GARDA - The Series

By agitaputrish

270K 51.9K 3.3K

(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunu... More

Book 1: THE UNSEEN SOLDIERS
Saberion
Vigilante
Spectress
The Lost Ninja
Knockout
GARDA
Lair
Intertwined
Pattern
Flashback | Crowned
Interrogation
Meet The Ladies
Uncharted
The Exploration
Extraction
Impacts
Secret Bearer
Reboot
Uncovered
A Message
Business
Unconditional
Allies
Allies (Part II)
Unexpected
Hunted
Inferno!
Critical
Closer
Book 2: THE RESURGENCE
The News
Hidden
New Lead
Anyer
Gala
Masquerade
Repeated
One Day
Aftermath
The Price
Meet The Team
Jaguar
The Other
Threats
Revolt
Barricade
Intense
Merged
Battle of Jakarta (Part I)
Battle of Jakarta (Part II)
Healing
Book 3 Teaser: TARHUNT

Half Human

6.1K 1.2K 62
By agitaputrish

"The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear." - Nelson Mandela


Lapas Pasir Putih

P. Nusakambangan, Jawa Tengah


22 Februari 2028

Barakuda hitam menjaga di samping mobil yang disetiri Pak Dadang.

Dua ban besar terlihat berputar di luar jendela Kalea. Badan besinya yang kokoh berkilat terkena cahaya terik. Nampak jalan membelah perbukitan rumbut. Pria berseragam serba hitam lengkap dengan helm bersiaga bersama senapan, berjaga di pinggir jalan. Sesekali ada bangunan, semua dipagari kawat besi dan kamera CCTV terpasang di dindingnya.

Crrk! Gravidor terpasang di tangan kanan Kalea. Baru sebelah yang berhasil Zidan reparasi. Dengung pelan terdengar dari bulatan mesin di telapak. Ketika ia gerakan jemari, kilat perak mengelilinginya.

Ini pertama kali ia memakainya lagi semenjak rusak dua tahun lalu.

Gilang nampak gelisah. "Kau tak bilang kita akan ke Nusakambangan."

Kalea membenarkan sunglasses. "Kalau aku bohong soal kepopuleranku di sini, kita sudah ditembak saat menyebrang. Santai saja. Rekrut pilihanku tinggal di sini. Maaf, tak sempat print dokumennya untukmu."

"Jangan bilang dia pelaku kriminal!"

"Tidak. Dia yang meminta dikurung di sana."

Mobil sampai di gerbang jeruji baja. Pagar besi mengitari bangunan di tengahnya. Kawat besi terpasang di atas pagarnya, berkilat kebiruan oleh setrum. Di setiap sudut pagar ada pos penjaga.

Gilang turun, menahan pintu untuk Kalea. Rok tuniknya berkibar sedikit oleh angin. Mereka disambut sepasukan berseragam hitam yang menjaga seorang wanita. Dia bertubuh proposional dengan kaki jenjang, gagah berjas yang dipasang berbagai lencana. Wajahnya olive ala Arab, bertatapan tegas, ditambah bibir marun.

"Ka." Gilang menganga, berbisik. "Itu Irjen Marini! Ispektur Jenderal termuda Se-Indonesia. Kau mengenalnya?! Ya ampun, aku belum sisiran. Ka, bagaimana kau mengenalnya?! Dia keluargamu?! Apa—"

"Ssh!" Kalea menutup mulut Gilang dengan pistol putih—pistol bius. "Jangan buat aku membiusmu. Aku kenal Tante Marini. Dalam dua tahun berkelana sendiri aku ketemu banyak orang, salah satunya beliau."

Mereka turun dari mobil, melangkah melewati barisan penjaga. Dengan tenang Kalea membuka sunglasses, menyematkannya di rompi seorang penjaga. Masih muda, dia pun bingung.

Irjen Marini menatap Kalea dan Gilang bergantian. Lalu Kalea mengangguk sekali, beliau pun membalas. Gilang terkesiap saat Irjen Marini memeluk Kalea dan tertawa kecil.

"Hai, Tan, kau terlihat semakin badai."

Dia memegang pundak Kalea. "Dan kau terlihat lebih bersinar, Nak. Kudengar kau tak akan beraksi sendiri lagi. Aku ikut senang. Wardana bisa dipercaya." Lalu ia beralih ke Gilang, berjabat tangan. Tersenyum. "Gilang. Ternyata kau ya pemuda cakep lulusan Harvard yang Kalea bicarakan tadi pagi."

Kalea merona, menahan panik. Tak melirik Gilang yang menoleh padanya. Entah kenapa jantungnya berderum cepat.

"Wajahmu merah begitu," tambah Irjen Marini, iseng. "Ayo masuk, dia menunggu sejak pagi."

Gilang hendak melangkah tapi Kalea menahannya. "Rekrut yang ini korban proyek DEKARSA, kebetulan kau... umm..." Kalea bingung menjelaskannya. "Tunggu saja di sini. Kau bisa ngopi bareng Pak Dadang."

Meski terlihat gelisah, Gilang mengangguk. Dia menyerahkan pistol biusnya. "Untuk jaga-jaga."

Kalea melangkah mengikuti Irjen Marini. Melewati pintu baja yang membelah terbuka. Empat penjaga mengawal mereka. Tak lama kemudian sampai di lapas level satu, khusus tahanan baru dengan vonis seumur hidup.

Jeruji besi berderet di sepanjang lorong. Kalea tak menoleh tapi ekor matanya melihat orang-orang di dalam sel. Hanya ada kasur dan kloset. Dinding antar selnya setebal dua puluh sentimeter. Beberapa narapidana duduk di kasur atau bergumam dengan tangan sendiri. Beberapa lainnya berdiri dekat dengan jeruji. Mata mengikuti Kalea.

Kenangan saat dirinya diseret di lorong Akademi pun menggema. Membayangkan seperti inilah dirinya jika masuk Pengasingan, mungkin lebih parah. Dia pun mengerjap.

"Aku sudah dengar soal para Saberion," kata Irjen Marini. "Kau tak tertarik mencoba? Alat itu bisa... kembalikan ingatanmu dan Zidan soal kehidupan sebelum Akademi."

Kalea melemas. Sudah lama ia tak memikirkan itu. Terlalu sibuk oleh kehidupan membuatnya terlupa ada sembilan tahun memori masa kecilnya yang hilang. Saat pertama tiba di Akademi semua kadet tak ingat apa-apa soal kehidupan sebelumnya.

Dia hanya ingat punya Zidan. Itu saja.

"Entahlah," jawabnya. "Kakakku bilang beberapa hal lebih baik dilupakan."

Mereka sampai di ujung lorong. Para penjaga pun pergi. Irjen Marini membuka pintu besi berkarat itu. Di baliknya garis-garis laser merah bersilangan memenuhi ruangan. Dia mengangguk ke CCTV di atasnya, laser pun padam. Terdapat pintu lagi, kali ini semacam lift berdinding kusam. Layar semu terpasang di bawah barisan tombol.

Dia menaruh tangan di atas layarnya. Cahaya hijau muncul, memindainya. Perlahan lift turun. Ding! Lima lantai kemudian berhenti di hadapan sebuah lorong berlapis besi. CCTV terpasang dekat lampu dan lantainya dihiasi titik-titik merah. Itu pemindai gerak. Semua geraknya diawasi.

"Selamat datang di level Luar Biasa," kata Irjen Marini di tengah debum hak sepatunya. "Mereka di sini bukan manusia biasa. Sangat berbahaya. Sebagian tidak berwujud manusia lagi."

Kalea mengangguk, ngeri. "Makasih, Tan, infonya."

Terdapat kode di setiap pintu sel, berupa huruf dan angka petanda kapan tahanan datang. Kalea menemukan pintu kode XP3-07251980. Tahun 1980? Setau Kalea lapas ini baru beropreasi dua dekade terakhir. Entah siapa di dalamnya.

Mereka sampai di ujung lorong, pintu berkode XP9-12052027. Ada pintu besi dengan setir pengunci di tengah. Irjen memutar setir pengunci dan pintunya terbuka. Decit besinya membuat Kalea merinding.

"Silakan, Nak, bujuk dia keluar," katanya. "Kutunggu di sini."

Kalea memasuki ruangan gelap berbau besi campur apek ini. Bruk! Mengejang saat pintu besi membanting menutup di belakang.

Sejenak, tak ada yang terjadi. Hingga Kalea melihat bulatan cahaya merah tak jauh di depan. Terdengar desing besi pelan seiring ia bergerak ke kiri dan kanan. Kalea mendekat, menyadari cahaya merah itu adalah... sebuah mata.

"Hati-hati," kata suara agak kerobot-robotan. "Semua berawal dari tatap."

Kalea tetap tenang. "Hai, Arda. Aku—"

Ding! Lampu menyala. Terlihat dinding putih kusam di sekelilingnya yang dipenuhi kerikan. Kerikan gambar rumah, matahari dan pepohonan. Terdengar dengung pelan dari dindingnya, seperti dialiri listrik. Di sisi ruangan ada kasur, kabel nampak terhubung dari bagian bawah kasur, ujungnya seperti suntikan.

Anehnya, tak ada siapa pun di depannya. Cahaya merah itu hilang.

"Mencariku?"

Kalea mengejang, berbalik, menyiagakan tangan ke depan yang sudah dinaungi kilat perak. Nampak laki-laki itu bersandar ke pintu sel.

Dia agak berbeda. Wajahnya lebar berpipi tirus, dibingkai rambut hitam sepundak. Lumayan manis untuk tahanan bawah tanah. Sebelah matanya berupa mesin sewarna logam, berinti merah layaknya lampu infra. Badannya tinggi berotot dengan kulit kecoklatan. Kabel-kabel hitam tertanam di bawah kulitnya, menggantikan pembuluh darah. Ditambah barcode di punggung tangan.

Laki-laki itu melirik lambang Saberion di punggung tangan kiri Kalea. "Kau salah satu dari mereka. Pembunuh terlatih itu."

"Tak ada lagi mereka. Aku sendirian. Sama sepertimu."

Arda melangkah lalu zzp! Menghilang ditelan semburat cahaya biru. Sedetik kemudian muncul bersama sekejap cahaya tak jauh di belakang Kalea. Dia merinding tapi tetap tenang.

"Kita berbeda," kata Arda. "Aku bisa membawamu kemana saja."

Kalea berbalik. "Kedengarannya romantis."

Dia mengerutkan kening. "Kau tidak terkejut?"

"Tidak, aku malah terpana. Kau satu-satunya hasil Proyek Astron yang tersisa setelah ditutup. Kemampuan teleportasimu paling baik di antara yang lain, menjadikanmu target perburuan. Makanya kau kemari menyerahkan diri, agar kemampuanmu tak disalah gunakan. Kau rela diisolasi demi kebaikan semua orang. Itu heroik."

Arda tak tergerak oleh pujian itu. "Apa urusanmu kemari? Mau mengajariku cara meruntuhkan gerbang?"

Kalea merasa tertinju. "Aksiku sepopuler itu rupanya."

Zzp! Arda menghilang ditelan semburat cahaya. Membuat Kalea mengejang. Lalu muncul duduk di tempat tidurnya. Raut wajahnya menunjukkan ia ingin Kalea segera pergi, tapi matanya menyembunyikan kerinduan akan kebebasan.

Kalea mengerti rasanya.

"Aku kemari ingin menawarkan sesuatu." Dia mengangkat tangan saat Arda menoleh. "Jangan menghilang dulu. Bagaimana kalau kita bicara di luar? Langit sedang cerah."

Arda diam, menatap lantai kusam di antara sandalnya. Kemudian menatap dinding berdengung yang mengelilinginya. Sebelah matanya berdesing melihat lampu yang menggantung. Tatapannya berakhir pada Kalea.

"Hanya bicara? Tapi kau... Saberion."

"Dan kau Cyborg yang bisa Shunshin No Jutsu. Kau lebih berbahaya." Dia membukakan pintu. "Ayo. Kau bisa mempercayaiku."

Mereka memilih halaman belakang lapas. Duduk di kursi karatan, tak jauh dari pagar kawat berlistrik. Menghadap perbukitan ilalang yang meluas sampai jauh. Sipir menjaga di setiap sudut, memastikan tahanan yang sedang main bola tidak berbuat onar.

Kalea menjabarkan soal Garda. Tak hanya berlatih menguasai kemampuan, ia akan punya rumah di mana ia tak perlu sembunyi dan tim yang saling menjaga. Lalu memberitau siapa saja yang sudah direkrut.

Arda mengerutkan kening. "Seorang Modifen?"

"Yap. Imut tapi bisa lumpuhkan selusin penjaga tanpa menyentuh mereka."

Setelah itu keduanya diam, memandang awan yang melukis langit. Kalea teringat, Akademi punya taman seperti ini, simpel tanpa banyak warna. Dika pernah mengajaknya bolos kelas non-praktik untuk duduk di taman. Makan waffle, membicarakan teknik yang ingin dipakai ketika eksekusi target pertama.

Dug! Segera ia tendang ingatan itu.

"Dulu kukira sembunyi akan menjauhkanku dari masalah, dari rasa tak aman," kata Kalea. "Nyatanya, itu membuatku merasa semakin dikejar."

"Lalu apa yang kau lakukan?"

"Keluar dari persembunyian." Dia tersenyum. "Tidak sampai seperti Batman sih. Hanya coba membantu sekelilingku. Melawan rasa takut akan diriku di masa lalu. Perlahan, aku tidak takut lagi. Kau bisa mencobanya."

"Aku akan membahayakan kalian."

Kalea tertawa kecil. "Semua di tim ini punya bahayanya masing-masing. Itulah seninya. Kita akan belajar bersama."

Arda diam sejenak, membiarkan rambut sepundaknya berkibar oleh angin. "Bersama," katanya, tersenyum. "Aku lupa kapan terakhir orang mengatakan itu padaku."

Kemudian Kalea berdiri, memberikan ponsel kecil berantena. Arda punya waktu dua hari untuk mempertimbangkan keputusannya. Jika setuju, Chief akan menjemputnya lusa. Namun, lelaki bermata mesin itu mengembalikan ponselya, ikut berdiri.

"Aku sudah yakin." Dia menyodorkan tangan. "Kau tau di mana harus menjemputku, Saberion."

Kalea menjabat tangan Arda. Seketika sebuah tarikan mengunci tangan keduanya. Dengan cepat kilat perak menyala dari Gravidor Kalea, semburat cahaya biru memercik dari tangan Arda. Bergerak menyatu, membentuk bulatan cahaya biru dengan kilat di dalamnya, mengikat tangan mereka.

Kalea termenung sementara Arda menarik tangannya tapi cahaya itu menguncinya. "Apa yang kau lakukan?!"

Zzp! Cahaya itu meledak bersama suara dentuman, meluas membentuk kubah besar yang mengelilingi mereka berdua. Keduanya pun berdiri di tengah bulatan cahaya dan kilat, nampak sesekali kilatnya menyambar darat. Membuat orang-orang di sekitar berlarian.

Keduanya menarik tangan tapi terasa seperti magnet menempel kuat. Kalea melotot saat benda-benda di sekitar mereka—pagar, kursi, lampu taman—bergetar, perlahan terlepas dari darat. Wush! Semuanya meluncur menuju kubah cahaya, seperti ditarik, nampak kilat mengelilinginya.

"Benda-benda itu mengarah kemari!" teriak Arda di tengah ramai dentuman.

Namun... zzp! Potongan pagar dan kursi menghilang setelah menyentuh kubahnya. Tak hanya itu, bangunan pos bergetar cepat dinaungi kilat perak, pecah menjadi puing dan genting, semua terhisap ke dalam kubah. Menghilang.

Kalea frustasi tapi mulai mengerti. Telekinesis buatan Gravidor dan kemampuan teleportasi tubuh Arda menghasilkan ini.

Para sipir dan tahanan menjerit karena ditarik menuju kubah cahaya. Sebagian jatuh, mencengkeram tanah, sebagian berpegangan ke sisa pagar yang bergetar.

Kalea mengerang, menarik tangannya. "Ini mulai menarik orang-orang! Hentikan kemampuanmu!"

"Aku tak bisa mengendalikannya!"

Krak! Gawang dari lapangan terangkat, meluncur dan hilang ditelan lapisan cahaya. Dinding belakang lapas disambar kilat, bergoyang perlahan. Sementara pintu dan genting sudah lepas, tersedot.

Kalea menatap Arda, fokus. "Kita coba jauhkan tangan bersamaan! Sekuat mungkin." Dia lihat Arda mengangguk. "Sekarang!"

Dengan kekuatan penuh keduanya menarik tangan menjauh hingga terlepas. Bam! Cahaya biru meledak ke segala arah memercikkan kilat. Keduanya terhempas jauh ke belakang. Kalea menabrak dinding dan Arda jatuh terseret di lapangan.

Kalea mengangkat badan perlahan, mengusap darah perak dari hidungnya. Dia termenung melihat sekitar. Pagar rubuh dan sebagian hilang, semua benda di taman hilang termasuk pos. Dinding belakang lapas dipenuhi retak. Sebagian genting hilang.

Sipir memasuki taman, mengamankan tahanan yang tiarap di tanah. Irjen Marini dan Gilang datang, melanga pada kekacauan ini.

Sementara Kalea dan Arda bertatap dari kejauhan, melangkah ke satu sama lain. Kedunya hanya termenung lalu coba mengangkat tangan, mendekatkannya.

Zzp! Kilat memercik dari tangan Kalea tanpa ia perintahkan. Semburat cahaya biru juga mengelilingi tangan Arda. Kedunya langsung menjauhkan tangan, mundur.

"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Arda, berkeringat.

"Aku baru saja mau nanya!"

Gilang menghampiri Kalea, kepanikan jelas di matanya. "Kau tak apa?" Lalu mengusap darah di atas bibir Kalea dengan ibu jari.

Dia merinding oleh sentuhan itu. "Agak pusing. Apa aku melukai seseorang?"

"Tidak. Kau cuma... mengguncang seluruh lapas."

"Aku senang kalian tak apa." Irjen Marini memijat kening. "Sebaiknya kau dan Gilang pulang, sebelum DENSUS datang dan semakin sulit untukku menjelaskan yang terjadi."

Kalea mengangguk. "Maaf atas kekacauannya, Tan."

Irjen Marini memeluk Kalea sejenak. "Tak apa. Hal aneh sudah biasa di Pasir Putih."

Kemudian Kalea dan Gilang melangkah. Sebelum masuk, ia menoleh ke belakang. Arda masih menatapnya. Kalea merasakan suatu keterikatan seakan ia sangat mengenal laki-laki itu. Merasakan emosinya sejak kekuatan mereka bertemu.

Fenomena tadi memang menakutkan. Berbahaya.

Membuat Kalea menyukai sensasinya.




---

Terima kasih sudah baca dan vote! WAW Kalea dan rekrut baru ini bersama punya kemampuan unik. Menurut kalian serem atau malah keren?

Penasaran kan gimana kelanjutannya? Tunggu kelanjutannya! Aku update hari Sabtu :)

Continue Reading

You'll Also Like

856 181 29
[Paranormal - Mystery - Dark fantasy] Content warning: violence, horror elements Musim gugur 1886. Amy, seorang gadis yang kehilangan segalanya pasca...
86.1K 8.6K 31
Introducing, the next Freemason: The Fourhorsemen Greyson the "Chance". Hanya memberimu satu kesempatan. Untuk menyerah, atau terus melawan dengan si...
59.9K 13K 58
[Action X Teenfiction] Serial mata-mata remaja #1 Buku pertama dari Dwilogi Bawah Tanah Ada sebuah surat aneh diatas meja belajarku. Surat berwarna p...
107K 10.9K 51
Buku 4☑ The Forest Voyage - Journal of Truth [Completed] "Kalian lelah mengikuti permainan kami, bukan? Bagaimana kalau kali ini kita bermain bers...