RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

115K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 13 - Orang Baru

3.6K 793 93
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 03 Juli 2019 (BAB 13)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 13 - Orang Baru

***

Bantu saya temukan typo. Belum disisir.

***

[DULU - Astrid Pramesti]

Istanbul, Turki (Masa Lalu)

Sultan melenggang jenjang keluar dari arah pintu fakultasnya. Aku suka gayanya yang super kalem tanpa atribut religius di pakaiannya. Padahal dia mahasiswa Fakultas Ilahiyat. Tetap menawan seperti Sultan yang aku kenal dulu.

Untuk ukuran mahasiswa asing yang kuliah di kampus top ini, dia menurutku terlihat sepadan. Aku nggak lagi ngomongin soal otaknya aja ya di sini. Tapi tampilan fisiknya dulu. Posturnya terlihat semakin dewasa pada tiap pertemuan kami berdua. Sultan semakin terlihat lebih tinggi. Menyetarai mahasiswa lain yang berasal dari Eropa misalnya yang tinggi-tinggi. Di kelasku banyak yang tingginya nggak kira-kira.

Dijeda jarak kami seperti saling menemukan hal baru yang bikin pangling satu sama lain. Tiga pertemuan sebelumnya aku ingat dia masih malu kalau kami ketemu dan dia jenggotnya belum cukur. Sekarang kayaknya udah nggak mempersoalkan itu. Lagian aku toh nggak pernah meminta dia untuk memanjangkan atau memendekkan jenggotnya. Dia ngerti lah cara merawat dirinya sendiri. Bukannya aku nggak mau ngopen, tapi Sultannya sendiri yang seringnya melakukan segala sesuatunya tanpa ngomong ke aku dulu. Soal kemandirian aku kasih nilai A.

"Aku belum makan," kataku begitu kami berhadapan.

"Sama."

Dia lalu mengulurkan tangan kanannya yang kosong. Menengadah ke atas.

"Apa?"

"Aku capek. Ujian hari ini di luar perkiraan. Pegangi tanganku," pintanya.

Aku meraihnya begitu saja. Lalu kami berjalan beriringan menjauh dari area kampus. "Nggak ada mahasiswa lain di kampus ini yang kelar ujian dihadang istrinya. Bersyukur, ya, Anda."

"Cari makan deh," katanya.

"Jadi ke rumah sakit?"

"Harus jadi. Aku tadi sudah kirim kabar mau ke sana," dahinya mengernyit kepanasan.

"Topinya dipakai dong, Mas, kalau bawa."

"Kelupaan."

Kami berjalan kaki sampai jauh. Tidak ada kendaraan yang bisa kita naiki secara pribadi. Mobil yang biasanya dipakai Ayaz dan Sultan pun paling dibawa sama Ayaz.

Saat kami sampai di ambang jalan raya. Sesuatu terjadi. Di depan kami berdua ada sebuah kecelakaan lalu lintas. Aku sama Sultan lihat jelas. Dari mobil yang melaju kencang itu menubruk mobil lainnya yang berhenti di pinggiran, sampai keduanya terbalik dan remuk sebagiannya.

Aku sama Sultan sempat mundur karena khawatir akan terjadi semacam ledakan. Orang-orang berdatangan kemudian. Sultan juga hendak lari mendekat tapi aku tahan dulu tangannya sebentar. Bukan apa-apa, aku cuma merasa takut kalau lihat kecelakaan semacam itu. Pastinya semua adegan yang kulihat tadi akan terekam di dalam memoriku lebih lama. Atau setidaknya bakal jadi denging nyamuk sebelum tidur.

"Bentar," kata Sultan melepas lengannya dariku.

"Mas!"

Dia sudah terlanjur pergi. Aku ragu-ragu mengikutinya dari belakang. Tetap menjaga jarak agar ... aku nggak mau lihat darah. Tapi mau dihindari seperti apa juga, aku tetep lihat juga.

Baik, aku nggak mau jelasin detilnya. Tapi yang jelas pengemudi mobil ugal-ugalan itu meninggal seketika dengan badan terjepit. Nggak ada korban lain karena mobil yang tertabrak kosong tanpa penumpang. Dan itu cukup. Aku ingin skip.

Aku menarik lengan Sultan menjauh dari sana. Aku berjalan cepat duluan. Sultan di belakang mengikutiku yang sepertinya tahu aku sedang nggak berperasaan baik. Tapi dia berhasil mengimbangi langkahku sehingga kami berjalan beriringan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Yaelah pake nanya.

"Langsung ke rumah sakit aja," jawabku pening.

"Katanya belum makan. Ayo makan dulu."

"Udah nggak selera."

Agaknya dia langsung mengerti. Aku nggak bohong soal ini. Selera makanku hilang dan meskipun memang lapar, tapi itu nggak menuntut pengin segera dipenuhi.

Sultan menggunakan Istanbulkart miliknya untuk biaya transportasi kami berdua. Sekarang kami naik tram setelah berjalan menjauh dari area kecelakaan tadi. Lumayan tidak sedang berdesakan. Kami bahkan mendapat tempat duduk tanpa harus berebut dengan penumpang lainnya.

"Kamu sih nggak bawa topi. Udah tahu di sini panasnya saingan sama Sahara. Keringetan terus kan itu!" aku mengomel. Kuambil tisu dari dalam tas lalu kuserahkan padanya.

"Kelupaan. Udah bilang, kan?" jawabnya santai. "Kamu takut lihat gituan?"

"Jangan dibahas deh," aku menghindar.

"Kecelakaan seperti itu memang ngeri. Tapi celaka yang kita lihat tadi harusnya bisa membuat kita belajar. Maut ada di mana-mana. Allah baru saja memberi satu tanda kekuasaannya tentang hidup dan mati," Sultan melipat tisu bekasnya, "Setidaknya dalam hidup kita pernah satu kali melihat kematian di depan mata."

"Aku pernah. Dan kamu juga pernah."

"Iya. Kemudian persoalannya bergeser bukan soal pernah atau belum pernah. Tapi apakah kita belajar dari persaksian itu," tangannya mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tas, "Yang kecelakaan tadi mahasiswa kampusku."

Aku cukup terkejut. Tidak banyak.

"Memangnya kamu kenal?"

Sultan menutup kembali botol setelah menenggak. Aku menyentuhkan ujung telunjukku pada ekor bibir Sultan yang belepot air. "Tidak. Tapi ada yang kenal. Orang lain."

"Oh. Terus kamu belajar dari itu?"

Sultan mengangkat sebelah alisnya, "Kamu belajar nggak?"

"Lah kenapa malah tanya balik."

"Misal, gimana kalau itu tadi aku?"

"Heh. Ngomongnya lho."

"Ya ini kan misal. Kita belajar dari permisalan, Trid."

Ya mana bisa aku memisalkan itu kamu.

"Nggak mau memisalkan," jawabku.

Sultan terkekeh, "Aku belajar banyak," lalu dia menghitung jarinya, "banyak." Sambil tersenyum. Lalu entah apa maunya tiba-tiba mencium pipiku.

"Banyak apa aja?"

"Pertama, aku belajar apakah aku siap dengan kematianku sendiri. Kedua, apakah kamu akan bisa siap kalau itu kematianku, yang ternyata kamu tidak siap. Ketiga, apakah jika hari ini usiaku berakhir, dengan cara apa saja. Mungkin lenyap karena jantungku terlalu bahagia ... lantaran kamu di sini. Ruhku akan rela? Keempat, ke mana aku akan kembali? Kelima, akan seperti apa keluarga di rumah menerima kabar buruk itu? Keenam dan seterusnya, sampai tak terhingga, apakah di kehidupan selanjutnya aku akan tetap ketemu kamu?"

Aku berdesis, "Aku kadang susah bedain antara kamu lagi nggembel atau ndalil."

Sultan terkekeh. "Loh, aku serius."

"Iya tapi kenapa ke arah sana omongannya?"

"Ya, nggak apa-apa. Menurut kamu, surga layak nggak untuk jadi tempat pulang kita?" dia gitu deh. Suka kasih pertanyaan yang kadang 'bocah' banget. Maksudku pertanyaan yang sebenarnya ada dua jawaban antara iya atau tidak, tapi susah untuk diungkapkan.

"Pertama, aku bukan malaikat pencatat yang tahu poin-poin bersih atau poin-poin merah atas apa yang udah kamu, kita, perbuat. Jadi pertanyaanmu itu mending dijawab kamu sendiri. Kedua-."

"Permisi," tiba-tiba ada suara perempuan yang menyela saat aku bicara. Dia sudah berdiri di sebelah Sultan. Aku posisinya dekat jendela.

"Mas Sultan, ya?" kata perempuan itu yang sepertinya orang Indonesia juga.

"Iya, saya. Siapa ya?" Sultan menjawab ramah.

Perempuan itu menggeleng dengan senyum, "Kemarin nggak ikut kumpul komunitas baca, ya?"

Apa sih.

"Oo, nggak. Saya ada perlu. Jadi nggak ikut gabung. Kamu dari orang komunitas juga?"

Jawab dong, ada perlu jemput istri, gitu.

"Iya, Mas."

Ih, plis deh, itu senyumnya!

Perempuan itu aneh banget. Nyamperin kami berdua cuma buat bilang itu saja. Dia lalu maju agak lebih depan sampai pada kursi penumpang dekat pintu.

"Jangan tanya. Aku nggak kenal dia," kata Sultan tiba-tiba.

"Telat. Isi kepalaku udah penuh pertanyaan," aku ketus.

Sultan berdecap, "Seriusan."

"Ya masa, ada anak satu komunitas nggak kenal kamunya. Malahan mbak-mbak berjilbab manis itu, yang cantik, yang pipinya pink, yang senyumnya aduh nancep banget, tahu kamu."

"Di komunitasku ada banyak pembaca. Dan aku memang nggak kenal semuanya."

"Dan kenapa tadi jawabnya ada perlu doang. Harusnya kamu bilang ada perlu jemput i-es-te-er-i."

"Ya sama aja itu keperluan."

Aku menghembuskan napas hangat. Diam.

"Kamu lagi cemburu?" dia bertanya. Aku melihat layar ponselku pura-pura buka Instagram. "Cuma karena itu?"

"Cuma karena itu?" aku mengulang.

Alis Sultan menyudut.

"Kamu itu dimata-matai oleh dia tahu, nggak?"

"Astaghfirullah. Astrid. Jangan gitu. Khusnuzon saja. Kamu nggak perlu cemburu sama hal-hal sesepele tadi. Dan sebelum kamu menangkis ini bukan hal sepele, aku pastikan nggak kenal sama dia. Ya mungkin dia tahu karena ... kita satu komunitas ... dan dia tahu namaku. Atau kebetulan aku yang memang nggak mengakrabkan diri sama banyak anggota cewek di komunitas, karena tahu punya kamu yang setipis ini cemburunya," dia menjeda, "kenapa kamu cemburuan?'

"Orang cemburu itu punya satu alasan besar. Dia takut di luar sana ada orang yang bisa membuat orang yang dicintainya lebih bahagia dari apa yang dia bisa."

"Kamu nggak percaya diri sama kemampuanmu?" dia bertanya, "pada saat aku percaya cuma kamu yang bisa ngasih bahagia dalam konteks yang sedang kita bicarakan? Aku lebih suka obrolan sebelum ini."

Aku diam beberapa saat. Oke, mungkin aku terlalu overreacted. "Dalam kekhawatiranku aku seperti punya peluang lebih besar untuk kehilangan kamu, dari pada kamu kehilangan aku. Di luar sana, Mas, aku yakin banyak perempuan yang naksir sama kamu. Ya, kayak tadi itu. Aku tahu cara dia melihat kamu. Cara dia malu-malu. Cara dia tersenyum. Dia naksir sama kamu. Tapi dalam rencana jangka panjang sisa umurku, di sana nggak ada catatan aku akan melepas kamu."

Sultan kayak apa tenangnya ngadepin aku. "Terus kamu percaya aku akan melepas kamu hanya dengan alasan seperti itu?"

"Ya enggak. Cuman kan-."

"Selesai," dia menggeleng pelan dengan kerjapan, "kamu baru saja meremehkan kesetiaan suamimu sendiri."

Dia menatapku dalam-dalam seperti sampai ke dasar hati.

"Jangan kayak gitu, Trid."

Pada saat yang sama gejolakku meredam. Ada suara kecil dalam hati yang merutuki diriku sendiri. Merutuk seperti memberi peringatan kalau ini cuma efek rindu dan rasa takut kehilangan.

Sultan mengambil tanganku. Menggenggam lebih erat. Telapak tangannya berkeringat.

"Why?" tanyaku.

"Hm?"

"Why you look better and better everytime we met?"

Dia tidak menjawab. Tapi meletakkan janggutnya di sisi kepalaku.

Sejurus kemudian kami sampai di dekat rumah sakit. Masih perlu berjalan sebentar untuk tiba di sana.

Dan aku terkejut bukan main saat cewek tadi ikut turun juga. Bahkan dia berjalan bersama kami menuju rumah sakit.

Aku sama Sultan nggak menanyai apa-apa. Atau sebenarnya Sultan ingin bertanya namun dia menahan karena takut aku bereaksi lagi. Padahal jujur aku juga penasaran.

Tapi rasa penasaranku sedikit terjawab saat kami tiba di pintu masuk rumah sakit dan Ayaz ada di sana. Dia dan cewek itu saling sapa. Sampai dia menyadari ada aku dan Sultan juga.

"Eh, Sul. Trid," dia tersenyum.

Sultan langsung memberi pelukan pada Ayaz, "Gimana, Yaz, keadaan Paman Fikar? Kamu yang sabar."

Pelukan mereka terurai. Aku sempat tersenyum pada cewek yang sudah di sebelah Ayaz.

"Sudah lebih baik dibanding hari kemarin. Terimakasih sudah datang. Ayo, masuk."

Kami berdua mengangguk.

Lalu Ayaz berjalan beriringan dengan cewek itu di depan. Selenting aku mendengar cewek bilang. "Ibumu yang kasih kabar ke aku. Makanya aku langsung ke sini."

Kemudian aku melempar tatapan bertanya ke Sultan. Tapi malah dibalas dengan gelengan.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku nggak tahu apa-apa."

***

Perasaan dulu kamu pengin ambil kedokteran deh Trid. Kenawhy takut darah?

Oh lupa, kamu pengin jadi Astronot dulu sebelum Papa pergi.

***

Maaf suka telat update.
Kerjaan sedang banyak sekali.
Ini juga sangat disempatkan.

Terimakasih masih setia menunggu.

***

Jangan sampai lupa sama konflik di Praha. Itu belum selesai. Dan ada kaitannya dengan kepingan-kepingan masa lalu mereka. Serahkan saja ceritanya sama saya. :)

Continue Reading

You'll Also Like

6M 363K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] "Hidup bagaikan berjalan di atas tali. Kapan dirimu lengah, maka akan jatuh entah kemana. Begitulah diri tanpa iman. Maka...
1.3M 129K 28
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
151K 5.6K 41
Serpihan cinta Gus Al dan Ning Syafa yang berakhir abadi🌹 Dilarang keras plagiat⚠️ Cerita ini murni hasil imajinasi author, jika ada unsur kesamaan...
35.8K 1.4K 34
Takdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah da...