VA&VE

By ryndadyn

129K 9.2K 597

Katanya saudara itu harus saling mengalah. Tapi bagaimana jika salah satunya selalu terluka? Luka yang menjad... More

1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
New Story
18
19
20
21
22
23
NEW STORY AGAIN!🕊
24

6

5K 463 44
By ryndadyn

"Seorang yang terlihat kuat sesungguhnya adalah sosok yang berteman dekat dengan luka."

~Enjoy it guys~

"Anak-anak diam!" Seru Bu Lani yang berhasil membuat semua murid diam seperti semula.

"Alve, kamu bisa duduk di samping Alva." Ucapan Bu Lani membuat Alva menatap tidak percaya.

Yang benar saja.

"Nggak!" Seru Alva tidak terima. Membuat seisi kelas menoleh ke arah laki-laki itu tidak terkecuali Vero dan Devan.

"Bukannya dia kembaran kamu?" Tanya Bu Lani heran.

"Sekali nggak ya nggak." Jawab Alva tetap pada pendiriannya.

"Alva! Hanya kamu yang duduk sendiri, jadi biarkan Alve mengisi tempat duduk di sampingmu itu." Jelas Bu Lani.

"Terserah." Balas Alva singkat tidak ingin memperpanjang perdebatan.

"Alve, kamu bisa duduk di samping Alva sekarang." Ucap Bu Lani menoleh ke arah Alve.

"Baik bu." Balas Alve lalu berjalan ke arah bangku paling belakang.

"Gua mau duduk di sini." Ucap Alve kepada Alva yang duduk tenang di kursinya dengan tatapan lurus ke depan.

"Ya udah duduk aja." Balas Alva singkat tanpa mengalihkan pandangan.

Setelah Alve berhasil duduk di kursi sebelah kiri Alva, laki-laki itu beranjak berdiri dari kursinya.

"Lu mau kemana?" Cegah Alve dengan memegang tangan Alva.

"Peduli apa lu sama gua?" Tanya Alva dingin dengan menarik paksa tangannya.

Alva berdiri dari duduknya dengan menyambar tas ransel yang terletak di atas meja.

"Alva! Mau kemana kamu!" Seru Bu Lani saat Alva berjalan di hadapannya.

"Pulang." Balas Alva santai dengan melanjutkan langkahnya keluar kelas.

"Alva! Ini belum waktu jam pulang!" Seru Bu Lani keras tapi tidak mendapat jawaban oleh pemilik nama yang sudah berjalan semakin menjauh.

"Apa dia sering bolos kayak gini?" Gumam Alve dengan tatapan setia ke pintu yang di lewati oleh Alva.

Alva berjalan di koridor belakang sekolah, membenarkan letak tas ransel yang tersampir di bahu kanan. Tangan kirinya bergerak merogoh saku celana seragam lalu mengeluarkan handphone miliknya, membuka aplikasi chat lalu mengetikkan beberapa kata.

"Gua ke apartemen."

Setelah memastikan pesan itu terkirim kepada dua temannya, ia memasukkan kembali handphone pada saku celana. Berjalan ke arah samping sekolah dimana gerbang samping berada. Ya, kabur itu adalah rencana Alva saat ini.

Hanya butuh tiga gerakan dan acara kabur laki-laki itu sudah berhasil. Kelewat mudah memang. Alva menekan tombol unlocked pada kunci yang ada di tangan, lalu masuk ke dalam mobil sport merahnya - yang memang ia parkir di samping sekolah sejak pagi. Menghidupkan mesin lalu mengendarainya dengan kecepatan sedang meninggalkan bangunan SMA Erlangga.

🔰🔰

Alva menuruni tangga lantai dua apartemennya dengan kedua tangan yang berada di saku. Laki-laki itu sudah berganti pakaian santai khas rumah. Kaos putih bergaris dengan celana jeans selutut warna hitam dan sandal yang biasa ia pakai di dalam ruangan. Berjalan ke arah dapur lalu membuka kulkas dan mengambil minuman dingin bersoda favoritnya.

Suara bel apartemen yang berbunyi beberapa kali itu membuat Alva menaikkan kedua alisnya. Siapa yang bertamu di jam sibuk seperti ini, pikirnya. Ia berjalan cepat ke arah pintu saat bel itu semakin berbunyi secara beruntun.

Cklek

Pintu apartemen itu dibuka oleh Alva dan menampilkan dua orang yang menatap laki-laki itu tanpa merasa bersalah.

"Lu kenapa Al?" Tanya Vero heran saat melihat ekspresi datar Alva.

"Anjing!" Umpat Alva.

"Sialan ini anak ngumpat nggak tau tempat." Komentar Devan.

"Nekan bel biasa aja emang nggak bisa?" Tanya Alva menatap datar kedua temannya.

"Ya udah sih maaf, gitu aja baper." Jawab Vero mencibir lalu berjalan masuk ke dalam disusul Devan.

"Tadi dia tanya tentang lu." Ucap Devan setelah berhasil mendudukkan dirinya di sofa.

"Dia, siapa?" Tanya Alva berjalan ke arah kedua temannya setelah menutup pintu. Mendudukkan dirinya di hadapan Vero dan Devan.

"Alve." Jawaban itu sontak membuat Alva menatap Vero.

"Jangan pernah buka mulut tentang kehidupan gua ke dia" Kata Alva serius menatap kedua temannya.

"Kita paham." Balas Devan dengan menoleh ke arah Vero yang di balas anggukan oleh laki-laki itu tanda setuju.

"Kalian bolos juga?" Tanya Alva saat menyadari kedua temannya datang ke apartemen sebelum jam pulang sekolah.

"Nggak." Jawab Vero menyenderkan punggungnya ke sofa.

"Terus?" Tanya Alva penasaran.

"Cuma kabur dari sekolah sebelum jam pulang." Jawab Vero santai.

"Sialan. Itu sama aja bego." Umpat Alva.

"Ke tempat biasa yuk, jam segini anak-anak lagi butuhin kita." Ucap Devan menatap kedua temannya bergantian meminta persetujuan.

"Bener juga, ayo." Kata Vero dengan beranjak dari duduknya.

"Gua ganti baju dulu." Ijin Alva beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah kamar.

🔰🔰

"Yang lain mana?" Ucap Devan saat mereka sampai ke tempat yang mereka tuju.

"Eh lu Dev, mereka libur. Sekarang ada shift jadi nggak bisa kayak dulu." Balas laki-laki bertopi hitam itu, Devan pun mengangguk mengerti.

"Apa kabar?" Tanya Alva dengan menjabat tangan laki-laki yang diketahui bernama Dimas.

"Baik. Lu gimana?" Tanya Dimas membalas jabatan tangan Alva.

"Bisa lihat sendiri lah." Jawab Alva yang dibalas anggukan oleh Dimas.

"Makin rame aja ini tempat." Komentar Vero dengan menatap jendela tempat itu yang terhubung langsung ke dalam ruangan.

"Makin kaya juga yang punya ini tempat." Balas Dimas.

"Bener juga." Ucap Vero terkekeh.

Tempat dimana mereka saat ini berada adalah bangunan restoran bintang lima bergaya Eropa. Tidak kaget jika tempat ini selalu ramai oleh para konsumen. Tempat yang luas dengan fasilitas indoor dan outdoor dengan pelayanan yang memuaskan, siapa yang tidak ingin ke tempat ini. Bahkan mereka rela merogoh sejumlah uang demi ke tempat ini.

"Eh ada mobil, bentar ya." Pamit Dimas kepada Alva dan kedua temannya lalu berlari ke arah mobil yang masuk ke tempat parkir restoran itu.

"Biar gua." Ucap Alva saat melihat mobil lainnya masuk ke tempat itu, ia melepas jaket yang ia kenakan karena dirasa menganggu lalu berlari ke arah mobil berwarna hitam itu.

"Mundur-mundur terus ya kiri-kiri. Pelan, pelan stop." Ucap Alva mengakhiri kalimatnya dengan mengangkat ibu jempolnya lalu melangkah untuk menghampiri kedua temannya lagi.

"Sekarang jadi tukang parkir?" Ucapan itu membuat langkah Alva berhenti, ia membalikkan tubuhnya untuk menatap lawan bicara.

DEG

"Va, kok lu disini?" Ucapan itu membuat Alva menatap ke lawan bicaranya yang lain.

"Pasti kamu nggak mampu bayar biaya sekolah sampai jadi tukang parkir ya." Sindir wanita itu yang menjadi lawan bicara Alva.

"Va, kenapa kok lu jadi tukang parkir?" Ucap laki-laki yang tidak lain adalah Alve.

"Emang kenapa?" Tanya Alva dingin dengan menatap saudara kembarnya.

"Kalau nggak mampu sekolah mending jangan sekolah, kasihan kan sekarang jadi tukang parkir." Ucap wanita itu dengan berjalan ke arah Alva.

Kedua tangan Alva mengepal kuat, kalau saja orang di depannya ini bukan wanita dan kalau saja orang di depannya ini pernah berjasa untuknya bisa dipastikan muka wanita itu sudah remuk di tangan Alva.

"Peduli apa Anda?" Tanya Alva menantang.

"Lu nggak seharusnya jadi tukang parkir Va." Ucap Alve dengan menghampiri Alva.

"Nggak usah sok peduli sama gua, dan jangan panggil gua dengan sebutan memuakkan itu." Balas Alva dingin.

"Ayo Alve kita masuk jangan lama-lama sama gembel tukang parkir ini." Ucapan menusuk dari laki-laki itu membuat Alva menundukkan kepala.

"Iya ma." Balas Alve lalu berjalan bersama dengan wanita itu menjauh dari Alva.

Apa menjadi tukang parkir itu salah? Apa profesi sebagai tukang parkir itu adalah hal yang memalukan? Ia rasa tidak tapi kenapa ucapan dari orang itu berhasil membuat Alva tidak berkutik.

"Al, lu oke?" Ucapan itu membuyarkan lamunan Alva, ia menoleh ke arah kanannya dimana kedua temannya saat ini berdiri menatapnya.

"Ya, gua oke." Jawab Alva.

"Kita ada di sini buat lu." Ucap Devan sangat mengerti apa yang sekarang di rasakan temannya itu.

"Hm." Dehaman singkat itu Alva keluarkan lalu melangkah menjauh dari kedua temannya.

"Lu nggak oke Al." Gumam Vero menatap punggung temannya yang kian menjauh.

"Dia selalu nutupi perasaannya sendiri tanpa mau berbagi." Ucap Devan menatap sedih ke arah Alva.

Ya seorang Alvandra Dakara, lelaki dengan sejuta kharisma yang mendekati kata sempurna adalah sosok yang berteman dekat dengan luka.

Alva duduk di bangku panjang bersama dengan Dimas di sampingnya. Laki-laki itu menatap Alva dengan raut penasaran. Bukankah anak itu tadi baik-baik saja, kenapa sekarang sifatnya mendadak pendiam dengan kepala yang terus menunduk ke bawah.

"Dia kenapa?" Tanya Dimas kepada Devan yang menghampirinya memberanikan diri bertanya.

"Gapapa."Jawab Devan dengan sedikit tersenyum. Ya, bukankah tugas seorang teman adalah menjaga rahasia terbesar dalam hidup temannya yang lain. Itu yang Devan lakukan sekarang.

🔰🔰

Pagi ini adalah suatu hidayah kedua terbesar dan bermakna di hidup Alva setelah bernafas, tentu saja. Bagaimana tidak ia terbangun tepat pukul enam pagi tanpa bantuan alarm atau pesan beruntun dari kedua temannya. Seharusnya ia mengadakan syukuran untuk satu mukjizat langka yang terjadi di hidupnya itu.

Lebay.

Alay.

Oke,

Thanks, next.

Tanpa perlu melipat selimut dan merapikan tempat tidurnya, ia berjalan ke arah kamar mandi. Hanya butuh lima belas menit, Alva keluar dari kamar mandi dengan seragam yang sudah melekat di tubuhnya.

"Makin ganteng aja gua." Gumam Alva berdiri di depan cermin dengan tangan menyisir rambutnya.

"Capek juga ganteng terus." Lanjutnya dengan membenarkan krah bajunya.

"Anak nggak berguna kayak kamu lebih baik mati!" Ucapan itu sontak menghentikan aktivitas Alva, kenapa ingatan itu tidak bisa ia hapus dari memori otaknya.

Ia menatap kosong ke arah cermin, memori masa lalu yang entah kenapa tidak bisa ia lupakan meski dirinya memaksa untuk tidak lagi meninggatnya.

"Ya, gua emang bukan anak berguna." Gumam Alva dalam hati dengan senyum miris.

Ucapan demi ucapan di masa lalu yang membuat Alva menjadi pribadi yang sekarang. Menyimpan lukanya, mengobati lukanya, dan terakhir membuat luka karena sudah lelah dengan semuanya.

Alva menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran-pikiran yang membuat ia semakin tidak bisa menikmati hidupnya. Menghela nafas lalu menghembusakannya perlahan berusaha mengatur emosi.

Ia berjalan keluar kamar setelah sebelumnya mengambil tas ransel yang tergelatak di rak miliknya dan menyampirkan di bahu kanan. Menuruni tangga lalu berjalan ke arah dapur sekedar untuk minum air putih untuk menganjal perutnya.

"Udah nggak bisa masak, sok hidup sendiri lagi. Dasar gua." Gerutu Alva saat menyesali satu hal ini.

Itu memang kenyataan, ia tidak bisa masak. Ya tentu saja, bagaimana bisa tangan yang terbiasa menghajar orang dan memegang stir kendaraan untuk balapan di malam hari tiba-tiba memegang pisau untuk sekedar memasak.

Ah, tidak terima kasih. Alva tidak bisa memasak, dan tidak berniat untuk belajar memasak.

Ia meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja pantry, menoleh ke arah kirinya dimana jaket berwarna navynya tersampir di kursi meja makan. Alva memakai jaketnya dengan cepat saat dering handphonenya terdengar.

"Halo." Ucapnya saat sambungan itu tersambung. Tangan kirinya terulur ke arah tempat sepatu dimana jejeran sepatu miliknya tersimpan rapi disana lalu memakainya dengan cepat.

"Gua udah bangun nyet, cepetan ke sekolah!" Perintah Alva.

"Ke sekolah sekarang woy, biar lu nggak bego!" Lanjutnya dengan terkekeh membayangkan wajah temannya di seberang sana yang sudah dipastikan mengabsen isi kebun binatang beserta anak-anaknya.

"Gua berangkat sekarang." Kata Alva lalu mematikan sambungan secara sepihak. Ia memasukkan kembali handphonennya ke dalam saku celana lalu berjalan ke arah pintu apartemen.

Menyambar kunci mobil yang terletak di meja ruang tamu. Alva membuka pintu apartemen lalu menoleh ke belakang, mematikan saklar lampu dan secara otomatis ruangan itu gelap gulita. Ia menutup pintunya kembali dan memastikan terkunci lalu berjalan ke arah dimana lift yang menghubungkan ke basement bangunan bertingkat ini.

🔰🔰

Alva keluar dari mobilnya dan tidak lupa untuk menutup pintu serta menekan tombol locked. Ia berjalan ke arah dimana gerbang sekolahnya.

Ya, seperti biasa ia memarkirkan mobilnya di samping sekolah. Sebenarnya SMA Erlangga memfasilitasi tempat parkir untuk para muridnya yang membawa kendaraan. Tapi ya, jangan tanya kenapa Alva memilih tidak parkir di tempat yang sudah di sediakan. Mudah kabur, tentu saja itu adalah jawabannya.

Ia menghentikan langkahnya saat melihat pemandangan di hadapannya. Menghela nafas lalu melanjutkan langkahnya dengan tatapan lurus ke depan. Ia mengambil headphone berwarna hitam dari tasnya dan tidak lupa menutup resletingnya kembali.

Memasang headphone di telinga untuk menghalangi suara yang masuk, menghubungkan lewat bluetooth di handphonenya lalu menyetel lagu favoritnya lalu melanjutkan langkanya lagi.

"Kalau udah nggak niat sekolah, lebih baik jangan sekolah!" Seruan itu membuat langkah Alva berhenti. Ia memejamkan matanya sejenak lalu membukanya perlahan.

"Penampilan urakan, rambut pakai di warna segala. Kamu pikir keren ke sekolah dengan penampilan seperti itu!" Serunya lagi yang membuat beberapa murid yang akan masuk ke dalam sekolah sontak menatap Alva dan orang yang mengkritik laki-laki itu.

Alva menatap sekitar, ia semakin menambahkan volume di headphone yang ia pakai berharap desad-desus dari sekitar tidak bisa terdengar. Ia berjalan ke arah lawan bicaranya yang sejak tadi memang berada di hadapan laki-laki itu.

"Tutup mulut Anda dan jangan berani mengkritik kehidupan saya karena Anda bukan siapa-siapa." Ucapan dingin itu terlontar mulus saat Alva berada di hadapan orang tuanya.

Perkataan Alva itu sontak saja membuat beberapa murid di sana memekik kagum, melihat bagaimana laki-laki itu membalas perkataan pedas tadi hanya dengan satu kalimat. Singkat, padat, jelas, dan tentunya mengancam.

Alva memundurkan langkahnya dengan pandangan dingin yang tetap mengarah ke lawan bicara, lalu masuk ke dalam gerbang tanpa mempedulikan pandangan orang lain tentangnya setelah ia melakukan tadi. Ia berlari ke arah rooftop menghiraukan teriakan beberapa murid yang sudah ia tabrak bahunya dengan keras.

Ia melemparkan tas ranselnya begitu saja lalu duduk dengan menyandar tembok rooftop. Menundukkan kepalanya di lutut yang ia tekuk. Bahunya bergetar dengan mata yang terpejam. Bibirnya bergumam acak tanpa mengetahui kalimat apa yang ia ucapkan.

"Kenapa rasanya masih sakit." Gumamnya dengan bahu yang semakin gemetar.

Hiks

Hiks

Seorang Alvandra Dakara. Laki-laki yang terlihat kuat nyatanya saat ini sedang menangis. Mengeluarkan semua rasa sakitnya dengan tangisan memilukan tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau sekedar memegang tangannya untuk bergumam semua akan baik-baik saja.

-

Next? Comment and Vote.

Salam Rynd🖤

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 105K 45
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
231K 21.9K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
3.1M 155K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 41K 18
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...