Dear, Ustadz (Sudah Terbit)

By RikaRst

909K 47.7K 3.2K

#2 muslim (April 2020) #1 Pesantren (Mei 2020) #13 Hijrah (4 Juni 2020) #88 Spiritual (20 Juni 2020) #2 Hijra... More

p r o lo g
s a t u
d u a
t i g a
e m p a t
l i m a
e n a m
t u j u h
d e l a p a n
s e m b i l a n
s e p u l u h
s e b e l a s
d u a b e l a s
t i g a b e l a s
e m p a t b e l a s
l i m a b e l a s
Bukan Update
e n a m b e l a s
t u j u h b e l a s
d e l a p a n b e l a s
d u a p u l u h
d u a p u l u h s a t u
d u a p u l u h d u a
d u a p u l u h t i g a
d u a p u l u h e m p a t
d u a p u l u h l i m a
d u a p u l u h e n a m
d u a p u l u h t u j u h
d u a p u l u h d e l a p a n
d u a p u l u h s e m b i l a n
t i g a p u l u h
t i g a p u l u h s a t u
t i g a p u l u h d u a
t i g a p u l u h t i g a
Tentang Apa?
t i g a p u l u h e m p a t
t i g a p u l u h l i m a
t i g a p u l u h e n a m
t i g a p u l u h t u j u h
t i g a p u l u h d e l a p a n
t i g a p u l u h s e m b i l a n
Azhar ...
e m p a t p u l u h
e m p a t p u l u h s a t u - epilog
Kamu, Imamku
Ekstra Part (1)
Sedikit Cerita dari Mereka
Ekstra Part (2) dan Pengumuman Penting
Kabar Penting! Harus Baca!

s e m b i l a n b e l a s

15.7K 928 35
By RikaRst

Kamu adalah tempat pulang bagi saya. Sejauh apapun saya pergi, tetap saja saya akan kembali ke rumah. Dan rumah saya adalah kamu. Jadi, tidak ada alasan untuk saya pergi dan tidak kembali.

Dear, Ustadz

****

Sudah pukul 16:00 tapi entah kenapa matahari tak juga menunjukkan tanda kalau cahayanya segera redup dan pulang ke persinggahan. Sentakannya masih sungguh menyiksa, membuat pepohonan yang berderet sejauh mata memandang meranggas di pinggir jalan. Daunnya kering, kulitnya mengelupas, rantingnya satu-dua patah tak beraturan, belum lagi tanah yang jadi tempatnya mencengkeram mulai tandus dan pecah. Lengkap sudah untuk membuat suasana ibukota semakin kacau dan pengap.

Apalagi antrean panjang mobil yang mengular sepanjang jalan. Benar sekali, jam ini adalah tepat pulang kerja. Semua berebut hendak pulang, segera tiba di rumah agar dapat melepaskan beban kerja yang melilit seharian. Klakson menjerit sebab ditekan. Makin tak sabar seiring dengan lampu hijau yang mulai berkedip namun kendaraan paling depan belum juga berjalan, masih membeku di tempat. Saat tersadar, pemiliknya segera melongokan kepala keluar sambil menyengir kuda lantas menjalankan mobil cepat-cepat.

"Masih lama banget ya, Pak?" Itu adalah suara salah satu pelanggan taksi yang juga terjebak kemacetan jalan. Seorang perempuan yaitu Maira.

Lelaki yang ditanya itu memutar kaca kecil di atas kepalanya agar mampu melihat Maira, lantas berucap, "Kayanya masih, Mbak. Pulang kerja kaya gini emang suka rame. Harusnya tadi Mbak belanjanya siangan, jam dua-lah. Agak sepi pasti."

Maira mengangguk-anggukan kepala lantas membanting punggung ke jok. Dirinya jadi tak tenang sebab pasti sebentar lagi Zainal sudah pulang, tapi belum tentu dia bisa pulang secepat itu bila masih terkekang di sini. Satu jam lagi bisa keluar saja sudah bersyukur. Menghela napas lelah, Maira menarik ponsel yang ada di tas selempangnya.

"Ck! Ini udah kelewat lama deh," ucapnya kemudian. "Pak, saya turun di sini aja kalau gitu."

"Loh?" Alis lelaki setengah tua tersebut mengumpul jadi satu. "Sama aja Mbak kalau jalan kaki, tujuan Mbak masih jauh."

Tangan Maira yang sudah mengambil uang lima puluhan dari saku, mengulur pada sopir taksi. "Saya mau naik ojek aja, Pak. Kelamaan kalau nunggu terus."

"Pangkalan lumayan juga loh Mbak dari sini."

Jangan menyarankan agar Maira memakai jasa ojol, sebab gadis itu belum mengerti hal-hal semacam itu. Belum genap satu bulan ia memakai ponsel tersebut, bisa mengerti mengirim pesan dan menelepon saja ia sudah mati-matian belajar.

"Nggak papa. Saya duluan ya, Pak. Kalau masih ada kembaliannya, ambil aja," tukas Maira sambil menarik seluruh kantong belanjaannya lalu membuka pintu taksi.

"Makasih ya, Mbak."

Mengangguk singkat, menutup pintu, lantas berjalan menuju trotoar. Sudah ia duga, panas di luar lebih menyiksa. "Duh, ini kemarau belum mau udahan apa? Padahal udah akhir Desember, tapi panasnya bisa bikin dadar telor nih. Mana pohon udah nggak ada yang rindang."

Sepanjang jalan ia terus saja mengomel, melampiaskan kekesalannya pada apa saja yang ia temui di jalan. Emosinya sedang tidak stabil sekarang karena pagi tadi ia baru saja kedatangan tamu tak diundang. Sungguh menyusahkan. Dan yang lebih parahnya, itu terjadi saat ia memakai rok putih dan yang pertama melihat adalah Zainal. Rasanya saat itu ingin sekali menenggelamkan wajah di bak mandi.

Maira menggelengkan kepala cepat, "Udah udah, nggak usah dipikirin lagi, Maira. Anggap nggak pernah terjadi dan Zainal udah lupa. Awas aja kalau dia sampai ingetin gue soal kejadian tadi. Gue tebas juga dia."

Dia berhenti sejenak. "Ini belanjaan berat banget sih. Emang tadi gue belanja apaan? Bukan batu 'kan? Atau lo semua udah bereinkarnasi jadi batu, iya?" Matanya melirik kantong belanjaan sebal.

"Mbak Maira?"

Seseorang yang baru saja keluar dari sebuah apotek menyapanya, senyum tipisnya mulai merekah saat Maira memandangnya. "Azhar?"

"Mbak dari mana?" tanya lelaki itu.

Salah satu tangan Maira terangkat. "Dari supermarket, belanja."

"Sendirian?"

Dengan senyum yang sama tipisnya, gadis itu mengangguk. Sial sekali, kenapa ia harus bertemu dengan Azhar dalam kondisi penampilan begini. Pasti wajahnya sangat payah di depan lelaki itu. Penuh keringat pula. Memalukan.

Tangan Azhar terulur untuk mengambil belanjaan Maira. "Biar sebagian saya bawain, Mbak," ucapnya. "Kenapa nggak nunggu Abang pulang aja biar dianterin?" Azhar ikut berjalan mendahului Maira, sesekali menoleh sebentar.

"Nggak papa kok, sendiri juga bisa." Maira menolehkan kepala ke arah lain, menahan senyumnya yang semakin meronta keluar. Jangan sampai lelaki itu tahu kalau sejujurnya dia ada rasa. Dari belakang saja, punggungnya terlihat sangat tegap dan maskulin. Sama maskulinnya dengan wajahnya. Aish, bicara apa dia?

"Kamu sendiri?"

"Habis beli vitamin, Mbak."

Maira hanya beroh ria. "Jalan kaki ke sininya?"

Sejenak Azhar tertawa, menampakkan tarikan sudut bibirnya yang terlihat menyempurnai wajah tegas itu. "Ya enggak, Mbak. Saya bawa mobil. Cuma saya parkir agak jauh, males kena macet. Mbak pulang sama saya sekalian aja ya?"

"Eh?" Maira terperanjat. "Nggak papa?"

"Emangnya kenapa, Mbak? Ustadz nggak akan cemburu kalau saya Cuma anter istrinya pulang."

Gadis itu tertawa kikuk. Bukan itu sebenarnya letak masalahnya. Hanya saja, apa ia bisa menahan diri untuk tidak kebanyakan senyum saat berlamaan di dekat Azhar? Apa dia bisa tidak selalu menatap lelaki itu?

"Mbak?" Lagi, tawa lelaki itu menggema disusul sosoknya yang membalikkan badan. "Saya becanda, Mbak."

Maira membiarkan Azhar mengambil kantong belanjaan yang lain. "Mumpung udah deket dan jalanan agak sepi, saya ambil mobil dulu ya, Mbak. Mbak tunggu di sini."

"Oh, iya. Makasih, Azhar."

Setelah mengangguk, Azhar segera berlalu untuk menyebrangi jalan. Meneruskan langkahnya menuju mobil hitamnya yang terparkir di depan sebuah toko lain. Sedangkan Maira yang memerhatikan dari kejauhan tak dapat menahan senyum. Kenapa Azhar begitu memesona, berbeda jauh dengan Zainal yang menyebalkan itu?

Namun, mendadak senyum Maira berhenti tampak saat menjumpai sosok yang kebetulan tengah makan di sebuah restoran. Dari kaca pembatas yang tampak, dia --- Zainal ---- terlihat sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita. Sekali-dua kali mereka seperti terlibat pembicaraan serius dan wajah Zainal tampak begitu frustrasi.

"Siapa perempuan itu?" tanya Maira kemudian. "Nggak mungkin jam segini masih meeting sama klien 'kan?"

Dalam hati, Maira ingin sekali menghampiri suaminya itu. Atau paling tidak ikut masuk ke restoran tersebut dan menyimak diam-diam apa pembicaraan mereka agar Maira bisa tahu hubungan suaminya dengan sang perempuan. Hanya sebatas rekan kerja atau yang lainnya, itulah yang sejak tadi jadi pertanyaannya.

"Mbak?" Suara Azhar disertai sekali dengungan klakson terdengar, Maira yang tadi masih mengawasi Zainal terperanjat. "Mbak .... duduk di belakang nggak papa 'kan?"

"Ah ya, nggak papa. Saya tahu batasan kok," jawab Maira lantas masuk ke mobil itu. Dia menghela napas berat. Kenapa dia begitu pusing dengan masalah Zainal sedang makan dengan siapa. Memangnya di mana letak permasalahannya? Apa memang pedulinya dengan Zainal?

"Ada masalah, Mbak?" tanya Azhar saat membelokkan mobil di tikungan depan.

Walau Azhar pastilah tak mampu melihat Maira, gadis itu tetap tersenyum dan menggeleng. "Saya hanya kecapekan jalan tadi kok."

****

Sudah satu jam Maira dalam posisi berbaring, menunggu Zainal keluar dari kamar mandi. Pikirannya terus kacau karena kejadian tadi sore. Apa dia bertanya saja pada Zainal? Tapi bagaimana kalau suaminya itu jadi besar kepala karena merasa dikhawatirkan atau diperhatikan?

"Ishh, kenapa gue kepo banget sih? Berhenti pikirin itu, Maira. Mungkin perempuan tadi emang Cuma temen kantor. Ayo, berhenti berpikir," gumamnya sambil mengetuk dahi.

"Berhenti berpikir apa, Maira?"

"Astaga!"

Maira menoleh ke sumber suara, pada Zainal yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping ranjang dengan kaos oblong dan celana training panjangnya. Dia menatap Maira heran.

"Kagetin orang aja deh sukanya. Udah kaya hantu penunggu kamar mandi!" Gadis itu memukul Zainal dengan guling yang sedari tadi ia pegang.

Suaminya itu justru tertawa, "Saya nggak terlampau tampan untuk disamain hantu kamar mandi?"

'Kan, sudah dia bilang. Kalau saja ini adalah dunia fantasi, pasti kepala Zainal itu sudah membengkak mau meledak. Percaya dirinya sungguh luar biasa keterlaluan. "Bisa nggak sih jadi orang itu sadar diri dikit? Barusan lo keluar dari kamar mandi nggak ngaca dulu apa? Wajah kaya gitu terus-terusan dibanggain."

Zainal lalu duduk di samping ranjang, tawanya kembali terdengar. "Kalau bukan saya yang memuji diri sendiri, nggak mungkin kamu mau 'kan? Menunggu kamu memuji ketampanan saya kayanya nggak mudah, soalnya ego kamu terlalu tinggi."

"Apa lo bilang?"

Tangan lelaki itu terangkat ke atas. "Becanda," katanya meringis.

Sedangkan Maira melengos ke samping melihat Zainal mulai merebahkan diri di sampingnya. "Zainal."

"Ya, Maira?"

"Gue boleh tanya sesuatu nggak?" Maira menolehkan kepala ke samping, pada Zainal yang tadi sudah memejamkan mata sekilas namun kembali terbuka. Keduanya berpandangan sekian saat.

Tubuh lelaki itu beralih posisi, miring menghadap Maira. Tangannya ia gunakan sebagai tumpuan kepala. "Ada yang mau kamu tanyakan? Asal pertanyaan itu bisa saya jawab, pasti saya akan menjawabnya."

"Pulang kerja tadi lo ke mana?"

Pacu jantung Zainal mendadak menggila mendengar pertanyaan Maira. Dalam dua menit ia mendadak jadi bisu. Apa memangnya yang bisa ia jawab atas pertanyaan itu? Kenapa Maira tiba-tiba memberi pertanyaan yang sama sekali tak pernah ia ingin dengar sebelumnya?

Maira mengibaskan tangan di depan wajah Zainal. "Kamu lihat saya di mana memangnya?"

Melihat reaksi Zainal, pasti ada yang disembunyikan, pikir Maira. "Gue nggak lihat lo kok. Cuma tumben aja tadi lo pulangnya telat, telat banget malah. Hampir Maghrib baru pulang." Biar dia sendiri yang cerita, pikirnya.

Ada setitik kelegaan dari jawaban Maira, setidaknya itu adalah salah satu jawaban yang Zainal ingin dengar. Ia tak mau mendengar kalau Maira memang memergokinya sore tadi, sebab ia tak mungkin menjelaskan pada istrinya secepat ini.

Tangan Zainal membenarkan anak rambut yang jatuh di pipi Maira. "Saya di kantor. Tadi ada karyawan saya yang izin, jadi banyak tugas yang harus saya selesaikan."

Dalam temaram lampu tidur yang menyinari wajah kurusnya, Maira tersenyum kecut. Lelaki itu tidak jujur padanya. Kenapa Zainal selalu bilang kalau Maira harus mampu menerima hubungan ini dengan lebih terbuka padanya, namun lelaki itu sendiri yang sekarang justru menutupi tentang dirinya? Apa semua perkataan dan perilaku yang Zainal tunjukkan selama ini bukanlah sosok asli dari lelaki itu? Kenapa pula suaminya ini harus berbohong kalau memang tidak ada apa-apa antara dia dan perempuan tadi?

"Kamu khawatir sama saya?" tanya Zainal melebarkan senyum.

"Mimpi sana!"

Maira langsung saja membalikkan tubuhnya agar tak lagi melihat wajah lelaki itu. Ada banyak sekali spekulasi yang muncul dalam benaknya. Dia ingin tak peduli dan seakan tak mengetahui kalau Zainal berbohong, namun akalnya terus saja berpikir. Memikirkan apa yang kira-kira lelaki itu sembunyikan. Semenjak kejadian Zainal menangis di meja makan waktu itu, tingkahnya semakin aneh dari waktu ke waktu.

Beberapa kali Maira menemukan Zainal melamun, seperti hendak memecahkan suatu persoalan namun hanya selalu menemukan jalan buntu. Wajahnya frustrasi entah sebab apa. Dan alisnya makin sering mengerut karena kebanyakan berpikir.

Empat puluh lima menit kemudian, Maira belum juga menemukan kantuknya. Matanya masih terbuka lebar. Tidak ada tanda kalau secepatnya ia akan tertidur. Hingga sebuah tangan yang mengusap kepalanya dari belakang, membuat Maira langsung memejamkan mata pura-pura terlelap.

"Saya minta maaf, Maira. Saya harus berbohong," gumam lelaki itu dengan nada rendah. Suaranya serak seperti menahan sesuatu.

Apa yang sebenernya lo sembunyikan, Zainal? Apa mungkin lo ada hubungan khusus dengan perempuan tadi? Tapi gue nggak yakin, Zainal, lo terlalu baik untuk melakukan hal semacam itu. Gue nggak percaya.

"Saya tidak bisa menceritakan sekarang soal Annisa. Terlalu berat untuk saya menjelaskan pada kamu. Saya hanya takut, kalau sampai kamu tidak bisa menerima saya bila saya menceritakan semuanya. Saya pun tidak pernah mau terhimpit pada posisi semacam ini," lanjut lelaki itu. Dari suaranya yang makin bergetar, Maira yakin kalau lelaki itu tak baik-baik saja.

Kenapa Zainal harus takut kalau Maira sampai tahu? Memangnya hal macam apa yang coba suaminya itu sembunyikan?

Ponsel yang ada di atas nakas berdering, Zainal segera saja mengangkat panggilan tersebut. "Assalamu'alaikum, Alya."

Melirik sebentar pada Maira yang masih bergeming di ranjang, lelaki itu lantas keluar dari kamar. Tidak tahu kalau rupanya gadis tersebut hanya berpura-pura tidur.

"Annisa? Alya? Siapa memangnya? Apa yang coba Zainal bicarakan hingga harus keluar?" tanya Maira pada dirinya sendiri sambil menurunkan selimut melirik ke arah pintu yang melenyapkan sosok jangkung Zainal.

Maira berjingkat, membuka pintu sedikit untuk menyimak pembicaraan lelaki itu.

"Apa terjadi sesuatu dengan Annisa?"

"Kondisinya sempat memburuk setelah kamu pergi. Namun, sekarang justru lebih baik dari sebelumnya," jawab seseorang dari seberang.

Zainal menghela napas. "Alhamdulillah."

"Percaya sama aku, Zainal, atas izin Allah pasti gadis itu sembuh."

"Semoga saja. Saya tidak mau dirundung rasa bersalah lebih lama lagi."

Jeda sejenak, Alya gantian bertanya, "Kamu tidak berniat menceritakannya pada Maira?"

"Saya harus menjelaskan apa pada istri saya, Alya?" Lelaki itu memijit keningnya yang mulai berdenyut.

Dalam kebisuannya, Maira hanya mampu bertanya dari balik pintu kenapa Zainal harus menyembunyikan soal perempuan bernama Annisa itu darinya jika tidak ada apa-apa? Apa sekarang Maira boleh curiga?

****

Assalamu'alaikum temen-temen.

Alhamdulillah banget aku bisa update. Dua kali sekaligus dalam sehari hehe. Nggak nyangka inspirasi datang secepet ini ^~^

Berhubung tadi banyak yang bingung soal part sebelumnya, terus ikutin ceritanya biar nggak bingung. Tadi sempet ada yang komen kalau yang sakit itu temennya Maira. Emangnya iya? Wkwk, nggak tahu deh, yang tahu Zainal, Alya sama Allah. Hehe. Dan emang Annisa siapa ya?

Yukk bertukar pendapat di kolom komentar.

Vote dan komen kalian sangat berarti. Jazakallah khairan sudah menyempatkan baca.

Sekian,

Wassalamu'alaikum.

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 435K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
979K 30.8K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
567K 42.4K 45
Spiritual-romance Sequel: ILHAM UNTUK MELLY Muhammad Fathur Al-Kausar-seorang dokter muda sekaligus juga bekerja di perusahaan keluarga. Fathur-soso...
90.1K 5K 54
Ini tentang Nazira Shafira Aulia yang harus mengalami cinta segitiga dengan sepasang saudara kembar. Mereka adalah Farhan Habibie Alfaqih dan Farzan...