The ACE Rules

By airaira_

1.4M 44K 3K

#2 ARCHER SERIES Tentang kisah cinta seorang bintang musik klasik terkenal dan seorang mantan atlet panjat te... More

I N T R O
S I N O P S I S
The ACE Rules | Part 2 - The Shining Star
The ACE Rules | Part 3 - Too Far to Reach
The ACE Rules | Part 4 - Ain't No Stopping Me
The ACE Rules | Part 5 - So You Wanna Play With Magic?
The ACE Rules | Part 6 - Mistletoe Kiss
The ACE Rules | Part 7 - All Messed Up
The ACE Rules | Part 8 - Surprise!
The ACE Rules | Part 9 - That's Enough
The ACE Rules | Part 10 - Run to You
The ACE Rules | Part 11 - Bad Day
The ACE Rules | Part 12 - In Comfort
The ACE Rules | Part 13 - Dirty Game
The ACE Rules | Part 14 - It's Really Goodbye
The ACE Rules | Part 15 - Don't Hang Up
The ACE Rules | Part 16 - Drama
The ACE Rules | Part 17 - I Dare You
The ACE Rules | Part 18 - Give In
Tolong Baca

The ACE Rules | Part 1 - Harp Contest

69.3K 3K 105
By airaira_

Happy Reading🍀

- Aira Lyn

Hanya tujuh menit. Irene hanya perlu memainkan Intermezzo Op 118 selama kurang lebih tujuh menit di pertunjukan nanti. Lagu bagian kedua dari enam solo piano Klavierstücke itu sangat Irene kuasai.

Tidak seperti kontes lain yang mengharuskan para peserta memainkan lagu sama yang ditentukan sejak awal, Irene bebas memilih judul. Dengan bimbingan Hylda Connery, Irene menerima saran musik Brahms ketika ia berkata pada gurunya ingin mengikuti audisi Lyon and Healy Award tahun ini di Chicago.

Sejak debut pada usia 8 tahun, Irene memang mempersiapkan diri untuk menyabet penghargaan yang disponsori oleh perusahaan alat musik tersebut. Kali ini pun Irene yakin dapat memenangkan juara pertama lagi. Ia sudah berlatih dengan baik, seharusnya kompetisi itu bukan masalah besar, tapi entah kenapa Irene tiba-tiba merasa sangat gugup. Mungkin karena hari ini pria itu akan datang, menyaksikannya bermain di atas panggung untuk pertama kalinya.

Dibandingkan berhadapan langsung dengan juri, Irene lebih takut melakukan kesalahan di depan pria itu. Irene ingin terlihat hebat dan membuatnya terkesan. Apalagi setelah ia tahu pria itu rela terbang dari Durham kemari hanya untuk melihatnya, walaupun sebentar.

"Sudah kubilang, aku tidak melarikan diri..."

Irene menggerutu pada ponselnya di dalam salah satu bilik toilet wanita. Panggilan itu masih tersambung dan ia yakin kemarahan Hylda akan meledak karena kebiasaannya menghilang beberapa menit sebelum tampil.

"Kalau begitu cepatlah kembali! Pergi kemana kau sekarang?"

Irene mengernyit. Persis seperti dugaannya, Hylda langsung berteriak begitu ia menyahut. "Aku masih mencarikan obatmu. Kenapa kau tidak menunggu saja di ruangan bersama teman-temanmu yang lain?" tegur Hylda.

Irene bahkan bisa membayangkan bagaimana wanita itu memijat kepalanya sambil menghela napas panjang.

"Obatku tidak ada di mobil," sesal Irene. Siapa sangka Hylda ternyata kembali ke tempat parkir untuk mengambilkan obatnya yang dia kira tertinggal di dalam mobil. "Kau pasti tidak menemukan apa-apa. Aku lupa sudah memasukkannya ke dalam tas. Maaf..."

"Astaga! Apa yang harus kulakukan denganmu?" gerutu Hylda lelah.

"Aku berada di lantai dua. Hanya toilet di sini yang kosong. Bukankah aku maju urutan ke sembilan?" tanya Irene. Seingatnya, batas durasi maksimal masing-masing pemain hanya sepuluh menit. Tentu saja itu berarti ia masih punya cukup waktu untuk menenangkan diri sampai tiba giliran namanya dipanggil.

"Ya, aku pasti tidak akan pusing mencarimu jika salah satu peserta yang seharusnya tampil lebih dulu darimu tidak dinyatakan gugur akibat mengundurkan diri tanpa konfirmasi."

"Apa?" pekik Irene panik. Hylda menegaskan lagi bahwa saingannya berkurang satu, tetapi Irene sedikit pun tidak merasa itu kabar baik yang melegakan karena mendadak perutnya justru tambah mulas.

"Ya Tuhan..." Hylda mendesah, rintihan Irene cukup jelas terdengar. "Nyeri perutmu kambuh?"

Irene menahan mual dengan napas tersengal. Keningnya mulai berkeringat dan udara di dalam ruang sempit itu jadi begitu sesak. "Tidak apa-apa. Aku hanya terlalu gugup. Jangan khawatir. Aku akan segera keluar."

Tanpa menghiraukan balasan Hylda yang belum sempat wanita itu katakan, Irene langsung mematikan panggilan dan meletakkan ponselnya di atas kloset. Ia buru-buru membuka tutup botol kecil berlabel obat yang diresepkan dokter untuknya lalu meminumnya cepat dengan sebotol air.

Hal seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Serangan panik sudah sering Irene alami.

Untungnya, setelah memejamkan mata dan menarik napas dalam, beberapa saat kemudian sakit yang meremas-remas perutnya perlahan mereda. Ia sudah lebih tenang, lega gaun yang dipakainya tetap rapi dan riasannya juga tidak luntur.

Irene menata rambut sejenak, bersiap untuk keluar namun sesuatu yang aneh terjadi. Pintu kamar mandi tidak bisa didorong sekali pun kuncinya sudah terbuka dari dalam.

"Apa-apaan ini?" Irene terbelalak. Tidak ada yang rusak saat ia masuk. Tadi gagang pintu itu jelas-jelas masih berfungsi.

Irene memutar bola mata malas.

Ya.. kecuali jika ada orang yang menguncinya dari luar, dan itu jelas kesengajaan.

Irene punya alasan untuk curiga. Bagaimana ia bisa lupa, selama tempat penyelenggaraan kompetisi biola Sarah juga sama dengannya, gadis itu akan melakukan bermacam-macam cara agar ia gagal.

"Cepat buka!" geram Irene. "Aku tahu kau masih berdiri di sana."

Kakinya menendang keras bagian bawah pintu. Berusaha mendobrak, namun tidak ada sahutan. Ia terlalu malas menunduk, terlalu merepotkan dan penampilannya bisa-bisa berantakan.

"Kalau aku sampai didiskualifikasi, kau juga akan tamat. Kau pikir aku tidak bisa mengacaukan kompetisimu?" ancam Irene kesal, mengutuk dalam hati kemudian cepat-cepat mengambil ponsel.

Lihat saja, usaha yang gadis itu lakukan percuma. Ia tidak akan terus terkurung di dalam sini. Tidak lama lagi bantuan pasti akan datang. Hylda juga pasti sedang menyusulnya sekarang. Yang perlu ia lakukan hanya menelepon wanita itu dan mengadukan kecurangan Sarah.

Irene penasaran dengan apa gadis itu menahan pintunya dari luar. Jadi ia terpaksa melepas high heels-nya dan menaikkan kaki ke atas kloset yang membuatnya bisa berdiri cukup tinggi sambil berpegangan pada pintu atas toilet, sementara tangannya yang lain menggenggam ponsel dan mencoba menghubungi Hylda.

Semulus itu harapan yang tersusun di benak Irene sebelum akhirnya kandas begitu ia tak sengaja malah menjatuhkan satu-satunya alat komunikasi itu ke lantai, di dekat kaki bersepatu renda krem yang berdiri tepat di luar pintu.

Sarah tersenyum mengejek, pura-pura tidak melihat ponselnya dan melenggang pergi begitu saja. Irene tidak tahu harus bersyukur ketika sambungan teleponnya diangkat, atau mengumpat melihat alat pel yang disilangkan menghalangi jalan keluarnya.

"SIALAN KAU SARAH!"

***

"Maaf, aku terlambat."

"Sangat. Aku sudah lama menunggumu," ketus Chelsea Archer.

"Kau memang tidak pengertian. Jika kau tahu akan terlambat, setidaknya jangan datang dengan tangan kosong. Bawalah sesuatu," gerutunya kemudian berdeham pelan sambil menoleh ke tempat duduk belakang. Memastikan apakah penonton lain terganggu meski ia sudah berbisik-bisik.

Sisa udara dingin masih menempel di mantel Ace. Salju mungkin akan turun lagi mengguyur Chicago. Chelsea sedikit merasa bersalah ketika menatap tangan pucat Ace yang tidak mengenakan sarung tangan penghangat di tengah cuaca musim dingin bulan Maret.

Ace kebetulan memang sedang melanjutkan kuliah gelar masternya di Universitas Duke dan penerbangan kemari hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Bagi Chelsea itu lebih cepat dari penerbangan yang harus ia tempuh dari Paris.

Ace juga tidak mau menginap di sini, jadi Chelsea membatalkan check in kamar lain, membiarkan kamar hotelnya ditempati Ace untuk beristirahat. Lagipula kamar itu kosong, Ace bisa menggunakannya dengan nyaman karena Chelsea sibuk mengurus persiapan kompetisi.

Sejak orang tuanya membangun yayasan bagi para musisi muda dan anak-anak yang berbakat musik klasik, ada satu gadis kecil yang menarik perhatian Chelsea. Bukan hanya brilian, gadis itu juga memiliki aura seorang bintang emas.

"Aku tidak sempat berpikir untuk mampir membeli apa-apa. Kulihat kau sudah menyiapkannya," timpal Ace.

Cabang pikiran Chelsea kembali menyatu. Ia menyipitkan mata. "Berikan bunga ini kepadanya nanti. Dia akan senang bertemu denganmu."

"Siapa?" tanya Ace, tak menolak meski Chelsea menyuruhnya memegang buket tulip warna-warni yang kakak perempuannya itu bawa sejak menunggunya di depan.

"Aku sudah pernah memberitahumu namanya. Kau lupa? Tanyakan saja sendiri," ketus Chelsea sambil membuang muka dan menatap lurus ke arah panggung.

Kompetisi harpa internasional sedang berlangsung di dalam auditorium theatre seni pertunjukan Universitas Roosevelt. Mereka masuk beberapa menit setelah acara dimulai, dan sudut terbaik panggung dapat mereka lihat dari kursi melingkar yang bersusun naik di barisan sayap tengah.

Biasanya tidak mudah mengajak Ace ikut dan Chelsea terkadang enggan mengakui pria kaku yang memiliki kebiasaan ekstrim dan cepat bosan itu sebagai adiknya. Sifat mereka memang sangat berbeda.

Dia juga hafal bagaimana kebiasaan buruk Ace. Seperti sekarang. Chelsea tahu apa alasan Ace duduk begitu tenang di sampingnya tanpa berkomentar sedikit pun tentang penampilan para peserta kalau bukan karena Ace memang tidak memerhatikan sejak awal.

"Ace, kau tidur?" Chelsea menyenggol sebelah kaki Ace dengan ujung hak sepatu kulit Jimmy Choo merah mudanya.

Masih bergeming, Ace menjawab dengan kedua mata yang tetap terpejam. "Kenapa harus bertanya? Aku akan tahu saat juri mengumumkan nama-nama pemenangnya. Kau bilang dia pasti menang," gumam Ace, salah mengira Chelsea protes padanya karena ucapan yang ia dengar sebelum tidur tidak dijawab. "Bangunkan aku jika sudah selesai."

Chelsea mendengus kesal. "Kau tidak bisa tidur di tempat lain? Apa yang kau lakukan selama di hotel? Cepat buka matamu!"

Ace bahkan tidak perlu memastikan jika semua lampu di teater memang belum dinyalakan. Suasana sendu dan penerangan temaram keemasan membuat lelahnya bertumpuk. Bukan pergi ke hotel, ia sebenarnya mengantar Orlena berkeliling Illnois, tapi Ace tidak mungkin menjelaskan kepada Chelsea kalau gadis itu ikut dengannya.

"Sebentar lagi gilirannya. Jangan buat aku ingin mengungkit hal yang sudah berlalu. Kau lupa? Tidak ada yang mendukungmu selain aku," geram Chelsea.

Ace mendesah. "Jangan mulai, Sy... Kau tahu aku berusaha melepas impian itu."

Chelsea pun terdiam menyesal. Ia baru saja membuka luka lama Ace, padahal ia sadar hal itu cukup sensitif bagi Ace.

"Aku tidak bermaksud mengingatkanmu lagi. Aku hanya..." Chelsea menghela napas dengan perasaan berkecamuk.

"Aku tidak butuh patung yang hanya diam kuajak kemana - mana. Aku ingin bicara denganmu. Apa yang kau benci dari musik klasik? Menyebalkan sekali, percuma kau duduk di sebelahku jika aku merasa seperti sendiri."

Ekspresi Ace terlihat mengeras. Ia menegakkan punggung dari sandaran kursi lalu berpaling pada Chelsea. "Maafkan aku..." Ace mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Kau tahu lagu - lagu itu tidak bernada di telingaku, semua pertunjukannya terdengar membosankan. Aku tahu kau memuji permainan musik temanmu, artinya itu bagus. Tapi aku tidak yakin akan berpendapat sama."

"Apa aku bahkan menyiksamu berjam - jam di sini? Baru empat orang yang tampil dan kau ingin pulang sekarang? Tidak bisa Ace."

Kata - kata Chelsea membuat Ace jadi melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, dan ternyata ia hanya tidur sebentar. Tidak sampai setengah jam. Kenapa waktu berjalan sangat lambat setiap kali ia memaksakan sesuatu yang tidak disukainya?

Ace melipat tangan, kini tatapannya berubah sedikit lebih lembut. Baiklah, ia akan mencoba menikmati sisa konser.

Namun selang beberapa saat kemudian, ponsel dalam saku celananya bergetar. Ace membaca pesan singkat yang masuk. Chelsea menyipitkan mata ke arah layar terang yang menyala di kegelapan dan mendengus sinis.

Orlena Jacques.

Jika Chelsea menulis deretan nama - nama dari orang yang ia benci dalam daftar hitam catatannya, putri manja itu tidak akan Chelsea lewatkan di urutan paling atas.

"Kau mau kemana?"

Chelsea memegangi tangan Ace yang tiba - tiba berdiri setelah mengantongi kembali ponselnya ke dalam saku.

"Oke.. Oke.. Aku tarik perkataanku, kau bukan patung. Maaf karena mengungkit tentang hal itu juga. Jangan pergi hhmm," mohon Chelsea, memelas sambil menyatukan telapak tangan.

Ace terkekeh menundukkan tubuh hingga wajah mereka sejajar. "Menurutmu patung bisa mengantarmu kemari? Aku tidak marah. Orlena bilang dia tersesat. Aku harus menjemputnya sekarang."

Chelsea berdecak, ternyata gadis itu terus menempeli Ace seperti lintah.

"Aku yakin itu hanya alasannya. Dia pasti sengaja memanggilmu ke sana untuk merusak rencanaku."

"Tidak mungkin. Kau tahu sendiri dia tidak bisa membedakan arah map."

Chelsea merutuki sikap baik Ace yang selalu dimanfaatkan Orlena. "Biarkan saja. Apa Orlena anak kecil? Dia fasih berbahasa inggris, bisa bertanya ke orang - orang sekitar untuk kembali ke hotel."

Chelsea berharap ucapannya bisa menahan Ace tetap di sini.

"Aku tahu kau membencinya, tapi dia sedang membutuhkanku," kata Ace.

"Sejak kapan aku tidak lebih penting darinya?" keluh Chelsea. "Kau tidak benar - benar serius akan meninggalkanku sendiri, kan?"

Ace tersenyum kaku, menyampaikan perasaan bersalahnya sebelum mencium kedua pipi Chelsea dan bergerak melepaskan pelukannya.

"Telepon aku, jangan pulang naik taksi. Aku akan menjemputmu."

Chelsea berpura - pura tidak mendengar. "Tunggu sampai Zean Archer menghukummu begitu dia tahu putri kesayangannya pulang dengan wajah sembap," ancam Chelsea yang justru dibalas Ace dengan nada bercanda.

"Di umurmu yang sekarang?" Ace menggeleng ragu. "Aku tidak percaya sebagai direktur yayasan kau masih bisa merengek di depan Dad," katanya.

Chelsea merengut menatap kepergian Ace yang berjalan semakin menjauh. Meski mereka sering bertengkar, Ace sangat memedulikannya. Setiap kali ia menyebabkan masalah, Ace akan mengutamakannya lebih dari siapa pun, seperti tameng. Chelsea juga sadar semua perlakuan itu tidak mungkin selamanya bisa Ace lakukan. Mereka memiliki kehidupan masing-masing dan Chelsea tidak berharap Ace akan tetap sama.

Tapi... kenapa harus Orlena!

Ace banyak berubah sejak mengenal gadis itu. Chelsea ingin menjauhkannya dari pengaruh Orlena. Jika gadis itu sudah meminta, Ace hampir tidak pernah menolak. Kadang Chelsea bertanya-tanya bagaimana perasaan Ace. Orlena bahkan bukan kekasihnya.

***

"Lihat saja. Aku pasti akan membalasmu!"

Irene terhuyung ke depan, nyaris kehilangan keseimbangan begitu ia berhasil membengkokkan gagang flat mop. Setelah tendangan ketiga, pintu itu menggebrak terbuka. Irene mengibaskan rambut, tidak sia-sia sepupunya pernah mengajarinya dasar-dasar bela diri. Ternyata kekuatan yang mereka latih dulu berguna untuk situasi seperti ini.

Irene menurunkan kembali rok panjang yang dikenakannya hingga menyentuh lantai. Sebelum benar-benar keluar, Irene mengusap keringat yang membasahi keningnya lalu mematut penampilan di depan cermin dan menghela napas lega.

Tidak ada noda yang mengotori warna merah gaun chiffon-nya, tetapi ia tetap saja merasa sedikit... berantakan. Mau tidak mau Irene harus naik ke atas panggung dengan kondisi apa adanya.

Berjalan cepat menuruni tangga, embusan angin yang terbawa masuk bersama orang-orang ketika melewati pintu membuat Irene tanpa sadar melangkahkan kaki ke halaman luar. Tiba-tiba lupa jika tujuannya adalah bersiap menuju ruangan di bagian belakang panggung.

Butiran-butiran salju melayang turun dari langit. Tubuh Irene menggigil menahan dingin. Ia menengadah ke atap sambil mengulurkan tangan, bernaung di bawah pilar-pilar melengkung berusuk batu kapur yang terlihat mirip seperti benteng zaman Romawi. Jalan raya tampak lengang, hanya sesekali dilalui mobil.

Mata biru Irene berbinar menatap pemandangan itu. Hari ini pasti hari keberuntungannya. Salju pertama turun di saat ia akan mengikuti kompetisi.

"Astaga, aku lupa. Kompetisi!" pekik Irene yang langsung berbalik dengan tergesa - gesa hingga tidak sengaja menabrak bahu seseorang dari arah berlawanan yang sepertinya ingin keluar dari gedung.

Irene sempat terlempar, hampir saja jatuh karena badan keras pria itu menghantamnya cukup kuat, namun ia sedang tidak punya waktu untuk berbalik apalagi meminta maaf. Ia terburu-buru dan tidak tahu akan menyeruduk seseorang dengan begitu memalukan.

"Irene Jasmine!" Hylda sudah lebih dulu meneriakkan namanya dengan posisi tangan di pinggang.

"Maaf, ceritanya panjang," napas Irene terengah - engah. "Akan kujelaskan nanti. Tapi yang lebih penting sekarang..." Irene membungkuk, menyingkap naik ujung gaunnya.

Hylda melotot saat gadis itu menunjukkan jari - jari kakinya yang telanjang. "Hilang kemana sebelah sepatumu?!"

"Oh, ayolah. Pinjamkan aku yang lain, tolong..."

"Sudah kuduga kau akan membuat masalah. Bagaimana kalau kita tidak datang?"

Irene sontak menoleh. Suara itu terdengar dari arah samping, disusul dengan kemunculan dua pria jangkung yang keduanya ia kenali dari jauh. Mereka sama-sama tampan, bermata coklat almond, rambut dark ginger dan salah satunya berjaket parka dipadu celana jeans.

Pria itu terus berjalan mendekati Irene sambil menenteng tas Manolo Blahnik berisi sepasang kitten heels, lalu berlutut dan meraih kakinya.

Irene tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca. Ukurannya pas.

"Oke, aku siaap!"

Pria itu memang ksatria penyelamat Irene.

To Be Continued

× × ×

Mau next partnya diupdate kapan?

Jangan lupa vote dan komentar ya
Thank you🌹

× × ×

Jumlah kata : 2372

Revisi : 08 Januari 2023

Original Ver. : 03 Juli 2019

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 77.5K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
82.4K 4.1K 52
[22-05-2019] #2 teenfiksi "Mana bisa sih aku marah sama cewek se-unik kamu. Adanya bikin kangen kali." _____________________________________ Zahra a...
2.4K 95 17
MESJID RAYA MEDAN Pria itu sedang menmandangi layar ponselnya yang menampilkan profil seorang gadis bernama Mutya Aqillah. Gadis berusia 18 tahun den...
1M 18.1K 6
Apakah kalian pernah membayangkan seluruh kegiatanmu selalu diikuti para paparazzi? Apakah kalian pernah membayangkan bahkan ketika kau makan ice cre...