RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

114K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️BAB 07: I H S A N (1)

5.2K 995 190
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 26 Mei 2019 (BAB 7)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau Bab ini sepi komentar, saya nggak mau double update ah. 😐

***
Bab 07 - I H S A N (1)

***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

Yang aku inginkan dari pasangan hidup adalah dia yang bisa mengimbangi emosiku dan utamanya menjadi penenang di kala banyak kegaduhan yang membadai dalam diriku. Persoalan cantik, pintar, seksi, agamis, itu biar jadi urusan perspektifku. Aku berusaha menyederhanakan sudut pandang ini untuk diriku sendiri saja. Aku bisa menciptakan itu semua. Aku tahu bagaimana Astrid harus menjadi cantik dan menarik untukku. Aku tahu bagaimana membuatnya pandai akan sesuatu. Aku tahu bagaimana cara membentuknya agar menjadi agamis dan meletakkan pointer destinasinya ke Tuhan. Aku tahu harus bagaimana terhadapnya. Tapi soal bagaimana dia akan bisa mengimbangi emosiku dan menjadi penenang badai dalam diriku, itu harus jadi keahliannya sendiri yang aku tidak tahu harus bagaimana membentuknya jika Astrid tidak punya. Dan Astrid punya itu. Badaiku tak berkutik di depannya.

Aku salah satu orang yang paling segan mengajari orang lain. Selalu merasa tak pantas melakukan banyak hal baik. Maksudku, jika setelah melakukannya aku akan disebut orang saleh atau orang baik atau bijak atau berakal atau ... apa saja, maka akan kupikirkan berkali-kali sebelum melakukannya. Tapi pengecualian untuk Astrid. Aku bebas padanya.

Hei, Astrid itu istriku. Dia ladang bersih yang dberikan Allah untukku. Bebas kubajak dan kutanami apa saja. Baik buruknya istriku tergantung bagaimana aku. Imannya pun tartaut dengan imanku. Hati kami tidak di tempat yang sama, tapi frekuensi perasaan kami bergetar pada amplitudo-amplitudo yang selaras. Kami satu gelombang. Frekuensi kami tidak bertolak belakang. Kami menyatu. Karenanya iman yang berpendar dalam diriku juga meradiasi iman miliknya. Selemah apa tingkat kesalehanku akan memancar selemah itu pula padanya.

Terlepas dari itu, topi nakhoda dan kendali kapal ada dalam tanggungjawabku. Kapal itu adalah kami berdua dan apa saja yang meliputinya. Laut adalah kehidupan yang harus kami layari. Sementara tantangan kami ada pada arah terpa angin, riak gelombang, dan cuaca. Semua itu terwakili pada satu batu karang bernama ego.

Kejanggalan kadang ada tapi kami berusaha meredakan masing-masing. Ada titik yang aku benar-benar mengecewakannya, dan dia pun pernah sangat mengesalkanku. Justru itu riak-riak yang harus ada. Kami belajar dari semuanya. Menerjemahkan apa yang ditulis riak-riak pada karang. Lalu menafsirkan bahasa camar-camar dalam dada kami yang kerap mengolok-olok emosi. Lantas apa yang membuat kami bertahan sekuat itu?

Bisa jadi itu karena cinta.

Atau ...

Bisa saja jauh dalam diri kami, antara aku dan dia sudah saling membayangkan betapa hidup akan jadi lebih rumit jika kami kehilangan masing-masing.

Astrid sudah sangat berhasil untuk itu. Dia bisa mendiamkan bisingnya mulut badai dalam diriku. Bahkan ia mencolok mata badai yang pada ulu-nya hanya bisa dilakukan oleh kekuatan sekelas malaikat.

Hei, asal semua makhluk di planet ini tahu. Astrid bisa menenangkanku bukan berarti dia datang bersama kesempurnaan tenang tanpa badainya sendiri. Justru dia memiliki ritme kedatangan badai yang lebih kerap dariku. Badainya mudah terpicu. Sementara yang tak bisa kusangkal adalah aku sangat menyukai gaduh badai Astrid. Badai miliknya selalu menarik nyaliku untuk bisa menaklukkannya. Terlepas dari itu, dia adalah Sangri La-ku. Semacam puri sunyi di atas bukit tak terjamah. Berkabut halus. Sejuk. Namun terdekat dengan kehangatan. Saat lelahku bertemu Sangri La itu maka tidak ada satu badai yang berani membuat pergerakan. Satu-satunya orang yang bisa membuat perjumpaan seperti itu tidak pernah terjadi sejak selamanya. Perasaanku selalu seperti baru pada Astrid.

Kemarin aku tidak pulang ke apartemen Wisnu. Menghabiskan waktu bersma keluarga kecilku sudah tidak bisa ditawar lagi dengan urusan apa pun. Taruhannya pekerjaan yang sudah kuatur dalam jadwal harus aku tunda sampai keesokan harinya. Tepatnya hari ini.

"Aku harus menemui beberapa orang yang sudah membuat janji denganku," kataku saat sudah di depan pintu hendak pergi. Astrid mengantarku sampai ke depan. Sementara Fathan sedang bersama Dalilah di atas.

"Aku nggak harus ikut, kan?"

"Kalau kamu ikut Fathan sama siapa?"

Mata Astrid berisyarat tentang Dalilah.

"Jangan. Sama kamu saja."

"Iya. Jadi sekarang kamu mau ke apartemen Wisnu buat ambil mobil sama keperluan lainnya? Sebelum pergi?"

"Iya."

"Pakai mantelnya. Kata ponselku masih ada salju turun siang ini."

Aku mengangguk. "Kamu jangan ke mana-mana deh, ya? Kalau pengin pergi nanti bisa sama aku saja. Bisa kita atur."

"Lagian aku ke sini buat kamu bukan untuk tamasya."

"Tapi kurang lengkap kalau nggak sekalian jalan-jalan ke luar."

"Dengan cuaca seperti ini?"

"Lho, dingin-dingin begini pegangan tanganmu makin erat. Aku suka."

Astrid menyimpan senyumnya. "Gembel deh."

"Yang kamu perlu sudah dikirim ke WA semua, kan? Cek lagi takut ada yang kurang atau kelupaan. Biar aku nggak perlu dua kali belanjanya."

"Udah."

"Aku nggak janji yang di daftar bisa kebeli semua. Tapi coba aku usahain siapa tahu nemu toko yang lengkap."

"Iya, senemunya aja. Dan jangan lupa telepon Abi. Mungkin kamu juga perlu mastiin ke mereka kalau aku dan Fathan baik-baik saja."

"Insya Allah."

Aku pergi kemudian. Tidak ingin menoleh ke belakang atau aku tidak jadi pergi hanya karena ditagih bayangan kalau Astrid sudah tidak ada lagi ketika aku kembali.

Sampai di apartemen Wisnu aku langsung menyiapkan semua yang kuperlukan untuk sesi wawancara dengan narasumber pertamaku. Janjiannya di sebuah kafe. Beliau adalah seorang akuntan. Ekspatriat yang berasal dari Amerika, konon. Aku belum bisa memastikan karena hari ini perjumpaan pertama kami. Penelitian ini kuusahakan sebaik mungkin agar tidak terkesan seperi aku sedang meneliti seseorang. Melainkan kukonsep seperti ngobrol saja agar segala informasi yang aku perlukan bisa aku dapat dengan cermat.

Sejurus kemudian mobil yang kukemudikan sudah sampai di lot parkir sebuah kafe. Aku datang setengah jam lebih awal. Ini kebiasaanku jika sedang membuat janji temu dengan orang yang kuanggap penting. Lagi pula kalau aku menguasai suasana interview itu akan membuatku lebih santai.

Angin dingin kembali mencekam. Aku mengambil tasku untuk bergegas keluar dari mobil. Berjalan pelan sambil memasukkan tangan ke dalam mantel.

Saat hendak masuk, aku terhenti sebentar. Di depan pintu ada seorang kakek yang memakai mantel tebal dengan sebuah tongkat. Napasnya beruap. Dia juga memakai cindung sama sepertiku. Aku membungkuk memberi salam. Sementara dia hanya mengangkat sebelah tangannya dengan senyum ragu-ragu. Lalu aku masuk dan memilih kursi. Suhu terasa sangat kontras begitu masuk ke dalam. Hangatnya pas. Ini pasti mesin penghangat ruangannya bekerja dengan baik. Kadang ada juga penghangat ruangan yang justru terasa sumpek.

Lima belas menit duduk di sana aku tetap penasaran kenapa kakek itu masih saja setia di luar. Jujur aku tidak tega melihat tubuh ringkihnya harus dipaksakan seperti itu. Dia hanya berdiri. Seperti sedang menunggu seseorang. Karena orang yang berjanji denganku tak kunjung datang, aku putuskan untuk menghampiri kakek itu. Serius, aku tidak bisa menahan diri.

"Tuan, kau baik-baik saja?" tanyaku.

Kepalanya menoleh padaku. Bibir pucatnya tersenyum tipis. Tubuhnya seperti tak bertenaga. Lesu. Sekali lagi dia hanya menjawab dengan sebelah tangannya yang terangkat.

"Ada seseorang yang kau tunggu?" tanyaku lagi.

"Putriku. Dia seorang pengacara hebat," jawabnya.

"Kurasa lebih baik kau menunggunya di dalam. Bukankah di sini dingin sekali?"

"Aku takut dia mengira aku tidak datang. Dia pasti akan melintas di jalan ini dengan mobilnya. Aku harus menunggunya di luar."

"Sudah berapa lama kau berdiri di sini?"

Dia melihat arloji di pergelangan tangannya yang keriput, "Berapa jam kira-kira, ya? Aku datang tepat waktu. Sejak pukul delapan."

Astaghfirullah, sekarang sudah setengah sebelas.

"Kalau putrimu sudah membuat janji pasti dia tahu kau ada di sini. Masuk saja. Itu lebih baik."

Dia menghiraukan perkataanku untuk sesaat. Namun kemudian dia mendengus, "Lupakan. Mungkin dia tidak akan pernah mau menemuiku yang jelek ini. Lagi pula siapa yang akan peduli dengan hari ulang tahunku."

Aku melihat raut muka yang memudar. Dia lalu masuk ke dalam mendahuluiku. Memilih kursi yang tak jauh dari kursiku. Mengejutkannya, tak lama setelah kami duduk di kursi masing-masing, seorang pelayan datang membawa satu kue tartlet utuh dengan lilin yang menyala. Diletakkannya kue itu di meja. Lalu ditinggalkan di sana begitu saja. Aku curiga kakek itu memesannya untuk berdua dengan putrinya.

Kakek itu hanya diam. Pundaknya seperti lemas. Tatapannya kosong tertuju pada kue itu. Tak bergairah.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersikap peduli padanya. Lalu kuangkat segelas cokelat panasku untuk pindah ke meja kakek itu.

"Boleh aku bergabung di sini? Orang yang kutunggu juga terlambat datang sepertinya."

Kepalanya mendongak, "Yes, please."

Aku memberinya senyum.

"Jadi sepertinya ada yang bertambah usia hari ini?" aku berusaha membuatnya relaks.

Kakek itu tersenyum tipis. "Atau ini mungkin ulang tahun terakhirku," tukasnya.

Aku tidak berkomentar.

"Aku bisa menemanimu hari ini kalau kau mau."

Dia mengedikkan kedua bahunya.

"Aku Sultan. Hanya mampir di kota kecil ini sampai Februari."

"Kau pasti seorang akademisi?"

"Bisa dibilang begitu."

Kepalanya mengangguk-angguk. "Panggil aku Josh."

"Josh."

Kami bersalaman sebentar.

"Mungkin kau harus lekas meniup lilinnya sebelum meleleh sampai ke kuemu."

Aku terkejut saat lilin itu dimatikan olehnya dengan cara dipegang sumbu apinya. Cepat dan seolah kebal. Tanpa ditiup.

"Kau tidak kepanasan?" tanyaku heran.

"Aku sudah melakukan ini sejak tiga tahun ulang tahunku yang terakhir. Ini yang keempat."

"Maksudmu?"

"Selalu sendirian."

"Kurasa tadi kau sedang menunggu putrimu untuk ini, kan?"

"Aku tahu dia tidak akan mau datang. Meski begitu aku tetap menunggu. Seseorang bisa berubah pikiran, kan?"

Aku melirik jam tanganku. Sudah telat lima menit orang yang kutunggu belum datang.

Bibirku tersenyum, "Aku juga sedang menunggu seseorang. Dia seorang akuntan menurut bio yang aku pegang. Muslim."

"Kau pasti muslim juga."

Aku mengangguk.

"Dan menurutmu aku bukan seorang muslim?" ungkap Josh. Itu membuatku menelengkan kepala.

"Maksudmu?"

"Mantan istriku orang Asia. Dan untuk menunaikan cintaku padanya, aku harus menukar keyakinanku. Dulu sekali."

"Sungguh?"

"Hanya saja, kurasa aku tidak begitu serius dengan ikrar itu. Ashadu anla ilaha-," kepalanya menggeleng, "aku bahkan tidak mengingat itu lagi."

Aku sedikit terhenyak.

"Kami bercerai lama sekali dan kudengar dia sudah meninggal. Dan sepertinya imanku juga mati sejak saat itu. Aku berhenti salat. Luntang-lantung seperti orang tak berkeyakinan. Tersesat pada kehampaan yang membuatku ... entah, putriku pergi karena aku semakin menjadi bajingan saja setelah itu. Dia mencari kehidupannya sendiri. Membiayai dirinya sendiri. Melepas diri dariku. Dan terakhir aku menemuinya saat di pernikahannya."

"Hanya karena?"

Dia mengedikkan bahu. "Agama itu sesuatu yang rumit. Maksudku, jangan tersinggung, bagiku itu benar-benar rumit."

"Mungkin karena kau belum benar-benar tulus untuk melibatkan diri dengan agama itu sendiri," aku mengangkat cangkir dan menyeruputnya. Hanya untuk membuat pikiranku lebih tertata dalam obrolan ini. Sekali lagi aku memeriksa arloji dan tidak ada tanda-tanda juga dari ponselku kalau orang yang akan kutemui datang.

"Kurasa kau lebih tahu soal itu."

"Apa yang masih kau ingat dari itu?"

Josh terkekeh, "Hal-hal sederhana. Aku tahu apa itu iman, islam, dan ihsan."

Aku tersenyum, "Kau tahu? Aku pernah berharap waktu kecil diberi nama Ihsan oleh orang tuaku. Nama Ihsan menurutku masuk ke dalam kategori nama-nama yang indah di telingaku. Ihsan adalah muara dari apa yang kita pahami sebagai iman dan islam."

"Maksudmu?"

"Ya, itu tiga hal yang mendasar. Iman; sebuah pondasi. Satu keyakinan yang dengannya kita akan diantar pada islam. Keyakinan. Iman itu meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkannya atau membuktikannya dengan perbuatan. Kurasa kita harus benar-benar mengerti hal paling mendasar seperti itu sebelum melangkah lebih jauh. Dan iman itu pondasi atas agama. Kalau pondasi atau imannya sudah menguat, maka islam akan bisa dibangun setidaknya dengan lebih baik. Lalu apa itu islam?"

Josh menatapku, "Agama," jawabnya singkat.

Aku menggeleng dengan senyum, "Bukan begitu, Josh. Agama itu ada tiga unsur, kau tahu. Pertama ada penganutnya, kedua proses persembahan atau peribadatannya, dan ketiga apa yang disembah atau di-Tuhankan. Itu agama."

"Jadi islam itu bukan agama?"

"Tentu Islam itu agama. Tapi kita tak bisa mengartikannya hanya sebatas itu. Rasul kita pernah bersabda tentang ini. Menegaskan, bahwa islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (Tuhan atau Sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana. Itu islam," aku mengakhirinya dengan senyum.

Josh terkekeh lagi, "Kau tahu itu masa-masa yang aneh bagiku. Waktu itu aku hanya ingin menikahi kekasihku tanpa benar-benar bermaksud memeluk islam. Aku bersyahadat, belajar salat, aku menunaikan puasa, berzakat, dan itu hanya kulakukan saja mengikuti istriku."

"Itu artinya kau hanya berislam tanpa beriman?"

"Kau bisa menyebutnya begitu."

Aku tersenyum lagi. Tak ingin dia melihatku seolah akan menghakimi.

"Kapan kau akan kembali?"

"Aku tidak tahu. Sempat kupikirkan. Aku dulu berangan-angan, mungkin kalau aku sudah menua aku akan berislam lagi."

"Dan kulihat kau bukan kaula muda lagi," kataku disertai gelak lagi.

Josh pun terkekeh, "Kau benar."

"Tapi tunggu, berimanlah dulu sebelum berislam. Aku pernah begitu."

"Kau mualaf?"

"Bukan. Aku bersyahadat dengan mantap saat usiaku sekitar ... tiga belas tahun. Ya, waktu itu aku sudah sadar bahwa aku sedang menganut sebuah agama yang dianut kedua orang tuaku. Aku mengikuti kebiasaan peribadatannya. Tapi, pada akhirnya beragama bukan soal mengikuti agama orang tuaku saja. Melainkan bagaimana aku meyakini dan menaatinya. Saat itu aku bersyahadat dengan sendirinya. Aku meyakinkan diri bahwa Allah yang Maha Tunggal adalah Tuhanku. Dan aku ingin mengimaninya secara sebenar-benarnya iman. Berikut mengimani setiap rukun iman dan berusaha menegakkan setiap rukun islam. Aku berusaha untuk menjadi mu'min muslim asli dan bukan mu'min muslim taba'i. Aku ingin beriman juga berislam. Bukan beriman tetapi tidak berislam, itu namanya mu'min muslim taba'i. Atau pun berislam tapi tidak beriman, jangan sampai."

"Kau sepertinya tahu banyak."

"Aku hanya pernah mempelajarinya."

Saat itu ada sebuah pesan masuk dari Tuan Alejandro yang isinya dia tidak bisa menemuiku karena anaknya yang masih balita kena cacar. Kesalahanku aku tidak mengonformasi lagi hari ini. Tapi tidak apa-apa karena beliau meminta dijadwalkan ulang.

"Josh," kataku kemudian. "Hati itu seperti tubuh. Dia bisa kelelahan dan merasa bosan," aku menyitir kalimat Ali Bin Abi Thalib.

"Kurasa aku sudah lama mengalami kelelahan dan kebosanan yang seperti itu," katanya lemah. Namun kali ini aku merasakan sesuatu yang lain dari wajahnya. Wajahnya semakin berubah pias. Matanya seperti kesusahan untuk berkedip. Dia menarik napasnya berat, "Kehampaan," katanya lagi, "Dan ..."

Aku mengamati kakek itu dengan saksama. Perasaanku mulai tidak enak. Posisi duduknya benar-benar berubah tidak stabil. Kepalanya mulai menunduk seperti mengantuk. Lalu, pelan sekali badannya hendak roboh ke sisi kanan. Kalau saja aku tidak bergeges menahannya dengan satu tanganku dari seberang meja, sebelum kemudian menghampirinya, mungkin kakek itu sudah jatuh ke lantai.

Dia diam dengan mata terpejam. Aku segera berseru meminta pertolongan. Tak lama kemudian dua pelayan laki-laki dan perempuan menghampiriku. Disusul dua pengunjung lainnya.

Salah satu pelayan menduga kalau Josh mengalami hipotermia karena tubuh ringkihnya berdiri di bawah terpaan salju selama berjam-jam. Sementara aku lebih curiga kalau Josh memiliki masalah tersendiri dengan tubuhnya.

"Ambulans akan terlalu lama," kata pelayan perempuan.

"Ada yang bisa menemani? Aku bisa membawanya dengan mobilku. Dan aku tidak tahu rumah sakit terdekat ada di mana." Sejujurnya aku sudah terkena serangan panik. Berusaha menyembunyikan tanganku yang tremor sedikit.

"Aku tahu yang terdekat," kata pelayan laki-laki.

***
Bab ini jadi salah satu premis yang penting. Jangan sepelekan.
***

Bab 08 nanti PoV nya Astrid. Isinya penting tentang kasusnya Sultan yang akan diinfokan oleh Ayaz.

Tapi kalau bab ini sepi saya nggak mau double update ah. 🤐

***

Oh iya, link grup sudah ada di bio IG saya. Silakan ditilik sebelum kuota anggota penuh. 🙂

Continue Reading

You'll Also Like

Hakim By ul

Spiritual

1.3M 76.5K 51
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...
54.8K 6.7K 109
【 NOVEL TERJEMAHAN 】 ⚠️ CH1 - CH64 (DIEDIT). ⚠️ CH65 - CH108 (DALAM PROSES PENGEDITAN). Penulis: 云初棠 Status: Lengkap (108 chapter) Deskripsi: Xie Qin...
168K 12.4K 43
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
250K 14.4K 35
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...