CLAIR [Sudah Terbit]

נכתב על ידי AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... עוד

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 16 (a)

2.1K 548 92
נכתב על ידי AryNilandari

Tidak! Tidak! Harusnya ada bekas luka itu. Kesimpulanku tidak mungkin salah. Demi membelaku, Aidan pernah terluka. Terlepas dari kerumitan berita tentang kematiannya, ia masih hidup dan dalam bahaya. Ia melakukan banyak hal untuk menjauhkan kami dari masalah, tapi akhirnya meminta tolong kepadaku. Hanya aku. Esok aku bertemu dengannya.

Tapi kenapa tidak ada parut? Segala teoriku gugur tanpa itu. Tidak! Tidak boleh. Tanganku merabai setiap jengkal tempat tidur. Dengan dua tangan, kupegang wajah Aidan. Kusingkap rambutnya yang luruh menutup mata. Kutelusuri dahinya, alisnya, bergeser ke pelipis kanan dan kiri. Tidak ada bekas luka.

"Kamu cari apa? Kok panik begitu?" Aidan bereaksi. Aku hanya bergumam soal mukanya yang bersih. Tawanya pecah. "Tentu saja bersih. Aku bercukur setiap dua hari sekali. Kamu sampai hafal wangi aftersave yang kupakai, kan? Sering kamu hidu di kamar mandi, juga pada bantal."

Kutelan ludah susah payah. Memandang lekat Aidan yang meringkuk. Tanganku terulur lagi, menyentuh pipinya. "Maafkan aku, Aidan. Sebaiknya kamu istirahat saja dulu. Aku perlu berpikir."

Aidan mengangguk dan memejamkan mata.

"Jangan khawatir. Bagaimanapun situasinya, aku masih menyimpan harapan untukmu. Tetaplah di sini, bersamaku," kataku, lalu turun ke lantai, duduk bersila, mengatur napas. Memanggil Clair yang berkepala dingin.

Kenangan Aidan berparut hanya ada di ruang pakaian. Tidak ada di tempat tidur.

Asumsi pertama: Setelah memiliki bekas luka, Aidan tidak pernah tidur di sini. Mungkinkah? Mengingat waktu kejadian adalah sekitar dua tahun lalu, ia masih kelas 11 dan tinggal di apartemen.

Asumsi kedua: Karena Kei dan River tidak pernah melihat luka dan parutnya, berarti yang terluka bukan Aidan. Bukan Aidan, tapi berwajah Aidan. Begitu mirip, sampai aku tidak melihat bedanya. Artinya, Aidan punya kembaran. Dan kembaran itu mengenalku. Juga membelaku, hingga terluka.

"Di mana Rhea?" Terngiang, namaku disebutnya di tengah perkelahian dengan Armand. Aku telah mengabaikan seruan itu. Kuanggap kenangan yang sudah terkontaminasi khayalan karena Aidan tidak pernah memanggilku dengan nama.

Kembaran Aidan yang menyerukan namaku. Emosi dan kecemasannya bisa kurasakan, memilin jantungku. Ya, Tuhan, aku bahkan tidak mengenal namanya.

Kukeluarkan kotak kaleng dari ransel. Kudekap ke dada. Begitu ada satu kenangan terbukti bukan bersama Aidan, berarti aku harus memeriksa semua kenangan lainnya. Kapan aku bersama Aidan, kapan dengan kembarannya. Memisahkan mereka mungkin tidak terlalu sulit. Aku hanya perlu memeriksa lebih dalam mengandalkan Clair.

Tapi mungkinkah aku memisahkan perasaanku sendiri? Sekian lama, cowok bernama Aidan membuatku jatuh cinta. Citranya ternyata merupakan peleburan dua sosok kembar yang sama-sama berarti bagiku. Tapi perasaanku bukan penjumlahan dari keduanya yang bisa dibagi begitu saja.

Ah, kesampingkan dulu perasaanku.

Sebelum ini, harapan itu bertahan kayak nyala lilin dalam embusan angin, bahwa Aidan masih hidup. Bahwa Bunda Dhias salah mengenali korban. Itu sebabnya ia meminta penyelidikan dihentikan dan mungkin juga mengoreksi berita. Tapi kemunculan kembaran Aidan mengembalikan kenyataan semula. Bukti-bukti polisi tidak bisa diabaikan. Kecil kemungkinan seorang ibu salah mengenali anak sendiri. Pemakaman sudah dilakukan dengan duka mendalam. Bunda Dhias menuntut keadilan hingga penyelidikan berlangsung tiga bulan ini. Walau akhirnya Bunda menghentikannya untuk alasan yang tidak bisa dipahami.

Satu dari kembaran itu sudah tiada.

Satu lagi masih hidup, berkeliaran secara sembunyi-sembunyi, dalam bahaya.

Aku terperenyak. Rasa kehilangan begitu nyata sekarang, seakan kematiannya baru saja diumumkan. Tidak peduli Aidan atau kembarannya. Koyakan baru di dada menyedot udara di sekelilingku.

Megap-megap, aku merayap naik ke tempat tidur. Kupeluk kenangannya. Kubasahi dadanya dengan airmata. Aku menangis tanpa suara. Akan terus begitu kalau tidak ingat salah satunya membutuhkan pertolonganku. Aku tidak mau memikirkan yang mana. Biarkan esok, identitasnya terungkap sendiri.

Masih gemetar, aku menelepon Kei. Sahabat-sahabatnya perlu tahu. Kusemburkan kalimat bercampur sedu sedan tertahan. Sembunyikan duka yang hanya akan melemahkan semangat Kei dan River.

"Slow down, Rhe! Aku enggak ngerti. Coba ulangi. Kembaran siapa?"

"Aidan." Suaraku nyaris lesap.

"Eh, Aidan enggak punya kembaran. Dia anak tunggal. Sebentar. Aku nyalakan speaker phone, biar River ikut bicara. River, Rhea bilang, Aidan punya saudara kembar dan yang luka di pelipis itu kembarannya."

"What? Impossibile!" River membantah. "Sejak kelas 4 SD, aku kenal Aidan dan bundanya. Bertahun-tahun mereka jadi tetanggaku, enggak ada tuh omongan, foto, atau apa pun yang bilang ada kembaran Aidan. Apa lagi masih hidup. Enggak mungkin."

"Nah, kamu dengar itu, Rhe?" kata Kei. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

Terlalu panjang kalau kujawab. "River, kamu bilang, Bunda sangat tertutup, kan? Gimana kalau ini dirahasiakan rapat-rapat?"

"Wah, kalau benar begitu, Bunda berhasil banget. Seluruh dunia sampai enggak tahu. Dari sikap Aidan dan kesepiannya sebagai anak tunggal, aku yakin, Aidan juga enggak tahu punya kembaran. Lagian, di mana dia selama ini? Masa kita enggak pernah ketemu?" River terdengar geli.

"Mungkin pernah. Tapi kita enggak sadar dia bukan Aidan. Mereka pasti identik. Itu satu-satunya penjelasan masuk akal." Lalu kugigit bibir untuk mencegah isak yang nyaris naik lagi.

"Maksudmu, dia muncul di depan kita dan mengaku sebagai Aidan?" Kei bertanya mengambang, sepertinya sambil berpikir.

"Ya," sahutku, melirik kotak kaleng. Kenangan di dalamnya bukan dari Aidan seorang. "Entah kalau di depan kalian, tapi kukira, dia pernah menemui aku. Setidaknya sebelum pelipisnya terluka."

"Rhe, perkelahian di Toko Bandrek itu kita ketahui hanya dari penggalan mimpi dan kenangan yang terkubur. Waktu kejadian enggak jelas. Kamu sedang trauma saat itu. Aku dan River enggak meragukan kemampuanmu. Tapi, otakmu bekerja secara misterius, sulit dipahami buat kamu sekalipun," kata Kei.

"Benar. Mungkin perlu lebih banyak kenangan sebelum ambil kesimpulan," sambung River.

Aku tidak punya energi untuk membantah. Hanya menghapus air mata yang mengalir lagi tanpa kusadari.

Diamku mungkin membuat mereka berpikir. Jeda beberapa saat, sampai Kei tiba-tiba berseru, "Astaga! Adanya kembaran ini bisa menjelaskan banyak hal! Rhe, aku menyebut Aidan Crazy Tangled Octopus bukan tanpa alasan! Itu sejak kelas 9. Gara-gara Aidan sering bikin aku bingung. Bicara begini hari ini, besoknya beda lagi, lalu berkilah. Melakukan ini hari ini, besoknya seperti lupa, terus mencoba ngeles. Persis gurita dengan banyak tentakel yang punya kemauan sendiri-sendiri, lalu saling belit, sambil lari mengeluarkan tinta. Dulu kupikir, Aidan cuma terlalu fokus dengan 5B sampai nge-blank untuk hal lain-lainnya. Tapi itu jadi masuk akal kalau ada kembaran. Mungkin mereka pernah bertukar tempat."

"Oddio, Kei! Aku enggak pernah tahu. Kayak gimana misalnya?"

"Bukan hal-hal serius sih. Contohnya saja, Aidan janji enggak lupa lagi bawa handuk. Besoknya bersikap seolah enggak pernah janji. Bersumpah enggak bakal pernah ikutan Tradisi Potong Tali Sepatu, melarangku ikutan juga, tapi belakangan dia sendiri malah menantang Armand. Oh, aku sebal banget waktu itu. Sampai aku cuekin dia menerima hukuman. Waktu aku tanya, Aidan sendiri kayak bingung, jawabannya suka-suka."

"Aah. Buatku, Aidan selalu sama, teratur, rapi, terencana, dari dulu sampai ... terakhir kami ketemu. Berarti aku enggak pernah ketemu kembarannya."

"Ya, bisa jadi. Aku juga sering enggak ambil pusing dengan out of character-nya itu, selama dia happy dan baik-baik saja. Termasuk waktu pilih Sekolah Tinggi Pariwisata tanpa alasan masuk akal."

"Berarti kembarannya muncul sejak kelas 9?" tanyaku.

"Aku enggak ingat tepatnya, Rhe. Seperti kubilang, aku terima saja keanehan sikapnya," sahut Kei. "Aku malah baru kepikiran sekarang, kapan Aidan tahu punya kembaran? Sejak awal atau baru belakangan? Ini bukan masalah sepele. Pasti bikin shock banget."

"Sejak awal atau belakangan, tetap saja Aidan menutupi fakta itu dari kita." River mengomel. "Bisa-bisanya! Dan selama ini kita ngapain, sampai enggak sadar Aidan punya masalah besar? Selain dengan kembaran, pastinya juga dengan Bunda Dhias. Kasihan, Aidan."

Desahan napas berat. Lalu keduanya berebut bicara. Kenapa kembaran Aidan tidak muncul terang-terangan? Jangan-jangan dialah yang membuntuti mereka belakangan ini? Bukan halusinasi, tapi sosok yang memang mirip Aidan. Apa yang disembunyikan? Siapa namanya? Di mana dia sekarang?

Diikuti spekulasi lebih jauh. Tapi bisa saja yang membuntuti mereka adalah Aidan sendiri. Karena suatu hal, Aidan harus menyembunyikan diri. Sementara yang meninggal karena OD itu kembarannya. Aidan masih hidup! Di mana dia sekarang? Apa sebetulnya yang terjadi? Ini pasti berkaitan dengan penghentian penyelidikan polisi dan dihapusnya nama Aidan dari berita-berita online. Bunda Dhias memegang kunci kebenaran. Sebagai ibu, pasti tahu siapa yang dimakamkannya.

River memekik frustrasi. Kei menyuarakan kekesalannya. "Kita harus memaksa Bunda bicara. Enggak ada cara lain. Aidan atau kembarannya, berutang penjelasan pada kita. Harus kutemukan dia secepatnya!"

Kei benar. Tapi untuk kali ini, aku saja yang mengurusnya. Si hoodie hitam tidak ingin mereka tahu keberadaannya. Pasti ada alasan yang menyangkut keselamatan semua orang. "Gimana dengan Mr. Shai Kiowa?" Aku buru-buru mengalihkan persoalan.

"Dia tidak ada di apartemennya." Kei dan River sudah bertanya-tanya kepada satpam dan tetangga-tetangga unit. Mengaku mencari keluarga yang hilang. Sayangnya, tidak ada yang pernah berhadapan muka dengan orang itu. Satpam pernah berbicara dengannya dari balik pintu, terdengar seperti sudah berumur. Tidak ramah. Menolak diganggu. Kemungkinan lelaki itu tidak tinggal sendiri. Ada anak muda yang suka datang dan pergi, biasanya saat hari sudah gelap. Mungkin anaknya. Sama-sama tidak suka beramah-tamah.

Banyak unit di apartemen itu tidak berpenghuni. Kalaupun ada, mereka cenderung hidup masing-masing, tidak saling akrab, tidak saling mengganggu. Apalagi unit nomor 4 di lantai 1 terletak di sudut yang tidak banyak dilalui orang. Menurut satpam, Shai Kiowa hanya penyewa. Mungkin sudah empat tahunan tinggal di situ. Pemilik aslinya pindah ke apartemen lain yang lebih besar karena memelihara banyak anjing. Pak Satpam tidak tahu di mana, tapi menyimpan nomor teleponnya untuk keadaan darurat.

Sekarang, Kei dan River menunggu di taman apartemen. Ada bangunan kecil semacam rumah panggung yang dijadikan kafetaria. Dari sana, mereka bisa diam-diam mengawasi pintu nomor 4. Berencana akan mencegat Shai Kiowa ataupun anaknya kalau datang.

Aku melirik jam beker di nakas. Pukul 16.50. "Bentar lagi gelap. Maukah kalian menunggu lebih lama?" pintaku. "Jangan lepaskan Shai. Kalau perlu, sekalian makan malam saja di situ."

"Tentu. Jangan khawatirkan kami. Kamu baca saja harian Aidan. Jawaban semua pertanyaan kita mungkin ada di sana," kata Kei sebelum memutuskan hubungan.

Ya, aku tidak khawatir, Kei dapat memanfaatkan situasi ini untuk membangun jembatan hati dengan River. Biar aku saja yang menghadapi buku harian Aidan. Ketakutanku sudah bergeser. Bukan lagi hal remeh tentang siapa RR. Aku takut menemukan kebenaran yang memastikan nasib Aidan dan kembarannya. Tapi aku tidak bisa lagi mengikuti pepatah, what you don't know won't hurt you. Dulu, karena takut terluka, aku memilih tidak mencari tahu tentang Aidan. Pada akhirnya, kebenaran mengejarku, aku tetap terluka, sekaligus melukai Aidan dan kembarannya. Mungkin ini kesempatanku menebus kesalahan.

Untuk pertama kalinya, kupegang diary itu dengan tangan kanan telanjang. Jemariku menelusuri inisial RR yang menghias sampul. Emosi Aidan menyambutku ... lembut. Getaran kenangannya kuat sehingga mudah kubaca secara kronologis, bahkan sebelum kubuka halaman-halamannya.

------------ ke part (b)

המשך קריאה

You'll Also Like

52.1K 8K 40
Dia, Agen Bumi No. 1, adalah agen supernatural garis ganda. Setelah melewati kelahiran kembali, dia tiba-tiba menjadi material limbah turun-temurun k...
408K 36K 37
Buku Ketiga dari empat buku dalam seri T.A.C.T. (Fantasy - Romance) Apa yang akan kamu lakukan saat mengetahui kalau dirimu dijodohkan dengan lebih d...
16.3K 3.5K 47
Credit cover by noisa_art (Instagram) ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperame...