Assassin

Oleh Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... Lebih Banyak

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 22

2.6K 404 163
Oleh Irie77

Pikiranku begitu jernih namun tubuhku masih enggan untuk bergerak. Telingaku mendengar namun mataku engggan terbuka. Suara bising, rayuan para selir, kekhawatiran, rasa cemas terdengar silih berganti. Aroma herbal, makanan, dan salju juga kucium silih berganti. Sesekali aku merasakan sentuhan lembut membelai rambutku.

"Seperti yang ayah lihat bukan? Dia sama sekali belum di beri penawar racun, tapi dia masih hidup hingga saat ini. Apa kau masih berpikir bahwa dia seorang Shirea?" Itu suara Erick.

"Seharusnya kau tidak menikahinya. Dia akan membawa kehancuran bagi kita, dan yang pasti posisimu akan terancam."

"Posisiku atau posisi ayah?"

"Erick!"

"Ayah sudah memberiku kekuasaan, dan aku memiliki hak yang berdaulat atas Valen. Jika dengan ini ayah ingin mencabut kembali kekuasaanku, silahkan! Aku akan pergi dari sini bersama Valen dan ayah akan menjadi raja seumur hidup tanpa adanya pewaris."

"Erick! Kau bahkan sekarang berani mengancamku?"

"Itu adalah fakta yang akan datang."

"Baiklah. Jika dia memang putri Victor, aku akan mengirim pasukan untuk mencari Shirea-nya. Tidak peduli dia dari kalangan bangsawan atau rakyat biasa, dia harus mati."

"Kalau ayah sudah berhasil membunuh Shirea-nya, aku yang akan menggantikannya."

"Apa maksudmu?"

"Langkahi mayatku jika kau ingin membunuh Valen."

"Erick! Apa kau ingin menyatakan perang denganku hanya untuk gadis itu? Aku bukan hanya melepas kedudukanmu, tapi juga mengirimmu ke penjara dan memenggal kepalamu!"

"Penggallah kepalaku sebelum kau melakukannya!" Kini suara ratu muncul. "Meskipun suatu saat nanti kau tidak mau mengakuinya sebagai anakmu, tapi dia masih anakku!"

Aku tidak tahu apa yang terjadi diluar kamar tapi pembicaraan mereka terdengar jelas dan sepertinya—situasinya cukup menegangkan. Raja, ratu dan putra mahkota berseteru. Bagi rakyat jelata, mungkin kehidupan di istana itu nyaman dan penuh kesenangan, tapi sebenanrnya penuh dengan konflik yang berbahaya atau bahkan yang mengancam nyawa, tentang skandal dan perebutan kekuasaan yang sengit membuat istana menjadi tempat yang paling mengerikan.

Entah sudah berapa hari semenjak perdebatan itu, sampai sekarang tubuhku masih enggan untuk bergerak. Dan kini aku merasa ada yang mendekat dan duduk di samping pembaringanku, aroma tubuhnya memberitahuku bahwa dia adalah Erick. Entah apa yang dia lakukan di sampingku, tapi dia tidak menyentuhku sama sekali.

Aku berusaha menggerakan tanganku dengan berat dan jemariku berhasil bergerak sedikit. Tentu saja, pergerakanku membuat Erick yang sedari tadi di sampingku langsung menagkap tanganku. Aku menggerakkan jariku lagi, bukan hanya itu aku juga beruusaha membuka mata.

Aku tahu aku tak akan mati karena aku sudah meminum ramuan itu, tapi rasa sakit dan tubuh tak berdaya ini membuatku lelah dengan pembaringanku.

"Valen."

Setelah tanganku berhasil bergerak, tubuhku mulai terasa ringan. Mataku sudah bisa terbuka perlahan dan kulihat Erick sudah tampak cemas dan juga lega.

"Bibi, panggil tabib!"

"Baik."

"Tetaplah terbaring."

"Terimakasih," lirihku tulus.

Tak lama seorang tabib wanita datang dan mulai mengecek kondisiku. Dari wajahnya yang memakai penutup akibat luka bakar aku langsung tahu bahwa itu adalah Lavina. Ia meminta Erick dan bibi Athea untuk menungggu diluar agar pemeriksaan berjalan tanpa tergangggu, merekapun menuruti tabib itu. Setelah pintu dituutup, Lavina langsung membuka penyamaranya.

"Valen," bisiknya. "Bagaiimana kau bisa keracunan?"

"Yang mulia raja yang melakukannya. Dia curiga bahwa aku Shirea."

"Bagaimana dengan putra mahkota?"

"Entahlah," gelengku lemah. "Tapi sepertinya—dia lebih percaya bahwa aku adalah putri raja Victor."

Lavina menghela lega. "Kalau begitu, posisimu masih aman tapi kau harus tetap berhati-hati. Selama putra mahkota belum mengetahuinya, kau masih dalam perlindungannya."

"Tapi dia bisa melakukan apa saja. Dia tidak akan melepaskanku dengan mudah."

"Yah aku tahu." Lavina kembali dilanda cemas. "Jika memang situasinya mendesak, sebaiknya kau mencari jalan untuk kabur, kau harus menghindari kematian ketigamu."

"Ya itu pasti. Tapi aku takan pergi sampai aku mendapat informasi mengenai ritual itu. Seharusnya aku menemui nyonya Jevera, tapi banyak hal terjadi yang membuatku belum sempat keluar. Jadi—aku harap kalian bersabar menunggu kabar dariku. Aku akan melakukannya dengan cepat setelah kondisiku pulih."

"Jangan terlalu terburu-buru, yang terpenting adalah keselamatan dirimu."

"Aku sudah terlalu lama tak bertindak apapun semenjak tertangkap. Ini juga menjadi penghabat rencana kita. Sebelum putra mahkota bertindak lebih dulu, kita harus secepatnya mendapat informasi selengkap mungkin."

"Baiklah, tapi ingat pesanku. Berhati-hatilah pada kematianmu yang ketiga."

"Yah, aku akan lebih berhati-hati."

Tak lama Lavina kembali menyamar dan berpamitan untuk pergi, kemudian tak lama bibi Athea masuk dengan membawa secangkir ramuan yang sudah di resepkan Lavina.

"Nona, silahkan diminum," ujarnya sambil meletakan cangkir di meja

Bibi Athea membantuku untuk duduk lalu kembali meraih cangkir itu sebelum aku meminumnya. Tubuhku masih terasa lemas, tapi aku sadar bahwa aku tak boleh seperti ini terlalu lama.

Tiga hari berlalu dan kondisiku semakin membaik. Aku berdiri di atas menara sambil menikmati pemandangan. Dari atas, semuanya terlihat jelas dan aku baru menyadari bahwa di dekat mansion ada sebuah bangunan megah dan disana terdapat banyak sekali pakaian wanita yang sedang di jemur di halaman belakang.

"Itu adalah kediaman para selir putra mahkota nona." Bibi Athea datang sambil membawakan beberapa kue dan secangkir teh. "Jujur, aku senang putra mahkota tak memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan istri. Aku merasa mereka sangat tidak cocok bersanding dengan putra mahkota."

"Aku juga sama seperti mereka, tidak cocok bersanding dengannya."

"Aku tahu kau tak menginginkan putra mahkota, tapi—sepertinya yang mulia menginginkanmu."

Aku tertegun dengan kalimatnya.

"Aku bisa melihat matanya bahwa ia mulai mencintaimu nona."

Aku terdiam cukup lama ketika bibi Athea mengatakannya. Namun pada akhirnya aku hanya menjawab, "Itu tidak mungkin bi, kami tidak saling mencintai." Setidaknya akal sehatku berpikir seperti itu.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan berganti membahas hal lain. "Hmm—aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi kurasa itu tidak mungkin bi."

"Tapi—"

"Sudah cukup, aku tidak ingin membahasnya lagi," sergahku lembut namun tegas.

"Baiklah nona."

Aku terdiam sejenak sambil menyeruput teh dan pikiranku langsung tertuju pada nyonya Jevera. Ada banyak hal yang perlu kutanyakan padanya dan semoga saja berjalan lancar.

"Bibi, setelah ini aku ingin pergi ke kediaman nyonya Jevera."

"Baiklah nanti akan kusampaikan pada pengawal untuk menyiapkan kereta kuda untukmu."

Aku mengangguk. "Terimakasih."

* * *

Aku segera meraih pedangku dan menyembunyikannya di balik jubahku, kemudian mengambil selembar catatan kecil yang berisi daftar pertanyaan yang ingin kutahu jawaban darinya. Aku ingin menyelidiki, apakah saudara-saudari Velian masih hidup atau tidak, atau—bila perlu aku ingin mengetahui jelas tentang ritual itu.

"Nona, apa kau tidak ingin menunggu sampai putra mahkota datang?" Bibi Athea muncul sambil membawa lencana dan memasangnya di jubahku.

"Apa—aku harus selalu memakai benda ini setiap kali keluar istana?"

"Itu sebagai identitasmu nona. Tidak akan ada yang berani mengganggumu selama kau memakai identitasmu. Selain itu, kau juga akan memiliki banyak hak akses untuk bertemu dengan orang-orang penting."

Aku termanggut-manggut mendengar jawabannya. "Oh begitu."

"Nona, kau yakin tidak ingin menunggu putra mahkota?" tanyanya lagi setelah pertanyaan awal tak kuhiraukan.

"Aku tidak ingin banyak merepotkannya bi. Lagi pula—aku hanya ingin membicarakan sedikit tentang perekonomian kerajaan pada nyonya Jevera," imbuhku berdusta.

"Aku tidak menyangka kau begitu perduli nona. Itu bagus sekali," ujarnya senang. "Wanita memang harus mengatahui tentang ekonomi dan pasar meskipun kau seorang tuan putri sekalipun."

Aku hanya tersenyum masam mendengar penuturannnya. Mungkin—aku memang harus sedikit menanyakan perihal ekonomi kerajaan sebagai kedok.

Aku segera menaiki kereta kuda yang terlihat nyaman dan mulai meninggalkan mansion putra mahkota. Sepanjang jalan aku hanya mengamati keadaan diluar. Tempat tinggal para bangsawan memang memukau meskipun tak semegah mansion di istana

Kulihat jalanan yang ramai dipenuhi oleh wanita dengan gaun warna-warni dan tampak berseri satu sama lain, namun ada juga yang sedang berbisik-bisik sambil menutupi mutunya dengan kipas, yang berarti—mereka sedang bergosip. Sebagian yang menyadari kedatanganku langsung mengangguk hormat meskipun aku hanya sekedar lewat.

Tak lama, aku sampai di sebuah jalan yang sedikit sepi dan disitulah aku merasa curiga. Ini—bukan arah menuju kediaman nyonya Jevera yang kutahu.

"Tuan, apa kita tak salah jalan?" tanyaku mulai waswas.

"Tidak yang mulia," sahutnya. "Saya mendapat informasi bahwa jalan biasanya ditutup karena ada pohon besar yang tumbang dan saya terpaksa mengambil jalan lain untuk sampai ke sana."

Alisku terangkat sebelah. "Benarkah?"

"Benar yang mulia."

Tak butuh waktu lama kuda yang dikendarai berhenti dan meringkik. Aku langsung menjulurkan kepalaku keluar untuk mengatamati keadaan diluar sana, dan sepertinya—kami berhenti di hutan kecil yang sepi.

"Ada apa tuan?"

"Yang mulia maaf, aku hanya menjalankan tugas untuk membawamu kemari."

Aku terdiam ketika ia turun dari tempat duduknya dan beberapa orang muncul dan mengepungku. Aku langsung turun dari kereta kudaku untuk berhadapan dengan mereka sambil menggenggam pedang dibalik jubahku.

Mereka semua memakai penutup wajah layaknya perampok jalanan dengan membawa senjata tajam dan sebagian lagi dengan tangan kosong. Aku mengamati keadaan sekitar, hanya hutan kecil yang lebat dan jauh dari pemukiman. Aku tahu tidak akan ada orang yang akan menolongku di tempat seperti ini.

"Tak kusangka, kukira kau akan bersama banyak pengawal tapi ternyata kau tak membawa pengawal satupun tuan putri."

"Apa mau kalian?"

"Kami hanya mendapat perintah untuk menyingkirkanmu."

"Siapa yang memberi kalian perintah? Yang mulia raja kah?"

Mereka tak menjawab namun mereka mulai maju menyerang bersamaan dan membuatku harus bergerak memutar untuk mengayunkan pedangku.

"Kalian pikir aku akan mudah disingkirkan?"

Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang dan kini mereka menyerangku bersamaan. Bunyi dentingan pedang menggema di udara tanpa ada seorangpun yang akan mengetahuinya. Aku berhasil melukai beberapa dari mereka dan melumpuhkannya. Pakaianku mulai ternoda dan aroma anyir mulai menyeruak di rerumputan ketika mereka tumbang sedikit demi sedikit.

Setelah jumlah mereka sedikit, tak kusangka masih ada banyak orang yang berdatangan. Aku tak yakin mampu menghadapi orang sebanyak itu sendirian, tapi setidaknya aku harus mencari celah untuk melarikan diri.

Suara pedang kembali berdenting ketika mereka yang baru muncul juga turut menyerangku. Aku mulai terluka dengan sabetan kecil namun terasa perih. Semakin lama, pakaianku mulai koyak dan aku semakin lelah. Seranganku semakin membabi buta saking lelahnya. Melihatku yang semakin berutal sebagian dari mereka ada yang melarikan diri.

Ketika aku mulai bernapas lega, seseorang melompat dari belakangku dan menendang tanganku hingga pedangku terlepas, lalu ia membekap mulutku dan menyuntikan cairan bius. Dalam hitungan detik tubuhku ambruk tak sadarkan diri.

* * *

"Bangun pemalas!"

Aku terbangun ketika rahangku ditendang dengan keras disertai makian, dan tak lama seember air dengan bau tak sedap mengguyurku. Kulihat aku sudah berada disebuah ruangan dengan kain seadaanya yang menutupi tubuhku.

Aku menatap pemilik suara yang tadi memakiku, dia seorang wanita yang baru-baru ini kukenal. "Nona Lucy?"

Bukan hanya dia, tapi ada delapan wanita lagi yang mengelilingiku dan salah satunya adalah gadis yang pernah kulihat dari jendela kamar Erick.

"Kalian—para selir pangeran?"

"Kau pikir kau pantas mendapat kedudukan sebagai putri mahkota?" Nona Lucy menjambak rambutku. "Yang mulia adalah milik kami, kau pikir kami akan diam saja ketika kau memonopolinya seorang diri?"

"Jadi apa yang kalian mau? Kedudukan sebagai putri mahkota atau memiliki putra mahkota?" Aku menyeringai.

Tentu saja, seringaiku dibalas dengan pukulan dan tamparan yang mendarat di wajahku. Jujur saja, bertarung dengan pembunuh lebih baik bahkan jika harus membunuh sekalipun aku akan melakukannya tanpa ragu, tapi—bertengkar dengan para selir dengan metode penindasan seperti ini adalah pertama kalinya, bahkan bertarung dengan Sarah rasanya lebih baik dari pada dengan mereka.

Dua diantara mereka memegangi tanganku dan Lucy mencambukku dengan keras. Sebagian lagi ada yang menyiapkan air garam dan sebagian lagi terlihat seperti menyiapkan lilin panas.

"Kami melakukan persaingan ketat untuk mendapatkan gelar tuan putri dan hati putra mahkota, tapi kau! Kau mengacaukan semua impian kami!" Satu cambukan mendarat di punggungku. "Kau bukan siapa-siapa tapi kau datang dan langsung menjadi istrinya begitu saja?!"

Aku meringis kesakitan ketika air garam disiramkan keseluruh tubuhku kemudian mencambukku lagi. Aku tidak ingin menjerit tapi aku juga tak ingin menahan pedihnya terlalu lama. Aku meyakinkan diri kalau aku tidak selemah itu sampai-sampai bisa ditindas seenaknya.

Aku berusaha bangun dan melepaskan diri dari dua wanita yang memegangi tanganku. Tak kusangka mereka ternyata rapuh ketika aku mendorongnya meskipun sebelum ini cengkeraman mereka begitu kuat.

"Kau! Beraninya kau mendorong selir pangeran?!" caci mereka.

"Kalian hanya para selir!" balasku.

"Pegangi dia cepat! Ikat dia!"

Dasar bodoh, gerakan mereka begitu gemulai untuk bertindak cepat. Aku segera meraih tali yang hendak mereka ambil kemudian melemparnya di perapian.

"Rasakan! Itu akibatnya karena kau berani merebut putra mahkota dari kami!"

Tubuhku kembali disiram dengan air garam dan rasa pedih menjalari tubuhku yang sudah terluka akibat cambukan.

Aku meringis kesakitan tapi aku juga menyeringai. "Kalian—mungkin belum pernah tahu bagaimana seorang istri sah menghajar wanita simpanan suaminya." Aku mengepalkan tangan. "Aku juga belum pernah, tapi—aku akan mencobanya dengan kalian."

Aku menyerang mereka satu persatu dengan sebuah tamparan kemudian segera meraih sewadah lilin panas dan menyiramkannya pada beberapa diantara mereka. Mereka yang melihatnya hanya menjerit dan berlari dan kini hanya aku dan nona Lucy yang masih berada di ruangan.

"Wanita simpanan katamu?" Nona Lucy tampak tak terima dengan pernyataanku barusan. "Kami adalah selir agung pangeran, bukan wanita simpanan!"

"Apa bedanya? Apa kau ingin mengatakan bahwa selir adalah kedudukan tinggi untuk para simpanan seperti kalian?"

"Lancang sekali kau!"

Aku segera menahan tangannya yang hendak menamparku kemudian melepaskannya dengan kasar. "Kau pikir kalian bisa menindasku?" tantangku. "Bahkan puluhan wanita sepertimu tidak akan bisa menindasku seperti ini."

"Aku akan berusaha agar gelarmu dicopot dan kau ditendang dari sini," desisnya.

Aku tersneyum miring. "Coba saja."

"Yang mulia putri ada di dalam?"

Aku dan nona Lucy terdiam ketika mendengar suara Erick menggema tak jauh dari ruangan dimana aku berada.

"Benar yang mulia, dia mengamuk," sahut suara lain yang terdengar menggema juga.

Mataku melebar ketika nona Lucy mengeluarkan pedang milikku. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Kita lihat, seberapa lama kau akan bertahan disisi putra mahkota." Ia menyeringai kemudian menusuk dirinya sendiri.

Pikiranku berputar dan bertanya, kenapa banyak sekali wanita seperti ini. Aku benci dengan drama melukai diri sendiri seperti ini, pertama Sarah dan kedua nona Lucy. Mereka menggunakan trik yang sama untuk membuatku menjadi yang tersalah namun ini lebih parah, dia menggunakan pedang milikku untuk melukainya.

Dentingan pedang yang jatuh di lantai membuatku mengerjap sadar bahwa nona Lucy sudah terkapar di lantai. Ia tampak kesakitan namun aku bisa melihat seringainya sambil menahan pedih.

"Apa yang terjadi?"

Sesuai dugaanku, Erick pasti akan masuk ke ruangan ini dan melihat adegan miris yang menggelikan ini.

"Nona Lucy!"

Sebagian selir mencoba untuk membantu nona Lucy sementara aku masih terdiam menatap Erick yang juga—menatapku.

"Apa yang kau lakukan ditempat ini?" tanyanya.

"Menurutmu?" tanyaku balik.

Erick kembali terdiam dengan wajah datar namun aku tahu matanya menyusuri tubuhku yang aku sendiri lupa bagaimana dengan penampilanku saat ini.

"Yang mulia, dia—mecoba untuk membunuhku." Nona Lucy berucap dengan terbata, persis sekali dengan yang dilakukan Sarah.

Tapi waktu itu, Velian tampak khawatir dan segera menolong Sarah dengan cemas lalu meninggalkanku, aku bersedih karenanya hingga aku turut panik. Aku berharap Erick akan melakukan hal yang sama, meninggalkanku dan membawa nona Lucy dan memanggil tabib dengan cemas. Tapi sayangnya harapanku tak terkabul, Erick justru tetap terdiam tanpa melepaskan tatapannya padaku.

"Yang mulia, tuan putri hendak mencelakai kami. Dia bukan hanya menyiramkan lilin panas pada kami, tapi dia juga ingin membunuh nona Lucy dengan pedangnya."

"Ya, aku yang melakukannya," ujarku masih terdiam di tempatku berdiri. Aku tidak mengerti kenapa aku mengakui perbuatan yang tak kulakukan, tapi—biarlah. Perasaan ini tak sesakit waktu Sarah yang mengatakannya.

"Kau dengar sendiri yang mulia? Dia wanita jahat, apa anda akan membiarkannya terus di sisi anda?"

Aku menatap para mata yang menatapku tajam lalu memungut pedangku yang tergeletak di lantai.

"Aku mendengar pengaduan mereka. Kau akan dihukum atas tindakanmu pada mereka," ujarnya setelah lama terdiam.

"Mereka telah mengadu padamu atas tindakanku pada mereka. Apakah—aku berhak mengadu padamu atas tindakan mereka padaku?"

"Tentu saja, dan aku menerima pengaduanmu."

"Terimakasih yang mulia."

Aku bergegas untuk segera meninggalkan suasana tak nyaman ini, namun langkahku terhenti ketika ia memanggil namaku.

"Kau seorang tuan putri, jangan tunjukkan tubuhmu dalam kondisi seperti itu pada siapapunn diluar sana. Pakailah sesuatu."

"Aku tidak peduli."

Erick menarik tanganku dengan kasar kemudian melepas jubah hangatnya. "Ini perintah!" ujarnya sambil memakaikan jubahnya di tubuhku tanpa bisa kutolak.

"Tubuhku kotor, jubahmu akan ikut kotor jika aku memakainya."

"Dan sekarang jubahnya sudah kotor dan bau karena tubuhmu."

Aku terdiam sejenak sebelum berate, "Dari pada kau mengurusiku, lebih baik urus selir-selirmu!"

"Aku berhak mengurus siapapun yang kuinginkan."

"Yang mulia, nona Lucy terluka dan segera diobati, yang lainnya juga terluka. Tolong urus mereka sebagai bukti kepedulianmu," tukasku.

Ia menahan tanganku hingga langkahku kembali terhenti. "Kau juga terluka."

"Tapi aku tak serapuh mereka," sahutku. "Selamatkan yang lemah terlebih dahulu."

"Tuan putri adalah yang utama."

"Aku bahkan tak tahu lencanaku dimana. Jadi—selamatkan mereka terlebih dahulu."

"Para tabib akan datang. Aku akan mencari lencanamu."

"Kalau begitu izinkan aku kembali untuk berisitrahat." Aku melepaskan genggamannya.

"Istirahatlah. Aku akan segera menemuimu."

"Akan lebih baik jika kau menemani mereka."

Aku langsung berjalan cepat sambil berharap ia tidak mencegahku lagi. Rasa ngilu di rahangku kambuh disertai rasa pedih di sekujur tubuhku yang terasa lengket.

_______To be Continued_______

Malam semua.. Akhirnya bisa up tepat di hari sabtu.. ^^ Makasih yang udah mau bersabar menunggu, semoga kalian tak pernah bosan dengan author gaje ini..

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banyak buat supportnya.. ^^ Maaf kalo ada typo dsb.. T_T

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. :*

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

16.9K 3.6K 31
Blurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat p...
Scarlet Oleh Indah Riera

Manusia Serigala

6.7K 1.6K 32
Irina Winter, werewolf Beta yang jatuh cinta pada teman Alpha-nya sejak kecil. Suka duka telah mereka lalui bersama sampai mereka beranjak dewasa. Hi...
76.7K 7.4K 51
Total kata yang di gunakan sebanyak 40.015 kata Mampu memahami bahasa hewan dan tumbuhan, mampu menemukan benda-benda berharga seperti kandungan emas...
4.5K 926 9
Sekuel cerita dari Mitologi