PERANTARA MENUJU SURGA (COMPL...

By fhyfhyts_

197K 10.1K 297

. Sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia, yang namanya musibah selalu menjadi hal yang paling ingin dihin... More

PROLOG
BAB 1 || LUKA YANG TERBUKA
BAB 2 || NOSTALGIA MASA LALU
BAB 3 || BUKAN SEKEDAR HALUSINASI
BAB 4 || PERMINTAAN YANG RUMIT
BAB 5 || BOS BARU CAFE
BAB 6 || TIBA SAATNYA BERTEMU
BAB 7 || PERTEMUAN YANG KEDUA
BAB 8 || ANTARA DUA PILIHAN
BAB 9 || AKIBAT BAN BOCOR
BAB 10 || KETENANGAN YANG TERENGGUT
BAB 11 || DILAMAR SECARA MENDADAK
BAB 13 || TAMU TAK DIUNDANG
BAB 14 || SALING MEMBUKA DIRI
BAB 15 || UNDANGAN MAKAN MALAM
BAB 16 || ORANG YANG SAMA
BAB 17 || TERUNGKAPNYA SEBUAH KEBENARAN
BAB 18 || SIAP PRIA ITU?
BAB 19 || HANYA SALAH PAHAM
BAB 20 || MENCIPTAKAN SEBUAH JARAK
BAB 21 || MAKNA SEBUAH MIMPI
BAB 22 || MENJADI ASING KEMBALI
BAB 23 || KEJUTAN YANG MELEGAKAN
BAB 24 || MENGATUR SEBUAH RENCANA
BAB 25 || PERTEMUAN YANG DISENGAJA
BAB 26 || MUNCUL MASALAH BARU
BAB 27 || DATANG MENAGIH JANJI
BAB 28 || TIDAK MENERIMA PENOLAKAN
BAB 29 || HILANG TANPA KABAR
BAB 30 || SEBENTAR LAGI BERTEMU
BAB 31 || KEMUNCULAN TAK TERDUGA
BAB 32 || TUJUAN UTAMA DATANG
BAB 33 || MEMBERI KESEMPATAN KEDUA
BAB 34 || YANG DIHARAPKAN TERKABUL
BAB 35 || LAMARAN YANG SESUNGGUHNYA
BAB 36 || UJIAN SEBELUM PERNIKAHAN
BAB 37 || HADIAH UNTUK PERNIKAHAN
BAB 38 || DIHANTUI RASA BERSALAH
BAB 39 || MAKAN SIANG BERSAMA
BAB 40 || PERANTARA MENUJU SURGA(TAMAT)
EPILOG
NUMPANG LEWAT

BAB 12 || KEPUTUSAN YANG TERBAIK

4K 240 4
By fhyfhyts_

Tidak mudah membangun bisnis tanpa menjalani persaingan. Seperti bisnis cafe yang tentu saja tidak hanya satu atau dua orang yang mendirikan. Itulah sebabnya pemilik usaha dituntut untuk selalu up to date tentang cara menarik pelanggan.

Mulai dari penataan ruangan, menu yang disajikan, sampai ke cara melayani pengunjung. Semua menjadi poin penting yang harus selalu diperhatikan.

Ada pepatah yang mengatakan "don't judge a book by its cover," jangan pernah menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya. Tapi, hal itu menjadi sesuatu yang paling utama untuk diperhatikan jika memilih tempat makan.

Jujur saja hampir semua orang pasti mempertimbangkan tempatnya lebih dulu dibandingkan menu yang ditawarkan suatu rumah makan.

Bisa dikatakan orang-orang akan lebih mudah tertarik mendatangi tempat makan jika suasananya menarik dan mengikuti perkembangan jaman.

Dan itulah yang Mooster Cafe coba lakukan untuk menarik pelanggan. Menyediakan tempat dengan tatanan meja semenarik mungkin, fasilitas tambahan seperti spot foto dan wifi gratis, pelayan yang ramah dengan pelanggan, dan tentu saja menu yang bervariasi dengan harga sesuai kantong pelajar dan karyawan.

Berkat semua itu Mooster Cafe menjadi salah satu tempat yang ramai pengunjung.

Seperti hari ini misalnya. Ketika memasuki waktu makan siang, Nawra yang hari ini sebenarnya mendapat jadwal shift siang terpaksa harus memulai jam kerjanya jauh lebih awal demi membantu kerepotan pelayan lain dengan mewanti-wanti untuk meminta tambahan gaji kepada Althaf nantinya.

Tidak terhitung sudah berapa kali gadis itu keluar masuk dapur untuk mengambil pesanan pelanggan lalu mengantarnya. Hal yang cukup menguras tenaga dan menyebabkan kelelahan.

"Capek gue ...," keluh Nawra kepada Ikbhar yang berada di belakang meja barista. Cowok itu sedang berkutak dengan mesin coffee di hadapannya.

"Baru juga segitu udah capek," ejek Ikbhar acuh tak acuh sambil meracik coffee.

Nawra mengerucutkan bibirnya. Tanpa mengindahkan ledekan Ikbhar, ia berjalan meninggalkan meja barista kemudian memasuki dapur. Langkahnya ogah-ogahan menunjukkan bahwa saat ini dia memang benar-benar lelah.

Di dapur para chef masih sibuk membuat berbagai makanan pesanan pelanggan. Beberapa ada yang sudah siap dan tinggal menunggu diantar oleh pelayan, tapi belum ada yang kembali selain Nawra.

Gadis itu berjalan semakin masuk sampai melewati meja tempat menyimpan makanan yang sudah jadi. Azzam yang mendengar langkah kaki menoleh dan langsung menegur Nawra.

"Nawra, tolong antarkan pesanan itu keluar." Tinggal selangkah lagi kaki Nawra menyentuh lantai tepat di sisi meja dispenser, tapi dia terpaksa berhenti karena mendengar namanya disebut.

Nawra berbalik memperlihatkan wajah lelahnya agar Azzam mengerti dan memberinya sedikit keringanan untuk sekedar menenggak segelas air.

"Mas, aku capek banget ini. Mau minum dulu sebentar," ucap Nawra mencoba bernegosiasi. Tapi, balasan tak terduga justru dia dapatkan.

"Jangan istirahat kalau semua pekerjaan belum selesai, yang lain bahkan belum ada yang istirahat." Azzam masih bersih keras.

Nawra memandang Azzam dengan kening berkerut. Apa sekarang Azzam berubah menjadi atasan yang kejam? Ini tentu bukan sifat asli pria itu.

"Mas, bahkan ini belum masuk jam kerja aku. Aku cuma mau minum sebentar aja terus lanjut bantuin yang lain." Nawra belum menyerah menyampaikan negosiasi.

Azzam yang tiba-tiba berubah menjadi manusia berhati dingin benar-benar tidak mengizinkan Nawra istirahat barang semenit saja. Jangankan Nawra, Fauzia bahkan heran dan terpaksa menegur partner kerjanya itu.

"Zam, lo kerasukan apa kok jadi keras gini bawaannya?" tanya Fauzia.

Azzam tidak menggubris pertanyaan Fauzia. Ia lebih tertarik bicara kepada Nawra. "Kenapa masih di situ. Cepat antarkan pesanan pelanggan kalo kamu juga mau cepat istirahat," ujarnya tegas membuat semua orang yang ada di dapur memandang tidak percaya.

Dengan wajah gondok Nawra memutar badannya, berjalan menuju meja tempat menyimpan masakan yang telah jadi dengan masing-masing kertas bertuliskan nomor meja pelanggan, mengambil salah satunya, kemudian membawa dengan nampan yang sedari tadi dia pegang. Sebelum benar-benar keluar dari dapur Nawra sempat berbalik untuk memandang punggung Azzam yang kembali sibuk pada penggorengan di depannya.

Nawra mengumpat dalam hati dan meneriakkan segala sumpah serapah, mengabaikan dosa apa yang akan ia dapat jika menyumpahi orang yang lebih tua darinya.

"Perlu di rukiah kali tuh orang, tiba-tiba aneh. Jangan-jangan kerasukan dedemit," gumannya kemudian benar-benar meninggalkan dapur.

Fauzia yang sempat memperhatikan gerakan mulut Nawra hanya bisa menggeleng kemudian kembali menatap ke arah Azzam yang sejak tadi pagi sikapnya memang terasa berbeda.

"Lo lagi ada masalah?" tanya Fauzia saat di dapur hanya tersisa mereka berdua. Masakan Fauzia sudah selesai, sehingga dia memfokuskan pandangannya kepada Azzam. "Lo marah-marah kayak cewek PMS tahu gak," kekeh Fauzia.

Di sampingnya, Azzam sama sekali tidak bergeming. Dia juga tidak tahu kenapa bisa bersikap demikian kepada Nawra. Entah ada hubungannya atau tidak, rasanya setiap kali Azzam melihat Nawra bawaannya dia ingin memaki gadis itu. Merasa tidak terima jika ternyata Nawra mendukung hubungan Raesha dengan Althaf. Perempuan yang dicintainya sejak mereka dipertemukan kembali hingga ditakdirkan menjadi partner kerja.

"Sebaiknya lo lanjutin pekerjaan aja, Zia," ujar Azzam tanpa sedikitpun membalikkan badannya.

Fauzia tersenyum miring, dia semakin yakin jika saat ini Azzam tengah mengalami suatu masalah. "Pekerjaan gue sekarang adalah istirahat karna masakan gue udah selesai," ucap Fauzia berniat keluar dapur menuju ruang istirahat di sebelah.

Sebelum benar-benar keluar, perempuan yang hanya lebih muda beberapa bulan dengan Azzam itu berbalik mengucapkan kalimat yang berhasil membuat pria tersebut merenung.

"Masalah gak bakal selesai dengan amarah, berdoalah. Minta petunjuk sama Allah dan terima apapun yang sudah ditakdirkan untukmu."

🖤 🖤 🖤


Jam tiga sore, kondisi cafe berangsur sepi. Tidak benar-benar kosong karena masih ada beberapa kursi yang terisi.

Nawra baru saja selesai membersihkan meja yang ditinggalkan pengunjung kemudian masuk ke dapur.

Setelah mengisi energi dengan segelas air, gadis itu pamit kepada Fauzia untuk menemui Raesha. Sejak tadi Raesha tidak terlihat batang hidungnya, entah perempuan itu sudah makan atau belum karena tidak pernah meninggalkan ruang kerja.

Sudah menjadi kebiasaan seorang Nawra yang masuk ke ruangan Raesha tanpa mengetuk pintu. Membuat sang pemilik ruangan kadang tergelonjak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

Hanya saja kali ini jangankan terkejut, menyadari kehadiran Nawra saja sepertinya tidak. Nawra berjalan dengan langkah pelan ke arah meja kerja Raesha. Dilihatnya perempuan itu terbengong sambil menatap layar laptop yang menyala, tapi hanya menampilkan beranda.

Sampai Nawra benar-benar duduk di kursi hadapan meja, Raesha juga tidak memperlihatkan pergerakan berarti. Nawra memandang Raesha lekat, merasa aneh karena hampir tidak pernah mendapati perempuan yang sudah dianggapnya kakak itu melamun.

"Mbak Raesha ...," panggil Nawra sekedar menyadarkan Raesha yang untungnya masih bisa mendengar dengan baik.

"Astagfirullah iya Nawra." Raesha mulai mengatur mimik wajahnya.

"Tumben melamun, Mbak," ujar Nawra masih enggan mengalihkan pandangannya ke arah lain dan terus fokus kepada Raesha.

Raesha tersenyum tipis. "Enggak kok, siapa yang melamun," elaknya.

Nawra tidak mengambil pusing jawaban Raesha yang jelas bertolak belakang dengan apa yang dilihatnya, gadis itu memilih mengajukan pertanyaan lain. "Mbak udah makan? Tadi gak keliatan di ruang istirahat."

Raesha melirik arlojinya. Ia bahkan tidak ingat waktu karena sejak tadi melamun.

Raesha menggeleng kaku, membuat tatapan Nawra menjadi melotot. "Mbak kenapa gak makan? Nanti sakit." Nawra mengingatkan. Pasalnya Raesha punya riwayat penyakit maag.

"Iya, nanti aku makan. Sekarang belum lapar." Baginya tidak ada satu makanan pun yang akan berhasil masuk ke tenggorokan jika pikirannya saja sedang berkelana ke mana-mana.

Sekali lagi Nawra mengangguk, menurutnya Raesha bukanlah anak kecil untuk dipantau makannya, cukup mengingatkan. Lagipula Raesha juga bukan anak kecil yang urusan makan saja bisa lupa. Kecuali pikirannya sedang berkelana seperti sekarang.

Nawra memilih mengganti topik pembicaraan dengan menceritakan kejadian tadi siang di dapur. Tentang perubahan sikap Azzam yang tiba-tiba ketus dan sangat tegas memerintah. Meski persoalannya sudah lewat, tapi Nawra tetap merasa perlu menceritakan kepada Raesha.

"Mbak tau gak tadi aku hampir aja pingsang gara-gara Mas Azzam," adu Nawra yang berhasil mengalihkan perhatian Raesha.

"Mas Azzam?" tanya Raesha tak mengerti.

Nawra menghela napas lelah, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai bercerita. "Yah, Mbak tau kan tadi kondisi cafe lagi ramai-ramainya, tenaga pelayan kurang jadi aku ikut bantuin padahal jadwal aku shift siang. Aku ke dapur buat minum, tapi tiba-tiba Mas Azzam ngancem, gak boleh istirahat sebelum pekerjaan selesai," curhatnya ngos-ngosan.

Kening Raesha sedikit berkerut, berusaha menangkap maksud lebih rinci dari cerita Nawra. "Maksud kamu Mas Azzam gak bolehin karyawan lain istirahat sebelum pekerjaan selesai?" tanyanya untuk memastikan.

Nawra mengangguk kaku. "Tapi, bukan semua karyawan Mbak, cuma aku aja. Aneh kan?" bingung Nawra.

Raesha memicingkan matanya. "Kamu ada kesalahan apa sama Mas Azzam?" tanya Raesha mengintimidasi.

Jika tadi kening Raesha yang berkerut, kini kening Nawra lah yang nampak bergelombang. "Gak ada kok, kemarin kan masih baik-baik aja. Apa jangan-jangan Mas Azzam lagi PMS yah. Makanya sensitif gitu, tapi kenapa cuma sama aku?" tanya Nawra lebih kepada dirinya sendiri.

Kedua perempuan itu pun dilanda kebingungan yang sama. Bukan apa-apa, selama ini Azzam yang mereka kenal adalah pria ramah dan bersahabat, bukan tipe pria keras yang sok bossy. Mendengar penjelasan Nawra tentang perubaham sikap Azzam yang tiba-tiba tentu membuat keduanya berpikiran kemungkinan-kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi kepada pria itu.

🖤 🖤 🖤

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Nawra tentang perubahan sikap yang dialami oleh Azzam secara mendadak, membuat Raesha memilih untuk  memastikan sendiri. Dan benar saja, saat hari beranjak sore ketika kondisi cafe mulai kembali ramai dan semua karyawan dibuat sibuk, Raesha sengaja memperhatikan kondisi dapur dari kejauhan dan apa yang dikatakan Nawra kembali terulang.

Raesha sudah ingin menegur, merasa tidak tahan melihat sikap keras Azzam memerintah dan itu hanya kepada Nawra. Semakin memperkuat alibinya jika bisa saja Azzam mempunyai masalah kepada Nawra atau gadis itu pernah berbuat kesalahan kepada pria itu.

Kondisi cafe yang masih saja ramai bahkan menjelang maghrib membuat Raesha harus menunda untuk menemui Azzam. Raesha tidak bisa tenang dan bersikap seolah tidak mengetahui apapun. Menurutnya sikap Azzam kali ini sangat di luar batas wajar. Bahkan Ibu Wina, atasan mereka sendiri tidak pernah memerintah sekeras itu.

Setelah memutuskan untuk menemui Azzam saat pulang kerja, di sinilah dirinya berada sekarang. Di area parkiran cafe yang berangsur sepi. Hanya ada beberapa kendaraan terparkir milik karyawan dan satu mobil warna hitam masih terparkir rapi yang menandakan pemiliknya masih berada di dalam cafe.

Raesha menunggu dengan sabar, beberapa karyawan sudah ada yang meninggalkan cafe dan tak lama kemudian orang yang ditungguinnya muncul dari arah samping.

Azzam berjalan sambil menenteng ranselnya, sama sekali belum menyadari kehadiran Raesha. Pria itu baru mendongak saat hampir tiba di mobil dan saat itu juga ia melihat Raesha.

"Raesha?" Ada raut terkejut dari mimik wajah Azzam, tentu dia tidak menduga akan bertemu Raesha sekarang. Apalagi jika Raesha berniat untuk menunggunya. "Kamu belum pulang?"

Raesha masih menyempatkan untuk tersenyum ke arah beberapa karyawan yang baru saja berlalu untuk pulang lalu kembali melihat ke arah Azzam. "Aku sengaja nungguin Mas Azzam," ujarnya masih nampak tenang.

Azzam mengerutkan kening tanda bingung. "Ada apa?" tanyanya. "Kamu mau bicara sesuatu?" Tidak bisa dipungkiri jika Azzam senang, berpikir bahwa Raesha bisa jadi akan memberi jawaban atas pertanyaannya kemarin malam.

"Maaf, Mas. Mungkin bakal terdengar sangat lancang kalo aku nanyain hal ini. Tapi, sepertinya aku gak bisa membenarkan perlakuan Mas Azzam." Meski ini bukan salahnya, tidak bisa dipungkiri jika saat ini Raesha merasakan gugup yang luar biasa. "Aku liat sendiri perlakuan Mas sama Nawra tadi sore. Apa Mas punya masalah sama dia?" tanya Raesha to the point berhasil membuat Azzam menegang.

"K--kamu bicara apa Raesha?" tanya Azzam bingung. Sungguh dia tidak sepenuhnya bisa menangkap maksud Raesha.

"Kenapa Mas merintah Nawra bekerja terlalu keras, sedangkan yang lain masih bisa istirahat?" Tidak ada nada intimidasi dari kalimatnya, raut wajahnya pun masih setenang hembusan angin malam itu.

"Nawra?" Azzam bergumam. Lalu seperti mendapat angin sejuk ia langsung mengerti arah pembicaraan Raesha. "Kamu tau sendiri tadi kondisi cafe lagi ramai-ramainya Raes, aku cuma mengutamakan kenyamanan pelanggan. Mereka pasti gak suka nunggu apalagi yang ditinggal istirahat sebentar," jelas Azzam tenang. Tentu saja itu alasannya.

"Tapi, kenapa cuma Nawra, Mas. Aku liat sendiri tadi." Raesha masih tidak habis pikir.

Kali ini Azzam menghela napas. Ditatapnya Raesha lamat-lamat sambil tersenyum. "Apa Nawra yang ngasih tau kamu? Ah, kayaknya aku harus rayu gadis kecil itu dengan traktiran supaya gak perlu ngadu ke kakaknya." Azzam terkekeh kecil merasa bahwa ini bukanlah suatu masalah besar.

"Gini aja, besok aku bakalan ringanin pekerjaan Nawra untuk menebus hari ini yang begitu melelahkan, tapi wajahmu jangan ditekuk gitu dong." Azzam berusaha menghibur Raesha, dari raut wajahnya nampak jelas bahwa dia sedang gelisah.

Untuk pembahasan soal Nawra, Raesha memilih mengalah. Lagi pula Azzam sudah berjanji dan dia tinggal membuktikannya nanti. Sekarang di hari yang semakin larut Raesha masih enggan pamit pulang, begitu juga dengan Azzam yang tentunya memilih memanfaatkan kesempatan untuk bersama Raesha.

"Sebenarnya bukan cuma hal ini aja yang mau aku bicarain, Mas." Raesha menyahut, setelah beberapa waktu terdiam sambil berpikir.

Azzam yakin bahwa apa yang ingin dibicarakan Raesha selanjutnya adalah tentang pertanyaannya semalam. "Ya udah ngomong aja, Raes." Azzam mempersilahkan.

Raesha tidak pernah berada pada situasi sulit seperti ini, atau mungkin pernah saat dirinya baru saja ditinggal pergi kedua orangtua untuk selamanya. Di mana saat Raesha harus mengambil keputusan bijak untuk masa depan agar bisa bertahan hidup.

Dulu Raesha benar-benar sendiri, tidak ada siapa-siapa tempatnya mengadu selain kepada Allah. Dengan doa yang hampir setiap saat dipanjatkan, akhirnya ia berhasil memilih suatu keputusan yang membawanya hingga hari ini.

Jujur, mengenai kata menikah masih terlalu tabu dalam pikiran Raesha saat dia masih merasa perlu menikmati hidup.

Kehadiran Azzam dalam hidupnya cukup memberi warna sebab dia tidak pernah benar-benar mempunyai teman pria. Namun pengakuan pria itu yang memintanya untuk menikah sungguh tidak pernah masuk ke dalam daftar rencana hidupnya.

Mendengar betapa tulusnya pernyataan perasaan Azzam membuat Raesha merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia bisa tidak sadar akan semua perlakuan Azzam kepadanya selama ini. Harusnya meski Azzam tidak mengatakan secara langsung, setidaknya Raesha tahu jika pria itu menaruh rasa padanya.

"Mas ...," panggil Raesha. Matanya memandang lurus ke depan, enggan menatap pria di sampingnya.

"Mas tau kalo aku gak pernah bisa menolak kebaikan orang?" Setidaknya Raesha harus memilih kata-kata yang tepat agar tidak terkesan blak-blakan.

"Aku selalu menghargai setiap kebaikan orang padaku, termasuk ucapan Mas Azzam semalam yang buat aku ngerasa benar-benar beruntung," ucapan Raesha barusan menghadirkan senyum di wajah Azzam.

"Mas tau kalau di dunia ini aku gak punya siapapun. Aku punya keluarga dari orangtua tapi mereka tinggal jauh. Selain itu gak ada siapa-siapa lagi."

"Aku menghargai semua yang Mas lakukan ke aku, terima kasih." Akhirnya meski dengan susah payah Raesha berhasil menyunggingkan senyum. "Aku gak pernah bisa melukai Mas Azzam, itu bakal bikin aku ngerasa bersalah udah mengabaikan perasaan Mas."

"Kamu gak pernah nyakitin aku, Raesha. Kamu tau aku suka sama kamu, cinta sama kamu." Akhirnya kata-kata itu pun keluar dari lubuk hati terdalam Azzam.

Tapi, tidak seperti pernyataan cinta kebanyakan, hal itu justru menyayat perasaan Raesha. "Maaf Mas." Memang sebaiknya Raesha mengatakan itu.

"Gak perlu minta maaf, Raesha. Kamu gak salah." Azzam tidak mau melunturkan senyum dan rasa bahagianya. Dia merasa bahwa malam ini akan berakhir dengan indah.

Lalu bagaimana Raesha akan mengabaikan Azzam? "Tapi, aku gak bisa terima lamaran itu Mas."

Ucapan Raesha terdengar seperti alunan musik indah yang berubah menjadi menyayat hati.

Raesha sudah menolaknya.

🖤 🖤 🖤


Publish: 18 Juni 2019
Revisi: 04 Maret 2020
Repost: 12 Maret 2023

Continue Reading

You'll Also Like

299K 17.9K 48
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
1.1M 107K 48
MALING JAUH-JAUH!! Hanya sebuah kisah singkat seorang gadis berumur 20 tahun yang mengorbankan dirinya untuk melunasi hutang pamannya. bagaimana kela...
56K 4.6K 31
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
540K 65.6K 18
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...