-anak DIHS untuk menonton. Beberapa anak klub basket datang dan meminta izin bergabung. Dengan full team, lima lawan lima, permainan jadi lebih serius. Aku dan River menyerah duluan. Minggir ke bangku pemain untuk minum.

"Shai kelihatan bahagia, ya?" kata River. "Habis go public waktu itu, Shai benar-benar tertekan dan marah karena Bunda. Enggak bisa nyalahin dia. Bunda sungguhan menganggapnya Aidan. Bukan akting. Aku saja kesal. Shai sudah lama pengin diakui, sudah kehilangan Aidan, tetap saja enggak dianggap ada. Tapi Shai enggak berdaya. Bunda terlalu rapuh. Kukira, Bunda perlu bantuan psikolog. Dan Shai harus dikuatkan."

Aku mengangguk. "Apa dia kasih tahu kenapa dan gimana sampai Shai dan Aidan terpisah?"

"Aku sudah coba pancing-pancing. Bunda enggak bercerita detail. Perkawinannya enggak bahagia, malah bisa dibilang traumatis. Bunda menggugat cerai setelah mencoba bertahan lima tahun. Tak disangka Bunda hamil dengan si kembar. Tapi dengan anugerah seindah itu pun perkawinan enggak bisa diselamatkan. Mereka berpisah setelah si kembar lahir, masing-masing membawa satu. Anak yang lahir duluan dibawa sang ayah yang warga negara Singapura. Jangankan menggendong dan menyusui, Bunda bahkan enggak sempat melihat dan memberinya nama. Hubungan pun putus total."

"Ya, Tuhan ...." Aku nyaris tidak percaya. Kok ada yang seperti itu?

"Tuhan punya cara sendiri mempertemukan Aidan dan Shai waktu mereka kelas 9. Kei baca catatan Shai di Langit soal itu. Aidan dengan Klub Basket SMP Darmawangsa mengadakan pertandingan persahabatan ke beberapa SMP di Malaysia, dan mampir ke Legoland Johor untuk bersenang-senang. Pada saat yang sama, Shai dari Singapura berwisata dengan keluarga pamannya ke situ."

"Let me guess. Terjadi tanggal 1 Januari, Aidan melakukan kebodohan, dan Shai menyelamatkannya. Pasti dramatis."

River tertawa. "Dramatis apanya? Aidan mungkin melakukan kebodohan sampai harus bolak balik ke toilet. Ya, mereka ketemu di toilet! Sejak itu, mereka berkomunikasi rutin. Shai datang ke Bandung setiap kali memungkinkan. Tapi Aidan dilarangnya ke Singapura. Mungkin karena kasus Big David itu."

Terdengar peluit panjang. Permainan basket selesai. Bang El menarik Shai dan Kei keluar dari lapangan. Bergabung dengan kami. Basah kuyup oleh keringat. River menyodorkan minuman kepada Kei. Untuk siapa botol minuman di tanganku? Jadi anak yang baik atau .... Tapi Shai terbiasa mengurus diri sendiri, dan Bang El begitu saja menyambar minuman dariku.

Lalu jantungku nyaris berhenti mendadak, saat Shai, di depan Bang El, mengulurkan tangannya ke rambutku. Mengambil sehelai daun kering dan memberikannya kepadaku sambil tersenyum.

"Aku simpan, ya." Aku menerimanya dengan takzim.

"Rambutmu sudah kayak surai singa," cetus Bang El. Aku tahu itu reaksi dari sikap manis Shai. Menunjukkan bahwa ia juga memperhatikan putri angkatnya. "Aku antarkan kamu ke salon nanti malam. Potong saja."

"Jangan!" Shai spontan menentang. Mengagetkan Bang El. Lalu keduanya saling berhadapan. Bang El dengan tatapan memangnya-kamu-siapa dan Shai dengan sikap mendadak pede aku-teman-istimewa-anakmu.

Aku mendecak. Kudengar River cekikikan. Shai mundur lebih dulu, mengangguk sopan. Bang El pun tertawa menang. Ia bertanya pada River, salon mana yang bagus untukku.

"Enggak usah ke salon. Biar aku saja yang merapikan rambut Rhea, Bang. Sudah master nih." River meredakan ketegangan takkasat mata itu dengan solusi adil. Aku merangkulnya.

Suasana kembali cair saat kami makan siang bersama. Setelah itu, aku pulang bersama Bang El ke apartemen Shai. Shai ke apartemen Aidan. River dan Kei berinisiatif menemani Shai agar tidak tegang sendirian menghadapi Bunda. Kupandangi ketiga orang itu berjalan menjauh, ada sedikit perasaan déjà vu bahwa aku bukan bagian dari trio itu.

"Kamu pengin gabung dengan mereka?" Bang El menyikutku.

"Boleh?" Aku nyaris menjerit girang.

"Enggak!" Bang El menarikku ke arah berlawanan. Aku mengatainya kejam. Ia menjitakku. "Aku kejam. Tapi Shai berbahaya."

Aku paham maksudnya. Tapi bahaya ada di mana saja, dan justru bukan saat berdekatan dengan Shai.



------------- lanjut part b, ya.

Jangan lupa votenya.

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 28.2K 2
Bukan Cinderella, tapi Tsunderella.
645 67 6
Cerita mengenai keseharian mereka setelah menikah. Ada hal hal yang terbongkar, hal hal yang mulai diterima, hal hal yang baru mereka rasakan setelah...
174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
91.7K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...