Unwritten Feelings(Completed)

By HenryTjoa

23.2K 2.8K 95

Semenjak Jisoo dan Jennie jadian, Jisoo menuangkan segala perasaannya pada sebuah buku catatan kecil. Namun... More

-01-
-02-
-03-
-05-
-06-
-07-
-08-
-09-
-10-
Special Chapter

-04-

1.6K 253 23
By HenryTjoa

Dua buah mobil berhenti tepat di depan rumah mewah dari Jennie. Dari dalam dua mobil tersebut, muncullah 4 gadis anggun bak permaisuri kerajaan jaman dulu. Mereka adalah, Jennie, Jisoo, Lisa dan Rosé. Tujuan mereka datang ke rumah mewah ini adalah untuk menjenguk ibu Jennie dan Lisa. Jennie menghela nafasnya sejenak. Di sampingnya, Jisoo berusaha menenangkannya dengan mengusap-usap lengan Jennie. Jennie menatap Jisoo dan melemparkan senyuman tipisnya.

"Kamu jangan takut. Ada aku, Lisa dan Rosé." Ucap Jisoo berusaha menenangkan Jennie.

"Iya, eonnie jangan takut. Ada kita." Lisa menimpali.

Jennie menghela nafasnya sejenak, lalu mengangguk dan mulai membuka langkahnya ke depan pintu masuk rumahnya. Karena dia memang membawa kunci rumahnya sendiri, dia pun membuka pintu rumahnya. Begitu pintu terbuka, Jennie kembali melemparkan senyuman tipisnya. Kemudian, dia kembali membuka langkahnya ke kamar sang ibu. Langkahnya terhenti saat telah berada di depan kamar ibunya. Dia ragu untuk menarik knop pintu kamar sang ibu.

"Eonnie, buka saja. Eomma menunggumu." Ucap Lisa yang melihat keraguan pada diri Jennie.

Jennie menghela nafasnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan dirinya menarik knop pintu kamar ibunya. Begitu pintu kamar tersebut terbuka, air mata Jennie langsung tumpah. Sang ibu tampak berbaring di ranjang dengan wajah pucat dan badannya sangat kurus. Berbeda saat dia mengunjunginya minggu lalu.

"E-Eomma," Perlahan, Jennie pun mendekati ibunya. Setelah dekat, Jennie meraih tangan sang ibu untuk digenggamnya. Sang ibu yang sadar seseorang menggenggam tangannya pun melihat ke arah orang tersebut.

"Jennie," Ucapnya lirih.

"Aku disini, Eomma." Balas Jennie terisak.

Sang ibu tersenyum melihat wajah putri sulungnya itu. Dia sungguh merindukan putri sulungnya.

"Apa kabarmu, Jennie?" Tanya sang ibu.

Jennie mengusap air matanya, "Aku baik, Eomma."

"Syukurlah kamu baik-baik saja."

Dengan sisa tenaga yang ada, sang ibu melepaskan genggaman Jennie dan menarik Jennie ke dalam pelukannya. Jennie membalas pelukan sang ibu dengan sangat erat. Jisoo, Lisa dan Rosé yang berada di sana juga ikut meneteskan air mata mereka.

"Eomma, bogoshippeo-yo." Ucap Jennie disela-sela pelukannya.

"Nado bogoshippeo, Jennie-ya."

***

Kini, baik Jennie maupun Lisa telah berada di ruang tamu. Sementara Jisoo dan Rosé telah balik ke kantor. Sesekali masih terdengar suara isakan dari Jennie. Lisa yang berada di samping Jennir pun hanya bisa diam melihat sang kakak yang masih terisak itu. Beberapa saat kemudian, Jennie pun akhirnya bisa menenangkan tangisnya.

"Sudah tenang?" Jennie mengangguk, menjawab pertanyaan Lisa.

"Terus, apa rencana eonnie selanjutnya?" Tanya Lisa lagi.

Jennie menggeleng, "Entahlah. Tapi, apa tidak sebaiknya kita membawa Eomma ke rumah sakit?"

Lisa mendesah pelan, "Aku juga berpikir seperti itu, eonnie. Tapi, Appa sendiri yang tidak mau bawa Eomma ke rumah sakit."

"Lho kenapa?" Jennie menatap Lisa, "Bukannya itu tanggung jawab Appa?"

"Tadinya. Sebelum Appa dan Eomma bertengkar hebat." Jawab Lisa.

"Bertengkar?"

"Ceritanya panjang, eonnie. Yang pasti, setelah eonnie kabur dari rumah, Eomma dan Appa bertengkar hebat." Lisa menjeda kalimatnya, "Bahkan, Appa hampir menceraikan Eomma."

Syok, itulah yang Jennie rasakan saat mendengar penuturan dari mulut Lisa. Kedua orang tuanya hampir bercerai, dan ini semua karena dirinya. Air mata Jennie kembali tumpah saat Lisa selesai menceritakan semuanya. Kini, dirinya diliputi rasa bersalah yang begitu besar. Masalah percintaannya yang rumit ditambah dengan masalah keluarganya lagi. Meskipun, dia telah menyetujui Jisoo untuk membuang cincin yang diberikan Kai, tapi Jennie tetap masih merasa berat untuk membuang cincin itu.

"Kalau kau tidak mau membuang cincin itu, aku akan kembali ke Paris dan menikah dengan Jinyoung Oppa."

Ancaman dari Jisoo itu masih terngiang jelas di telinga dan pikirannya. Dia ingin menuruti kata Jisoo, tapi cincin itu terlalu berkesan. Cincin yang masih tersimpan rapi di laci meja kantornya.

"Eonnie," Lisa mengusap punggung Jennie, "Aku tau masalahmu berat."

Jennie memeluk Lisa dan mencurahkan tangisannya di pelukan Lisa. Lisa mengerti akan kondisi kakaknya sekarang. Jadi yang bisa dilakukan Lisa hanya menenangkan Jennie sembari mengusap punggungnya. Membiarkan Jennie menuangkan segala tangisannya disana.

"Aku harus bagaimana, Lisa?" Isak Jennie, "Aku mencintai Jisoo, tapi aku tak bisa melupakan Kai."

"Belajar untuk melupakan itu memang sulit, tapi kau harus melakukan itu, eonnie." Lisa menjeda kalimatnya, "Lagi pula, kau sudah mengikuti apa kata hatimu, bukan pikiranmu."

"Kata hatiku telah membuat keluargaku sendiri hancur, Lisa." Tangis Jennie semakin keras.

Kini, Lisa mengusap rambut Jennie yang tergerai, "Itu resiko, Eonnie. Appa dan Eomma hanya syok saat mendengar ucapan Eonnie waktu itu."

"Tapi, aku sudah hampir membuat Appa dan Eomma bercerai."

Kembali, Lisa hanya diam sembari mengusap rambut Jennie. Dia menyayangi kakaknya, sungguh. Tapi, dia juga tidak ingin melihat keluarga bahagianya menjadi suram seperti ini. Tanpa sadar, setetes cairan bening mengalir membasahi pipi Lisa. Lisa yang tidak pernah menangis, akhirnya menjatuhkan air matanya untuk pertama kali.

Jennie melepas pelukannya, kemudian mengusap air matanya diikuti oleh Lisa. Lisa menunjukkan senyumannya saat Jennie menatapnya. Meskipun menangis, tapi dia berusaha menutupinya agar terlihat kuat di hadapan Jennie.

"Kita harus bawa Eomma ke rumah sakit walau tanpa persetujuan Appa." Ucap Jennie yang mengejutkan Lisa.

"Kau yakin, eonnie? Nanti Appa marah gimana?" Tanya Lisa dengan nada syoknya.

"Persetan dengan itu! Eonnie akan membawa Eomma ke rumah sakit. Eomma butuh penanganan serius dari dokter." Jawab Jennie dengan nada tegasnya.

Jennie berdiri, lalu melangkah ke arah kamar ibunya. Dia menghampiri ibunya dan berkata, "Eomma, ayo kita ke rumah sakit."

Sang ibu hanya bisa tersenyum dan mengangguk, menyetujui ucapan Jennie. Jennie pun mulai memapah sang ibu keluar kamar. Lisa terkesiap saat mendengar suara langkah kaki yang keluar dari kamar sang ibu. Dengan sigap, dia pun berdiri dan menghampiri Jennie beserta sang ibu.

"Berani kau menginjakkan kaki di rumah ini?!" Jennie dan Lisa kompak melihat ke pemilik suara tersebut.

"Ini juga rumahku, jadi aku dan kakiku berhak menginjak disini!" Balas Jennie tegas.

"Lancang kau, Jennie!"

"Pukul aku! Tapi, jangan kau siksa ibuku dengan tidak membawanya ke rumah sakit!" Kalimat tersebut meluncur dari mulut Jennie saat melihat sang ayah yang hendak menamparnya.

Sang ayah menurunkan tangannya, kemudian mengalihkan tatapannya pada sang istri, "Wanita seperti dia tidak perlu dibawa ke rumah sakit! Biar dia mati saja!"

Jennie menatap tajam pada sang ayah, "Lantas kenapa kau menikahinya kalau kau menginginkan kematiannya?!"

Sang ayah terdiam mendengar ucapan Jennie yang cukup menohok. Darimana Jennie belajar kalimat seperti ini? Pikirnya. Jennie dan Lisa pun berjalan melewati ayah mereka sembari memapah ibu mereka. Namun, Jennie tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Dia menatap Lisa dan berkata, "Kau bawa Eomma ke depan dulu. Biar aku telpon Jisoo untuk menjemput."

Lisa menganggukkan cepat kepalanya, kemudian memapah sang ibu untuk keluar dari rumah. Sementara Jennie, dia mulai meraih ponselnya yang diletakkan di saku celana kantornya. Setelah ketemu, Jennie pun langsung menekan nama Jisoo.

'Yeoboseyo?'

"Jemput aku, Lisa dan Imo."

'Ne, baiklah. Kau tunggu sebentar ya?'

Jennie tidak membalas, dia langsung mengakhiri panggilan tersebut dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian, dia berbalik menghadap ayahnya, "Kalau kau tidak ingin merawat istrimu, biarkan aku saja yang merawatnya. Permisi."

Setelah berkata demikian, Jennie pun membuka langkahnya untuk keluar dari rumahnya. Karena dia tahu, Jisoo pasti bakal ngebut. Sementara sang ayah hanya mampu berdiri terpaku sembari mencengkram erat tas tangannya. Hatinya terasa sakit saat mendengar setiap kalimat yang terucap dari mulut Jennie.

"Mianhae, Jennie, Lisa, Chagiya. Aku tak bermaksud." Batin ayah Jennie dan Lisa.

***

Mobil Jisoo berhenti pada sebuah rumah sakit. Tanpa berkata sepatah katapun, Jisoo langsung keluar dan membantu Jennie serta Lisa untuk menurunkan ibu Jennie dan Lisa. Jisoo tersenyum sejenak pada ibu Jennie dan Lisa saat dia mengucapkan terima kasih. Lalu, Jisoo kembali masuk ke dalam mobilnya dan memarkirkan mobilnya. Jisoo turun dari mobilnya saat telah terparkir dengan benar. Lalu, dia pun berlari kecil ke dalam rumah sakit menyusul Jennie dan Lisa. Dia pun menghampiri Lisa dan Jennie setelah melihat mereka berdua.

"Bagaimana kondisi Imo? Apakah dia baik-baik saja?" Tanya Jisoo dengan nada paniknya.

Lisa tidak menjawab sementara Jennie langsung memeluk Jisoo. Jisoo membalas pelukan Jennie untuk menenangkan kekasihnya yang kembali terisak. Jisoo menjatuhkan sebuah kecupan di puncak kepala dari Jennie, membuat Jennie semakin mengeratkan pelukannya.

"Kamu tenang ya? Jangan nangis lagi. Imo pasti tidak apa-apa." Ucap Jisoo menghibur Jennie.

"Ini semua salahku. Aku bodoh telah membuat Eomma jatuh sakit." Isak Jennie manja.

Jisoo menggeleng, "Jangan terus menyalahkan dirimu. Ini bukan salah kamu."

Jennie tidak membalasnya, tapi semakin mempererat lagi pelukannya pada Jisoo. Hingga membuat Jisoo tak bisa bernafas.

CKLEK!

Jisoo, Lisa dan Jennie melihat bersamaan pintu yang terbuka. Sejuta pertanyaan hadir di hati Jennie dan Lisa saat melihat ekspresi sang dokter. Sang dokter pun mendekati Jennie dan Lisa, kemudian berkata, "Luka di lambung pasien sudah sangat parah. Takutnya akan mengakibatkan infeksi organ dalam."

Lemas sudah tubuh Jennie dan Lisa saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang dokter. Jennie kembali menangis dan mengeratkan pelukannya pada Jisoo. Sementara Lisa, dia menutup wajahnya untuk menyembunyikan tangisannya. Jisoo tahu Lisa menangis saat dia menatap Lisa. Didukung oleh pundak Lisa yang bergetar.

Jisoo pun menggeser perlahan mendekat ke arah Lisa. Dia menarik Lisa untuk bersandar di pundak kirinya, membiarkan Lisa menuangkan air matanya disana. Jisoo tersenyum getir saat mendengar tangisan kedua kakak beradik ini. Tanpa sadar, air matanya juga ikut terjatuh membasahi pipinya.

***

To be continued.

Continue Reading

You'll Also Like

280K 21.8K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
2.4K 204 12
Kisah cinta yang tidak seharusnya ada.🍀 ~Blackpink Version~
407K 41.3K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
47K 3.6K 27
(LENGKAP) ⚠️ DON'T COPY MY STORY! Kalo mau plagiat mending pergi jauh jauh, bye. Cerita ini tentang persahabatan antara laki laki dan perempuan, apak...