RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

115K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 08 - I H S A N (2)

5.4K 971 203
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 29 Mei 2019 (BAB 8)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 08 - I H S A N (2)

***

Bismillahirrahmanirrahim.

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

"Kamu jangan sering-sering kayak gini, Trid," kataku sambil memeluk Fathan dalam gendongan. Sementara Astrid sedang duduk di kursi tunggu pasien pada koridor rumah sakit. Dia menyusulku begitu sampai menjelang sore aku belum juga pulang. Aku janji padanya hanya pergi sampai tengah hari. Makanya dia kaget waktu aku mengabari sedang di rumah sakit dan dia maksa, banget, ingin menyusul.

"Aku takut kamu bohong."

"Bohong kenapa?" aku sedikit menimang karena Fathan hendak terlelap, "Nggak baik Fathan dibawa ke sana-sini kalau cuaca lagi seperti ini."

"Sekalian kamu periksain kepala," aku merasa ada yang berubah dari sikapnya. Protektifnya padaku sedikit janggal. Wajahnya seperti tidak tenang. Matanya mengerjap sebentar, "Aku takut kamu bohong bilangnya nganter orang ke rumah sakit, terus kalau tahu-tahu ternyata kamu sendiri yang lagi check up, atau berobat karena ada sakit yang masih nggak kamu akui ke aku. Khawatir tahu nggak," nada bicaranya ketus. Malah tanpa menatapku. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Aku menghela napas sedikit tak setuju. "Kalau aku kesakitan, kamu orang pertama yang aku kasih tahu."

Dia seperti tidak percaya dengan omonganku. Jangan bilang kalau badainya akan pasang.

"Iya, sebelumnya aku memang nggak berani bilang," aku berusah memperjelas, "Tapi setelah semua ini aku nggak akan nyembunyiin apa-apa lagi."

Astrid masih terlihat aneh ekspresi wajahnya.

"Kamu kenapa?" tanyaku. Dia yang sekarang bukan seperti dia yang tadi pagi mencium pipiku sebelum aku berangkat.

Lalu kepalanya mendongak padaku, "Kamu bisa nggak sih jangan terlalu sering melibatkan diri dengan kesulitan orang lain?"

Aku menangkap kilatan aneh di matanya.

"Ingat ya, Mas. Terakhir kamu nolongin orang, yang kamu dapat itu getah. Kita itu di negeri orang. Semuanya asing. Apalagi kamu bilang baru aja kenalan sama kakek itu. Kita nggak tahu dengan siapa kita berurusan. Sama seperti waktu kamu nolongin cewek yang mau dijual itu."

"Terus menurutmu kalau aku membiarkan kakek itu terkapar di lantai, sementara aku hanya menonton, itu lebih baik?"

"Ya kayak yang di kafe cuma kamu doang."

"Di sana hanya aku yang sedang ngobrol sama beliau."

"Dan kakek itu pingsan bukan karena kamu, oke?"

"Kamu kenapa, sih?"

Dalam sekejap percakapan kami menegang. Aku merasakan ada api yang memercik pada kalimat yang Astrid lontarkan. Nada bicaranya bergetar. Anehnya, tiba-tiba dia menutupi wajahnya dengan tangan seperti sedang sangat stres. Lalu, lebih aneh lagi, dia malah menangis. Kemudian dia berdiri dan hendak mengambil Fathan dariku. Aku mundur selangkah.

"Aku nggak akan ngasih Fathan kalau Mamanya lagi kayak gini," kataku sedikit impulsif. Dan dia tidak berusaha mengambilnya lagi. Mengelap matanya sembari berpaling. Sekarang aku yang bingung.

"Kamu kenapa?" aku bertanya sepelan mungkin.

Dia malah menggeleng. Pada situasi seperti ini aku tahu sifat perempuannya sedang sangat dominan. Egonya sedang mengajakku untuk menebak-nebak apa yang dia mau. Satu tendensi yang aku tahu dia sedang memintaku untuk menjadi pembaca pikirannya. Sayangnya, untuk urusan ini, aku bukan pakarnya.

Dan aku kesal kalau dia mulai pergi begitu saja.

"Ke mana?" tanyaku dengan suara yang sedikit diserukan.

Aku berdecap heran. Kenapa hanya berselang beberapa jam aku pergi, dan dia sudah berubah seperti ini. Aku pernah beberapa kali menghadapi dia yang seperti ini sebelumnya. Tapi, ayolah, Trid. Jangan sekarang.

Aku membetulkan posisi Fathan dalam gendonganku. Kusembunyikan dia di dalam mantelku yang panjangnya sampai di atas lututku. Kupastikan tidak ada suhu dingin yang menyentuh kulit tipisnya. Jadi Fathan hanya terlihat kepalanya saja yang menyembul dari kerah mantel hangat di dadaku. Sudah nyenyak.

Aku mengikuti Astrid dari belakang. Dia berhenti di dekat jendela besar koridor rumah sakit. Mengelapi pipinya menghadap ke luar. Aku tahu ada keinginan Astrid yang belum aku mengerti di sini. Atau paling tidak ada satu masalah yang sedang dia hadapi. Dan seperti yang aku bilang tadi, aku bukan pakarnya dalam menerka-nerka apa maunya Astrid.

Aku berdiri saja di sebelahnya. Ikut menghadap kaca jendela. Tidak mengajaknya bicara kecuali dia sendiri yang mau bersuara lebih dulu. Karena berdasarkan pengalaman, ketika aku yang berbicara lebih dulu ketika dia sedang seperti ini, itu sama saja aku seperti sedang memberi makan ego perempuannya. Ya sudah, kubiarkan dia menangis. Meski aku tahu gayanya yang tak pernah mau menampakkan wajah menangisnya padaku. Selalu dihadapkan ke sisi lain.

Tapi Fathan pengertian. Di tengah keheningan Ayah dan Ibunya dia tiba-tiba menggeliat dan mengeluarkan suara khasnya yang sedang ngelilir. Aku lalu berdesis sambil menimang sedikit. Aku memeluknya. Meletakkan kepalanya pada leher hangatku sehingga aku bisa lebih mudah mencium kepalanya atau berdesis lagi. Dan itu membuat Astrid berhenti menjadi aneh.

"Kalau kamu ingin aku tidak merahasiakan apapun. Setidaknya kali ini beri aku contoh untuk tidak bersikap diam kalau ada masalah," aku tidak tahan diam saja untuk sekarang. Kukatakan itu sambil memeluk Fathan. "Tolong jangan ulangi lagi."

"Kamu ngerti, nggak?" ucapnya sambil memutar badan menghadapku. Matanya memerah. Aku menyesal menjadi yang pertama kali bicara. Sekarang egonya seperti diberi makan. "Aku berusaha tegar banget ngadepin ini semua," suaranya bergetar.

Kalau bisa aku ingin membuka dadaku agar angin dingin masuk dan menahan gejolak apa saja yang lekas menyala.

"Aku nggak main-main datang jauh-jauh ke sini, Mas! Dari Indonesia ke sini. Nerabas izin dari keluarga cuma buat siapa?"

Aku tidak gentar menatap matanya. Kalau aku menunduk justru dia semakin maju emosionalnya.

"Aku tahu, salah bawa Fathan ke mana-mana. Tapi bisa nggak kamu jangan melihat ini dari sisi itu saja?"

Aku menelan ludah mendengar itu. Tempo napasku mulai berubah.

"Aku khawatir. Demi Allah. Yang aku minta cuma satu. Tolong jangan banyak libatkan diri dengan orang asing. Terutama jangan jadi heroik dulu. Setidaknya sampai situasinya yang sedang kamu hadapi selesai. Bukan aku nggak senang kalau kamu baik ke siapa saja. Tapi lihat sekarang. Kamu belum bisa menyembuhkan masalah psikismu. Disertasimu perlu dituntasin. Kamu masih harus ketemu banyak narasumber. Sekarang kalau kamu malah terlibat sama orang asing, yang kamu sendiri nggak tahu kontak keluarga yang harus dihubungi siapa. Ngerepotin kamunya, kan? Makin nambah, kan, masalahmu? Siapa yang mau bayarin pengobatannya?"

Aku mengangguk sambil memejam. Kuiyakan saja supaya Astrid bisa mereda dari pada terus kulayani bicaranya atau ini akan makin ke mana-mana. Meski aku bisa menjelaskan padanya kalau ada asuransi yang akan menangani Josh. Karena anehnya pihak rumah sakit sudah mengenal Josh seolah beliau sering ditangani di sini.

"Masih ada orang lain, kan?"

"Iya," intinya saat ini aku hanya ingin mengiyakan saja. "Sekarang kamu maunya apa?" kukatakan dengan pelan, "Mau pulang, ayo. Kita tinggalkan saja kakek itu. Kita lupakan beliau, seolah tadi ketika aku ingin menolongnya bukan karena aku teringat Abi dan almarhum Ayahmu. Ayo, pulang."

Seketika itu ekspresi wajah Astrid meredup.

"Ayo pulang," aku menantang kalimatnya sekali lagi.

Dan Allah ikut campur pada saat yang tepat. Seorang perawat perempuan yang sepertinya dari tadi sedang mencariku datang.

"Aku sudah mencari-cari. Tuan Josh menanyakanmu. Dia sudah terbangun dari tidurnya," kata perawat itu.

"Segera ke sana," jawabku. Perawat itu mengangguk dengan senyum letihnya lalu pergi.

Alih-alih aku mengikuti perawat itu, aku justru hendak melangkah ke arah yang berlawanan.

"Kamu mau ke mana?" sergah Astrid.

"Kamu nggak mau aku di sini, kan?"

Dia tidak bisa menjawab.

"Di sini ada perawat yang menjaganya. Dan sepertinya yang kutolong ini bukan orang miskin sebab orang rumah sakit langsung mengenalinya. Mereka juga tahu harus menghubungi siapa. Lalu dari pada kamu makin nggak jelas, meluap-luap untuk alasan yang cuma bikin aku merasa berdosa hanya karena melakukan sesuatu yang baik, atau kalau aku tetap di sini dan istriku akan terus khawatir, lebih baik aku yang ngalah."

Saat itu juga tatapan Astrid sangat lurus dengan mataku. Berlinang. Bibirnya yang terkatup bergetar-getar menahan diri. Hidungnya kembang kempis berangsur memerah. Dia kesal sendiri atas caraku yang agaknya berhasil membalikkan emosinya. Aku tahu dia sedang kalah. Aku juga tahu dari wajahnya dia masih ingin menjelaskan sesuatu dan ingin memenangkan perspektifnya.

Tapi aku tidak bisa menahan diri melihat dia yang seperti itu. Aku mendekat padanya. Kupegang belakang kepalanya sampai aku berhasil mencium dahinya. Seperti pawang yang hendak menaklukkan gejolak bisa pada kobra dengan mengecup lekukan kepalanya. "Udah," bisikku saat menariknya sampai Fathan berada dalam apitan pelukan kami. Aku memberinya kesempatan menangis beberapa saat lagi. Dan aku bisa menyadari itu bukan tangisan sedih atau kalah. Tapi karena sesuatu yang belum bisa dia jelaskan padaku.

***
***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Astrid Pramesti]

Pada akhirnya susah bikin Sultan untuk nggak bersikap baik ke orang lain. Bahkan jika itu memang orang yang baru dia temui.

Aku nyerah untuk kali ini. Berusaha nahan diri dari semua informasi yang telah kudapat dari Ayaz pagi ini. Kuturuti apa maunya Sultan.

Sekarang aku sedang duduk di kursi empuk yang ada di sudut kamar pasien sambil menggendong Fathan yang sudah terbangun. Menyaksikan Sultan yang lagi ngajak ngobrol Tuan Josh dari tepi tempat tidur pasien. Tapi jujur, ya, aku suka kesengsem kalau sudah denger Sultan ngomong pakai bahasa inggris. Dia sudah dapat aksennya.

"Ini tidak merepotkan, sama sekali," katanya.

"Aku mungkin sudah membuat istrimu mengkhawatirkanmu."

"Khawatir adalah asap dari hati yang matang dipanggang sempurna oleh cinta. Aku justru takut kalau sampai dia tidak mengkhawatirkanku."

Masih sempet nggembel coba.

Tuan Josh terkekeh lirih. Lalu ketika mereda dia berkata, "Bagaimana kau bisa begitu peduli padaku?"

"Mungkin karena aku tidak punya urusan lain."

"Bukannya kau bilang akan menemui beberapa orang untuk wawancara? Atau karena aku lalu kau membatalkannya?"

Sultan tersenyum, "Bukan. Narasumberku yang tidak bisa datang. Gadis kecilnya terdampak cacar. Dan dia minta dijadwalkan ulang."

"Aku berterimakasih," ucap kakek itu setelah terdiam. "Setidaknya aku bisa mengenang ini apabila tidak ada ulang tahun untukku lagi tahun depan."

"Kenapa kau sangat yakin tidak ada ulang tahun lagi?"

"Tubuhku sudah menyerah padaku. Aku tahu itu."

"Kenapa?"

"Atau mungkin aku yang sudah kelelahan untuk hidup."

"Ingat kalimat terakhirku sebelum kau pingsan?" kata Sultan. Aku nggak tahu apa yang mereka obrolkan sebelum insiden.

"Hati seperti tubuh yang bisa merasa lelah dan bosan," Tuan Josh menjawab.

Sultan mengangguk, "Mungkin hatimu yang sedang lelah, bukan tubuhmu. Dan apa yang terjadi kalau hati merasa lelah dan bosan?"

"Apa? Aku ingin kau bercerita lagi."

Sultan memasang mode terapis tassawufnya. Aku tahu itu tanpa dia sadari. Gestur tubuhnya berubah menjadi terkesan lebih ramah. Aku tahu arti tatapan itu. Aku tahu cara garis senyumnya yang berubah menjadi lebih halus. "Karena hatimu adalah singgasana dari iman yang kau miliki. Kalau hatimu kelelahan, menjadi rapuh, atau bahkan menjadi gelap, semakin tertutup oleh apa saja yang menyebabkannya, maka iman akan resah. Dia tidak nyaman di dalam sana. Cahayanya tertutupi. Sementara asupan makanan kesukaan ruh adalah iman. Bagaimana ruh kita akan kenyang dan tenang kalau makanannya tak sehat?"

"Iman tak sehat maksudmu? Oh, aku mengerti."

"Aku mengqiyaskan begitu," kata Sultan, "Josh, aku bukan manusia yang saleh. Tapi aku tahu bagaimana cara memulainya. Setidaknya aku pernah memulai perjalanan imanku sejak mantap bersyahadat ketika saat itu."

"Kau harus lebih banyak bercerita."

"Itu kenapa aku menuliskannya ke dalam beberapa buku. Aku ingin tahu sejauh mana perjalananku dan apa saja yang sudah aku dapat."

"Berharap kau punya salinannya dalam bahasa inggris."

"Aku punya yang dalam bentuk fail. Kau bisa memilikinya kalau kau mau."

"Kau bercanda? Semua tutur katamu membuatku percaya begitu saja padamu. Akan kubaca. Mataku masih bisa diajak kompromi."

Sultan terkekeh.

"Tapi kau boleh menceritakannya sedikit. Setidaknya ini berharga jika aku diceritakan langsung oleh penulisnya."

"Baiklah. Selagi menunggu salju reda."

Tanpa sadar bibirku tersenyum. Sultan tidak pernah berhenti membuatku bangga dan kagum. Tentu aku jadi ingat bagaimana saat dulu, ketika kami masih remaja, memulai segalanya di pesantren itu. Sampai kapan pun dia akan menjadi Samsulku. Aku melihat wajah Fathan yang sedang anteng dari tadi. Aahh, kamu wujud dari betapa bangganya Mama punya Ayahmu, Nang. Sosok tak sempurna yang tak pernah berhenti bergerak meraih apa saja yang jadi keyakinannya.

"Aku memulai perjalananku dari hal-hal yang paling sederhana dan mendasar," Sultan membuka.

"Kau tidak berhijrah artinya?"

"Tentu itu bisa disebut berhijrah. Hanya saja aku tidak pernah menyiarkan hijrahku ke siapa pun. Malah aku tidak pernah menamai itu sebagi aksi hijrah. Aku ingin hal ini biar menjadi urusanku dan Tuhan. Ini yang sering luput dari mereka yang melabelkan dirinya sebagai penghijrah."

"Maksudmu?"

"Aku memberangkatkan diriku yang tak tahu apa-apa ke arah yang sekiranya bisa membuatku tahu akan sesuatu. Tahu bukan sekadar tahu, tapi juga berusaha memahami hakikat yang sebenarnya dari beragama."

"Teruskan. Aku menyimak."

"Kau tahu tidak? Aku sudah mengamati ini. Ada kekuatan besar tak kasat mata yang sedang bergerak diam-diam menyentuh hati manusia secara masif. Dan itu semakin kentara sejak tahun 2014, dulu sekali. Kau mungkin akan bisa merasakannya dengan sensitifitas metafisik yang dimiliki ruhanimu. Kekuatan dari sesuatu yang tidak maujud. Entitasnya tak terlihat. Kau tahu itu apa?"

"Kau lebih tahu."

"Tuhan yang lebih tahu, itu kenapa aku diberi tahu oleh Kemurahan-Nya," Sultan terkekeh kecil, "Ya, itu pergerakan yang mereka namai sebagai 'hijrah'. Mundur sebelum tahun itu, ruhani manusia terlihat gersang. Ihwal religius tidak semarak sekarang. Zaman mulai semakin canggih sejak saat itu. Aku tidak menjamin ini benar, tapi aku merasa Nur Muhammad sedang memasuki era baru dalam menyentuh kesadaran umat manusia.

Misal, era android telah meniup peluit serangan jenis baru dari syaitan kepada manusia. Modernisasi. Itu era baru peperangan iman manusia dengan fitnah duniawi. Kenikmatan dunia yang semakin pesat menurut opiniku dimulai sejak saat itu. Kau sebut saja, sejak android masif jangkauan manusia semakin luas. Gerbang virtual telah dibuka. Era itu telah memenggal batasan komunikasi. Akses-akses yang tidak dibenarkan lebih mudah lagi untuk dijangkau oleh manusia. Misal saja perjudian yang awalnya hanya ada di meja-meja, kemudian mulai memasuki dunia maya yang semakin mudah dijalankan oleh siapa saja para pelakunya. Sebut saja perjudian online sekarang.

Lalu aku juga menjadi saksi untuk yang satu ini, mengenai prostitusi. Di negaraku ada beberapa titik lokalisasi. Untungnya, ada beberapa pemimpin daerah bertangan dingin yang berani tanpa segan menumpasnya. Sebagian pelakunya ada yang kembali ke jalan yang benar. Namun sebagian yang lebih besar lagi, justru mereka seperti ikan kekeringan yang terus mencari sumber mata air baru. Sampai datanglah era teknologi virtual yang semakin canggih, itu kolam barunya. Mereka bermigrasi dari transaksi syahwat di gubuk kumuh dengan bayaran tunai, ke transaksi syahwat secara virtual dengan pangsa pasar hidung belang yang lebih elit dengan metode bayar virtual pula dan dengan nilai bayar yang lebih gila. Ibaratnya transaksi syahwat dalam gubuk-gubuk itu seperti recehannya saja, sementara uang kertasnya beredar di atas kasur busa bintang lima dengan per yang melenakan. Itu permisalanku.

Jangan buat aku mulai membicarakan ihwal barang konsumtif haram. Di era yang segalanya mulai serba canggih, lini drugs juga semakin mengencangkan pergerakannya. Contohnya minuman keras, mariyuana, dan narkoba, pasar mereka semakin luas dan cerdik. Kurva harga lini ini bergerak menanjak. Pengedar yang berada di Tiongkok misalnya, bisa bertransaksi dengan pengedar yang ada di pelosok desa di Indonesia. Mereka menyamarkan dan menyelundupkan dengan cara apa saja.

Di waktu yang hampir bersamaan, kaum dengan orientasi seksual menyimpang terkompori oleh syaitan untuk lebih berani menunjukkan eksistensi mereka. Beberapa negara mulai melegalkan pernikahan sejenis. Bahkan di negaraku mereka sudah tidak malu untuk turun ke jalan dan manuntut legalitas. Bahkan yang lebih memprihatinkan, kaum seperti ini malah ada yang menjadi selebritas. Lalu terjadi salah paham, bahwa sebenarnya bukan berarti absolut kita membenci dan ingin menentang para pelakunya, tapi yang jauh lebih penting untuk ditentang adalah perilaku menyimpangnya itu sendiri.

Kemudian, tren idola semakin tak terbendung. Perempuan atau pun laki-laki sudah menjadi seakan-akan lumrah ketika mereka berteriak lantang mengagumi idola-idolanya. Tanpa mereka sadari bahwa itu salah satu dampak modernisasi.

Alam mulai terabaikan karena manusia mulai teralihkan pada hal-hal baru. Di desaku sudah tak ada lagi bocah-bocah kecil yang pergi ke sawah mencari sarang burung atau berburu jangkrik untuk peliharaan. Mereka sibuk bertarung dengan permainan di gawai canggihnya. Di waktu yang bersamaan, hampir semua orang menghabiskan waktunya lebih banyak dengan media sosial.

Tidak sampai sana saja, masih banyak yang bisa dikupas, Josh, dari perubahan era kehidupan ini.

Lalu apakah setelah semua perubahan modernisasi yang mendampak pada kehidupan manusia lantas aku menolak atau bahkan menentang modernisasi itu sendiri?

Tentu tidak, Josh. Karena itu yang memang seharusnya terjadi. Modernisasi. Kenapa? Karena alur kehidupan ini bergerak maju. Sudah menjadi hukum alam atau sunatullah atau sistem kehidupan bahwa yang lama akan tergantikan oleh yang baru. Yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana semua itu berdampak dan tentang bagaimana manusia mempersiapkan persenjataan dirinya untuk menghadapi," Sultan mengakhiri presentasi pengamatannya.

"Apa hubungannya semua yang kau sebutkan tadi dengan hijrah dan beragama?"

"Nah, kuliahku baru akan dimulai," Sultan terkekeh.

Josh membalasnya dengan tergelak. Aku bisa melihat betapa dia senang sekali mendengar Sultan bicara sepanjang itu.

"Boleh kulanjutkan?"

"Aku belum ingin kau berhenti."

"Aku tidak mengamati ini secara meluas pada negara-negara lain. Fokus pengamatanku pada negaraku sendiri.

Beruntungnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Itu kenapa aku yakin sekali ada lebih dari sekadar campur tangan Allah pada negaraku. Beriringan dengan era yang semakin maju, rupanya, masih banyak orang-orang yang menjaga iman dalam hatinya tetap menyala. Mereka sadar bahwa iman mereka harus dipersiapkan juga dalam menghadapi perubahan zaman itu. Lalu mulailah bermunculan ke permukaan gerakan kesadaran bahwa iman manusia sedang dalam keadaan yang rentan. Mereka sadar bahwa syaitan sedang berusaha membenturkan duniawi dengan iman manusia lebih keras lagi. Dan perlu ada golongan yang kembali mengingatkan sesama manusia akan keutuhan imannya. Mengingatkan manusia untuk bergerak dari keadaan yang membuatnya lena terhadap Allah ke arah yang mengingatkannya kepada Allah.

Apa yang kuamati, dari sanalah perlahan benih tren hijrah mulai bertunas."

"Ooooo, aku mengerti."

"Dulu, sebagai remaja yang besar dalam keadaan dunia yang sudah sebegitu meriahnya. Canggih. Aku merasa takut kalau-kalau imanku akan kalah oleh benturan fitnah duniawi. Aku terlahir di lingkungan pesantren yang bahkan sudah dalam keadaan modern. Dan aku juga menyadari bahwa akan ada masanya obor syiar yang dipegang Ayahku berpindah tangan sampai padaku. Akan jadi seperti apa kalau aku tidak mengislamkan diriku sejak awal? Yang kumaksud dengan mengislamkan diri sendiri adalah menyadarkan diri sendiri seutuhnya apa dan bagaimana menjadi umat muslim yang seharusnya itu. Ya, meskipun penilaian semua usahaku ada pada perspektif Allah. Seseorang tidak bisa menilai kesalehan orang lain, pun tidak bisa menilai dosa orang lain. Aku, bahkan kita, tidak akan bisa menjadi sempurna. Hanya Rasulullah yang bisa. Sementara kita hanya bisa berusaha untuk menjadi lebih baik terus menerus.

Mempertimbangkan banyak hal yang lebih dari sekadar itu, aku juga tidak kalah khawatir dengan masa depan imanku. Apa yang harus aku ikuti? Apa yang harus aku jadikan sebagai ideologi dalam beragama? Apa yang harus membentengiku? Dengan cara seperti apa?

Kau tahu, kita tidak akan bisa menyelamatkan diri jika sebagai umat beragama kita bahkan tidak tahu tentang seperti apa agama yang kita peluk ini. Makanya, aku memutuskan untuk memulai segalanya, hijrahku, dari hal-hal yang paling mendasar dan sederhana. Tujuannya apa? Agar aku bisa benar-benar mengenali agamaku dengan baik dan beriman secara sadar.

Dan aku memulainya dengan membentuk pondasi Ilmul Yaqin dalam diriku. Yang mana menurut apa yang diajarkan oleh para ulama, bahwa Ilmul Yaqin merupakan tahap paling awal dalam pendirian seseorang terhadap pandangan musyahadah-nya atau persaksiannya kepada Allah Swt. Sebelum menyusul tahap berikutnya ada Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin."

"Ilmul Yaqin?"

"Iya, tahapan keyakinan akan keberadaan Allah Swt berdasarkan ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau hukum kausalitas. Misalnya, apa saja yang ada di semesta ini merupakan akibat dari sebab yang telah ada sebelumnya. Lalu sebab yang telah ada sebelumnya juga merupakan akibat dari sebab yang sebelumnya lagi, sehingga sampailah pada satu sebab yang tidak diakibatkan oleh suatu sebab yang disebabkan penyebab pertama atau causa prima. Dan itu adalah Allah Swt. Allah Yang Maha Tunggal. Ini akan sejalan dengan sifat wajib Allah yang Qidam, artinya 'Yang Terdahulu' atau dalam arti lain 'Tidak ada yang mendahului-Nya'."

Aku menahan napas sepanjang Sultan menjelaskan asal mula imannya sendiri. Sementara Tuan Josh sama sekali tidak menyela. Bahkan terlihat khusyuk menyimak.

"Dan kau memulainya dari awal sekali?" tanya Tuan Josh.

"Iya."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin mengetahui alasan dari pertanyaan kenapa. Aku ingin tahu, kenapa sih harus beriman? Kenapa sih harus berislam? Kenapa Iman, Islam, dan Ihsan bak tiga sisi dari segitiga sama sisi yang saling berkaitan? Kenapa aku harus beribadah?"

Ruangan kembali hening.

"Aku mempertanyakan itu semuanya, Josh, pada diriku sendiri. Lalu meminta agar Allah membukakan jalan yang sebaik-baiknya agar aku bisa menemukan jawabannya sesuai dengaan apa yang seharusnya. Ayahku seorang Kiai, dan aku besar dilingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang yang paham tentang ini, yang mungkin saja mereka sudah lebih dulu menemukan jawaban itu semua. Aku mengaji."

Josh mengangguk. Lalu aku mikir dan ingat pada saat dulu. Sultan aja yang notabene besar dari lingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang yang paham sama agama saja bisa punya khawatir seperti itu, apalagi aku yang besar dari lingkungan yang jauh dari nuansa agamis?

"Sejak saat itulah langkah pertamaku dimulai," sambung Sultan, "Aku mungkin sudah menjadi muslim sejak lahir atau sejak hidup bersama orang tuaku. Tapi pada saat remaja, aku menemukan alasan dari kenapa aku harus mengarahkan semua alasan hidup ini kepada Allah.

Pertama, hijrahku dimulai dengan memahami apa itu Iman, Islam, dan Ihsan terlebih dahulu. Pada saat yang sama, aku mulai belajar memahami makna dari dua puluh sifat wajib bagi Allah yang sudah kuhafal sejak kecil dengan lagu-lagu yang mudah diingat dulu. Lalu disusul kemudian memahami sifat mustahil-Nya dan sifat jaiz-Nya. Lalu mengenal rukun-rukun Iman dan Islam. Tak lupa aku berusaha mengenal lebih jauh tentang pembagian hukum-hukum islam, tentang apa itu fardu, sunah, haram, makruh, dan mubah, sebelum kemudian kami naik kelas di pesantren dan mulai mempelajari ushul fiqih-nya. Membetulkan bacaan Alquran-ku," Sultan tersenyum kecil di sana. Makin ganteng! "Lalu pada saat yang sama aku di pesantren mulai mempelajari fiqih. Aku benar-benar memulainya secara mendasar," tutupnya.

"Kenapa kau tidak datang ke Praha pada saat aku sedang jatuh cinta dulu?"

"Karena sebab akibat," jawab Sultan terkekeh kecil. "Mungkin Allah memanjangkan umurmu agar kau berkesempatan untuk belajar dari kekeliruan yang pernah terjadi. Dan aku menemukanmu di depan pintu kafe, itu pun ada sebab akibatnya. Panjang umur selalu untukmu, Josh. Kudoakan."

Josh tertawa tanpa membuka bibirnya.

"Josh, begini. Dulu ada masanya ketika banyak manusia yang berbondong-bondong hijrah. Kaula muda paling banyak. Terutama ketika media sosial sedang menjadi tren pada awal era android dimulai. Hijrah memang bukan sesuatu yang baru, tapi baru muncul lebih masif ke permukaan pada saat era kecanggihan teknologi mulai pesat.

Sayangnya, dalam pengamatanku, ada yang keliru dari cara mereka mendefinisikan hijrah."

"Misalnya?"

"Misalnya―"

Penjelasan Sultan terjeda ketika kami dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka. Lalu masuklah seorang perempuan jenjang yang penampilannya persis seperti super model. Aroma parfumnya tajam sekali mengisi ruangan.

Dalam hitungan beberapa detik, mengherankannya, ekspresi wajah Sultan berubah drastis. Dan aku tahu itu bukan ekspresi wajah laki-laki yang sedang keranjingan melihat wanita cantik. Tetapi, lebih tepat seperti kelinci yang baru saja melihat elang pemangsa.

***
***

Kalau ada kebaikan yang bisa diambil dari bab ini semata-mata itu datangnya dari Allah Swt. Dan semua kesalahan itu datangnya dari kebodohan saya sendiri.

***

Bagi yang masih asing atau merasa baru dengan pembahasan di bab ini. Itu lebih ke arah Aqidah Filsafat. Hanya saja ini langsung saya paparkan secara sampel pada Sultan supaya bisa lebih memahami. Biasanya materi ini diberikan kepada pelajar tingkat perguruan tinggi keagamaan atau di mata pelajaran ngaji pesantren untuk santri kelas senior. Namun di sini coba saya sederhanakan aplikasinya supaya mudah dipahami siapa saja. Dan sengaja tidak saya tampilkan dalil atau teori yang jelimet supaya kawan-kawan bisa lebih mudah menikmati. Insya Allah. Semoga bisa memahami dengan mudah.

***

Akhirnya sudah genap satu bulan SDP mengudara. Semoga bisa dinikmati. Saya tidak mengharap cerita ini dibaca banyak orang. Cukup beberapa pembaca yang setia saja saya sudah bersyukur. Semoga kamu termasuk yang setia itu. 🙂

***

Oh iya, maaf. Buat yang ingin masuk grup pembaca SDP (Sultanisme 1.0) waktu itu langsung penuh, ya? Tapi sudah saya buatkan grup pembaca SDP yang kedua kok (Sultanisme 2.0). Dan itu pun udah langsung dihuni lebih dari 70 anggota dalam sekejap. Link-nya sudah saya titipkan di bio SWP, kawan-kawan boleh berkunjung ke sana kalau ingin bergabung. Tambah kenalan. Asik ngobrolin SDP. Grup itu tidak mengikat. Kawan-kawan bebas keluar masuk semaunya. Rebutan Sultan boleh, udah biasa gituan di grup, asal jangan bikin gaduh.

Link itu ada di bio SWP hanya sampai Sabtu ini. Setelah itu akan saya hapus lagi.

***

Masih ada 'I H S A N (3)'. Siap baca?
Tapi bukan di Bab 09.

***

Oh, iya. Terimakasih atas doa kawan-kawan. Alhamdulillah sidang komprehensif saya berjalan lancar. Dan Alhamdulillah lulus dengan predikat sangat memuaskan. Semoga sidang ketiga nanti bisa mendapat hasil yang memuaskan juga. Mohon doanya 🙏

Continue Reading

You'll Also Like

826K 61.8K 43
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
24.2K 1.2K 20
Spin off Aku Dan Gus kembar Tentang sebuah janji yang pernah diikrarkan oleh seorang laki-laki bernama Zidan Aqil Az-zayyan di masa kecilnya kepada...
79.5K 11.5K 26
Tentang Aia yang memiliki banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Dan Edzar yang memiliki banyak kebingungan dalam hidupnya. Start: 14 Juni 2024 End: -
8.5M 613K 67
[WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Al...