Assassin

By Irie77

117K 15.3K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 23

2.6K 402 178
By Irie77

Aku segera melepas kain yang melilit di tubuhku setelah melempar jubah milik Erick di kursi. Siraman air mengguyurku ketika aku menuangkannya ke seluruh tubuh. Meskipun pedih, tapi rasa lengketnya mulai memudar dan tubuhku terasa ringan ketika merasa sudah bersih.

Bibi Athea langsung membantuku untuk mengoleskan obat luka sambil menyuarakan serapah terhadap para selir ketika melihat luka-lukaku. Aku turut mengolesi luka-lukaku sendiri untuk bagian lengan dan beberapa bagian yang masih terjangkau oleh pandanganku, sementara bibi Athea sudah mengolesi obat di punggungku.

"Semoga saja mereka mendapat hukuman yang layak." Setidaknya itu adalah serapah terakhir yang kudengar.

"Sudahlah, biarkan saja."

"Tidak bisa begitu!" tukasnya. "Harusnya mereka sadar bahwa status mereka hanya selir nona. Meskipun mereka lebih dulu tinggal di wilayah kediaman putra mahkota, mereka tidak boleh melakukan hal-hal seperti ini apa lagi padamu!"

Aku tersenyum miring mendengar kalimatnya yang tak terlalu formal sesuai harapanku, apakah aku harus membuatnya kesal dulu untuk berbicara non formal seperti ini?

Setelah selesai, aku duduk dengan posisi dagu di atas meja layaknya murid malas sambil menunggu obat-obat di tubuhku mengering. Sambil merenung, kutatap jendela yang berembun beku. Disitu aku tak sengaja melihat Erick keluar dari bangunan besar yang kini kutahu adalah tempat tinggal para selir. Ia berjalan cepat menuju ke mansion sambil menggenggam sesuatu.

Aku tahu setelah ini pasti ia akan menemuiku. Ada rasa malas untuk bertemu dengannya, tapi juga ada rasa ingin bertemu karena ada rasa penasaranku pada suatu hal. Sebenarnya, aku juga merasa risih jika ia melihatku dalam keadaan terbuka seperti, tapi tak ada pilihan lain selain menutup tubuhku apa adanya demi obat-obat di punggung dan lenganku.

Aku mengangkat kepalaku dan mulai duduk menekuk lutut di kursi tanpa sandaran serta masih menatap jendela yang dingin. Aku tidak tahu apakah posisi dudukku akan mendapat kecaman karena tak sesuai dengan cara duduk tuan putri pada umumnya.

"Nona, silahkan diminum tehnya." Bibi Athea meletakkan secangkir teh di atas meja yang kepulan asapnya tercium segar dan hangat.

Aku mengangguk kecil sambil menjawab, "Terimakasih."

"Apa nona kedinginan?"

Aku tahu, mungkin di matanya, posisi dudukku tidaklah wajar. Duduk dengan kaki naik ke kursi mungkin dianggap tidak sopan apa lagi untuk status tuan putri sepertiku, sangat tidak berwibawa dan seperti tak beretika, tapi pada dasarnya aku hanya ingin memeluk lutut untuk merapatkan diri.

"Iya, tapi apa boleh buat," jawabku berusaha menjaga harga diriku. "Obatnya belum mengering."

"Kalau begitu tunggulah beberapa saat lagi, nona. Setelah itu istirahatlah."

Aku mengangguk. "Kau seharian merawatku, kau juga harus istirahat."

"Nona," panggilnya setelah hampir lama bergeming. "Maafkan aku."

"Hmm?"

"Untuk hari ini, aku...tidak menjagamu dengan baik sampai kau harus terluka seperti ini. Seandainya saja...aku lebih teliti untuk memilih pengemudi, mungkin kau takan terjebak oleh para selir."

"Jadi...pengemudi itu suruhan para selir?" Satu pertanyaan yang tertahan akhirnya terjawab. "Apakah orang-orang yang berusaha menyerangku dan berniat membunuh juga suruhan mereka?"

Bibi Athea tampak tertegun dengan pertanyaanku berikutnya. "Kalau itu...aku tidak tahu nona. Aku hanya tahu kalau pengemudi itu adalah suruhan mereka, tapi untuk orang-orang yang kau maksud..." Bibi Athea terdiam sambil berpikir kemudian ia menggeleng pelan dengan dahi berkerut. "Aku tidak menyangka, bahwa mereka akan bertindak lebih jahat dari yang kuduga."

"Kupikir...yang mengirim mereka adalah yang mulia raja."

"Aku akan melaporkan hal ini pada putra mahkota."

"Jangan!" sergahku. "Putra mahkota tidak boleh tahu."

"Kenapa?"

Dalam sekejap pikiranku langsung dipenuhi oleh adegan-adegan tragis di penjara bawah tanah. "Aku takut mereka akan dihukum sangat berat."

"Tapi aku sudah mendengar semuanya."

Sebuah suara muncul dari pintu. Mataku melebar ketika Erick mendekati kami dan menatapku tajam.

"Bibi, aku ingin bicara dengan tuan putri berdua saja."

"Baik yang mulia." Bibi Athea langsung pamit undur diri setelah beberapa kali melirikku.

Pintu ditutup dan kini tinggal kami berdua dalam suasana tegang.

"Benar-benar posisi duduk yang sangat mulia, yang bahkan tidak dilakukan oleh gadis bangsawan manapun," sindirnya. "Meskipun jauh dari tata karma kesopanan, tapi biarlah. Kau bebas melakukan apapun sesukamu di kamar ini."

"Ada keperluan apa yang mulia kemari?" tanyaku dingin.

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku akan menemuimu?" jawabnya turut dingin. Ia meletakkan benda emas yang baru-baru ini menjadi identitasku. "Mereka berusaha mengambil lencana ini darimu."

"Bukankah mereka selalu menginginkannya? Mereka telah berusaha keras untuk mendapatkannya dan juga mendapatkanmu."

"Aku tak ingin salah satu dari mereka mendapatkannya atau bahkan mendapatkanku."

"Kenapa kau membiarkanku mendapatkannya?"

"Kau putri raja Victor dan kau berhak mendapatkannya."

Ya, setiap kali dia mengatakan hal itu aku selalu tertawa dalam hati. Mentertawakannya sekaligus mentertawakan diriku sendiri. Bukankah katanya putra mahkota adalah sosok yang harus lebih diwaspadai daripada yang mulia raja? Apa dia tak merasa curiga padaku seperti curiganya yang mulia raja? Sebenarnya, ini juga sangat mengganjal pikiranku. Aku tak mengerti kenapa dia berbeda dengan kesan pertama saat aku bertemu dengannya? Dimanakah sosok kejamnya yang dulu pernah kutakuti?

"Valen," panggilnya. "Kenapa kau mengakui perbuatan yang tak kau lakukan? Penusukkan terhadap nona Lucy bukan kau yang melakukannya kan?"

"Apakah aku masih perlu membela diri untuk mendapatkan kepercayaanmu yang mulia?"

"Kau cukup mengatakan bahwa kau tidak melakukannya."

"Aku hanya merasa lega melihat wajah puas mereka."

Erick mengerutkan keningnya seketika. "Kau benar-benar aneh."

"Dan kau telah menjadikan Axylon memiliki seorang putri mahkota yang aneh."

Dia bungkam mendengar kalimatku barusan. "Ya, kau benar," sahutnya beberapa detik kemudian sambil mendekati jendela dan menatap kosong langit di luar sana. "Kau mengakui bahwa kau yang melakukan penusukkan itu di depan para selir lainnya. Akibat dari pengakuan itu, besok kau akan menjalankan hukuman juga."

Aku masih terdiam untuk menunggu kalimat berikutnya yang seperti sedang tertahan, namun kalimat itu tak kunjung keluar hiingga akhirnya aku sendiri yang bersuara.

"Hukuman seperti apa yang harus kujalani?"

"Besok, tinggallah di paviliun Mawar. Aku sudah menyiapkan hukumanmu di sana. Kau tidak boleh keluar dari paviliun selama satu bulan dan juga tidak boleh bertemu siapapun kecuali orang-orang yang sudah kutentukan."

"Paviliun Mawar?"

"Ya, besok bibi Athea yang akan mengantarkanmu ke sana." Erick menatap taman selatan yang tampak gelap gulita. "Ingat! Paviliun itu dalam pengawasanku jadi jalani hukumanmu dengan baik dan jangan macam-macam," lanjutnya mengancam.

Sial, kalau begini rencanaku untuk menemui nyonya Jevera akan tertunda selama satu bulan. Itu waktu yang cukup lama mengingat aku harus memberi kabar secepatnya pada Velian dan lainnya.

"Dan satu lagi, kau tidak boleh menemui siapapun atau memanggil tamu dari luar tanpa izinku," tambahnya seolah-olah memahami pikiranku.

Aku tertegun dengan kalimat terakhirnya. Rencanaku gagal seketika, dan aku harus menjalani hukuman yang aku sendiri tak tahu apa yang sedang menungguku di sana.

"Apa..." Sebenarnya aku ingin bertanya 'Apa harus satu bulan hukuman yang harus kujalani?' tapi aku memilih untuk menarik pertanyaan itu. "Maksudku...bagaimana dengan keadaan nona Lucy?" tanyaku mengalihkan niatku.

Ia tersenyum miring. "Kau benar-benar aneh. Kau menanyakan keadaan seseorang yang bahkan tak menanyakan keadaanmu?"

"Mereka membenciku, wajar jika mereka takan peduli padaku."

"Apa kau tak membenci mereka?"

"Aku kesal, tapi aku tak punya hak membenci mereka." Ya, tepatnya aku tidak bisa membenci mereka yang menginginkan tahta yang seharusnya tak berhak kumiliki.

"Kenapa tidak? Kau adalah putri mahkota dan juga istriku. Kau memiliki banyak hak untuk membenci selir-selirku jika kau mau."

"Meskipun begitu, mereka telah berjuang keras untuk mendapatkan kedudukan itu."

Erick tertawa ringan. "Entah kenapa setelah mendengar kalimatmu, kau justru terlihat lebih cocok jadi pejuang wanita, ksatria, atau bahkan prajurit militer dari pada menjadi putri mahkota. Kau tak mencerminkan sikap-sikap tuan putri pada umumnya. Kau benar-benar terlihat lebih menghargai sebuah perjuangan ketimbang apa yang akan kau dapat."

Gawat! Meskipun aku merasa heran kenapa dia tak mencurigaiku, tapi sebenarnya aku sangat khawatir jika dia benar-benar mencurigaiku. Dia bisa saja membunuhku setelah mengetahui siapa aku sebenarnya, dan itu akan membawaku dalam masalah besar.

"Seperti yang kau tahu, selama ini aku hidup di luar sana. Tak peduli aku bagian dari keluarga kerajaan atau bukan, yang jelas aku dibesarkan bukan di lingkungan istana," jawabku memutar kata dengan fakta.

Erick menatapku kemudian duduk di sudut meja sambil melipat tangannya. "Hmm menarik. Aku jadi penasaran, siapa orang yang berani mendidik seorang tuan putri sepertimu menjadi Assassin."

"Kau belum menjawab pertanyaanku yang mulia," ujarku mengalihkan pembicaraan. Aku tak ingin dia tahu lebiih dalam tentangku sebelum aku menyelesaikan semuanya.

"Hmm?"

"Bagaimana keadaan nona Lucy?"

Erick menarik nafas sejenak sebelum menjawab, "Nona Lucy masih dalam pengobatan, mungkin setelah sembuh, dia dan selir yang lain juga akan mendapat hukuman atas perlakuannya padamu."

Keningku berkerut seketika. "Hukuman seperti apa yang kau berikan pada mereka?"

"Hukumannya adalah menjadi seorang budak seumur hidup," jawabnya. "Itu adalah hukuman karena telah menyakiti seorang putri mahkota."

"Kenapa kau menjatuhi mereka hukuman seperti itu?" tukasku. "Kenapa harus menjadi budak? Kau bisa menjadikan mereka pelayanmu....tidak, bahkan seharusnya kau cukup menurunkan kedudukan mereka sebagai putri bangsawan. Kau menghukum mereka dengan menurunkan kedudukan mereka hingga serendah itu? Seharusnya kau berpikir bagaimana buruknya nasib seorang budak wanita!"

"Dengar Valen, aku tahu kau tidak biasa hidup dalam lingkungan istana," jawabnya tenang. "Perlu kau tahu, kedudukan putra dan putri mahkota adalah bagian kedudukan terpenting setelah raja dan ratu. Tentu saja karena mereka calon pengganti raja dan ratu berikutnya. Jika seseorang yang berkedudukan rendah berani menyakiti atau bahkan berniat untuk membunuhmu, itu sama saja mereka menyakiti calon ratu mereka, dan itu dianggap kejahatan besar yang setara dengan para pemberontak yang ingin menggulingkan kedudukan raja. Masih untung aku tidak memberi hukuman mati pada mereka semua."

Aku berdiri dan menantapnya tajam. "Jika aku diposisi mereka. Aku lebih baik mati dari pada harus menjadi budak," ujarku lalu melengos pergi dengan kesal.

"Mau kemana kau?" tanyanya sambil menarik tanganku.

"Dari pada aku bertindak tidak sopan karena mengusirmu dari kamarku, lebih baik aku yang keluar bukan?"

"Oh, jadi kau ingin bertindak sewenang-wenang denganku?" tantangnya. "Baiklah tuan putri, hukumanmu kutambah menjadi tiga bulan."

"Apa?!"

"Kau yang sudah memancingku mengambil keputusan ini."

* * *

Paginya aku langsung diantar menuju halaman selatan, dimana paviliun itu berada. Bibi Athea tampak murung selama perjalanan dan tampak tak senang dengan keputusan putra mahkota. Kulihat bangunan besar yang tampak lapuk dan berlumut. Bukan hanya itu, dindingnya juga dililit sulur-sulur tanaman rambat yang membuatnya terlihat rimbun. Semakin dekat, aku bisa melihat kaca-kaca jendela yang dilapisi es tipis.

Kami mulai memasuki bangunan itu, aroma dinding yang lapuk dan juga lumut menyeruak sesuai penampilannya, namun terdapat tanaman mawar merah yang begitu banyak hampir memenuhi tepi ruangan. Aku bahkan melihat segelintir kupu-kupu yang terbang di antara bunga-bunga itu.

"Kamarmu ada di atas nona."

Aku mengikuti bibi Athea yang berjalan mendahuluiku menaiki tangga yang berbentuk spiral. Bangunan ini lebih kecil dari mansion putra mahkota, tapi terlalu besar jika aku tinggal seorang diri di dalamnya.

Tak lama, kami sampai di sebuah ruangan yang lumayan luas berbentuk lingkaran, meskipun tak seluas kamarku di mansion. Dindingnya dipenuhi jendela kaca hingga aku bisa melihat pemandangan dari segala arah.

Di dalam ruangan sudah ada tempat tidur dan juga meja berbentuk persegi dengan buku-buku tebal di bawahnya. Selain itu, di dekat jendela juga banyak tumbuhan mawar merah yang mengelilingi ruangan ini dan tingginya sepinggangku. Mereka semua sedang merekah dan sebagian masih ada yang kuncup. Sampah kelopak bunga yang kering juga berserakan di bawahnya.

"Nona, ini adalah kamarmu sekaligus tempat hukumanmu. Sesuai keputusan putra mahkota kau bebas melakukan apapun di sini tapi tidak boleh keluar dari bangunan ini selangkahpun selama tiga bulan. Dan selama kau dikurung di sini, salinlah semua buku itu." Bibi Athea menunjuk tumpukan buku di kolong meja. "Kau harus menyelesaikannya dalam waktu yang ditentukan. Kau tahu? Putra mahkota akan mengawasimu terus melalui menara itu." Ia menunjuk sebuah menara yang berdempetan dengan mansion. "Dia akan terus mengawasi kamarmu, karena itu dindingnya dipenuhi jendela kaca."

Setelah itu, bibi Athea menunjukkan berbagai ruangan, seperti ruang makan, dapur, kamar mandi dan ruang ganti baju.

"Selama kau masih dalam masa hukuman, kau tidak boleh menemui siapapun dan juga tidak boleh ada yang bertamu untuk mengunjungimu termasuk aku. Hanya putra mahkota sendiri yang boleh menemuimu."

"Kenapa hanya dia yang boleh?"

"Karena dia suamimu, dan orang yang mengirimmu ke tempat ini nona," jawabnya lugas. "Ditempat ini kau akan dilayani oleh orang lain yang belum pernah bekerja di istana. Jadi...jaga dirimu baik-baik nona. Maaf untuk sementara ini aku tidak bisa melayanimu, tapi...kau bisa mengirim utusan jika kau ingin menanyakan kabarku melalui surat-menyurat. Aku akan senang jika aku...mendapat surat darimu."

Aku tersenyum ringan. "Bicaramu seolah-olah kau akan ditinggal putrimu pergi ke negeri orang."

Bibi Athea tersenyum dan ia menyeka air matanya yang gagal menetes. "Nona, kau sudah seperti putriku sendiri. Jika ada kesempatan, aku akan mengintip kamarmu melalui jendela menara."

"Aku pasti akan mengirim surat padamu. Intiplah kamarku sepuasmu." Aku memeluknya layaknya memeluk ibuku sendiri. "Itupun jika aku sedang berada di kamar," imbuhku tertawa kecil.

Kemi melepas pelukan dan kini aku yang menyeka air matanya agar tidak menetes.

"Jaga dirimu baik-baik selama bersama orang lain nona."

Setelah berpamitan, bibi Athea pergi meninggalkan paviliun dan disitulah hukumanku dimulai. Aku mulai meraih buku tebal di kolong meja dan juga meraih buku kosong untuk disalin, kemudian aku mengeluarkan pena dan tinta dari laci.

Aku membacanya sekilas sambil menulis, buku yang sedang kusalin berisikan pengetahuan-pengetahuan tentang perdagangan. Meskipun aku mencoba untuk mempelajarinya, tapi aku masih tak paham sepenuhnya.

"Tugasku hanya menulis bukan?" Aku akan bergumam seperti itu jika pikiranku terasa penat dengan isi buku.

Waktu berlalu dengan sangat cepat dan tanpa kusadari hari sudah menjelang malam. Jemariku terasa pegal setelah menulis seharian. Aku berniat untuk menyalakan lilin sebagai penerangan namun saat aku membuka pintu kamar, waktunya begitu pas dengan sedang berdirinya sosok jangkung yang sepertinya juga hendak membuka pintu.

"Yang mulia?"

"Kebetulan sekali kau keluar. Turunlah sebentar, aku membawa beberapa orang untukmu."

Aku mengekori langkah kakinya menuruni tangga dan kulihat sudah ada tiga sosok pria dan satu seorang wanita. Jika kulihat wanitanya, aku sudah kenal dia, yaitu Lavina yang sedang menyamar.

"Hormat kami tuan putri," ujar mereka bersamaan sambil membungkuk hormat.

Aku terdiam tanpa membalas penghormatan mereka saking bingungnya.

"Mereka adalah orang-orang terpilih yang akan melayanimu di tempat ini," ujar Erick.

"Namaku Grimmy, saya sebagai tukang bersih-bersih di tempat ini yang mulia," seorang pemuda yang tampak seperti masih bocah lugu dan...berwajah jelek dengan gigi depannya terlalu maju mulai memperkenalkan dirinya. "Termasuk kamar anda jika diizinkan."

"Namaku Zein yang mulia, saya akan menjadi juru masak di tempat ini." Pria paruh baya di sebelahnya juga turut memperkenalkan diri.

"Namaku Ricky yang mulia, saya akan menjadi pelayan setia anda dan akan selalu menemani anda jika anda membutuhkannya termasuk menyiapkan teh." Kini pria berkacamata yang bersuara. "Saya juga akan menjadi utusan setia anda."

"Namaku Sharon, anda pasti sudah mengenalku karena kita sering bertemu setiap anda sakit dan terluka. Saya akan merawat anda sekaligus menjadi pelayan wanita anda." Gadis bercadar yang kutahu itu adalah Lavina, terlihat seperti sedang tersenyum di balik cadarnya.

"Kalau begitu saya pamit, untuk menyiapkan makan malam," ujar Zein.

"Saya juga mohon izin undur diri untuk membersihkan tempat ini sedikit demi sedikit." Grimmy turut pamit.

"Yang mulia, kudengar kau terluka. Aku akan menyiapkan beberapa obat untukmu."

"Terimakasih Sharon," balasku pada Lavina, karena kami memang sudah mengenal.

"Kalau begitu, saya juga pamit undur diri untuk menyiapkan keperluan yang lainnya, tapi izinkan Saya membuat teh dan biskuit untuk anda sebelum mengerjakan yang lainnya." Rickypun menyusul.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda untuk mengizinkannya. Kini tingggal aku dan Erick yang masih berdiri di tengah ruangan. "Kalau begitu, aku juga pamit untuk melanjutkan hukumanku yang mulia."

"Ingat Valen," sergahnya ketika aku sudah membalikkan diri untuk menuju tangga. "Kau dalam pengawasanku, jadi jangan macam-macam. Selangkah saja kau keluar dari tempat ini, aku tidak akan segan-segan membawamu ke tempat yang lebih buruk."

"Aku mengerti yang mulia," sahutku dingin.

Aku berbalik dan menatap kepergian Erick hingga punggungnya tak lagi terlihat. Ricky menutup pintu sementara aku sudah menaiki tangga menuju ke kamarku.

"Valen."

Langkahku terhenti ketika mendengar suara yang memanggilku. Aku menatap Ricky yang berdiri menatapku tanpa menyahut panggilannya.

"Kau tidak tahu siapa aku?"

Tak lama mereka semua datang berkumpul sambil menatapku, kulihat Lavina menuruni tangga sambil tersenyum lebar yang tanpa kumengerti maksudnya.

"Ini aku Velian." Pemuda yang sebelumnya kukenal sebagai Ricky, tiba-tiba melepas kacamatanya dan gulungan rambutnya.

"Aku Zealda." Kini Zein juga mulai melepas kumis tebalnya.

"Aku yakin, tadi kau terlihat jijik dengan wajahku yang jelek ini. Benar begitu kan?" Grimmy melepas giginya. "Kau tahu? Jika bukan karenamu, aku takan mau memakai benda seperti ini."

"Aleea?" Mataku melebar setelah mengetahui sosok asli Grimmy.

Lavina langsung merangkulku yang masih ternganga. "Bagaimana? Ideku berhasil kan?"

"Ba-bagaimana kalian bisa..." Ucapanku menggantung saking shocknya.

Aleea membuka gulungan perkamen. "Istana membuka lowongan pekerjaan sebagai pelayan putri mahkota. Lihat!" Aleea menunjuk nilai hadiah yang akan didapatkan dalam perkamen itu. "Putra mahkota memberi bayaran mahal hanya untuk mengurus dirimu, tentu saja kami tergiur."

"Dan juga untuk membayar hutang kami padamu," imbuh Zelda.

"Ini adalah kesempatan yang langka. Jadi kami sepakat untuk menawarkan diri, dan tentu saja kami harus berpura-pura sebagai orang asing agar bisa diterima." Velian kembali memakai kacamatanya setelah menggelung sedikit ujung rambutnya.

Aku masih terdiam menatap mereka satu persatu. Penyamaran Lavina, sudah tidak asing lagi bagiku, tapi bagaimana dengan tiga pemuda itu?

Velian mewarnai rambutnya secara acak-acakan dan menggulungnya, dia memakai kacamata yang membuatnya seperti pria disiplin yang kaku. Zealda memakai kumis tebal hingga terlihat seperti pria paruh baya. Aku tidak tahu bagaimana dahi dan kelopak matanya terlihat keriput, tapi dia benar-benar terlihat seperti pria yang sudah berumur. Lalu Aleea, di pipinya terdapat lingkaran hitam yang terlihat seperti...tompel? Lalu dia menggunakan gigi palsu yang tonggos kedepan.

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tertawa terbahak-bahak hingga mataku basah dan mendekati mereka satu persatu.

"Zealda, kau benar-benar setua ayahku," ujarku masih tertawa. "Tidak, bahkan terlihat lebih tua dari ayahku."

"Velian juga, apa ini?" Aku melepas kacamata Velian dan memakainya. "Ingin menjadi saudagar kaya yang disiplin?" Aku tertawa lagi. "Kau...kau terlihat seperti seseorang yang hidupnya penuh dengan aturan yang membuatmu menderita kaku sikap."

"Lalu...Aleea." Aku menepuk-nepuk bahu Aleea dan tertawa lebih keras terhadapnya. "Aku bersumpah, tadi aku benar-benar tidak menyukai wajahmu. Sungguh! Wajahmu jelek sekali. Pesonamu sebagai pemuda luntur seketika." Aku melepas kacamata Velian yang kupakai lalu nyeka air mataku akibat tertawa. "Kenapa kau menyamar sejelek itu?"

Aleea berubah cemberut seketika. "Itu idenya Lavina."

Aku menatap Lavina yang ternyata memang ikut tertawa bersamaku tanpa kusadari. "Kau benar-benar kejam sekali merubah mereka seperti ini," ujarku masih tertawa.

"Tapi penyamaran mereka berhasil bukan?" sahutnya yang juga tertawa.

"Ya, ya kau benar." Aku berusaha mengendalikan tawaku perlahan. "Aku benar-benar tak mengenali kalian, bahkan putra mahkota juga berhasil kalian kelabuhi. Selamat kalian berhasil."

"Tentu saja harus berhasil. Ini adalah kesempatan langka, jadi nikmati kebersamaan kita untuk sementara," Lavina melipat tangan sambil bersandar di pagar tangga.

"Ya kau benar. Kalian tahu?" Aku menatap merekasatu persatu. "Aku rindu kalian dan kebersamaan kita."

_______To be Continued_______

Malam menjelang pagi all.. Maaf upnya dini hari harusnya hari sabtu sore kemarin.. T_T Entah kenapa, kuota malam lebih lancar jaya dibanding kuota siang.. (*Maafkan author yang ngenes ini..T_T)

Maaf kalo upnya untuk sementara cuma semingggu sekali sob, author nya gk bisa fokus di satu cerita jadi mohon maaf banget.. T_T Tapi gak hiatus kok, pasti akan di up maksimal seminggu sekali..

Maaf juga kalo ada yang typo yah.. Jangan lupa tingggalkan jejaknya kawan.. ^^

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. :*

Continue Reading

You'll Also Like

7.5K 1.7K 32
Irina Winter, werewolf Beta yang jatuh cinta pada teman Alpha-nya sejak kecil. Suka duka telah mereka lalui bersama sampai mereka beranjak dewasa. Hi...
55.6K 6.4K 28
VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Putri Xiao Ling tidak menyangka jika hidupnya akan berubah dalam waktu satu malam. Konspirasi jahat mem...
337K 30.8K 42
I. Chapter One Cara Nicole hanyalah gadis biasa yang menjadi kunci kedamaian Dixie Mirror. Dunia Cermin itu terhubung dengannya melalui cermin yang...
12.8K 2.7K 10
Elzoya Adams, putri bungsu Gubernur Ibu Kota yang selalu menjadi satu-satunya yang selamat dari serangkaian peristiwa berujung kematian. Alih-alih me...