Twins (Who Are You?)✔

Por envelopeee_

3.9K 508 962

[SELESAI!] Identik atau tidak, setiap perubahan kecil yang dilakukan bisa berdampak besar. Hal itu berlaku, k... Más

[1]-Putih dan Hitam
[2]-Penyesalan
[3]-Arah yang berlawanan
[4]-Itukah kamu?
[5]-Terlambat
[6]-Kompetensi
[7]-Kompetensi bag 2
[8]-14 min 1
[9]-Rantai yang terpasang kembali
[10]-Kejanggalan yang tidak beralasan
[11]-Semakin tidak baik untuk ditunda
[12]-Sedia atau Tidak sedia
[13]-Undo or Redo?
[14]-The Prophet Nabi Ibrahim AS
TESTIMONI

[15]-Minyak dan Air

282 16 78
Por envelopeee_

"Menjalin kasih dan sayang. Seperti Adam dan Hawa, Khadijah dan Baginda Rasulullah SAW."

FATHAN~

***

Aqeel mengalungkan name tag-nya pada leher. Tenaganya terkuras untuk membenahi semua identitasnya di tempat kuliah.

Lihat saja kakinya yang saat ini masih gemetaran efek berlarian dari lantai dasar hingga lantai teratas.

Aqeel merasa lelah tetapi merasa senang. Ia seolah menjadi mahasiswa baru yang baru saja mendaftar dan menapakkan kakinya kembali di tempat ini. Karena itu, ia menjatuhkan tubuhnya pada sebuah bangku.

Siang yang panas tidak membuat sebagian mahasiswa enyah dari taman ini. Justru mereka memiliki cara untuk melewati musim panas ini dengan menikmati segenggam ice cream.

Aqeel merasa begitu lelah jadi ia bersandar sambil memukuli bahu belakangnya dengan tangan kanan. Sinar UV seolah tidak memaklumi keadaan mengenaskannya kini. Aqeel tidak punya pilihan lain selain mengaduk isi tasnya untuk mengambil sebuah buku catatan. Lalu menjadikan buku catatan itu sebagai tameng yang melindungi wajahnya dari terik matahari. Aqeel menumpu kepalanya pada sandaran bangku. Lama ia dalam posisi tersebut, ditambah dengan matanya yang ia biarkan terpejam, Aqeel tertidur secara tidak sadar.

Ketidak sadarannya masih berlangsung bahkan saat kedatangan seseorang yang mengambil tempat di sebelahnya. "Almayra Aqeela Syakir," gumam orang tersebut. Ia membaca name tag yang dipakai oleh Aqeel. "Jadi kamu nggak berbohong soal saudara kembar?" racaunya lagi. Namun tidak ada tanda-tanda adanya respons dari Aqeel.

"Ekhem ...." Cukup kencang ia berdeham namun lagi-lagi sama. Aqeel hanya diam dalam posisi duduknya yang bersandar itu. Membuat orang di sebelahnya resah karena tidak mendapat reaksi apa pun. Dengan penasaran, ia menarik buku yang menghalangi wajah Aqeel.

Tameng sinar matahari itu tersingkap dan membuat penghuninya melenguh. "Nggh ...." Aqeel mengerjapkan matanya. Kemudian duduk tegap. Menggesek kelopak matanya yang seperti direkat oleh lem. "Fitrah?" Saking terkejutnya, Aqeel hendak berdiri namun karena kakinya salah melangkah ... ia justru menginjak tali sepatunya sendiri dan jatuh pada jalan bebatuan. "Ash ...."

Fitrah yang tak kalah terkejut ikut berjongkok di sebelah Aqeel. "Aqeel, kamu—"

"Saya bisa berdiri sendiri," potongnya. Detik berikutnya dengan sisa tenaga juga sisa keberaniannya, Aqeel menegakkan tubuhnya untuk kembali mendudukan dirinya di atas bangku.

"Maaf ... gara-gara saya kamu jadi jatuh." Fitrah merasa bersalah. "Ini." Sambil menunggu Aqeel yang membetulkan tali sepatunya, Fitrah menyodorkan air mineral pada Aqeel.

"Ini ... tidak merepotkan?" Aqeel bertanya sebelum menerima pemberian Fitrah.

"Tidak. Saya senang kalau direpotkan oleh kamu. Sering-seringlah merepotkan saya, Almayra Aqeela Sya-kir ...." ujar Fitrah.

"Aneh, ya?" tanya Aqeel setelah mengambil air mineral itu. Aqeel membuka segel botol dengan sekali putar. Seolah tenaganya sudah kembali semua. Lalu secara perlahan ia pun mulai meneguk air tesebut. Merasakan bagaimana tenggorokan keringnya dilewati air yang menyejukkan. Cukup ampuh menghilangkan dehidrasinya yang belum memuncak.

"Nama kalian nyaris sama." Fitrah tertawa kecil. "Hanya ... saya nggak tahu bagaimana sosok Aqeel yang lain," tambahnya.

Aqeel menoleh ke arah Fitrah. "Kalau kami berdua disandingkan, kamu pasti nggak akan bisa membedakan ... mana Aqeel yang saat ini sedang duduk di sampingmu." Derai tawa Aqeel disambut baik oleh Fitrah.

"Jadi, bagaimana kabarnya Almayra Aqeela—" Fitrah kebingungan di ujung kalimatnya pasalnya ia tidak ingat betul nama belakang saudari Aqeel.

"Almayra Aqeela Dzakir." Aqeel melengkapi ucapan Fitrah.

"Itu maksudku."

***

14 hari sebelumnya~

Qeela bangun lebih pagi, dengan mata yang sembab dan menyipit karena ia menghabiskan malamnya dengan menangis di balik selimut. Bekas tangis itu masih membekas meski ia telah menggunakan make up untuk menutupinya. Ini akan menjadi hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di rumah.

Qeela tidak menemukan Aqeel saat ia terbangun. Tempat di sebelah Qeela kosong. Entah apa karena semalam Aqeel merasa terganggu dengan tangisnya jadi Aqeel pindah ke tempat lain? Qeela melihat ke arah jam dinding, pemberangkatannya sekitar dua jam lagi setelah mem-booking tiket dadakan dengan harga yang fantastis. Tentu saja bukan Qeela yang membayar. Melainkan, Ayahnya. Rasanya Qeela tidak sanggup menghadapi kedua orang tuanya saat keluar dari kamarnya sendiri. Qeela berjalan dengan gontai, membuka pintu kamarnya sedikit, lalu kepalanya ia longokkan ke luar. Dari sini Qeela tidak mendengar atau mendapati suara apa pun. Hanya keheningan. Ke mana suara cerewet Bundanya? Tidak ada suara penyiar berita yang biasanya Ayah tonton setiap pagi. Tidak juga suara perang asisten rumah tangga dengan peralatan dapur.

Qeela menarik napas dengan kencang lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Apa perbuatan gue keterlaluan banget, ya? Semua orang udah anggap gue gak ada sebelum gue pergi." Bahu Qeela merosot. Ia menutup kembali pintu kamarnya. Qeela meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Yang mengecewakan kembali menghampirinya. Qeela tidak menemukan notifikasi apapun. ponselnya bersih. Padahal ada sekitar 1.247 pesan yang belum ia baca. Dan semua pesan itu hanya sampah—menurut Qeela—karena chat dari seseorang yang ia harapkan justru tidak muncul. "Dia nggak ada usaha untuk nahan gue di sini, gitu?" gumam Qeela. Qeela melempar ponselnya ke atas kasur. Ia menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan. Berselang empat menit dari kegiatannya yang hanya berdiam diri, sebuah klakson mobil dari arah luar mengagetkannya.

Qeela terbangun. Mengangkat wajah berantakkannya karena ia menangis lagi. Dengan cepat Qeela menepis sisa air matanya. Qeela berjalan cepat untuk mencapai jendela kamar yang bisa melihat langsung keadaan di luar rumahnya.

"QEEL KELUAR!!!" seru Aqeel.

Qeela mengerutkan keningnya, Aqeel melambai-lambaikan tangannya dari bawah. Sebuah taksi berada di samping Aqeel.

Qeela mencoba baik-baik saja. Meski kini pikirannya mengawang. Itu taksi yang akan mengantarnya ke bandara? Bagus sekali. Sangat awal sebelum jadwal penerbangannya. Semua orang benar-benar ingin Qeela tidak di sini sepertinya. Qeela berbalik untuk mengambil sling bag-nya. Tidak lupa koper besarnya yang sudah ia tata semalaman.

Tidak perlu waktu yang banyak untuk ia sampai di bawah, Qeela disambut oleh senyum ramah Aqeel yang hanya dibalas dengan senyum paksaan dari Qeela. Di situasi seperti ini, Qeela tidak bisa tersenyum dengan tulus.

"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Aqeel saat berusaha membantu Qeela memasukkan koper besarnya ke dalam bagasi.

"Ini berat Kak. Biar gue aja," ujar Qeela. Aqeel sadar kalau Qeela mengabaikan pertanyaannya. "Pak supirnya mana, sih?" geram Qeela. Mulai emosi setelah sekuat tenaga menyimpan barang-barangnya.

"Cari angina," jawab Aqeel.

Qeela mengangkat kedua alisnya. "Ck ... masih sempet-sempetnya, ya?"

Aqeel menggeleng ragu. "Mungkin. Mm Qeel, kalau harus milih ... kamu mau pilih mana? Tetap tinggal di sini atau kuliah di luar negeri?" tanya Aqeel.

Qeela terdiam lumayan lama, sampai akhirnya mulutnya terbuka. "Seandainya gue pilih tetep tinggal di sini ... pilihan itu udah nggak berlaku, kan?"

"Jadi kamu mau menyerah untuk memperjuangkan hal yang membuat kamu sendiri bahagia?" Kembali Aqeel bertanya.

Qeela terdiam lagi, kemudian berdeham. "Mm ...." Qeela menarik napas lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Gue nggak berhak untuk bahagia, kalau ada orang lain yang gue korbankan. Kak Aqeel makasih ya, untuk semuanya. Dan gue minta maaf seandainya dulu gue nggak egois, lo nggak akan nanggung ini semua."

Aqeel mengusap bahu Qeela dengan lembut. "Kakak bahagia kok nanggung semua ini. Kakak belajar banyak."

Qeela memeluk Kakaknya dari samping. "Gue sayang sama lo, Kak!"

"Kakak juga." Aqeel menepuk-nepuk punggung Qeela. Setelah pelukan mereka terlepas, Aqeel melempar senyum jahil pada Qeela. "Sekarang nggak dilepas nih, khimar-nya?"

Qeela menggeleng mantap. "Nggak. Nggak akan pernah. Semenjak pakai khimar dan jilbab, gue merasa seperti perempuan terhormat yang dihargai semua orang."

"Bahkan nggak hanya terhormat di hadapan manusia, tapi di hadapan Allah SWT juga," sahut Aqeel membenarkan ucapan Qeela.

"Iya Kak." Qeela tersenyum. Ia sedikit bahagia. Aqeel bisa menenangkannya di saat seperti ini. Meski kadang, pikiran Qeela berkelana. Ia belum memberi penjelasan langsung pada Bunda dan Ayahnya. Ia belum pamit pada Fathan. Ia belum mendapat maaf dari Bunda Fathan. Apa ia akan pergi dengan beban yang belum terselesaikan?

"Yaudah, ayo masuk!" Aqeel membuka pintu taksi.

Supir taksi yang akan mengantar Qeela baru saja datang dari arah belakang.

"Pak, antar ke alamat yang saya kasih ya!" pekik Aqeel.

Supir taksi itu mengangguk sebelum duduk di atas kemudinya.

"Kak, lo nggak antar gue?" Qeela menatap Aqeel dengan tatapan sendu.

Aqeel menggeleng. "Maaf ya, Qeel. Kakak harus benahi barang-barang Kakak, karena sebentar lagi Kakak harus ke pesantren."

Kalau saja, bukan untuk kebahagiaan Qeela. Aqeel tidak akan sanggup mengucapkan kalimat tadi. Qeela kembali murung setelah mendengar jawaban Aqeel. "Kakak akan sering menghubungi kamu," tambah Aqeel. Berharap ucapan akhirnya bisa membuat Qeela lebih baik.

"Iya." Qeela masuk ke dalam taksi. Bunyi pintu yang dibanting dari arah luar menyusul kemudian. Dari balik kaca taksi Qeela bisa melihat Aqeel yang sedang tersenyum padanya. Aqeel melambai-lambaikan tangan. Qeela ikut membalas lambaian itu meski tangannya tidak bertenaga. "Kalau dipikir-pikir, Gue lebih jahat dari apa yang Kakak lakuin sekarang," gumamnya dalam hati.

Qeela ingat, saat ia menyuruh Aqeel melepas khimar agar bisa berpura-pura menjadi dirinya. Qeela tidak pernah mempedulikan nasib Aqeel yang menggantikan posisinya. Saat kenyataan bahwa bertukar tempat itu tidak menguntungkan untuk Qeela, dengan mudah ia menyuruh Aqeel untuk kembali. Pandangan Qeela mengabur seiring air yang memenuhi pelupuk matanya mendobrak memaksa untuk jatuh.

Tidak butuh waktu lama untuk menyadari kalau mobil taksi yang ditumpanginya mulai berjalan. Meninggalkan sosok Aqeel di belakang sana yang belum beranjak di depan rumah. Masih melambai pada Qeela.

***

Bunda Fathan berdiri sambil berkacak pinggang. "Kiki ... bukan di situ! Geser sedikit ke arah kanan!"

"Gini Ibu Tante?" Kiki dengan badan tripleknya harus memutar leher untuk melihat Bunda Fathan.

Bunda Fathan mengacungkan jempolnya. "Iya-iya, begitu!"

"Mengatur terus ya Bunda Fathan," dumal Renaldi yang saat ini sedang memegang tangga yang dinaiki Kiki.

"Coba kamu yang naik ke atas. Bunda Fathan nggak akan rewel pasti," sahut Iman—partner Renaldi yang memegangi tangga.

"Udah Ibu Tante?" tanya Kiki dari atas sana.

"Udah-udah! Udah bagus."

Kiki bernapas lega. Ia segera menengok ke bawah. "Pegangin!"

Renaldi dan Iman segera memegang sisi tangga dengan kencang.

"Fathan!" Saat kiki sudah menapak di atas tanah lagi, ia menyerukan nama Fathan yang sedang berjalan gusar ke arah mereka. "Butuh bantuan lagi?" tanya Kiki.

Fathan menggeleng. "Beres semua. By the way, thanks ya Ki!"

"Kiki doing?" celetuk Renaldi. Matanya menatap ke sembarang arah.

"Thanks Nald, Man." Fathan menepuk bahu kedua teman laki-lakinya bergantian.

"Semoga sukses, ya!" Renaldi balas menepuk punggung Fathan.

"Aamiin."

Bunda Fathan mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang. Saat panggilan terhubung, ia segera menempelkan benda berbentuk persegi panjang itu di dekat telinganya. "Gimana, Qeel?"

Fathan, Kiki, Renaldi, dan Iman mengalihkan perhatian mereka pada Bunda Fathan yang sedang berbicara via telepon.

"Udah berangkat Tante."

"Bagus. Dia nggak nangis, kan?" tanya Bunda Fathan.

"Hampir. Saya merasa jadi Kakak yang jahat," keluh Aqeel di seberang sana. Yang wajah menyesalnya tidak bisa dilihat oleh siapapun. Namun dari suaranya yang mengecil dan berubah lemas, Bunda Fathan tahu kalau Aqeel sedang menyesal.

"Kamu harus bantu Tante. Karena secara nggak langsung kamu juga bohongi Tante."

"Iya Tante."

"Kamu bisa berangkat sekarang."

"Saya tutup ya, Tante."

"Iya."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Bunda Fathan memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Beres!" katanya sambil tersenyum lebar pada Fathan dan teman-temannya. "Kalian siap-siap ya," intruksinya memberi penringatan.

Fathan dan yang lainnya mengangguk.

***

"Sejak awal saya nggak tahu kalau mereka akan bertukar tempat."

Qori memaklumi penyesalan Ayah Qeela terkait perbuatan anak perempuannya. "Anak muda selalu ingin berbuat sesuai keinginannya."

Bunda Qeela ikut bersuara. "Tapi apa tidak masalah kalau perjodohan ini dilanjut sementara pasangan Fathan bukan Aqeel?" tanya Bunda Qeela khawatir.

Qori mengangguk yakin. "Fathan bahagia dengan Qeela. Bukan dengan Aqeel," ucapnya.

Ustad Fahrur yang mengetahui insiden ini segera menengahi permasalahan di antara kedua keluarga tersebut. "Fathan bisa berubah seiring lingkungan yang membentuknya. Walaupun sejak awal dia tidak bersama Aqeel, tapi dia membaik bersama Qeela." Ustad Fahrur menatap orang-orang yang berkumpul dalam ruangannya satu-per satu. "Kita hanya berencana menjodohkan, sementara Allah SWT yang lebih tahu siapa yang terbaik untuk Fathan dan juga untuk Aqeel." Ada jeda sedikit sebelum ustad Fahrur menambahkan, "saya senang kedua keluarga tidak bertengkar. Artinya, silaturahmi kalian masih terjalin dengan baik."

Ustad Fahrur benar. Qori, Bunda, dan Ayah Qeela mengangguk setuju.

"Saya sudah jahat sama Qeela. Sejak semalam saya terus membentak anak itu." Bunda Qeela bersandar pada bahu suaminya.

"Saya juga emosi dan langsung memesankan tiket ke luar negeri untuk Qeela," gumam Ayah Qeela.

"Qeela pasti mengerti." Ustad Fahrur tersenyum.

"Lalu bagaimana dengan Aqeel?" tanya Qori.

"Dia bersedia melanjutkan kuliahnya. Menggantikan Qeela," jawab Ayah Qeela.

Qori mengangguk. "Berarti di sini, tidak ada lagi yang tersakiti. Semuanya jelas."

Ustad Fahrur menghela napas. "Saya yakin baik Qeela atau Aqeel sama-sama menyesali keputusan mereka. Tapi di ujung jalan yang buntu ini, mereka sudah lebih baik dengan berkata jujur dan menyerahkan diri. Mereka memilih solusi yang benar. Sebagai orang tua kita harus paham terhadap sikap anak kita, memahami mereka satu-per satu merupakan kewajiban. Agar hal seperti ini tidak terulang lagi."

Bunda dan Ayah Qeela mengangguk.

Tidak lama, muncul Bunda Fathan yang baru saja datang dari arah luar. "Qeela di perjalanan."

Seakan mengerti, semua orang di dalam ruangan ini bangkit berdiri. Bunda Qeela memeluk Bunda Fathan. "Maafkan anak saya, ya Jeng."

Bunda Fathan tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Bunda Qeela. "Gak apa-apa, kita juga pernah mengalami masa muda."

***

Qeela menatap jalanan dari kaca taksi. Selama 15 menit ke depan ia merasa baik-baik saja, namun di menit-menit sekarang ia merasa ada yang aneh. Ini bukan jalan yang dilewati untuk sampai di bandara. Qeela menatap ke arah depan, pada spion mobil yang ada di dekat kemudi. "Pak, ini mau ke mana?" tanya Qeela.

Pak supir meliriknya melalui spion. "Saya mau antar Anda ke alamat yang diberikan Mbak tadi," kata Pak supir itu. Tangannya melakukan gerak memutar pada kemudi.

"Tapi saya harus sampai di bandara. Bukan ke—" Isi kepala Qeela berputar mengenai kejadian Aqeel yang mengantarnya sampai naik taksi. "Mana alamatnya?" Qeela menengadahkan tangan ke depan, menagih bukti alamat yang diberikan Aqeel.

"Mbaknya bilang, kalau Anda menagih jangan dikasih," sahut Pak supir.

Qeela berdecak. "Saya nggak peduli, Pak! Mana alamatnya? Waaaaa—" Kepala Qeela membentur sandaran kursi yang berada tepat di hadapannya. Mobil yang semula melaju dengan pelan tiba-tiba berjalan di atas rata-rata. "Bapak sengaja, ya? Bapak mau culik saya? jangan macem-macem!" Selama Qeela berteriak tidak ada reaksi atau sahutan sama sekali dari supir taksi tersebut. Qeela menggeram, melihat ke sekeliling. Di mana ia saat ini? "Saya loncat, ya!" ancam Qeela sambil memegang knop pintu mobil yang sedang melaju itu.

"Saya nggak tanggung jawab ya, Mbak."

Bahu Qeela merosot. Mulutnya setengah menganga. Amat kesal pada supir taksi ini. "Kak Aqeel ...." Qeela menyandarkan punggungnya. Memainkan ponselnya untuk menghubungi Aqeel dan bertanya langsung, ke mana tempat yang akan ditujunya kini?

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan tekan angka 1 untuk mengirim pesan suara."

Qeela berdecak. Menatap ponselnya dengan sebal.

"Tikungan tajam di depan Anda. Bersiaplah untuk memakai pengaman."

Qeela menengok ke arah depan. Dengan segera ia memakai sealbelt-nya.

"Belok kiri."

Qeela mengembuskan napas lelah. Membiarkan matanya terpejam. Bersama telinganya yang terus mendengar suara sistem navigasi milik taksi ini. Qeela amat lelah, sebentar saja, biarkan dirinya bermain di alam bawah sadar. Agar ia bisa melupakan masalah yang sedang ia hadapi. Mengidap amnesia sejenak, sepertinya tidak terdengar buruk.

"Anak ini ... ya ampun, masih bisa tidur di dalam taksi, ya!"

"Sttt ... nanti Qeela bangun Bund."

"Lihat wajahnya, pucat banget ...."

Telinga Qeela mendengar beberapa percakapan yang masih terasa samar. Qeela menggeliat dalam tidurnya. Telapak tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya yang menguap.

"Qeela habis nangis semalaman, ya?"

"Qeel ...."

Qeel? Qeela seperti mengenal suara itu. Suara yang baru saja memanggil namanya.

"Qeela!"

Kembali suara itu terdengar. Dan Qeela yakin ia tidak salah dengar. Kini pendengarannya mulai membaik. Dengan perlahan Qeela membuka matanya.

"Jangan ngigau ya, Qeel. Jangan buat Bunda sama Ayah malu."

Telinga Qeela berfungsi namun tatapan matanya terkunci pada sosok laki-laki yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Fathan?"

Qeela melihat Fathan sedang berdiri dengan setelan tuxedo hitam. Fathan terlihat sangat rapi mengenakan pakaian formal seperti itu.

"Kenapa sih, lo bisa tetep seganteng ini di dalam mimpi gue?" Qeela meracau tidak jelas.

Kalimatnya barusan membuat Bunda Qeela menyelundup pada dada bidang suaminya. "Qeela nggak bisa ya, nggak malu-maluin Yah?"

Ayah Qeela hanya menanggapinya dengan tersenyum.

Bunda Fathan terkekeh. "Qeela jujurnya di dalam mimpi."

Fathan malu sebenarnya. Mendengar kalimat Qeela yang tidak terduga itu. Namun ia lebih malu jika membiarkan Qeela terus meracau tidak jelas. "Lo nggak bisa bedain mana yang nyata dan mana yang mimpi?" Fathan menyiprat Qeela dengan air yang ada di sela-sela jarinya. Membuat mata Qeela langsung mengerjap beberapa kali.

Qeela mengucek matanya. Menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada kursi penumpang. "Pak kita udah sampai, ya? Kok nggak bangunin saya?" Qeela melirik ke arah depan.

Supir taksi itu nampak tertawa kecil dari balik spion mobilnya. "Kita udah sampai Mbak. Dari tadi. Mbaknya keasyikan tidur, ya? Habis mimpi apa Mbak?" goda Pak supir itu.

"Saya mimpi aneh. Aneh banget sampai rasanya tadi itu bukan mim—" Kalimat Qeela menggantung. Qeela yang belum sadar dengan keberadaan orang-orang di sekitarnya menoleh ke arah luar. Matanya membulat saat menemukan sosok Fathan yang berpenampilan sama seperti di dalam mimpinya. Lalu Bunda, Ayahnya, Bunda Fathan, dan satu laki-laki setengah baya yang belum pernah Qeela lihat.

"Mimpi? Sekarang lo udah bangun, kan?" Suara menyebalkan Fathan langsung menyapa gendang telinga Qeela.

"Fathan, jangan kasar sama perempuan!" Bunda Fathan mencubit pinggang anak laki-lakinya.

"Bunda ...."

Mata Qeela kembali berair. Jika benar ini adalah mimpi ia tidak mau bangun. Tapi jika benar ini nyata, Qeela juga tidak mau kenyataan ini cepat berakhir.

"Hallo, mantu! Kamu kangen Bunda?"

Qeela segera keluar dari dalam taksi lalu menghambur memeluk tubuh Bunda Fathan dengan erat. "Maafin aku Bunda, maaf ...."

Senyum manis terukir di wajah Bunda Fathan. "Mana mungkin Bunda nggak memaafkan kamu?"

***

Qeela dituntun oleh Bundanya dan Bunda Fathan untuk memasuki taman pesantren yang sudah disulap dengan dekorasi cantik. Senyum manis belum juga luntur dari wajahnya. Jantungnya bertalu lebih cepat. Merasakan detik-detik kakinya melangkah menapaki rerumputan yang hijau dan segar. Qeela sangat kagum.

Di sampingnya, berjalan Fathan yang diapit oleh Ayahnya dan Ayah Qeela.

"Qeela, lihat ke atas!" perintah Bunda Fathan.

Qeela segera menengadahkan kepalanya. Mulutnya terbuka saat menemukan banner besar bertuliskan, Maukah kamu Qeela menjadi istri halalku?

Secara refleks Qeela menatap ke arah Fathan. "Bund, apa aku—"

"Bunda percaya Fathan bisa menjaga kamu." Sebelum Qeela menuntaskan ucapannya, Bunda Qeela menyela seraya mengusap pelipis Qeela.

Mereka berdua tiba, di altar pavingan yang membentuk sebuah lingkaran. Kedua pasangan itu saling berhadapan. Qeela tersenyum bahagia. Begitu juga dengan Fathan. Waktu seakan berjalan cepat layaknya pergantian peran dalam sebuah pentas. Qeela dan Fathan dikelilingi teman-temannya yang membentuk formasi lingkaran. Mereka semua mengenakan baju putih. Tanpa pernah Qeela sangka, Ustad Fahrur muncul di tengah-tengah mereka.

"Fathan, kamu percaya kalau sekarang Kakek tidak salah pilih?"

Kedua orang tua Qeela dan Fathan tertawa kecil. Sementara Fathan mengulum senyumnya. "Terima kasih Kek."

Dalam situasi saat ini, Ustad Fahrur mengakui dan tidak menganggap memanggil dirinya sebagai 'Kakek' adalah sebuah masalah di depan Fathan dan yang lain. "Ingat, kalian bukan menikah. Kalian hanya saling mengikat. Kakek rasa kamu harus belajar sampai tuntas di sini. Sama halnya dengan Qeela. Pernikahan memang penting. Tapi bangunan rumah tangga yang tidak didasari ilmu akan mudah rapuh. Kakek tidak mau kalian membangun rumah tangga hanya karena fitrah yang kalian rasakan sedang menggebu. Kalian tetap harus belajar. Sampai layak membangun kasih dan sayang." Ustad Fahrur mengeluarkan satu kotak cincin dari balik jas hitamnya. "Ambil dan pakaikan oleh orang tua masing-masing."

Qeela melirik Fathan yang juga sedang melihat ke arahnya.

"Ikuti Kakek." Ustad Fahrur menginterupsi keduanya. "Dengan menyebut nama Allah ...."

"Dengan menyebut nama Allah ...." Qeela dan Fathan mengikuti ucapan Ustad Fahrur.

"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah." Qeela berjanji dalam hati, untuk menjaga dirinya hanya untuk satu laki-laki. Dan laki-laki itu adalah Fathan.

"Dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad SAW Rasul utusan Allah." Fitrah tidak akan mengulur tali untuk melepas Qeela.

"Untuk menjadi pasangan hidup. Dalam kebaikan dunia dan akhirat." Keduanya saling tersenyum.

"Menjalin kasih dan sayang. Seperti Adam dan Hawa, Khadijah dan Baginda Rasulullah SAW."

Bunda Fathan menepis air matanya yang membasahi sudut mata.

"Lillahita'ala."

Bunda Qeela mengeratkan pegangan tangannya kemudian mencium puncak kepala Qeela.

Qeela dan Fathan terdiam ketika kedua orang tua mereka saling memakaikan cincin, Qeela oleh Bunda Fathan. Sedangkan Fathan oleh Ayah Qeela.

Suara tepuk tangan dalam sekejap memenuhi ruang terbuka ini dengan megah. Kalimat tasbih dan takbir menyelimuti kebahagiaan yang dirasakan Qeela dan Fathan. Hari ini, akan menjadi tanggal yang Fathan tandai. Bahwa dirinya sudah mengikat janji untuk mencintai satu perempuan. Dia, Almayra Aqeela Dzakir.

***

Aqeel menyudahi kisahnya mengenai kebahagiaan yang Qeela dapat pada Fitrah.

"Jadi dia nggak menginginkan kebebasan lagi sekarang?" tanya Fitrah.

"Awalnya Qeela menjadikan kebebasan sebagai alasan dia merasa bahagia. Tapi ternyata, bukan kebebasan yang membuat dia bahagia." Aqeel tersenyum sambil mengayunkan kakinya.

"Lantas?"

"Kasih dan sayang. Seperti kata Allah, dalam QS. Ar-rum ayat 21." Aqeel memasukkan buku tebalnya ke dalam tas.

"Aku mengira ... kamu lebih bahagia daripada Qeela," tandas Fitrah.

Aqeel mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu betul. Aku bahagia melihat Adikku bahagia," katanya menambahkan. "Di dunia ini, kita selalu dihadapkan dengan dua pilihan. Menjadi manusia yang taqwa atau ingkar—"

"Jelas aku pilih taqwa," sela Fitrah.

Aqeel meneruskan ucapannya, "Jujur atau berbohong, baik atau buruk, bahagia atau menderita, dan surga atau neraka." Aqeel teringat dengan perbuatannya yang memilih untuk berbohong. "Sampai di hari ini aku sadar, aku banyak belajar, dan banyak menyesal."

Pengakuan Aqeel membuat Fitrah melihat ke arahnya.

"Aku baru sadar, bahwa kebaikan dan keburukan itu ibarat minyak dan air yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menyatu." Aqeel mengambil ancang-ancang untuk berdiri.

Fitrah segera menyelaraskan gerakkan Aqeel. "Aku akan tuntun kamu. Supaya kamu nggak mencampurkan minyak dengan air lagi."

"Terima kasih, Fitrah."

.

.

.

TAMAT

.

.

.

Alhamdulilaaaah plong banget udah menyelesaikan cerita ini, ehehe. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman semua yang selalu setia menunggu dan selalu memberikan komentar positif di setiap babnya.

Semoga cerbung ini tidak hanya menghibur tapi juga memberikan pembelajaran yang membekas. Aamiin ^^

Habis baca ini jangan langsung kabur lho ya! Ayooo corat-coret dulu di komentar ehehe.

Sekalian, Minal aidin wal faidzin ... mohon maaf lahir dan batin.

Semoga kita masih bisa dipertemukan dalam keadaan sehat dengan cerita islamic yang lainnya ya.

Wassalam wr.wb

Salam sayang, @suen_siti (On Ig)

Seguir leyendo

También te gustarán

550K 25.2K 42
Book 1 of Ishq Series. || Highest ranking: #1 in Cousins on 30 Aug 2020|| || Highest ranking: #1 in spiritual on 23 March 2021|| ||Highest ranking: #...
156K 14.3K 33
Story of a surgeon Dr. Zulaid Afandi and a medical student Dr. Inara Ibrahim. Age gap Enemies to lovers Grumpy×sunshine Arranged marriage "What did...
8.1M 343K 52
"I hope you realize you made the worst f**king decision of your life." She could feel his cold icy blue eyes piercing through her soul. "I didn't as...
651K 10.8K 14
On the verge of tears, she smiled. ~~~~~ "I have noticed a thing about you; you don't like being treated like a lady. You prefer being treated with...