JEDA - Slow Update

Autorstwa AbelJessica

1.7M 54.5K 5.4K

JEDA - JessJessica. Więcej

My most beautiful someone
One day? Or day one? You decide, baby.
I'm doing this for me.
What A Lovely Little Mess I've Made
Go Wild For A While.
But, darling, I can play your game too
Maybe I should give up
Aku capek.
InterMezzo
Kalindi Sara Ft. Kasena Sadeli
BUKAN UPDATE
InterMezzo (2)
THE END!
InterMezzo (3)
InterMezzo 4
InterMezzo (5)
InterMezzo (6)
InterMezzo (7)
InterMezzo (8)
InterMezzo (10)
InterMezzo (9)
InterMezzo (11)
InterMezzo (12)
INTERMEZZO (13) : Jeda ft. Raquel
InterMezzo (14)
Eyes On Me!
Gema Masa Lalu
InterMezzo (15)
InterMezzo (16)
InterMezzo (17)
InterMezzo (18)
InterMezzo (19)
InterMezzo (20)

Excuse Me, Which Level Of Hell Is This?

24.6K 3K 96
Autorstwa AbelJessica

"Someone somewhere is searching for you in every person they meet," - Anonymous.
***

Kunyahan Kai melambat ketika dilihatnya Indi meletakkan sendok di samping piring berisi nasi goreng yang hampir tak tersentuh. Dengan prihatin pemuda itu mengulurkan tangan, lalu diusapnya kepala Indi sambil bertanya, "Masih perih bibirnya? Susah makan?"

          Malu-malu Indi mengangguk, "Lumayan."

          "Pesan makanan lain aja ya?" tawar Kai karena merasa kasihan, "Nasi gorengnya pedas. Takutnya luka kamu jadi meradang karena kena makanan pedas."

          "Kalau pesan makanan lain, nasi gorengnya gimana?"

          "Aku belum kenyang, biar ku makan," jawab Kai sambil menertawakan lambungnya yang besar, "Sup jamur mau?"

          "Mau," kemudian Indi bangkit berdiri, "Aku ke toilet sebentar."

          Meninggalkan Kai yang berbaik hati memesankan makanan untuknya, Indi berjalan ke toilet. Sambil membasuh tangan gadis itu memajukan tubuh ke arah cermin untuk mengamati luka di bibirnya. Sebenarnya luka itu sudah tidak terlalu sakit, tapi suasana hatinya yang muram sepertinya telah membuat Kai salah paham, lalu berpikir kalau Indi marah karena pemuda itu tak sengaja menggigitnya hingga terluka.

          Sambil memandangi bayangannya di cermin, Indi mulai mengomel, "Seakan Arun dan Mbak Andrea belum cukup, sekarang kamu juga membuat Kai salah paham. Apa sih yang bisa kamu lakukan dengan benar, Ndi?"

          Teriakan tertahan milik Arun yang bercampur dengan bentakan Radeva, sukses membuat Kai mengambil kesimpulan, kalau acara menonton mereka telah berubah jadi bencana. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada pasangan itu, tapi suara bantingan yang terdengar dari kamar, membuat Kai memaksa Indi untuk ke luar sesuai rencana semula, di mana mereka akan menghabiskan waktu berdua saja.

          Awalnya Indi menolak karena mengkhawatirkan keadaan Arun, tapi Kai memaksa, karena beranggapan kalau masalah Arun dan Radeva sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka. Kai juga tidak ingin Indi terpengaruh oleh pasangan itu, lalu mulai ikut-ikutan meninggikan suara, apalagi sampai membanting-banting barang seperti orang bar-bar.

          Bukannya Kai dan Indi tak pernah bertengkar, tapi meninggikan suara sama sekali bukan gaya Kai, apalagi sampai membanting kiri dan kanan. Pemuda itu lebih memilih berdebat sampai salah satu dari mereka mengakui kesalahan, atau justru bungkam seribu bahasa agar tak perlu mengeluarkan kalimat menyakiti hati. Karena itu mendapati Radeva dan Arun membentak satu sama lain dan bahkan membanting barang sebelum menjalin hubungan, dianggapnya sebagai pengaruh buruk yang tak perlu Indi pelajari.

          "Kayaknya aku harus minta maaf sama Kai," Indi melanjutkan monolognya, "Atau dia akan ikutan ngambek, lalu mogok bicara selama seminggu."

          Setelah mengeringkan tangan, Indi beranjak ke luar, lalu mematung karena tak menemukan keberadaan Kai. Dengan gugup gadis itu memutar tubuh untuk mencari keberadaan meja mereka, karena sekarang setelah bisa berpikir dengan benar, barulah Indi sadar kalau meja di tempat makan ini terlihat mirip satu sama lain. Mencari keberadaan tas tangan yang seringnya ia tinggalkan di atas meja makan juga hal percuma. Pertengkaran Arun dan Radeva yang terjadi di dalam kamar membuatnya tak memiliki kesempatan untuk mengambil tas ataupun dompet, hingga datang kemari hanya dengan membawa ponsel, yang dititipkannya di waist bag milik Kai.

          "Kai ke mana sih?" Indi mulai panik, "Kenapa nggak nunggu aku ke luar dulu, kalaupun mau ke toilet?"

          Indi masih mencari-cari ketika seorang pelayan melewatinya sambil membawa mangkuk berisi sup yang masih mengepulkan asap. Dilihatnya pelayan itu meletakkan sup di atas meja yang juga berisi nasi goreng, lalu ketika keadaan sudah sepi, dengan hati-hati gadis itu mendekat untuk memperhatikan menu di atas meja.

          "Akhirnya ketemu juga," desah Indi ketika mendapati nasi goreng dan jus jeruknya masih tersedia di tempat semula.

          Setelah menggeser nasi goreng ke seberang meja tempat Kai duduk, Indi mulai mengaduk-aduk supnya. Sekarang setelah perasaannya lega, gadis itu mulai merasa lapar hingga hampir menenggelamkan kepala ke dalam mangkuk sup yang menghangatkan tubuh. Indi bahkan menghabiskan potongan-potongan wortel yang biasanya ia pindahkan ke atas piring Kai, hingga membuat pemuda itu mengomel, karena merasa kalau Indi terlalu sering memilih-milih makanan.

          "Maaf tadi ada telepon mendesak...." suara itu terjeda lalu digantikan dengan pertanyaan bernada terkejut, "Kamu siapa?"

          Kepala Indi terangkat dari atas mangkuk sup yang sedari tadi ditekuninya. Kedua matanya melebar kebingungan mendapati pria asing dalam balutan celana kain dan kemeja formal duduk di depannya, jadi dengan takut-takut gadis itu balas bertanya, "Bapak yang siapa?"

          "Saya yang harus bertanya. Kamu siapa? Kenapa duduk di meja saya?"

          Membela diri adalah desakan pertama yang dirasakan oleh Indi, jadi dengan tegas gadis itu menyahuti, "Ini meja saya kok."

          "Urusannya sudah selesai pak?" seorang perempuan dalam balutan busana kerja menghampiri, lalu ikut-ikutan melempar pandangan bingung pada Indi, "Loh? Adek ini siapa?"

          Indi tersinggung dipanggil seperti itu. Ia merasa perempuan ini sedang bersikap superior terhadapnya. Memangnya kenapa kalau mereka mengenakan busana kerja? Begini-begini kan Indi mahasiswa tingkat akhir, yang akan segera menyelesaikan pendidikan, lalu terjun ke dunia kerja. Memanggilnya dengan sebutan adek terdengar seperti pelecehan, karena itu Indi mengangkat dagu, untuk menunjukkan kalau ia tidak mudah diintimidasi, "Maaf ya Tante, tapi kayaknya ada kesalahpahaman di sini. Dari tadi aku udah makan di sini, karena itu lebih baik kalau Om dan Tante cari meja lain yang masih kosong."

          Baru lagi Indi menyelesaikan khotbahnya, Kai melewati meja dengan wajah mengeras tanda sedang gusar. Seakan tersadar akan kejanggalan pada meja yang baru saja dilewatinya, pemuda itu menghentikan langkah, lalu berjalan mundur untuk menghampiri Indi yang baru saja akan memanggilnya.

          "Kamu dari mana?" geram Kai begitu sadar kalau ia tidak salah mengenali orang, "Kamu tahu aku udah nunggu berapa lama?"

          "Wah, easy man," pria tak dikenal di depan mereka tiba-tiba saja mengulurkan tangan untuk menahan Kai yang akan menghambur ke arah Indi, "Jangan main kekerasan."

          Rahang Kai seperti akan jatuh ketika membela diri, "Dia pacar saya."

          Alis pria itu terangkat tinggi seakan terkejut dengan jawaban Kai, lalu rautnya berubah jadi dingin ketika menyahuti, "Meskipun dia pacar kamu, bukan berarti kamu boleh memukulnya."

          "Dia pacar saya," Kai mengulangi dengan ekspresi tersinggung, "Dan saya nggak pernah memukul pacar saya."

          "Tapi kamu terlihat seperti akan memukulnya," balas pria itu dengan nada membela diri, "Dia juga terlihat ketakutan ketika akan kamu hampiri," tambahnya sambil menunjuk Indi yang tak mengerti.

          "Dia nggak pernah mukul saya," Indi langsung membela Kai karena memang seperti itulah kenyataannya, "Bapak jangan sembarangan menuduh," tambahnya jengkel.

          "Kamu ngapain di sini?" Kai kembali memasang wajah garang tanpa memedulikan pria aneh yang terkejut mendengar pembelaan Indi terhadapnya.

          Sedangkan Indi tiba-tiba saja mendapat firasat buruk karena pertanyaan itu. Dengan gugup gadis itu meremas-remas jarinya, lalu bertanya dengan suara ragu, "Ini.... ini meja kita kan Kai?"

          Amarah, kesal, malu dan kasihan berganti-ganti menghiasi wajah Kai. Akhirnya dengan pasrah pemuda itu menarik Indi sampai berdiri, meletakkan tangan di atas kepala gadis itu, lalu memaksanya menunduk ketika berkata pada dua orang yang kebingungan di hadapan mereka, "Maaf Pak, maaf Kak, sepertinya teman saya sedang banyak pikiran sampai lupa kalau kami duduk di luar. Sekali lagi saya minta maaf."

          "Wait, what?!" Indi menoleh ke arah Kai, "Ini bukan meja kita?"

          "Bukan," Kai menjawab pasrah.

          "Sudahlah, lupakan," si pria menggelengkan kepala, terlihat tak habis pikir dengan kecerobohan Indi.

          "Bisa-bisanya lupa dengan meja sendiri," yang perempuan tampak jengkel, "Udah mana ngotot banget lagi, sampai nyuruh yang punya meja untuk cari tempat lain."

          "Sekali lagi kami minta maaf Kak," Kai menyahuti dengan sopan.

          "Diajarin itu pacarnya buat minta maaf," omelan itu terdengar semakin ketus.

          Kai sudah hampir menyahuti, tapi Indi meremas kemeja pemuda itu dengan mata berkaca-kaca, lalu membuat pengakuan dosa, "Kai, tadi... tadi aku makan supnya. Minum jus jeruk juga."

          Kai menggigit bibir, sementara si pria membuang muka untuk menyembunyikan senyuman. Perempuan yang tadinya terlihat masih ingin mengomel itu, terpaksa harus berdeham berkali-kali, untuk menahan ledakan tawa yang sudah berada di ujung lidah.

          "Minta maaf," perintah Kai ketika akhirnya berhasil meredam keinginan untuk tertawa terbahak-bahak.

          "Saya minta maaf Pak," Indi menundukkan kepala dalam-dalam, "Saya minta maaf Kak. Saya benar-benar nggak sengaja."

          Si perempuan mulai terkikik sekarang, "Ya udah, nggak papa."

          "Saya... saya ganti sup dan jus jeruknya ya Kak? Sebagai tanda permintaan maaf."

          "Sudah, sudah, nggak perlu sampai seperti itu," perempuan itu melambaikan tangan dengan senyuman di bibir, terlihat lebih ramah setelah Indi mengakui kesalahannya, "Lain kali cobalah untuk lebih berhati-hati. Nggak semua orang bisa bersikap santai, setelah diusir dari mejanya sendiri."

          "Karena itu izinkan saya ganti sup dan jus jeruknya," pinta Indi bersungguh-sungguh dan bahkan hampir menangis, "Kalau nggak diganti, saya merasa semakin bersalah."

          "Anggap aja saya mentraktir kamu makan malam," kali ini si pria yang bicara, lalu tangannya dilambaikan sebagai bentuk pengusiran, "Sudah, kami masih harus membicarakan pekerjaan."

          Indi jadi tersinggung karena perlakuan itu. Memangnya ia terlihat seperti anak kos kelaparan yang minta ditraktir, sampai harus diusir ketika mencoba menebus kesalahannya? Tapi gadis itu tak sempat mengatakan apapun lagi, karena sekali lagi Kai meminta maaf, lalu menyeretnya pergi dari sana.

          "Apa sih yang ada di dalam pikiran kamu, sampai bisa nyasar ke meja orang lain?" Kai mulai menumpahkan kekesalannya dengan mengomeli Indi.

          "Maaf. Aku benar-benar nggak sengaja."

          Meskipun terlihat kesal, ternyata Kai masih bisa memaklumi kecerobohan Indi, karena berikutnya pemuda itu menawarkan, "Lanjut makan?"

          Malu-malu Indi menggeleng, "Tadi aku makan supnya sampai hampir habis, jadi sekarang kenyang."

          "Sup pesanan kamu dibungkus aja kalau begitu," putus Kai, "Setelah aku selesai makan, kita pulang."

          "Pulang sekarang aja," rengek Indi, "Malu."

          "Nggak boleh buang-buang makanan," tegur Kai merujuk pada piring berisi nasi goreng yang tak Indi habiskan sebelumnya, "Ada banyak orang kelaparan di dunia ini, hargai selagi kamu bisa mengisi perut."

          Indi menghela napas karena memang seperti itulah kepribadian Kai. Ajaran orangtuanya yang ketat membuat Kai tumbuh menjadi pribadi yang menghargai setiap makanan di atas piringnya. Pemuda itu tidak suka membuang-buang makanan dan hanya mengambil sebanyak yang dibutuhkan. Kedisiplinannya itu salah satu pesona yang membuat Indi jatuh semakin dalam, sampai rasanya mustahil untuk ke luar dari jerat seorang Kaivan Manggala.

          "Kenapa?" tanya Kai ketika tiba-tiba saja Indi mengecup pergelangan tangan kirinya.

          "Maaf karena aku bikin kamu malu."

          Sudut bibir Kai terangkat karena pengakuan itu, "Sinting memang kamu. Bisa-bisanya salah meja dan ngembat makanan orang lain."

          "Dalam hitungan ketiga, anda akan melupakan semua kejadian memalukan tadi. Satu, dua, tiga!" Indi menjentikkan jari dalam upaya menghipnotis Kai yang justru tertawa.

          "Bego."

          "Udah makannya?" tanya Indi setelah puas cekikikan.

          "Hm," Kai bangkit berdiri, "Sebentar aku bayar."

          "Tunggu, tunggu," Indi merogoh waist bag Kai untuk mengambil ponsel, lalu mengeluarkan selembar uang dari balik pelindungnya, "Ini untuk bayar pesananku."

          "Hari ini aku yang bayar," tolak Kai, "Bukannya kamu bilang minggu depan mau nonton? Minggu depan kita patungan."

          "Bahasa kamu Kai," ejek Indi, "Patungan."

          Kai tertawa saja lalu meneruskan langkahnya untuk membayar pesanan mereka. Mengingat mereka masih sama-sama pelajar yang kebutuhannya dipenuhi oleh orangtua, sebisa mungkin Indi tak memberatkan Kai tiap kali mereka ke luar bersama. Biasanya mereka akan bergantian dalam membayar tagihan, meskipun seringnya Kai membayar dalam jumlah lebih besar.

          Senyuman Indi pudar ketika melihat pasangan yang telah ia embat makanannya, berjalan menuju meja kasir untuk ikut antri membayar. Sambil mengutuk panjang pendek gadis itu bergegas pergi menuju parkiran, agar tak perlu bertatap muka dengan mereka. Napasnya sudah tersengal-sengal ketika berhasil menyembunyikan diri di balik badan kendaraan yang terparkir tak jauh dari sepeda motor Kai.

          "Minggir," satu perintah bernada dingin mengagetkan Indi yang masih menunduk untuk mengatur napas, "Kamu menghalangi jalan."

          Kedua mata Indi melebar mendapati salah satu dari dua orang yang paling ingin dihindarinya sekarang berdiri tepat di hadapannya. Dengan gugup ia berjalan mundur namun pria itu terus mengikuti langkahnya.

          "Minggir," desis pria itu tepat ketika Indi akan menjerit, karena sekarang jarak mereka hanya sepanjang lengan saja, "Kamu menghalangi jalan saya."

          "Saya nggak di jalan kok," Indi berusaha membela diri meskipun kakinya gemetar, "Bapak bisa lewat dari samping kiri, samping kanan atau bahkan mundur ke belakang. Nggak perlu mengikuti saya."

          Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyuman geli ketika ia memajukan tubuh ke arah Indi dengan panik kembali berjalan mundur sampai kepalanya terbentur kendaraan di belakangnya. Tepat ketika Indi meringis kesakitan sambil memegangi kepala, pria itu berkata, "Kamu berdiri di depan pintu mobil saya."

          "Hah?!"

          Indi hanya bisa merengut ketika pria di depannya melambaikan tangan sebagai tanda pengusiran. Sepertinya hari ini adalah hari sialnya, karena dalam kurun waktu dua jam saja, ia sudah dua kali diusir oleh pria yang sama. Maka sambil memegangi kepala belakangnya yang berdenyut karena menghantam kendaraan pria angkuh itu, ia berjalan menghampiri sepeda motor Kai, lalu berjongkok di sampingnya dengan kepala tertunduk ke arah tanah. Persis seperti anak hilang.

          "Ndi? Ngapain?"

          Suara Kai membuat Indi mengangkat kepala ke arah pemuda yang datang sambil menenteng es krim di salah satu tangannya. Keberadaan kudapan manis itu membuat Indi melupakan nyeri di kepalanya, karena sekarang ia sibuk menyobek bungkusan es krim yang dirampasnya dengan semena-mena. Kai hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu, lalu membantunya mengenakan helm, karena Indi hanya berkonsentrasi untuk menyecap es krimnya.

          "Mau?" ternyata Indi masih ingat untuk berbagi, "Sedikit aja tapi," sambungnya pelit.

          Radar usil Kai langsung menyala karena tingkah gadis itu. Dengan ekspresi polos ia melahap es krim yang masih digenggam oleh Indi, lalu menggigitnya hingga habis lebih dari separuh. Diliriknya Indi yang melongo karena tak percaya, lalu mulai tertawa, karena gadis itu merajuk dan memukuli lengannya.

          "Maaf, maaf," kekeh Kai berusaha menghindari pukulan itu, "Nanti kubelikan lagi."

          "Kebiasaan," Indi meratap namun tetap menjilat es krim yang tersisa di stik, "Jangan harap aku mau berbagi makananku dengan kamu lagi."

          "Kayak bocah," ejek Kai yang sudah bersiap di atas sepeda motor, "Ayo naik."

          Sambil berpegangan pada bahu Kai yang kokoh, Indi menaiki sepeda motor tersebut tanpa kesulitan. Lengan kirinya ia lingkarkan di perut pemuda itu, sementara lengan yang lain masih memegangi stik es krim yang hampir tak bersisa. Gadis itu sama sekali tak sadar kalau kendaraan yang tadi membentur kepalanya, masih terparkir di tempat yang sama, dengan sang pemilik terdiam di balik kemudi sambil menggenggam minyak pereda nyeri dan band-aid bergambar superman.

**

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

302K 3.2K 11
Terkadang stigma yang ada di masyarakat, membuat cowok-cowok harus menyembunyikan kerapuhan perasaannya. Percaya nggak sebenarnya kalau cowok udah p...
192K 7.2K 5
Dua fakta yang Vhiya tahu; 1. Admiral menyukai Pepep 2. Pepep bertunangan dengan Deva Satu keyakinan yang Vhiya tahu; ・Dia ingin membahagiakan Admira...
80K 16.8K 15
Kanigara Juni berpikir dia bisa hidup tenang dengan suami sepihaknya, aktor populer Dimas Lukman serta keenam kucing yang telah ia rawat seperti anak...
558K 55.5K 34
" She's a troubled girl." Dewa " He is a psycho-stalker!!" Nala Dewa, siswa beasiswa kelas tiga SMA Angkasa yang mempunyai segudang prestasi dan sela...