CLAIR [Sudah Terbit]

Von AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... Mehr

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 17 (a)

2K 587 65
Von AryNilandari

Hangat mengalir dari hidung. Mimisan. What now? Emosi bisa mengguncang otakku juga? Bagus! Siapa tahu, ingatan terkubur jadi teraduk keluar. Aku lari ke dapur untuk mengambil tisu. Darah dari hidung telanjur turun menyeberangi bibir. Buru-buru kuusap.

Tenanglah, Rhea. Everything will be okay. Don't be so hard on yourself.

Aku mencebik. Mudah sekali Aidan dan kembarannya bilang begitu. Aku tidak baik-baik saja. Mereka tidak baik saja-saja. Bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku tidak membenci diri sendiri?

Rasa besi darah membuatku mual. Aku beranjak ke kulkas dan mengambil sekaleng energy drink. Meminumnya, lalu tertegun. Minuman favorit Aidan. Berarti Aidan sendiri yang membeli dan membawanya ke apartemen. Mungkin berencana tinggal di sini. Tapi karena Kei dan River bolak-balik datang, ia pergi. Si hoodie hitam adalah Aidan yang tidak ingin bertemu mereka.

Tapi mungkin saja kembarannya juga suka minuman yang sama. Kalau benar begitu, si hoodie hitam adalah kembaran Aidan. Gaya tulisan tangannya yang berbeda memperkuat asumsi ini. Walau bisa saja disengaja berbeda untuk menyesatkan.

Oh help me, God. Otakku begitu saja membuat analisis, mengolah bukti-bukti. Memunculkan jawaban yang kutepis kuat-kuat. Aku tidak mau kehilangan salah satunya. Aku tidak mau kehilangan keduanya. Tidak Aidan, tidak pula kembarannya yang entah siapa namanya. Aah, mataku sudah perih lagi. Harus kulakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Tapi beberapa saat kemudian aku sadar sudah mematung di depan kulkas. Bunyi detik jam dinding tiba-tiba terdengar jelas, mengingatkan aku tentang esok. Kenapa harus menunggu esok?

Kamu perlu bantuanku? Temui aku sekarang. Kamu tahu aku ada di mana.

Pesan itu kukirimkan secara impulsif, walau aku sadar, meminta si hoodie ke sini sama saja dengan meminta Koda berbicara. Aku mendesah. Belum juga bokongku duduk sempurna, jantungku nyaris terlompat oleh notifikasi pesan masuk. Tapi bukan dari si hoodie. Kugigit bibir, kecewa.

Pesan itu dari Bang El, meminta aku meneleponnya kalau perlu teman bicara. Good timing. Firasat Bang El tentang aku sering benar. Aku sedang perlu teman, perlu bicara. Tapi bukan dengan Bang El. Kalau aku balas pesannya, bilang aku baik-baik saja, Bang El pasti langsung menelepon. Kalau aku meneleponnya sekarang, berpura-pura tidak ada masalah, ia akan tahu aku menahan tangis. Tapi berbicara tentang Aidan dan kembarannya pada Bang El bukan solusi untuk keresahanku. Tidak sekarang. Masalahnya, kalau aku tidak menjawab apa-apa, Bang El akan meneleponku juga. Serba salah.

Siapa sangka, Tante Fang menyelamatkan aku dengan pesannya. Rhe, kamu di mana? Are you alright? Call me. Sungguh, luar biasa nyambung, koneksi pikiran dan perasaan antara pasangan kembar bukan mitos. Sering terbukti dengan Bang El dan Tante Fang, terutama kalau mereka sedang berjauhan.

Dengan perasaan lebih ringan, aku membalas pesan Bang El. Ya, aku bicara sama Tante Fang. Bang El konsen saja di situ. Bang El menjawab dengan emoji smiley dan okay.

Aku lalu menelepon Tante Fang. Cepat atau lambat, Tante akan tahu kejadian di depan sekolah siang tadi. Daripada tahu dari orang lain, lebih baik dari aku. Kuceritakan fakta seperlunya, tanpa menyebutkan nama Kei.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa baru bilang, tadi kan kita teleponan? Kamu yakin dia Stella?" Tante Fang memberondongku. "Karena kalau benar dia, aku akan melabraknya sekarang juga."

"Aku baik-baik saja, Tan. Bingung juga mau lapor gimana. Aku terlalu kaget, enggak sempat catat nomor mobilnya. Mukanya pun enggak kulihat jelas. Niat banget sembunyi di dalam mobil."

"Aku percaya kamu, Rhe. Clair memberi kamu kepekaan ekstra. Seperti kubilang, Stella sangat mungkin ada di sekitar DIHS. Cara kerjanya memang enggak jelas, bikin aku senewen. Tapi kalau sampai dia mau menabrakmu, sungguh aneh. Atas dasar apa?"

Aku hanya mendesah. Khawatir kalau menjawab, aku terpancing bercerita dan membongkar kegiatan menyelidiki kasus Aidandan Sky Lee.

"Hmm ... aku tanyakan saja langsung. Kita lihat reaksi Stella. Kebetulan aku mau berangkat ke hotelnya. Dia mengundangku makan malam. Kedengarannya happy di telepon. Kayak sudah berhasil menemukan Sky Lee saja."

Aku tersengat. "Sky Lee sudah tertangkap?"

"Tertangkap bukan kata yang tepat. Stella ke sini untuk melindungi Sky Lee, untuk membawanya pulang. Kamu sepertinya enggak rela, Rhe. Pasti karena kamu mengira Sky Lee yang menendang spion untuk menyelamatkanmu?"

"Eh ... ya. Aku enggak salah kan?"

"Enggak salah dari sudut pandangmu. Kamu menempatkan Stella sebagai si jahat yang nyaris menabrakmu. Tapi perempuan itu belum tentu Stella, jadi, lelaki itu pun belum tentu Sky Lee."

"Memang sih."

"Kalau semudah itu, Sky Lee sudah ditemukan selagi masih di Singapura. Anak itu licin, kata Stella. Cerdas, menurutku. Sementara Stella bekerja serabutan. Mungkin Stella happy karena alasan lain."

Ini kesempatanku untuk mendesakkan gagasan penting yang semakin mengganggu. "Tante, apa identitas Stella sudah dikonfirmasi benar?"

"Surat-suratnya oke. Semua asli," sahut Tante Fang, kemudian terdiam sejenak. Saat berbicara lagi, nadanya ragu. "Terlalu sempurna sampai aku resah sendiri. Sekarang, dengan kecurigaan Stella hendak menabrakmu, aku punya alasan untuk minta AKPRI cek ulang ke pejabat yang lebih tinggi. Aku telepon sekarang deh. Sudah dulu ya—"

"Tunggu!" Aku menyela. "Prosedur resmi bakal lama prosesnya, kan? Tante punya Clair!"

Tante Fang tertawa kecil. "Sudah kuduga kamu bakal bilang begitu. Baiklah, Rhe. Kupikir enggak masalah kamu ikut. Kita cuma makan malam di hotel. Kamu di mana? Bisa pulang ke kosan sekarang? Setengah jam lagi aku lewat sana."

"Siap." Aku pun memutuskan hubungan. Cuma perlu lima belas menit untuk jalan sampai di kosan. Kusambar diary Aidan dan kotak kalengku, kujejalkan ke dalam ransel. Kupakai hoodie sambil keluar dari apartemen. Lalu kukirim pesan singkat kepada Kei. Dan entah kenapa, aku mengirim pesan pula kepada si hoodie hitam.

Aku urus Stella Miller. She can't take you away. Tempatmu di sini.

Ya, Aidan lahir dan besar di sini. Kembarannya juga ingin di sini, aku yakin. Tidak ada alasan buat Stella membawa pergi yang tersisa. Untuk melindunginya? Aku tidak percaya! Kalau kerja mereka becus, Sky Lee tidak mungkin lari ke sini, dan tidak ada yang harus kehilangan nyawa. Geram, kukepalkan dua tangan. Stella ... dia tidak bisa mengelak dari perbuatannya padaku.

Lift berhenti di lantai lima. Saat pintu terbuka, tampak banyak orang menunggu. Satu keluarga dengan empat anak. Repot dengan bawaan. Aku menahan tombol agar pintu tetap terbuka. Kudengar lolong anjing di lantai itu.

"Kasihan Koda," kata anak perempuan terbesar kepada orangtuanya, yang tengah melipat dan memasukkan kereta dorong bayi.

Aku yang tertarik. "Maaf, Koda kenapa?"

"Koda enggak diajak pergi. Dari tadi nangis."

"Oh, Pak Wisnu sedang pergi?" tanyaku, masih menekan tombol.

"Bukan Pak Wisnu. Tapi kakak yang suka ngasuh Koda. Tadi datang sebentar. Kelihatannya lagi berkabung, pakai hitam-hitam. Koda senang sekali. Waktu kakak itu pergi, Koda nangis terus."

Mataku terbelalak mendengarnya. "Koda di unit berapa?"

"Nomor 3, sebelah apartemen kami."

"Terima kasih." Aku bergegas keluar dari lift. Masih ada waktu. Lima menit saja untuk mengikuti firasat secara impulsif. Unit nomor 3, dua lapis pintunya tertutup rapat. Aku menekan bel. Tangisan Koda berhenti, berganti salak riang. Terdengar Pak Wisnu berbicara di dalam, tidak jelas. Tapi pintu kayu terbuka, dan Koda menerjang keluar, menabrak teralis.

"Hai, Koda! Kita ketemu lagi." Aku berjongkok. Tidak langsung menyentuhnya, karena Koda seperti bola bulu yang bergerak liar.

"Oh, Rhea. Syukurlah kamu mampir. Aku sudah nyaris gila dengan kelakuan Koda dua jam ini." Pak Wisnu lalu menyuruh Koda duduk tenang. Anjing itu tidak mau menurut. "Lihat! Seperti kerasukan. Aku terpaksa mengurungnya di dalam karena mengganggu tetangga. Kamu mau masuk, Rhea? Aku bukakan pintunya .... "

"Oh, enggak usah, Pak. Aku harus pergi sebentar lagi. Cuma mau nengok Koda, karena dengar lolongannya dari lift."

Pak Wisnu mengangguk. "Terima kasih. Anak-anakku sudah ribut saja mau ambil Koda dariku kalau dia bikin sulit. Mereka sudah ambil kakak-kakak Koda."

Aku teringat informasi dari Kei. "Pak Wisnu punya banyak anjing?"

"Lima dengan Koda," sahut Pak Wisnu tertawa. "Sampai aku harus pindah apartemen. Tapi setelah pindah ke sini, empat kakak Koda dibawa anak-anak juga."

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua saling berkaitan, tentu saja. "Apartemen Taman Perwira lantai 1 No.4, itu milik Bapak?"

Pak Wisnu mengangguk. "Oh, kamu kenal penyewanya? Kerabat Aidan. Aku sendiri belum pernah ketemu. Cuma bicara lewat telepon. Sudah tua, sendirian, dan sakit-sakitan. Aku paham, enggak beda jauh dengan kondisiku. Aidan yang mengurus semuanya. Kalau kamu ketemu beliau, sampaikan salamku. Entah siapa yang membantunya sekarang setelah Aidan enggak ada."

Aku hanya mengangguk samar, dan buru-buru mengalihkan perhatian pada Koda yang masih gelisah. Melalui besi-besi teralis, kujulurkan dua tanganku untuk memegang kepala Koda dengan mantap. "Koda, katakan padaku, siapa yang mengunjungimu tadi? Dia bikin kamu sedih?"

"Enggak ada siapa-siapa kok," jawab Pak Wisnu. "Setiap sore, Koda memang suka duduk di sini. Pintu teralis tertutup. Tapi pintu kayu terbuka. Aku awasi dari dalam, enggak ada yang datang."

Aku tersenyum. Membiarkan Koda menjawab sendiri. Lewat matanya, aku melihat, Pak Wisnu tertidur di kursi malas di dalam. Koda bosan. Lalu terkejut. Gembira. Ia datang. Koda rindu. Sosok berpakaian serba hitam. Berjongkok. Tudung hoodie-nya menutup kepala. Sebagian muka tertutup masker. Jemari bersarung kulit. Satu telunjuk di bibir. Koda berhenti menyalak. Tangan itu menepuk-nepuk kepalanya. Menyingkap masker untuk bicara. "Maaf, kali ini aku bukan mau ajak kamu main. Aku datang untuk pamitan. Maafkan aku, Koda. Jangan tunggu aku lagi."

Koda melolong. Menabrak-nabrak teralis. Tidak berdaya. Pemuda itu pergi. Anak perempuan dari unit sebelah keluar, melihatnya berlalu. Koda masih melolong. Koda mengingat Aidan bermain bersamanya. Beberapa kilasan sudah pernah kulihat, tapi jelas sekarang, Koda mengingat dua Aidan yang berbeda. Dan dalam beberapa kesempatan, mereka muncul bersama. Lalu satu demi satu bayangan itu pupus.

Aku membelai Koda. Mataku sudah basah. "Jadi, kamu kenal dua-duanya. Kamu rindu mereka," bisikku. "Jangan khawatir, siapa pun yang masih ada, aku akan jaga dia untukmu."

Koda menyalak. Menggoyangkan ekor. Duduk tenang.

Pak Wisnu tampak takjub. "Rhea, kamu bilang apa? Koda patuh sama kamu. Aku cemburu."

Aku berdiri, mengerjapkan mata. Tersenyum. "Koda rindu Aidan, Pak. Kupikir, ia mengerti perasaanku sama."

Pak Wisnu mengangguk dengan ekspresi sedih. Aku segera berpamitan. Berlari sepanjang jalan. Membiarkan jantung bekerja keras. Melepaskan kesesakan di dada. Merasakan angin malam mengacak rambut, dan mengeringkan air mata di pipi.



--- lanjut part b ya ---

Jangan lupa vote semua ya.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

11K 1.5K 47
DANMEI TERJEMAHAN
11.7K 739 24
Menikah tanpa rasa itu menyakitkan. Setiap kali aku mencintai, semuanya menghilang begitu saja.
32.3K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...
205K 5.8K 50
[Budayakan VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertin...