Twins (Who Are You?)✔

By envelopeee_

3.9K 508 962

[SELESAI!] Identik atau tidak, setiap perubahan kecil yang dilakukan bisa berdampak besar. Hal itu berlaku, k... More

[1]-Putih dan Hitam
[2]-Penyesalan
[3]-Arah yang berlawanan
[4]-Itukah kamu?
[5]-Terlambat
[6]-Kompetensi
[7]-Kompetensi bag 2
[8]-14 min 1
[9]-Rantai yang terpasang kembali
[10]-Kejanggalan yang tidak beralasan
[11]-Semakin tidak baik untuk ditunda
[13]-Undo or Redo?
[14]-The Prophet Nabi Ibrahim AS
[15]-Minyak dan Air
TESTIMONI

[12]-Sedia atau Tidak sedia

150 15 43
By envelopeee_

Qeela mencuci tangan di wastafel. Ia izin pada Bundanya dan juga Bunda Fathan. Acara pemilihan baju pengantin sudah selesai namun kedua wanita itu memaksa ingin makan siang terlebih dahulu sebelum mereka berpisah.

"Ini gawat."

Qeela terhenyak. Begitu sebuah suara mengagetkannya dari arah samping. Qeela mendengus saat tahu bahwa pemilik suara itu adalah Fathan. "Jantung gue, lo mau tanggung jawab kalau jantung gue copot?!" sembur Qeela. Qeela menarik selembar tisyu untuk mengeringkan tangannya.

"Kalau jantung lo copot kita nggak jadi nikah, kan?" tanya Fathan. Enteng. Wajah polosnya mengerjap saat ia mulai membasuhnya dengan air.

Qeela memicing marah. "Nyebelin banget sih."

"Jadi gimana?"

"Apanya?" Qeela membetulkan pin yang ia kenakan.

Kedua tangan Fathan bertumpu di sisi wastafel. Tatapannya mengarah pada Qeela di balik cermin besar yang berada di hadapannya. "Lo udah dapet pengganti gue?" tanya Fathan dengan ragu.

Qeela tertawa kecil. "Udah dong. Pengganti lo lebih baik sama perempuan. Dia nggak kasar dan nggak nyebelin." Di akhir kalimatnya Qeela memeletkan lidah.

Fathan terbatuk. "Oh, hahaha. Bagus. Kalau gitu kita bisa cepat selesaiin ini." Fathan menutup kran saluran air yang semula menyala.

Qeela mengangguk. "Mm. Lo sendiri? Gimana?" Kini Qeela yang setengah penasaran. Meski kakinya semenjak 2 menit yang lalu bergetar hebat. Qeela berbohong. Apa yang dikatakannya tidak benar. Ia belum mendapat pengganti Fathan. Acara reuninya yang semalam berakhir dengan penyesalan.

"Nggak. Gue belum dapet pengganti lo," ucap Fathan.

Qeela mengangkat sebelah alisnya. "Serius?"

"Kayaknya nggak ada yang bisa gantiin lo," tambah Fathan.

Bola mata Qeela membesar mendengar pengakuan tersebut. "Fathan ...." Suara Qeela terdengar sumbang.

"Kalau nggak ada yang gantiin lo. Kita nikah aja Qeela." Fathan tersenyum. Jenis senyuman yang biasa ia tebarkan pada perempuan. Dan objeknya saat ini adalah Qeela.

Qeela terdiam sambil memandang Fathan.

"Satu minggu setelah nikah gue bakal ceraiin lo." Fathan terkekeh.

Qeela mencebik dengan bibir menipis sebal. Setelah mengatakan itu Fathan berlalu meninggalkan Qeela. Qeela merutuk dirinya. Memukul kepalanya dengan kepalan tangan. "Bodoh banget ... Qeel! Sadar-sadar ... dia itu Fathan. Orang yang paling nyebelin!"

Fathan kembali duduk di kursinya. Sempat melempar senyum saat matanya berpas-pasan dengan Bunda Qeela.

"Kamu perhatian banget Fathan," ucap Bunda Qeela.

"Ya, Tante?" Fathan tidak mengerti arah pembicaraan Bunda Qeela.

Bunda Fathan menyikut lengan anaknya. "Ngaku aja, habis susulin calon istri kan?"

Fathan meringis, ia paksakan untuk tersenyum. Namun tidak bersuara untuk mengatakan ya atau tidak. "Bund aku ... izin pulang duluan." Fathan meminta restu Bundanya yang asyik tertawa dengan Bunda Qeela.

Kepalanya menoleh. "Lho? Kenapa? kamu mau ke mana?"

"Rico." Fathan menyipitkan matanya. Ia merapatkan kedua tangannya dengan wajah memelas berharap mendapat izin dari Bundanya.

"Hh ... jangan pulang malam ya?!"

"Siap Bunda!"

***

05:15 am.

Fitrah berdiri dengan ragu. Menghadap sofa memanjang yang dihuni oleh Aqeel. Ini sudah lewat 45 menit dari waktu subuh.

Ia sudah menyelesaikan shalat-nya, namun penghuni perpustakaan sekaligus tamunya belum kunjung bangun dari tidurnya. Fitrah ragu haruskah ia membangunkan Aqeel?

"... nghh."

Saat baru saja tangannya terulur untuk menepuk bantal sofa, Aqeel melenguh kecil. Wajah polosnya kembali tenggelam di dalam selimut tebal yang semalam Fitrah berikan tanpa sepengetahuannya. Fitrah tersenyum. "Dia pasti melewati malam yang panjang." Pandangan Fitrah menyapu ke sekitar. Terdapat banyak buku yang berceceran di atas meja. Dari yang tebal hingga paling tipis. Semuanya buku tentang sejarah.

Fitrah sedikit menunduk untuk mengambil salah satu buku. "Mushab bin Umair." Fitrah membaca judul buku tersebut. Buku kedua diambilnya dengan cepat, begitu juga dengan buku ketiga-keempat dan seterusnya. "Semuanya, dia membaca dengan judul yang sama?" Fitrah terkekeh.

"Whoaaaaaa!"

Buku dalam genggaman Fitrah terjatuh. Aqeel terbangun. Dalam sekejap ia bangun dari rebahannya menjadi duduk menjauhi Fitrah. Selimut tebalnya ia gulung untuk melindungi diri. "Sejak kapan kamu di situ?" cercah Aqeel. "Kamu ngapain?!" bentaknya.

Fitrah mengangkat kedua tangannya ke udara. "Aku, tadinya ... syukur-lah kamu udah bangun. Lihat jam."

Aqeel merampas ponselnya. "Astagfirullah ...." Aqeel segera bangkit, tubuhnya yang belum seimbang karena baru bangun tidur nyaris limbun jika ia tidak berpegangan pada sisi sofa.

"Kamu baik-baik saja?"

"Mm ...." Aqeel berlari kecil untuk menggapai toilet. Bunyi pintu yang dibanting cukup keras terdengar setelah Aqeel masuk.

Fitrah tertawa sambil menggeleng kecil. Fitrah meraih selimut yang Aqeel gunakan lalu menggulungnya seperti sedia kala. Buku-buku yang berceceran ia rapikan dengan telaten. Hari ini Fitrah memiliki waktu luang lebih lama karena mata kuliah berlangsung siang hari.

15 menit sejak Aqeel masuk ke dalam toillet untuk membersihkan wajah kumalnya, wudhu hingga selesai shalat, Aqeel dikejutkan dengan keberadaan Fitrah yang belum beranjak dari perpustakaan.

Fitrah menyandarkan kepalanya ke belakang sofa sambil membaca buku tebal yang hampir menutupi seluruh wajahnya. "Sudah?" Fitrah sadar dengan keberadaan Aqeel karena telinganya menangkap langkah kaki seseorang yang berjalan mendekat.

"I—iya."

Fitrah menyingkirkan buku tebal tersebut. kini wajahnya terlihat dengan jelas. Ia menatap lurus pada Aqeel. "Kenapa tidak bertanya langsung pada orangnya, daripada kamu menghabiskan malam yang panjang untuk membaca semua buku ini. "Fitrah mengerling jahil.

Aqeel yang tidak paham mengerutkan keningnya.

Fitrah menunjuk dirinya sendiri. "Aku ... bukankah aku tidak kalah tampan seperti Mushab bin Umair?"

Mulut Aqeel menganga. "Wah ... kamu percayadiri sekali ya." Aqeel mengambil alih buku yang masih dipegang oleh Fitrah. "Bukan ketampanannya yang aku lihat, tapi perjuangannya membuktikan kalimat Asyhadullaa Ilaa ha Illallah—Wasyhaduannaa Muhammad Darrasuulullah."

"Kenapa segala hal tentang kamu membuat aku tertarik?" Fitrah belum mengalihkan pandangannya dari Aqeel.

Aqeel segera menaruh buku tersebut di atas tumpukan buku lain yang dirapikan oleh Fitrah. "Tolong jangan seperti ini," ucapnya. "Terima kasih sudah menolong saya, memberi saya kesempatan untuk tidak meninggalkan ibadah bahkan sampai bermalam di tempat ini. Tapi maaf, saya tidak punya motif untuk—"

"Kalau saya yang memiliki motif itu, bagaimana?" potong Fitrah.

Aqeel menggeleng. "Saya sudah sering mengalami hal seperti ini, sebaiknya jangan. Kalau saya tahu Anda berbuat baik karena—"

"Bukankah menyukai lawan jenis adalah fitrah yang diberikan Allah?" potong Fitrah lagi.

Aqeel menghela napas panjang. "Hanya karena ilmu pengetahuan saya, kalimat yang saya rangkai, atau pembelaan yang saya berikan untuk agama saya, bahkan tulisan yang saya buat. Sudah banyak yang seperti Anda, Jadi, jangan menjadikan fitrah sebagai alasan untuk—"

"Saya tidak seperti mereka." Fitrah kembali menyela.

"Menyukai saya. tolong jangan memotong."Aqeel bergerak mundur saat Fitrah berdiri menghadapnya.

"Terima kasih. Dan Maaf, saya tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Aqeel hendak berbalik untuk pergi.

"Saya pikir kamu adalah orang itu!" teriakkan Fitrah membuat langkah Aqeel terhambat. "Kamu, perempuan yang saya cari dalam setiap langkah yang saya ambil hingga saya ada di titik ini." Fitrah meracau lagi.

"Anda hanya kesepian. Saya hanya kebetulan lewat dalam hidup Anda. Anda pasti tahu, bahkan pertemuan kita sangat singkat." Aqeel berbicara tanpa melihat Fitrah.

Fitrah menggeleng. "Saya tidak kesepian. Banyak perempuan yang melintas dalam hidup saya. mereka meninggalkan bekas berupa tamparan dan cacian. Kamu tahu hal itu, kan? Karena saya tidak bermaksud mempermainkan mereka. Saya tidak menyukai mereka. Tapi kamu, berbeda."

"Saya tidak termotivasi untuk berubah pikiran." Aqeel menghadap Fitrah seraya tersenyum. "Fitrah, jangan pedulikan saya. jangan tertarik pada saya," tambah Aqeel.

Fitrah mengerjap pelan. "Kamu mau tahu? bedanya kamu dengan yang lain? saat banyak perempuan menyuruh saya menyukai mereka, kamu sebaliknya." Fitrah mengulum senyum. "Beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya tidak main-main. Seperti Mushab bin Umair yang membuktikan keputusannya untuk memilih Islam. Karena ia yakin yang dipilihnya tepat. Pun kamu, Saya yakin menyukai kamu adalah pilihan yang tepat." Fitrah menyilang tangan di depan dada.

Aqeel menggeleng tidak percaya. "Ka—Anda, Anda sudah gila!"

Fitrah terkekeh begitu melihat punggung Aqeel berbalik. Aqeel benar-benar pergi. Ia meninggalkan apartemen Fitrah dengan perasaannya yang terguncang hebat.

***

Suasana kantin tergolong ramai meski sebagian mahasiswa belum datang. Budaya mengantre ditekankan di negara ini. Bersama kumpulan orang yang mengantre, Gulam terlihat celingukkan. Mencari temannya yang mungkin terpaut beberapa baris di depannya atau terpaut mundur dari posisinya saat ini?

Gulam terperanjat saat tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahunya.

"Udah sampai aja, nih."—Gio—nyengir lebar menyaksikan Gulam yang kini meringis akibat tepukan keras darinya.

"Bisakah lembut sedikit?" Gulam membenarkan letak tali tas gendongnya.

"Cari Aqeel?"

"Kamu cenayang?" Gulam berkata sewot, ia memilih untuk membelakangi Gio. Spies temannya yang termasuk dalam kategori orang menyebalkan satu dari 40 teman yang satu kelas dengan Gulam.

"Aqeel hari ini nggak ke kantin. Tadi dia langsung masuk kelas," cerocos Gio. Gio menatap dirinya melalui etalase roti padat. Menurutnya, mau bagaimanapun gaya rambut yang ia pakai, ia akan terlihat tampan.

"Saya duluan!"

Gio terkejut saat ia mendapat tepukkan tak kalah keras dari Gulam. Laki-laki itu berlari kencang meninggalkan barisan.

"Ck ...." Gio menggeleng. Sesaat tersenyum senang karena antrean di depannya terkikis berkat kepergian Gulam. Sepertinya Gio harus berterima kasih pada Gulam.

***

Gulam masuk ke dalam kelas. Penghuni kelas di pagi hari masih sedikit, sehingga untuk menemukan Aqeel sangatlah mudah. Gulam melambai tangan. Senyumnya mengembang saat lambaiaanya disambut oleh Aqeel.

"Tumben tidak—"

"Saya nggak lapar." Aqeel menepuk kursi di sebelahnya. "Jadi gimana dengan karya ilmiah kemarin?" tanya Aqeel.

Gulam tersenyum. Tangannya bergerak membuka resleting tas. "Kita dapat cap dan ... tiket pulang!" seru Gulam dengan wajah antusias. "Kamu bisa kembali ke Indonesia untuk 1 minggu ke depan Aqeel." Gulam tersenyum lebar. Ia pikir kabar ini akan menghibur Aqeel namun yang terjadi, mungkinkah sebaliknya? Pasalnya wajah Aqeel berubah suram saat mendengar kabar ini darinya.

Aqeel menatap ke arah lain. Ia tidak bersuara untuk menanggapi sama sekali.

Kak ... gue nyesel tuker tempat sama lo. Lo pulang, ya? Kita balik ke tempat masing-masing.

Permintaan itu terus terngiang di kepala Aqeel. Aqeel harusnya senang, mendapat video call dari adiknya. Entah mengapa ia merasa, kali ini saja, ia ingin egois untuk tidak menjadi Kakak yang baik untuk Qeela lagi.

"Kamu tidak senang ya?"

Aqeel langsung menggeleng. "Tidak. Saya senang. Terima kasih Gulam."

Gulam mengangguk."Sama-sama. Kalau kamu nggak bersedia pulang ke Indonesia kamu bisa ikut saya ke New York."

Aqeel tersenyum. "Terima kasih Gulam."

New York? Bolehkah?

.

.

.

Bersambung

***

Kira-kira, apakah Aqeel akan mengalah lagi pada Qeela?

Kira-kira, apakah Aqeel akan pulang ke Indonesia?

Kira-kira, apa yang akan dilakukan oleh Fitrah setelah ditolak Aqeel?

Jangan lupa vote dan komentar setelah membaca ya! satu dukungan dari kalian sangat berharga. ^^

Salam manis, @suen_siti (On Ig)

Continue Reading

You'll Also Like

8.1M 343K 52
"I hope you realize you made the worst f**king decision of your life." She could feel his cold icy blue eyes piercing through her soul. "I didn't as...
558K 24.4K 41
He was the Man who preferred darkness. She was the Woman who preferred brightness. He preferred Loneliness. She preferred Togetherness. He had suf...
14.3K 1.2K 28
Allah says in the Quran : ── "Women of purity are for men of purity, and men of purity are for women of purity" - This is the story of a girl named f...
344K 15.1K 37
𝑇𝒉𝑒 𝑠𝑡𝑜𝑟𝑦 𝑜𝑓 17 𝑦𝑒𝑎𝑟'𝑠 𝑜𝑙𝑑 𝑅𝑢𝑏𝑎𝑎𝑏, 𝑤𝒉𝑜'𝑠 𝑙𝑖𝑓𝑒 𝑤𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑑𝑑𝑒𝑛𝑙𝑦 𝑐𝒉𝑎𝑛𝑔𝑒𝑑 𝑎𝑓𝑡𝑒𝑟 𝑡𝒉𝑒 𝑑𝑒𝑎𝑡𝒉 𝑜�...