Assassin

Irie77 द्वारा

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... अधिक

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 20

2.7K 403 131
Irie77 द्वारा

"Valen?"

"Velian?" gumamku ternganga.

Tanganku ditarik dengan cepat dan dalam sekejap tubuhku sudah berada dalam rengkuhannya. Aku bisa merasakan nafasnya tak beraturan akibat cemas yang bercampur lega. Aku melingkarkan tangan untuk menerima tubuhnya.

"Aku—merasakan sakit waktu kau terluka," ujarnya. "Kupikir kau—."

"Aku baik-baik saja. Jika aku mati, mungkin kau tak akan membuka mata lagi."

"Aku—nyawaku—benar-benar bergantung padamu."

"Aku sudah berjanji padamu untuk melindungimu bukan? Saat aku mengetahui bahwa kau adalah pangeran ke empat, aku sudah mengabdikan diriku padamu."

Velian melepas pelukannya dan menatapku terutama—pakaianku. "Penampilanmu yang selalu ala kadarnya dan bahkan memakai pakaian pria terkadang membuatku lupa bahwa kau adalah wanita." Dia terlihat gugup dengan menelan ludah. "Kau—benar-benar seperti wanita sungguhan."

Aku tersenyum kaku mendengar penuturannya. "Hey, aku memang wanita sungguhan."

Ia sama tersenyum kaku, namun tak lama senyumnya memudar ketika tatapannya berhenti di satu titik. Aku mengikuti arah tatapannya, yaitu sebuah lencana Putri Mahkota yang terpasang di jubahku.

"Kau berusaha melindungiku dengan segala cara, tapi kau justru malah terjebak dalam posisi bahaya karenaku. Aku—tidak bisa melindungimu." Ia tersenyum masam.

"Semua ini karena kecerobohanku," sahutku. "Aku yang tidak bisa menjaga diri."

"Tidak, semua salahku!" balasnya. "Aku tidak membuat persiapan dengan matang dan membuatmu tertangkap."

Aku menarik nafas panjang. "Baiklah, anggap saja kita berdua salah, dan sekarang aku hanya memiliki waktu tiga hari. Aku—ingin berkumpul lagi dengan yang lainnya sebelum aku benar-benar terpenjara."

"Kami akan menyambutmu dengan senang hati yang mulia."

Keningku berkerut karena perasaan tidak nyaman. "Velian?"

Ia tertawa ringan. "Itulah statusmu saat ini."

"Tolong jangan panggil aku seperti itu," gerutuku.

Aku berkuda bersama Velian menuju tempat tinggal kami yang liar namun nyaman dan hangat. Sepertinya—ini akan menjadi musim salju yang panjang, dan hamparan putih nan suci sudah menjadi hamparan yang luas seolah tak terbatas.

Tak lama, akhirnya kami sampai di mulut goa yang sederhana. Bayangan perapian terlihat dari sulur-sulur tanaman yang menutupi pintu goa. Aku segera mengikat kudaku ke tempat yang aman begitupun dengan Velian.

Aku masuk ke dalam goa dengan antusias sambil berharap sambutan yang hangat. Kedatanganku sontak membuat mereka terkesima namun pada akhirnya mereka menyambutku sesuai bayanganku. Kami—sudah seperti keluarga, apa lagi setelah Liz dan Lavina masuk dalam kelompok kecil ini meskipun dalam satu tubuh.

Senyumku memudar ketika aku mendapati sosok yang sudah berdiri tak jauh dariku dan menatapku tajam, setajam tatapanku padanya.

"Sarah?"

"Valen?" sahutnya sambil menyusuri penampilanku dengan matanya namun tak lama tatapannya terhenti pada lencana yang melekat pada jubahku.

Aku melihat pergerakan tangannya yang sudah menggenggam sebilah pedang miliknya dan bersiap menyerangku, namun tak ada yang menyadarinya. Akupun turut menggenggam pedangku yang sudah tersembunyi di balik jubahku.

Mereka berempat kaget melihat reaksiku dan Sarah yang tiba-tiba adu pedang diluar dugaan.

"Bagaimana kau bisa mendapat kedudukan itu?" Sarah menyeringai sambil bergerak memutar untuk mencari celahku. "Apa karena kau gagal menggoda tiga pemuda yang ada di sini lalu menjual dirimu untuk mendapat kedudukan di istana?"

"Sarah hentikan!"

Gerakanku terhenti ketika Velian menahan tangan Sarah dan menjadi tameng untukku. Zealda sudah menahan tanganku begitu juga dengan Aleea yang memukul pergelangan tangan Sarah agar pedangnya terlepas.

"Benar-benar hubungan yang rumit." Lavina menggelengkan kepala sambil duduk dengan santai lalu menggigit buah apel. Kepribadian Lavina nya keluar dan ia hanya menjadi penonton?

"Waktu itu aku melihat Velian berciuman dengan Sarah, kupikir mereka memang sepasang kekasih. Tapi ternyata—ada cinta segitiga disini," ujarnya gamblang.

"Tidak seperti yang kau lihat!" sergah Velian.

Lavina hanya tersenyum miring kemudian menggigit apelnya lagi. "Oiya? Tapi—kenapa ada percikan api di sini yah?"

"Sudah cukup." Kini Zealda yang bersuara. "Selama ada gadis itu, akan selalu ada percikan api."

"Berhentilah menyalahkannya Zealda," tepis Aleea. "Aku tahu kau tidak menyukai Sarah, tapi kau tidak bisa terus menerus menekannya."

Ada yang berbeda dengan raut wajah Lavina ketika Aleea mncoba membela Sarah, namun dengan cepat ia kembali menyembunyikannya. Ada apa sebenarnya diantara mereka?

"Maaf jika kedatanganku merusak suasana," ujarku sebal sekaligus merasa tak enak. "Lagi pula aku tidak akan lama tinggal disini."

"Apa maksudmu?" tanya Zealda.

"Aku hanya ingin melihat kalian selagi bisa. Aku—sama sekali tidak ingin membuat keributan."

"Ah, ucapanmu terdengar seperti—kau akan merayakan pesta lajangmu untuk yang terakhir." Lavina melempar sisa apel ke perapian.

"Apa kau benar-benar tidak bisa tinggal disini lagi seperti dulu?" Aleea tampak sedih bercampur kecewa.

"Maaf, posisiku saat ini sangat sulit untuk bergerak bebas."

Sarah tersenyum miring sambil memungut pedangnya lalu melemparnya ke tepian. "Baguslah, setelah itu hiduplah bersama putra mahkota dan menjauhlah dari kami."

Aku memiringkan kepala sambil menatapnya tajam, berharap bisa membungkam mulutnya yang pedas.

"Meskipun Valen pergi, aku tidak kan pernah merekrutmu sebagai angggota untuk menggantikannya," jawab Velian pada Sarah.

Senyum Sarah lenyap seketika dan mereka adu tatapan sementara kini gantian aku yang menyeringai. Aku melengos melewatinya untuk meraih buntalan kain yang berisi pakaian lamaku.

"Aku akan berganti pakaian, setelah itu aku akan berburu untuk makan malam."

Aku segera menyendiri untuk berganti pakaian. Nafasku terasa longggar ketika aku melepas korsetku dan memakai pakaian kasual yang sesuai dengan gayaku. Sejenak, aku menatap lencana Putri Mahkota di tanganku dengan risau.

Pikiranku langsung tertuju pada Erick yang sedang berjuang dalam ritual perburuan. Jika dipikir-pikir ini tidaklah adil, mengingat aku yang kabur dari ritual itu dan memilih menggunakan kesempatan ini untuk kembali ke goa.

"Maafkan aku yang mulia." Aku memasukkannya kedalam saku sebelum akhirnya aku kembali.

"Valen tunggu!"

Aku menoleh ketika sosok gadis datang mencegatku. "Lavina?"

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu."

Aku hanya menurut ketika ia menarik tanganku ke tempat yang sunyi. Dari raut wajahnya yang serius sepertinya ia ingin membicarakan hal yang penting.

"Valen," ujarnya mulai berbicara. "Aku sudah tahu siapa pangeran ke empat raja terdahulu."

Aku masih terdiam dan menatapnya serius sambil mencoba menebak apa yang ada di dalam pikirannya.

"Velian," lanjutnya lagi. "Aku—melihat tanda yang sama denganmu."

Mataku melebar terkejut. Aku terkejut bukan karena aku baru tahu bahwa Velian orangnya, tapi bagaimana Lavina bisa tahu bahwa itu adalah Velian.

"Da-darimana kau tahu?"

"Aku tak sengaja melihat bagian tengkuknya waktu aku mengobatinya," jawabnya serius. "Dan—sepertinya Aleea dan Zealda belum mengetahuinya." Ia menghela nafas sejenak dengan raut heran. "Aku tidak menyangka kenapa Velian tiidak mengatakan apapun tentang ini. Kenapa dia harus menyembunyikan dirinya?"

Aku menelan ludah sambil memutar otak. "A-apa—Aleea dan Zealda juga sudah tahu sekarang?" tanyaku ingin tahu.

Lavina menatapku kemudian menggeleng. "Belum. Aku belum memberitahukan hal ini pada siapapun kecuali kau. Mungkin—ada beberapa alasan kenapa Velian tak memberitahukan identitasnya dan aku menghargai itu. Tapi menurutku kau berhak tahu karena kau Shirea-nya. Kau harus tahu siapa orang yang harus kau lindungi bukan?"

Aku merasa sedikit lega dengan penuturannya. "Kalau begitu—akan lebih baik jika kau tidak memberitahu hal ini pada Aleea dan Zealda. Karena kupikir—mungkin Velian menyembunyikan identitasnya karena suatu hal, setidaknya sampai dia memberi izin padamu untuk memberitahukannya."

Ia termanggut-manggut sambil berpikir. "Aku tidak percaya bahwa ini akan menjadi hubungan yang rumit." Lavina mengeluarkan sebotol cairan berwarna hijau daun dengan sedikit taburan serbuk yang terlihat mengambang di dalamnya. "Ramuan yang kujanjikan padamu sudah jadi. Maaf karena terlambat, aku tidak bisa menggunakan sihirku jika tubuh ini dalam kendali Liz."

Aku menerima botol itu dan mengamatinya. "Bagaimana cara kerjanya?"

"Minum itu sampai habis, dengan begitu kau memiliki dua nyawa cadangan. Tapi ingat, ha-nya-du-a. Berhati-hatilah pada kematianmu yang ketiga, karena kau akan benar-benar mati sungguhan. Aku dan Liz sudah sepakat untuk menyetujui rencanamu agar orang-orang di istana percaya bahwa kau tuan putri, bukan Shirea."

"Terimakasih banyak Lavina."

"Sebaiknya kau minum sekarang, selagi ada kesempatan."

Aku mengangguk cepat lalu segera meminumnya. Rasanya sangat pahit hingga aku ingin memuntahkannya, namun Lavina mencegahku untuk melakukannya dan begitu menyiksa saat aku menelannya secara paksa.

"Oh ya, lalu bagaimana dengan Sarah? Apa—dia sudah tahu mengenai hal ini?"

"Ah gadis itu." Lavina menghela nafas. "Sepertinya dia gadis yang rumit. Sarah begitu menyukai Velian, selama di sini hampir setiap hari menempel padanya seperti pasir yang menempel pada kotoran. Tapi—kubiarkan saja karena awalnya kupikir mereka memang sepasang kekasih." Lavina tampak berpikir. "Kurasa—aku harus waspada padanya, terutama Velian. Aku tidak bisa membayangkannya jika Sarah tahu identitas Velian."

Kini aku yang termanggut-manggut. "Tolong lindungi Velian selagi aku tak ada. Meskipun ia tak mudah di bunuh selama aku hidup, tapi—"

"Seharusnya kau yang dilindungi," potongnya. "Kau adalah kunci nyawa Velian, kau harus bisa menjaga dirimu."

Aku menatap Lavina tak percaya. Kukakui Lavina memang sedikit cerewet dan—agak sedikit berandalan dalam berbicara, tapi tak kusangka ia akan begitu perhatian jika sedang serius.

"Aku akan berusaha."

* * *

"Katakan apa rencana kita selanjutnya?" tanyaku sambil menatap perapian dengan sedikit aroma daging bakar yang masih tersisa.

Semua menatapku sambil berpikir. Lavina sengaja mengajak Sarah keluar selama kami berdiskusi, dia—benar-benar bisa diajak kerjasama.

"Aku tidak ingin terburu-buru seperti waktu itu," sahut Velian.

"Tapi aku juga tidak ingin berlama-lama atau aku akan mati duluan." Suasana kembali hening dengan pikiran masing-masing sebelum aku melanjutkan, "Aku akan mencari informasi sebanyak mungkin di istana."

"Tapi itu tidak mudah, kau akan terus diawasi." Zealda masih terlihat bimbang.

"Aku akan berusaha mencari celah."

"Kalau begitu, kami benar-benar harus mengandalkanmu. Kami baru bisa bergerak setelah mendapat informasi darimu." Aleea kembali menatap perkamennya. "Satu-satunya hal yang bisa kami lakukan hanyalah menemuimu diam-diam secara bergilir sampai kau benar-benar menemukan sebuah petunjuk."

Semua mengangguk setuju lalu menatapku.

"Aku akan berusaha semampuku dan berhati-hati."

Kami kembali terdiam dan Aleea segera mengemasi perkamennya setelah mendengar langkah yang mendekat. Sepertinya—Sarah dan Lavina sudah kembali.

"Kita akhiri dulu pembahasan ini." Zealda sudah terbangun dari tempat duduknya untuk meletakan belati yang sedari tadi di tangannya.

Aku sudah bersiap untuk berbaring di tempat tidur ketika mereka datang. Seperti biasa, Sarah langsung duduk di samping Velian sambil merajuk dan mengadu atas apa yang telah dilakukan Lavina, sementara Velian tetap bergeming di tempatnya. Aku membelakangi mereka sambil tersenyum miring, namun kulihat Lavina memegangi kepalanya dan tampak kesakitan.

"Lavina kau baik-baik saja?"

Tak lama ia mengerjap dan menatap seisi ruangan, lalu menatapku kaget seolah-olah aku adalah hantu yang muncul di hadapannya.

"Valen?"

Aku langsung menyadari perubahan sikapnya. "Liz?"

"Kau—benar-benar Valen?" Ia menutup mulutnya yang ternganga dengan mata berkaca.

Aku menarik nafas panjang sambil merentangkan tangan dan tersenyum. "Iya, ini aku."

Liz langsung melompat dan memelukku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis, tapi dia terlihat senang melihatku kembali dan juga terharu?

"Cih, dasar gadis aneh," umpat Sarah namun aku bisa mendengarnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Liz sambil melepas pelukannya. "Kudengar kau sudah menikah, benarkah itu?" Ia mengusap air matanya dengan sedikit berantakan. "Maaf karena waktu itu aku—kalau saja waktu itu aku tidak tertangkap, mungkin kau tetap fokus pada pertarunganmu, dan mungkin kau juga takan tertangkap."

Liz kembali menangis tapi kali ini berlutut di hadapan Velian. "Tolong maafkan kecerobohanku waktu itu Velian. Aku tidak bermaksud membuatnya tertangkap."

Velian menepuk-nepuk punggung Liz. "Aku sudah mengatakan beberapa kali, aku tidak menyalahkanmu."

Aku membantunya untuk berdiri. "Sudah, sudah. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

Liz memelukku lagi sambil sesenggukan. Tubuhnya bergetar akibat rasa bersalah yang berlebihan. Di banding Lavina, ia terlihat rapuh meskipun sebenarnya ia sangat pemberani.

"Velian, aku tak habis pikir. Kenapa kau justru merekrut gadis aneh itu dibanding aku?" Sarah menarik tangan Liz dengan kasar. "Jangan berpura—pura lemah seperti itu, kau lupa kau tadi memakiku sepanjang jalan hah?"

"Valen, dia—siapa?" Liz terlihat bingung.

"Kau mau berpura-pura tidak mengenalku? Padahal aku sudah tahu sikap berandalmu selama seminggu ini, kau masih bertanya aku siapa?"

"Sarah hentikan!" Aku menahan tangannya ketika hendak menampar Liz. "Dia orang yang berbeda."

"Apa maksudmu?!"

"Dia memiliki dua kepribadian. Dan kepribadian yang satu ini—tidak mengenalmu."

Sarah mendengus tertawa. "Velian, aku tidak mengerti kenapa kau justru merekrut orang sakit seperti ini."

"Aku yang menentukan setiap anggota yang masuk." Zealda akhirnya bersuara setelah terlihat jengah. "Velian sudah menyerahkan keputusan itu padaku."

Sarah terlihat kesal lalu menarik tangan Liz dan mendorongnya dengan kasar. Aku langsung memeluk Liz yang tampak tak berdaya dan mendorong Sarah.

"Kau boleh saja membuat masalah denganku, tapi jangan dengannya!"

"Astaga, terjadi lagi," gerutu Aleea. "Sarah sebaiknya hentikan atau kau akan membangkitkan kepirbadiannya yang lain."

"Aku tidak peduli!"

Aku—bahkan Velian, Zealda dan Liz juga ternganga ketika melihat Aleea—menampar Sarah? Setahuku Aleea bukanlah pria kasar yang bisa sembarang memukul orang apalagi wanita, tapi sekarang—ini adalah pertama kalinya aku melihatnya seperti itu.

"Tolong jangan buat keributan di tempat ini atau aku akan benar-benar membunuhmu," geramnya dengan nada dingin.

"Aleea—"

"Velian, kuharap kau segera mengantarnya pulang." Aleea menatap Velian tajam. "Jangan sampai aku melakukan pemberontakan padamu," lanjutnya mengikuti ucapanku tempo lalu.

"Aku tidak akan pergi. Kalian pikir dari mana kalian mendapat senjata-senjata itu kalau bukan dari ayahku. Dan sekarang kalian ingin mengusirku?"

"Aku akan berbicara pada paman Thomas untuk mendiskusikan jumlah pembayaran untuk senjata-senjata ini. Aku akan segera melunasinya."

"Velian, bagaimana kau bisa sekejam itu? Ayahku sudah merawatmu sejak kecil, tapi kau—" Sarah mengepalkan tangannya. "Uang, emas tidak akan cukup untuk membayar waktunya yang telah merawatmu."

"Ya aku tahu. Aku sangat berterimakasih pada ayahmu dan aku takan sanggup untuk membayar jasanya yang begitu besar padaku, tapi berhubung kau mengungkit perihal masalah senjata, aku akan membayar senjata-senjata ini."

Sarah menyeringai dengan tatapan menantang. "Dengan apa kau akan membayarnya?"

"Kami akan mencari uang sedikit demi sedikit," sahut Velian.

"Senjata itu ayah buat dengan sepenuh hati., uang saja tidak cukup. Baiklah aku sendiri yang akan menentukan harganya. Senjata itu harus dibayar dengan emas. Satu buah Dagger seharga satu koin emas murni. Kau memiliki dual Dagger yang berarti kau harus membayar dua koin emas murni, dan aku yakin sekali senjatamu bukan hanya itu. Begitu juga dengan kalian yang juga harus membayar padaku."

"Sudah kuduga kau pasti akan mempersulit kami. Emas murni adalah barang yang sangat mahal." Zealda tampak keberatan.

"Terserah apa pendapat kalian, tapi aku tidak akan menurunkan hargaku. Dan lagi, aku hanya memberikan waktu selama seminggu. Jika dalam waktu satu minggu kalian belum melunasinya, kalian harus menerimaku sebagai anggota."

"Dasar gadis licik!"

Sarah tersenyum miring mendengar serapah Zealda sementara Velian masih tampak berpikir. Namun aku ingat pada satu hal, aku pernah membawa beberapa batang emas waktu aku pulang ke rumah sebelum akhirnya di kepung.

"Baiklah aku setuju!" tukasku cepat. "Velian memiliki lima senjata, Zealda punya dua, Aleea juga punya dua. Aku sendiri juga mendapat tiga senjata dari paman Thomas. Berarti total semua menjadi dua belas koin emas murni bukan?"

Aku segera menggali jerami yang sudah menjadi tempat tidurku, aku ingat pernah menyimpannya di sana bersama sekotak cincin. Ini dia! Emasnya sama sekali tak tersentuh, tapi aku hanya membawa lima batang emas.

"Ini," aku menyodorkan tiga batang emas sementara yang duanya lagi sengaja kusimpan. "Kuarasa ini lebih dari cukup."

"Valen, aku tidak mengizinkanmu untuk hal ini."

Aku tidak menggubris ucapan Velian sama sekali. "Emas ini adalah murni. Aku tidak tahu berapa beratnya, tapi yang jelas satu batang emas ini lebih berat dari lima koin emas. Ambillah!" Aku menarik tangan Sarah agar menerimanya. "Dengan begini, semua senjata kami lunas."

"Wah wah, kedudukan tuan putri memang membuatmu bisa melakukan banyak hal dengan harta." Sarah tampak tak suka.

"Itu bukan harta dari istana, tapi peninggalan dari keluargaku. Aku sudah lama membawanya dan disimpan di sini untuk berjaga-jaga."

"Valen, aku tidak ingin kau menggunakan harta milik keluargamu." Velian masih keras kepala.

"Apa kau sanggup membayarnya sampai batas waktu yang ditentukan?" tantangku gemas. "Jika nanti dia masuk ke kelompok ini karena kau tak mampu membayar, aku akan keluar dari kelompok ini secara resmi."

"Valen!" Velian nampak tak percaya dengan ucapanku.

"Terimakasih atas bantuannya Valen." Zealda menepuk bahuku namun menatap tajam kearah Velian. "Aku akan berusaha untuk mengganti emasmu."

Aku bisa melihat Sarah mengencangkan rahangnya sambil menggenggam emas di tangannya. Aku tahu sebenarnya yang ia inginkan hanyalah masuk dalam kelompok ini, namun Zealda menolaknya.

* * *

Tak terasa, tiga hari begitu cepat. Hari ini aku sudah harus kembali ke hutan Stigrum. Rasanya masih terasa berat untuk meninggalkan tempat ini, tapi—berkat kehadiran Sarah perasaan berat itu berkurang. Aku masih merindukan mereka meskipun sedikit terkoyak oleh kehadiran gadis yang satu itu.

"Valen, kau sungguh-sungguh akan kembali ke tempat itu?" Liz merajuk sambil meremas sejumput jerami.

"Aku harus pergi Liz," sahutku sambil merapikan gaunku lalu segera memakai jubahku dengan lencana yang sudah terpasang di sana. "Sampaikan ucapan terimakasihku pada Lavina."

"Valen, kau yakin dengan ini?" Zealda tampak cemas.

"Seperti yang sudah kita sepakati," ujarku tersenyum tipis. "Jaga diri kalian baik-baik."

"Kau juga harus menjaga dirimu baik-baik Valen." Kini Aleea yang terlihat cemas. Ia menepuk bahuku dengan tatapan khawatiir.

"Kalian tidak perlu khawatir."

Aku memacu kudaku perlahan setelah berpamitan pada semuanya, Velian juga sudah siap dengan kudanya untuk mengantarku hingga perbatasan. Kami memacukan kuda meninggalkan tempat tinggal kami dengan berat hati terutama hatiku.

"Kenapa kau sedari tadi diam yang mulia?" tanyaku pada Velian.

"Yang mulia," gumamnya hambar lalu tersenyum miring. "Seharusnya itu panggilan untukmu."

"Tapi tetap saja, kau seorang pangeran yang sah. Aku hanyalah pelindungmu."

"Tapi kau menikah dengan putra mahkota," sindirnya tapi terkesan lebih cenderung berbicara pada diri sendiri. "Seharusnya kau adalah milikku."

Aku memiringkan kepala sambil mencerna ucapannya. "Ya kau benar. Kita terikat sesuatu yang membuat nyawaku terikat dengan nyawamu, itu sama saja nyawaku juga milikmu."

Kudaku meringkik ketika Velian merubah posisi kudanya melintang untuk menghalangi laju kudaku. Aku terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba namun mataku tak bisa lepas dari tatapannya yang seolah-olah ingin marah padaku tapi juga kecewa pada dirinya sendiri.

"Ada apa?" tanyaku ingin tahu.

"Bisa kau turun dari kudamu sebentar?" jawabnya sambil menuruni kudanya.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menuruti perintahnya. Aku segera turun dari kudaku tanpa tahu apa-apa, dalam sekejap Velian menarik tanganku dengan kasar dan membenturkan punggungku ke batang pohon. Mataku melebar ketika ia mengecup bibirku lembut.

"Velian?"

"Apa kau lupa dengan ucapanku waktu itu? Kau harus menjadi milikku."

Aku hanya terdiam mendengar kalimatnya yang terdengar posesif dan sepertinya aku memang pernah mendengar ia mengatakannya.

"Ini adalah kedua kalinya," ujarnya terdengar jujur. "Dan ekspresimu masih sama?"

Keningku berkerut heran. "Dua kali?"

Kini ia yang tampak tak percaya dengan kalimatkku. "Kau tidak ingat ciuman pertama kita saat kau terluka dengan tangan patah?"

Pikiranku berputar dengan cepat untuk mengingatnya. "Jadi itu sungguhan? Kupikir—kupikir itu hanya mimpi."

"Apa selama ini kau menganggapnya mimpi?"

"Waktu itu kupikir aku—hanya mimpi aneh karena kondisiku yang sedang sakit. Sejak saat itu—aku selalu memikirkannya tapi kurasa itu tak mungkin dan—itu hanya—"

Kalimatku terputus oleh kecupannya. Meskipun hanya sedetik namun mampu membuatku bungkam.

"Valen," bisiknya. "Itu adalah nyata dan aku juga nyata. Aku tidak ingin hanya menjadi mimpimu sedangkan pada kenyataannya aku ada disini, menginginkanmu menjadi milikku secara nyata."

Jantungku terasa sepertii ingin lepas dari tempatnya. "Ve-Velian."

"Sebelum momen ini berakhir, aku ingin kau merasakannya secara nyata."

Aku masih terdiam ketika ia menciumku lagi namun kali ini lebih lama, membuatku menuruti kata-katanya untuk merasakannya dengan benar, seperti yang dia inginkan. Tanda di tengkuk leherku terasa hangat dan membuatku merasa nyaman.

Pikiranku melesat pada malam ketika aku terluka waktu itu. Velian menciumku dan rasanya sama-sama membuatku mabuk seperti sekarang. Akal sehatku memintaku untuk segera mengakhirinya namun rasa ini membuat darahku berdesir dalam rengkuhannya.

_______To be Continued_______

Malam semua.. ^^ Maaf upnya malem banget disaat kalian udah pada mau tidur.. T_T Makasih banget yang udah nunggu dengan sabar.. :)

Jangan lupa tinggalkan jejak sob dan makasih banyak buat suportnya.. ^^

Next up Sabtu atau Minggu.. ^^

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. :*

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

350K 20.3K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
10.2K 1.2K 46
"Mereka menembak saudariku, ayahku, ibuku, para pelayan setiaku, dan aku sendiri." Tsarevich Alexei Nikolaevich - [Juli 17, 1918]. . [Fiksi-Sejarah M...
34.8K 7.5K 51
[ Daftar Pendek The WattysID 2021 - Nominasi Pemenang ] Gadis itu sudah mati, pria itu masih hidup. *** "Jadi, Anda ini apa? Anda semacam dewi? Pe...
1.3K 281 30
Berawal dari aku yang menemukan tempat misterius di dalam rumah baru karena mendengar suara-suara indah, membawaku menuju dunia peri yang mengerikan...